tag:blogger.com,1999:blog-25007189333294949432023-11-15T20:12:44.438+07:00fajar andi setyawani'm not perfect...but here's i'm is the existence....!!!!!crazy boy'shttp://www.blogger.com/profile/10427640188054710037noreply@blogger.comBlogger60125tag:blogger.com,1999:blog-2500718933329494943.post-46933668346075718202010-08-30T20:22:00.003+07:002010-08-30T20:22:26.453+07:00Cara masuk di komputer lain lewat DOS (Windows XP / 2000)Kali ini saya akan memberikan sedikit informasi mengenai bagaimana cara seseorang yang ingin mencoba menerobos masuk ke komputer orang lain melalui DOS(Windows XP/2000).Hal yang pertama kita lakukan adalah kita harus tahu dulu alamat IP address/Host Name/Computer name target/korban;berikut langkah-langkah nya: 1. Melacak alamat IP suatu situs Untuk mengetahui alamat IP suatu situs, kita dapat melakukan PING terhadap situs tersebut. Caranya: Masuk ke command Prompt dan ketikan PING WWW.SITUS-YANG-DILACAK.COM lalu tekan enter. Maka akan muncul alamat Ip situs tersebut.2. Melacak Lokasi server (real address) suatu situs Kita dapat melacak lokasi server suatu situs hanya dengan mengetahui alamat situsnya saja. Coba anda buka www.domainwhitepages.com Tinggal masukkan IP address situs tadi atau masukkan alamat situsnya dan anda akan mendapatkan info lengkap tentang server dari situs tersebut diantaranya adalah lokasi negara dan kota.3. Melacak IP address lawan chatting kita Saat kita menggunakan Yahoo messenger, sebenarnya kita bisa mengetahui alamat IP dari lawan chatting kita. Caranya: Kirimkan suatu file pada lawan chat kita. :: Lalu masuklah ke Command Prompt (MSDOS) dan ketikkan NETSTAT -N lalu tekan enter, maka alamat IP lawan chatting anda (yang telah anda kirimi file tadi) akan muncul beserta port yang digunakan untuk pengiriman file. :: Untuk mengetahui lokasi lawan chatting anda (real address) seperti ia berada di kampus atau di warnet mana, tinggal anda chek di http://imancyber.wordpress.com/2008/01/23/cara-masuk-di-komputer-lain-lewat-dos-windows-xp-2000/www.domainwhitepages.com dengan mempergunakan alamat IP yang anda dapatkan. Setelah semua nya selesai anda hanya tinggal menambahkan sedikit ramuan mujara/tools tambahan :)Pertama-tama anda harus tahu 2 program penting lalu downloadlah yaituinternet Maniac (Internet Maniac.exe) … Download InterenetManiacBerfungsi untuk mengetahui ip addreas client melalui computer name /hostnameKaHT (KaHt.exe) … Download program hackerKaHTBerfungsi sebagai program untuk menerobos ke computer server atau clientIngat hanya dengan 2 program diatas maka anda bersiap-siaplah menguasaiwarnet / kampus / kantor dan sebagainya, lho bagaimana bisa ? hehePertama kali anda periksa dahulu jaringan anda dengan melihat para hostnamedengan 2 cara.Ingat hanya dengan 2 program diatas maka anda bersiap-siaplah menguasaiwarnet / kampus / kantor dan sebagainya, lho bagaimana bisa ? heheSetelah 2 program diatas di download maka ekstractlah dahulu programtersebut, entah pake WINZIP atau pake apa.Kalo udah di extract lalu pertama kali anda periksa dahulu jaringan andadengan melihat para hostname dengan 2 cara.Untuk Windows XPCara Pertama Masuk ke Start Lalu Search, lalu pilih computers or people lalupilih A computer on the Network lalu langsung klik search maka akan segeramuncul computer-komputer yang terkoneksi dalam jaringan.Untuk Windows 95/98/Me/2000 (kalau anda menemukan open port 135 di OS ini) :)Cara Pertama Masuk ke Start Lalu Search Lalu For Files or Folders lalu padamenu Search for other item pilihlah computers, lalu akan muncul Search forcomputer, maka langsung klik Search Now maka nama-nama computer akan muncul(Alternatif cara yang cepat dapat mengklik My Network Place / NetworkNeighboure saja)Setelah loe dapetin sasaran computer yang mau di masukin / diremote makaloe langsung aja jalankan program Internet ManiacMasuklah ke Host Lookup lalu ketikkan nama computer / hostname lalu klikresolve, disini anda akan mendapat alamat ip computer tersebut. Dengan nomorip ini maka anda sudah mengetahui sasaran computer yang akan di masuki.Setelah itu selesai maka kita tinggalkan program Internet Maniac, kita akanberlanjut dengan program KaHT, program ini akan didetect sebagai Trojan olehantivirus, tapi abaikan saja, jangan di hapus / di karantina kalauterdetect, kalau perlu del aja antivirusnya, satu lagi, program KaHT bekerjadalam MS-DOS Mode jadi disini kemampuan anda menggunakan DOS sangat penting,tanpa kemampuan DOS maka anda tidak akan bisa banyak berbuat.Cara masuk DOS ModeUntuk Windows XP :Masuklah ke Start, All programs, Accessories lalu Command PromptUntuk Windows 95/98/Me/NT/2000Masuklah ke Start, Programs, Accessories lalu MS-DOS PromptSetelah berhasil masuk DOS maka masuklah di directory program KaHT, masa sehbisa lupa tadi program diextract dimana, hehe, (Misal tadi di extract diC:\KaH) maka ketikkan “CD\KaHT” dan seterusnya.Jika sudah, ini saatnya?Ketikkan “KaHT sebelum_no_ip_komputer_sasaran no_ip_komputer_sasaran.kalau bingung bisa begini : “KaHT Ip1 ip2″ip1 : ip awal yang discanip2 : ip terahkir yang discan Misalnya tadi ip-nya 192.168.0.1 setelah di detect pakek Internet Maniactadi itu lho.Maka ketikkan saja “KaHT 192.168.0.0 192.168.0.1″ lalu enter ajaNah disini nanti program akan bekerja otomatis.Setelah selesai menscan jika nanti port 135 ternyata dalam keadaan open makaanda akan otomatis di computer tujuan / sasaran, untuk lebih persisnya andaakan berada di “c:\windows\system” milik komputer tujuan / sasaran setelahpen-scan-an selesai.Anda bisa bebas di computer sasaran, mau edit atau di delete pun bisa, heheNah kalo udah begini kita bisa berkreasi :Pingin biaya warnet kita lebih murah ? gampang masuk aja di billing server,ketik Time, ganti aja waktunya, tapi jangan banyak-banyak apalagi minusnanti ketahuan ama operator warnetnya, hehe.Memata-matai anak yang sedang chatting pakek MiRC di satu warnet / kampus /kantor / lainnya, cari program MiRC yang digunakan dalam computer tersebut,biasanya seh di C:\Program Files\MiRC, buka file MiRC.INI, lalu Log IRC diOn kan saja dan kalo mau lihat isi chattingan teman kita itu cukup lewat“/logs” maksudnya kalau tadi di C:\program Files\MiRC program MiRCnya makacukup masuk aja di C:\Program Files\MiRC\Logs nanti disitu ada file-file loghasil chattingan dia walaupun dia sedang online tetep aja terekam, hehe,kalo mau mastiin dia makek nick apa, gampang banget bisa jalanin aja MiRCnyaatau periksa di MiRC.INI, gampangkan.Apalagi nih, Bikin computer itu rusak, lebih baik jangan, tapi sebenere bisalho, delete aja file-file systemnya, hehe.Diatas cuman kreasi dikit aja, loe bisa aja memanfaatkannya jauh lebihbermanfaat dari pada diatasTujuan dari tutorial ini untuk anda yang sering menggunakan komputer denganWindows 2000 dan XP dijaringan agar lebih waspada terhadap berbagai tindakanusil dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab..5.Membuat akses administrator Windows untuk kita lewat komputer lainKita ingin membuat administrator Windows XP/2000 di komputer lain melaluiLAN ? sangat mudah, caranya masuklah ke komputer tujuan dengan program kahtyang sudah diajarkan diatas, lalu kita akan mencoba beberapa trik.Melihat akses guest dan administrator di WindowsKetik : net userMelihat aktif tidaknya guest di WindowsKetik : net user guestMembuat akses guest menjadi Administrator dengan perintah :Ketik : net localgroup Administrators Guest /addMembuat akses adminstrator sendiri :1. Ketik : net user /add2. Ketik : net localgroup Administrators /addMenghapus akses administratorKetik : net localgroup Users /deleteCatatan:*Segala kesalahan error / kerusakan pada komputer dan semacamnya adalahtanggung jawab anda !*Semua yang anda pelajari dan anda lakukan adalah sepenuhnya tanggung jawabanda tanpa kecuali.*Saya tidak mengajarkan anda untuk merusak ! hanya sebatas pengetahuan.<br />
<br />
Download internetmaniac<br />
Download kaht.exe<br />
<br />
NB : kaht.exe dalam bentuk zip, apabila ingin meng ekstrak antivirus harap dimatikan karena file kaht.exe dianggap virus oleh anti virus. Begitu juga saat menggunakannya anti virus terlebih dahulu dimatikan.crazy boy'shttp://www.blogger.com/profile/10427640188054710037noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2500718933329494943.post-50888050006693142372010-08-23T00:31:00.001+07:002010-08-23T00:31:02.091+07:00post partumA. DEFINISI PUERPERIUM / NIFAS<br />
Adalah masa sesudah persalinan dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhirnya ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil, masa nifas berlangsung selama ? 6 minggu.<br />
(Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, 2002)<br />
adalah masa sesudah persalinan yang diperlukan untuk pulihnya kembali alat kandungan yang lamanya 6 minggu. (Obstetri Fisiologi, 1983)<br />
B. PERIODE<br />
Masa nifas dibagi dalam 3 periode:<br />
1. Early post partum<br />
Dalam 24 jam pertama.<br />
2. Immediate post partum<br />
Minggu pertama post partum.<br />
3. Late post partum<br />
Minggu kedua sampai dengan minggu keenam.<br />
C. TUJUAN ASUHAN KEPERAWATAN<br />
1. Menjaga kesehatan Ibu dan bayinya, baik fisik maupun psikologiknya.<br />
2. Melaksanakan skrining yang komprehensif, mendeteksi masalah, mengobati atau merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu maupun bayinya.<br />
3. Memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan kesehatan diri, nutrisi, keluarga berencana, menyusui, pemberian imunisasi kepada bayinya dan perawatan bayi sehat.<br />
4. Memberikan pelayanan keluarga berencana.<br />
D. TANDA DAN GEJALA<br />
1. Perubahan Fisik<br />
a. Sistem Reproduksi<br />
• Uterus<br />
• Involusi : Kembalinya uterus ke kondisi normal setelah hamil.<br />
Proses ini dipercepat oleh rangsangan pada puting susu.<br />
- Lochea<br />
• Komposisi<br />
Jaringan endometrial, darah dan limfe.<br />
• Tahap<br />
a. Rubra (merah) : 1-3 hari.<br />
b. Serosa (pink kecoklatan)<br />
c. Alba (kuning-putih) : 10-14 hari<br />
Lochea terus keluar sampai 3 minggu.<br />
• Bau normal seperti menstruasi, jumlah meningkat saat berdiri.<br />
Jumlah keluaran rata-rata 240-270 ml.<br />
- Siklus Menstruasi<br />
Ibu menyusui paling awal 12 minggu rata-rata 18 minggu, untuk itu tidak menyusui akan kembali ke siklus normal.<br />
- Ovulasi<br />
Ada tidaknya tergantung tingkat proluktin. Ibu menyusui mulai ovulasi pada bulan ke-3 atau lebih.<br />
Ibu tidak menyusui mulai pada minggu ke-6 s/d minggu ke-8. Ovulasi mungkin tidak terlambat, dibutuhkan salah satu jenis kontrasepsi untuk mencegah kehamilan.<br />
- Serviks<br />
Segera setelah lahir terjadi edema, bentuk distensi untuk beberapa hari, struktur internal kembali dalam 2 minggu, struktur eksternal melebar dan tampak bercelah.<br />
- Vagina<br />
Nampak berugae kembali pada 3 minggu, kembali mendekati ukuran seperti tidak hamil, dalam 6 sampai 8 minggu, bentuk ramping lebar, produksi mukus normal dengan ovulasi.<br />
- Perineum<br />
• Episiotomi<br />
Penyembuhan dalam 2 minggu.<br />
• Laserasi<br />
TK I : Kulit dan strukturnya dari permukaan s/d otot<br />
TK II : Meluas sampai dengan otot perineal<br />
TK III : Meluas sampai dengan otot spinkter<br />
TK IV : melibatkan dinding anterior rektal<br />
b. Payudara<br />
Payudara membesar karena vaskularisasi dan engorgement (bengkak karena peningkatan prolaktin pada hari I-III). Pada payudara yang tidak disusui, engorgement akan berkurang dalam 2-3 hari, puting mudah erektil bila dirangsang. Pada ibu yang tidak menyusui akan mengecil pada 1-2 hari.<br />
c. Sistem Endokrin<br />
- Hormon Plasenta<br />
HCG (-) pada minggu ke-3 post partum, progesteron plasma tidak terdeteksi dalam 72 jam post partum normal setelah siklus menstruasi.<br />
- Hormon pituitari<br />
Prolaktin serum meningkat terjadi pada 2 minggu pertama, menurun sampai tidak ada pada ibu tidak menyusui FSH, LH, tidak ditemukan pada minggu I post partum.<br />
d. Sistem Kardiovaskuler<br />
- Tanda-tanda vital<br />
Tekanan darah sama saat bersalin, suhu meningkat karena dehidrasi pada awal post partum terjadi bradikardi.<br />
- Volume darah<br />
Menurun karena kehilangan darah dan kembali normal 3-4 minggu<br />
Persalinan normal : 200 – 500 cc, sesaria : 600 – 800 cc.<br />
- Perubahan hematologik<br />
Ht meningkat, leukosit meningkat, neutrophil meningkat.<br />
- Jantung<br />
Kembali ke posisi normal, COP meningkat dan normal 2-3 minggu.<br />
e. Sistem Respirasi<br />
Fungsi paru kembali normal, RR : 16-24 x/menit, keseimbangan asam-basa kembali setelah 3 minggu post partum.<br />
f. Sistem Gastrointestinal<br />
- Mobilitas lambung menurun sehingga timbul konstipasi.<br />
- Nafsu makan kembali normal.<br />
- Kehilangan rata-rata berat badan 5,5 kg.<br />
g. Sistem Urinaria<br />
- Edema pada kandung kemih, urethra dan meatus urinarius terjadi karena trauma.<br />
- Pada fungsi ginjal: proteinuria, diuresis mulai 12 jam.<br />
- Fungsi kembali normal dalam 4 minggu.<br />
h. Sistem Muskuloskeletal<br />
Terjadi relaksasi pada otot abdomen karena terjadi tarikan saat hamil. Diastasis rekti 2-4 cm, kembali normal 6-8 minggu post partum.<br />
i. Sistem Integumen<br />
Hiperpigmentasi perlahan berkurang.<br />
j. Sistem Imun<br />
Rhesus incompability, diberikan anti RHO imunoglobin. <br />
VI. PANGGUL SEMPIT<br />
Dalam Obstetri yang terpenting bukan panggul sempit secara anatomis melainkan panggul sempit secara fungsional artinya perbandingan antara kepala dan panggul<br />
Kesempitan panggul dibagi sebagai berikut :<br />
1. Kesempitan pintu atas panggul<br />
2. kesempitan bidang bawah panggul<br />
3. kesempitan pintu bawah panggul<br />
4. kombinasi kesempitan pintu atas pangul, bidang tengah dan pintu bawah panggul.<br />
? Kesempitan pintu atas panggul<br />
Pintu atas panggul dianggap sempit kalau conjugata vera kurang dari 10 cm atau kalau diameter transversa kurang dari 12 cm<br />
Conjugata vera dilalui oleh diameter biparietalis yang ± 9½ cm dan kadang-kadang mencapai 10 cm, maka sudah jelas bahwa conjugata vera yang kurang dari 10cm dapat menimbulkan kesulitan. Kesukaran bertambah lagi kalau kedua ukuran ialah diameter antara posterior maupun diameter transversa sempit.<br />
Sebab-sebab yang dapat menimbulkan kelainan panggul dapat dibagi sebagai berikut :<br />
1. Kelainan karena gangguan pertumbuhan<br />
a. Panggul sempit seluruh : semua ukuran kecil<br />
b. Panggul picak : ukuran muka belakang sempit, ukuran melintang biasa<br />
c. Panggul sempit picak : semua ukuran kecil tapi terlebiha ukuran muka belakang<br />
d. Panggul corong :pintu atas panggul biasa,pintu bawah panggul sempit<br />
e. Panggul belah : symphyse terbuka<br />
<br />
2. kelainan karena penyakit tulang panggul atau sendi-sendinya<br />
a. Panggul rachitis : panggul picak, panggul sempit, seluruha panggul sempit picak dan lain-lain<br />
b. Panggul osteomalacci : panggul sempit melintang<br />
c. Radang articulatio sacroilliaca : panggul sempit miring<br />
3. kelainan panggul disebabkan kelainan tulang belakang<br />
a. kyphose didaerah tulang pinggang menyebabkan panggul corong<br />
b. sciliose didaerah tulang panggung menyebabkan panggul sempit miring<br />
4. kelainan panggul disebabkan kelainan aggota bawah<br />
coxitis, luxatio, atrofia. Salah satu anggota menyebabkan panggul sempit miring.<br />
Disamping itu mungkin pula ada exostase atau fraktura dari tulang panggul yang menjadi penyebab kelainan panggul.<br />
? Pengaruh panggul sempit pada kehamilan dan persalinan<br />
Panggul sempit mempunyai pengaruh yang besar pada kehamilan maupun persalinan.<br />
1. Pengaruh pada kehamilan<br />
- Dapat menimbulkan retrafexio uteri gravida incarcerata<br />
- Karena kepala tidak dapat turun maka terutama pada primi gravida fundus atau gangguan peredaran darah<br />
Kadang-kadang fundus menonjol ke depan hingga perut menggantung<br />
Perut yang menggantung pada seorang primi gravida merupakan tanda panggul sempit<br />
- Kepala tidak turun kedalam panggul pada bulan terakhir<br />
- Dapat menimbulkan letak muka, letak sungsang dan letak lintang.<br />
- Biasanya anak seorang ibu dengan panggul sempit lebih kecil dari pada ukuran bayi pukul rata.<br />
<br />
2. Pengaruh pada persalinan<br />
- Persalinan lebih lama dari biasa.<br />
a. Karena gangguan pembukaan<br />
b. Karena banyak waktu dipergunakan untuk moulage kepala anak<br />
Kelainan pembukaan disebabkan karena ketuban pecah sebelum waktunya, karena bagian depan kurang menutup pintu atas panggul selanjutnya setelah ketuban pecah kepala tidak dapat menekan cervix karena tertahan pada pintu atas panggul<br />
- Pada panggul sempit sering terjadi kelainan presentasi atau posisi misalnya :<br />
a. Pada panggul picak sering terjadi letak defleksi supaya diameter bitemporalis yang lebih kecil dari diameter biparietalis dapat melalui conjugata vera yang sempit itu.<br />
Asynclitismus sering juga terjadi, yang diterapkan dengan “knopfloch mechanismus” (mekanisme lobang kancing)<br />
b. Pada oang sempit kepala anak mengadakan hyperflexi supaya ukuran-ukuran kepala belakang yang melalui jalan lahir sekecil-kecilnya<br />
c. Pada panggul sempit melintang sutura sagitalis dalam jurusan muka belang (positio occypitalis directa) pada pintu atas panggul.<br />
- Dapat terjadi ruptura uteri kalau his menjadi terlalu kuat dalam usaha mengatasi rintangan yang ditimbulkan oleh panggul sempit<br />
- Sebaiknya jika otot rahim menjadi lelah karena rintangan oleh panggul sempit dapat terjadi infeksi intra partum. Infeksi ini tidak saja membahayakan ibu tapi juga dapat menyebabkan kematian anak didalam rahim.<br />
Kadang-kadang karena infeksi dapat terjadi tympania uteri atau physometra.<br />
- Terjadi fistel : tekanan yang lama pada jaringan dapat menimbulkan ischaemia yang menyebabkan nekrosa.<br />
Nekrosa menimbulkan fistula vesicovaginalis atau fistula recto vaginalis. Fistula vesicovaginalis lebih sering terjadi karena kandung kencing tertekan antara kepala anak dan symphyse sedangkan rectum jarang tertekan dengan hebat keran adanya rongga sacrum.<br />
- Ruptur symphyse dapat terjadi , malahan kadang – kadang ruptur dari articulatio scroilliaca.<br />
Kalau terjadi symphysiolysis maka pasien mengeluh tentang nyeri didaerah symphyse dan tidak dapat mengangkat tungkainya.<br />
- Parase kaki dapat menjelma karena tekanan dari kepala pada urat-urat saraf didalam rongga panggul , yang paling sering adalah kelumpuhan N. Peroneus.<br />
3. Pengaruh pada anak<br />
- Patus lama misalnya: yang lebih dari 20 jam atau kala II yang lebih dari 3 jam sangat menambah kematian perinatal apalagi kalau ketuban pecah sebelum waktunya.<br />
- Prolapsus foeniculli dapat menimbulkan kematian pada anak<br />
- Moulage yang kuat dapat menimbulkan perdarahan otak. Terutama kalau diameter biparietalis berkurang lebih dari ½ cm. selain itu mungkin pada tengkorak terdapat tanda-tanda tekanan. Terutama pada bagian yang melalui promontorium (os parietal) malahan dapat terjadi fraktur impresi.<br />
? Persangkaan Panggul sempit<br />
Seorang harus ingat akan kemungkinan panggul sempit kalau :<br />
1. Aprimipara kepala anak belum turun setelah minggu ke 36<br />
2. Pada primipara ada perut menggantung<br />
3. pada multipara persalinan yang dulu – dulu sulit<br />
4. kelainan letak pada hamil tua<br />
5. kelainan bentuk badan (Cebol, scoliose,pincang dan lain-lain)<br />
6. osborn positip<br />
? Prognosa<br />
Prognosa persalinan dengan panggul sempit tergantung pada berbagai faktor<br />
- Bentuk panggul<br />
- Ukuran panggul, jadi derajat kesempitan<br />
- Kemungkinan pergerakan dalam sendi-sendi panggul<br />
- Besarnya kepala dan kesanggupan moulage kepala<br />
- Presentasi dan posisi kepala<br />
- His<br />
Diantara faktor faktor tersebut diatas yang dapat diukur secara pasti dan sebelum persalinan berlangsung hanya ukuran-ukuran panggul : karena itu ukuran – ukuran tersebut sering menjadi dasar untuk meramalkan jalannya persalinan.<br />
Menurut pengalaman tidak ada anak yang cukup bulan yang dapat lahir dengan selamat per vaginam kalau CV kurang dari 8 ½ cm.<br />
Sebaliknya kalau CV 8 ½ cm atau lebih persalinan pervaginam dapat diharapkan berlangsung selamat.<br />
Karena itu kalau CV < 8 ½ cm dilakukan SC primer ( panggul demikuan disebut panggul sempit absolut )<br />
Sebaliknya pada CV antara 8,5-10 cm hasil persalinan tergantung pada banyak faktor :<br />
1. Riwayat persalinan yang lampau<br />
2. besarnya presentasi dan posisi anak<br />
3. pecahnya ketuban sebelum waktunya memburuknya prognosa<br />
4. his<br />
5. lancarnya pembukaan<br />
6. infeksi intra partum<br />
7. bentuk panggul dan derajat kesempitan<br />
karena banyak faktor yang mempengaruhi hasil persalinan pada panggul dengan CV antara 8 ½ - 10cm (sering disebut panggul sempit relatip) maka pada panggul sedemikian dilakukan persalinan percobaan.<br />
? Persalinan percobaan<br />
Yang disebut persalinan percobaan adalah untuk persalinan per vaginam pada wanita wanita dengan panggul yang relatip sempit. Persalinan percobaan dilakukan hanya pada letak belakang kepala, jadi tidak dilakukan pada letak sungsang, letak dahi, letak muka atau kelainan letak lainnya.<br />
Persalinan percobaan dimulai pada permulaan persalinan dan berakhir setelah kita mendapatkan keyakinan bahwa persalinan tidak dapat berlangsung per vaginam atau setelah anak lahir per vaginam.<br />
Persalinan percobaan dikatakan berhasil kalau anak lahir pervaginam secara spontan atau dibantu dengan ekstraksi (forcepe atau vacum) dan anak serta ibu dalam keadaan baik.<br />
Kita menghentikan presalianan percobaan kalau:<br />
1. – pembukaan tidak atau kurang sekali kemajuaannya<br />
- Keadaan ibu atau anak menjadi kurang baik<br />
- Kalau ada lingkaran retraksi yang patologis<br />
2. – setelah pembukaan lengkap dan pecahnya ketuban,kepala dalam 2 jam tidak mau masuk ke dalam rongga panggul walaupun his cukup kuat<br />
- Forcepe gagal<br />
Dalam keadaan-keadaan tersebut diatas dilakukan SC. Kalau SC dilakukan atas indikasi tersebut dalam golongan 2 (dua) maka pada persalinan berikutnya tidak ada gunanya dilakukan persalinan percobaan lagi<br />
Dalam istilah inggris ada 2 macam persalinan percobaan :<br />
1. Trial of labor : serupa dengan persalinan percobaan yang diterngkan diatas<br />
2. test of labor : sebetulnya merupakan fase terakhir dari trial of labor karena test of labor mulai pada pembukaan lengkap dan berakhir 2 jam sesudahnya.<br />
Kalau dalam 2 jam setelah pembukaan lengkap kepala janin tidak turun sampai H III maka test of labor dikatakan berhasil.<br />
Sekarang test of labor jarang dilakukan lagi karena:<br />
1. Seringkali pembukaan tidak menjadi lengkap pada persalinan dengan panggul sempit<br />
2. kematian anak terlalu tinggo dengan percobaan tersebut<br />
? kesempitan bidang tengah panggul<br />
bidang tengah panggul terbentang antara pinggir bawah symphysis dan spinae ossis ischii dan memotong sacrum kira-kira pada pertemuan ruas sacral ke 4 dan ke 5<br />
Ukuran yang terpenting dari bidang ini adalah :<br />
1. Diameter transversa ( diameter antar spina ) 10 ½ cm<br />
2. diameter anteroposterior dari pinggir bawah symphyse ke pertemuan ruas sacral ke 4 dan ke 5 11 ½ cm<br />
3. diameter sagitalis posterior dari pertengahan garis antar spina ke pertemuan sacral 4 dan 5 5 cm<br />
dikatakan bahwa bidang tengah panggul itu sempit :<br />
1. Jumlah diameter transversa dan diameter sagitalis posterior 13,5 atau kurang ( normal 10,5 cm + 5 cm = 15,5 cm)<br />
2. diameter antara spina < 9 cm<br />
ukuran – ukuran bidang tengah panggul tidak dapat diperoleh secara klinis, harus diukur secara rontgenelogis, tetapi kita dapat menduga kesempitan bidang tengah panggul kalau :<br />
- Spinae ischiadicae sangat menonjol<br />
- Kalau diameter antar tuber ischii 8 ½ cm atau kurang<br />
? Prognosa<br />
Kesempitan bidang tengah panggul dapat menimbulkan gangguan putaran paksi.kalau diameter antar spinae 9 cm atau kurang kadang-kadang diperlukan SC.<br />
? Terapi<br />
Kalau persalinan terhenti karena kesempitan bidang tengah panggul maka baiknya dipergunakan ekstraktor vacum, karena ekstraksi dengan forceps memperkecil ruangan jalan lahir.<br />
? Kesempitan pintu bawah panggul:<br />
Pintu bawah panggul terdiri dari 2 segi tiga dengan jarak antar tuberum sebagai dasar bersamaan<br />
Ukuran – ukuran yang penting ialah :<br />
1. Diameter transversa (diameter antar tuberum ) 11 cm<br />
2. diameter antara posterior dari pinggir bawah symphyse ke ujung os sacrum 11 ½ cm<br />
3. diameter sagitalis posterior dari pertengahan diameter antar tuberum ke ujung os sacrum 7 ½ cm<br />
pintu bawah panggul dikatakan sempit kalau jarak antara tubera ossis ischii 8 atau kurang<br />
kalau jarak ini berkurang dengan sendirinya arcus pubis meruncing maka besarnya arcus pubis dapat dipergunakan untuk menentukan kesempitan pintu bawah panggul.<br />
Menurut thomas dustacia dapat terjadi kalau jumlah ukuran antar tuberum dan diameter sagitalis posterior < 15 cm ( normal 11 cm + 7,5 cm = 18,5 cm )<br />
Kalau pintu bawah panggul sempit biasanya bidang tengah panggul juga sempit. Kesempitan pintu bawah panggul dapat menyebabkan gangguan putaran paksi. Kesempitan pintu bawah panggul jarang memaksa kita melakukan SC bisanya dapat diselesaikan dengan forcepe dan dengan episiotomy yang cukup luas.<br />
VII. Pengkajian<br />
1. Sirkulasi<br />
Perhatikan riwayat masalah jantung, udema pulmonal, penyakit vaskuler perifer atau stasis vaskuler ( peningkatan resiko pembentukan thrombus )<br />
2. integritas ego<br />
perasaan cemas, takut, marah, apatis, serta adanya factor-faktor stress multiple seperti financial, hubungan, gaya hidup. Dengan tanda-tanda tidak dapat beristirahat, peningkatan ketegangan, stimulasi simpatis<br />
3. Makanan / cairan<br />
Malnutrisi, membrane mukosa yang kering pembatasan puasa pra operasi insufisiensi Pancreas/ DM, predisposisi untuk hipoglikemia/ ketoasidosis<br />
4. Pernafasan<br />
Adanya infeksi, kondisi yang kronik/ batuk, merokok<br />
5. Keamanan<br />
? Adanya alergi atau sensitive terhadap obat, makanan, plester dan larutan<br />
? Adanya defisiensi imun<br />
? Munculnya kanker/ adanya terapi kanker<br />
? Riwayat keluarga, tentang hipertermia malignan/ reaksi anestesi<br />
? Riwayat penyakit hepatic<br />
? Riwayat tranfusi darah<br />
? Tanda munculnya proses infeksi<br />
VIII. Pathways <br />
<br />
IX. Proritas Keperawatan<br />
? Mengurangi ansietas dan trauma emosional<br />
? Menyediakan keamanan fisik<br />
? Mencegah komplikasi<br />
? Meredakan rasa sakit<br />
? Memberikan fasilitas untuk proses kesembuhan<br />
? Menyediakan informasi mengenai proses penyakit<br />
X. Diagnosa Keperawatan<br />
? Ansietas b.d pengalaman pembedahan dan hasil tidak dapat diperkirakan<br />
? Resti infeksi b.d destruksi pertahanan terhadap bakteri<br />
? Nyeri akut b.d insisi, flatus dan mobilitas<br />
? Resti perubahan nutrisi b.d peningkatan kebutuhan untuk penyembuhan luka, penurunan masukan ( sekunder akibat nyeri, mual, muntah )<br />
XI. Intervensi<br />
DP Tujuan Intervensi Rasional<br />
Ansietas b.d pengalaman pembedahan dan hasil tidak dapat diperkirakan<br />
Resti infeksi b.d destruksi pertahanan terhadap bakteri<br />
Nyeri akut b.d insisi, flatus dan mobilitas<br />
Resti perubahan nutrisi b.d peningkatan kebutuhan tubuh untuk penyembuhan luka,penurunan masukan (sekunder akibat nyeri, mual, muntah Ansietas berkurang setelah diberikan perawatan dengan kriteria hasil :<br />
- Tidak menunjukkan traumatik pada saat membicarakan pembedahan<br />
- Tidak tampak gelisah<br />
- Tidak merasa takut untuk dilakukan pembedahan yang sama<br />
- Pasien merasa tenang<br />
Infeksi tidak terjadi setelah perawatan selama 24 jam pertama dengan kriteria hasil :<br />
- Menunjukkan kondisi luka yang jauh dari kategori infeksi<br />
- Albumin dalam keadaan normal<br />
- Suhu tubuh pasien dalam keadaan normal, tidak demam<br />
<br />
Nyeri dapat berkurang setelah perawatan 1x 24 jam dengan kriteria :<br />
- Pasien tidak mengeluh nyeri / mengatakan bahwa nyeri sudah berkurang<br />
Mendemontrasikan berat badan stabil atau penambahan berat badan progresif kearah tujuan dengan normalisasi nilai laboratorium dan bebas dari tanda malnutrisi<br />
- Lakukan pendekatan diri pada pasien supaya pasien merasa nyaman<br />
- Yakinkan bahwa pembedahan merupakan jalan terbaik yang harus ditempuh untuk menyelamatkan bayi dan ibu<br />
- Berikan nutrisi yang adekuat<br />
- Berikan penkes untuk menjaga daya tahan tubuh, kebersihan luka, serta tanda-tanda infeksi dini pada luka<br />
- lakukan pengkajian nyeri<br />
- lakukan managemen nyeri<br />
- monitoring keadaan insisi luka post operasi<br />
- ajarkan mobilitas yang memungkinkan tiap jam sekali<br />
- kaji status nutrisi secara continue selama perawatan tiap hari, perhatikan tingkat energi, kondisi, kulit, kuku, rambut, rongga mulut<br />
- tekankan pentingnya trasnsisi pada pemberian makan per oral dengan tepat<br />
- beri waktu mengunyah, menelan, beri sosialisasi dan bantuan makan sesuai dengan indikasi<br />
- Rasa nyaman akan menumbuhkan rasa tenang, tidak cemas serta kepercayaan pada perawat.<br />
- Nutrisi yang adekuat akan menghasilkan daua tubuh yang optimal<br />
- Dengan adanya partisipasi dari pasien, maka kesembuhan luka dapat lebih mudah terwujud<br />
- Setiap skala nyeri memiliki managemen yang berbeda<br />
- Antisipasi nyeri akibat luka post operasi<br />
- Antisipasi nyeri akibat luka post operasi<br />
- Mobilitas dapat merangsang peristaltik usus sehingga mempercepat flatus<br />
- Memberi kesempatan untuk mengobservasi penyimpangan dari norma/ dasar pasien dan mempengaruhi pilihan intervensi<br />
- Trasnsisi pemberian makan oral lebih disukai<br />
- Pasien perlu bantuan untuk menghadapi masalah anoreksia, kelelahan, kelemahan otot<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Carpenito L. J, 2001, Diagnosa keperawatan, Jakarta : EGC<br />
Doengoes, M E, 2000, Rencana Askep pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, Jakarta : EGC<br />
Mochtar, Rustam, 1998, Sinopsis Obstetri, Jakarta : EGC<br />
Winkjosastro, Hanifa, 2005, Ilmu Kebidanan, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjocrazy boy'shttp://www.blogger.com/profile/10427640188054710037noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2500718933329494943.post-37591540828302190762010-08-23T00:29:00.001+07:002010-08-23T00:29:02.456+07:00Askep SCI. Pengertian<br />
Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus atau vagina atau suatu histerotomi untuk melahirkan janin dari dalam rahim.<br />
II. Jenis – jenis operasi sectio caesarea<br />
1. Abdomen (sectio caesarea abdominalis)<br />
a. Sectio caesarea transperitonealis<br />
? SC klasik atau corporal (dengan insisi memanjang pada corpus uteri)<br />
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira 10 cm.<br />
Kelebihan :<br />
? Mengeluarkan janin dengan cepat<br />
? Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik<br />
? Sayatan bias diperpanjang proksimal atau distal<br />
Kekurangan<br />
? Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada reperitonealis yang baik<br />
? Untuk persalinan yang berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri spontan<br />
? SC ismika atau profundal (low servical dengan insisi pada segmen bawah rahim)<br />
Dilakukan dengan melakukan sayatan melintang konkat pada segmen bawah rahim (low servical transversal) kira-kira 10 cm<br />
Kelebihan :<br />
? Penjahitan luka lebih mudah<br />
? Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik<br />
? Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum<br />
? Perdarahan tidak begitu banyak<br />
? Kemungkinan rupture uteri spontan berkurang atau lebih kecil<br />
Kekurangan :<br />
? Luka dapat melebar kekiri, kanan, dan bawah sehingga dapat menyebabkan uteri uterine pecah sehingga mengakibatkan perdarahan banyak<br />
? Keluhan pada kandung kemih post operasi tinggi<br />
b. SC ektra peritonealis yaitu tanpa membuka peritoneum parietalis dengan demikian tidak membuka cavum abdominal<br />
2. Vagina (section caesarea vaginalis)<br />
Menurut sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan sebagai berikut :<br />
1. Sayatan memanjang ( longitudinal )<br />
2. Sayatan melintang ( Transversal )<br />
3. Sayatan huruf T ( T insicion )<br />
III. Indikasi<br />
Operasi sectio caesarea dilakukan jika kelahiran pervaginal mungkin akan menyebabkan resiko pada ibu ataupun pada janin, dengan pertimbangan hal-hal yang perlu tindakan SC proses persalinan normal lama/ kegagalan proses persalinan normal ( Dystasia )<br />
? Fetal distress<br />
? His lemah / melemah<br />
? Janin dalam posisi sungsang atau melintang<br />
? Bayi besar ( BBL ? 4,2 kg )<br />
? Plasenta previa<br />
? Kalainan letak<br />
? Disproporsi cevalo-pelvik ( ketidakseimbangan antar ukuran kepala dan panggul )<br />
? Rupture uteri mengancam<br />
? Hydrocephalus<br />
? Primi muda atau tua<br />
? Partus dengan komplikasi<br />
? Panggul sempit<br />
? Problema plasenta<br />
<br />
IV. Komplikasi<br />
Kemungkinan yang timbul setelah dilakukan operasi ini antara lain :<br />
1. Infeksi puerperal ( Nifas )<br />
- Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari<br />
- Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan perut sedikit kembung<br />
- Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik<br />
2. Perdarahan<br />
- Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka<br />
- Perdarahan pada plasenta bed<br />
3. Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila peritonealisasi terlalu tinggi<br />
4. Kemungkinan rupture tinggi spontan pada kehamilan berikutnya.crazy boy'shttp://www.blogger.com/profile/10427640188054710037noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2500718933329494943.post-87006021862452743112010-08-23T00:27:00.002+07:002010-08-23T00:27:44.878+07:00EmpimeaKonsep Dasar Empiema<br />
A, Pengertian <br />
Empiema adalah pengumpulan cairan purulen(pus) dalam kavitas pleural. Pada awalnya cairan pleura sedikit, dengan hitung leukosit rendah, tetepi seringkali cairan ini berkembang ke tahap fibro purulen dan akhirnya ke tahap dimana cairan tersebut membungkus paru dan membrane eksudatif yang tebal. Kondisi ini dapat terjadi jika abses paru meluas sampai kavitas pleural. Meskipun empiema bukan merupakan komplikasi lazim infeksi paru, empiema dapat saja terjadi jika pengobatan terlambat.<br />
B. Patogenesis<br />
Hampir selalu penyebab empiema adalah infeksi paru, kecuali adalah empiema paska trauma atau selulitis di dekat pleura.<br />
Oleh karena infeksi Pneumonia terjadi sumbatan bronkioli atau alveoli, keadaan ii menyebabkan akan mengganggu pengembangan paru atau faal pernafasan, dengn empiema akan bertambah lagi gangguan pernafasan karena pendorongan paru atau mediastinum. Infeksi oleh sebab apapun akan mengganggu penyerapan cairan pleura, dan cairan ini menjadi lebih baik lagi untuk pertumbuhan kuman.<br />
Perkembangan keadaan Empiema dibagi dalam 4 fase :<br />
1. Fase Eksudat.Pada keadaan ini cairan di pleura biasanya jernih, meskipun viskositas cairan lebih tinggi daripada cairan transudat.Biasanya fase ini akan berlangsung denga cepat, dalam beberapa jam sampai beberapa hari saja.<br />
2. Fase Fibro Purulen. Setelah dilewati fase eksudat akan masuk ke fase fibro purulen. Pada keadaan ini pus yang didapat adalah kental dan di dalamnya terdapat fibrin-fibrin yang menyulitkan untuk mengeluarkan pus dengan pungsi atau dengan WSD. Adanya fibri dapat juga menyebabkanlokulasi empiema. Biasanya Fase ini juga berjalan hanya beberapa hari saja.<br />
3. Fase Organisasi. Setelah dilewati fase fibrino purulen, masuk pada fase organisasi. Pada fase ini tidak berarti empiema sudah baik karena orgnisasipus menyebabkan pus akan bersepta-septa atau lokulasi. Keadaan ini akan menyebabkan penyembuhan lebih sulit. Dengan adanya organisasi juga menyebabkan penebalan pleura visceralis yang akan menyebabkan hambatan pengembangan paru.<br />
C. Patofisiologi<br />
Oleh karena infeksi paru terjadi penyempitan atau tertutupnya bronkioli dan alveoli.keadaan ini akan menyebabkan gangguan pengembangan paru dan respirasi.pada empiema akut sekat mediastinum masih dapat bergerak ke kiri dankekanan.Bila ada tekanan positif dari salah satu rongga dada akan meyebabkan sekat mediastinum ini bergeser kesisi yang sehat.Bila oleh karena empiema atau oleh udara baik oleh fistel atau oleh istrogenik akan menyebabkan gangguan kebih besar lagi.Radang dipleura akan durasakan penderita sebagai rasa sakit.Bila keadaan berlanjut terjadi fibrosis di jaringan paru bawah pleura akan menyebabkan gangguan faal respirasi.<br />
D.Manifestasi klinis <br />
Pasien mengalami demam,berkeringat malam,nyeri pleural,dipsnea,anoreksia,dan penurunan berat badan.Auskultasi dada memperlihatkan tidak terdengarnya bunyi napas dan terdapat bunyi datar pada saat perkusi dada, juga penurunan fremitus(vibrasi local terdeteksi saat palpasi).Jika pasien telah mendapat terapi anti mikroba,manifestasi klinis dapat berubah.Diadnosis ditegakkan dengan hasil rontgen dada dan torasentesis.<br />
E.Pemeriksaan Diagnostik<br />
1.Rontgen dada <br />
2.Torasentesis<br />
3.Sinar x.Mengidentifikasi distribusi stuktural,menyatakan abses luas/infiltrate,empiema(strafilokokus).infiltrat menyebar atau terlokalisasi(bacterial).<br />
4.GDA /nadi oksimetri.Tidak normal mungkin terjadi,tergantung pada luas paru yang terlibat dan penyakit paru yang ada<br />
5.Tes fungsi paru.Dilakukan untuk menentukan penyebab dipsnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi,untuk memperkirakan derajat disfungsi.<br />
6.Pemeriksaan Gram/kultur sputum dan darah<br />
Dapat diambil dengan biopsy jarum,aspirasi transtrakeal,bronkoskopi fiberoptik atau biopsy pembukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab.Lebih dari satu tipe organisme ada: bakteri yang umum meliputi diplokokus pneumonia,strafilokokus aureus,A-hemolitik streptokokus,haemophilus influenza:CMV.Catatan: kultur sputum dapat tak mengidentifikasi semua organisme yang ada,kultur darah dapat menunjukkan bakterimia sementara.<br />
7.EKG latihan,tes stress<br />
Membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru perencanaan/evaluasi program latihan.<br />
F. Penatalaksanaan Medis.<br />
Tujuan pengobatan ini adalah untuk mengalirka cairan dalam kavitas pleura dan untuk mencapai ekspansi paru sempurna. Cairan dilirkan dan diresepkan antibiotic yang sesuai dengan organisme penyebab. Antibiotik dalam dosis yang besar biasanya diberikn streptokinase dapat juga dimasukkn kedalam ruang untuk mencegah akumulasi cairan lebih lanjut.<br />
Ada 3 dasar atau prinsip pengobatan paru :<br />
1. Pengeluaran pus seluruhnya, sehingga<br />
2. Paru dapat mengembang sampai pleura parietalis menempel dengan pleura visceralis atau dengan kata lain oblitrasi ronnga empiema<br />
3. Memberantas infeksi dengan antibiotic.<br />
Drainase cairan pleura tergantung pada tahap penyakit dan dilkukan dengan :<br />
• Aspirasi jarum atau torasintesis dengan kateter perkutan yang kecil, jika caitn tidak terlalu banyak.<br />
• Drainase dada tertutup menggunakan selang interkostal dengan diameter besar yang disambungkan ke drainase water-seal.<br />
• Drainase terbuka dengan cara reseksi iga untuk mengangkat pleura yang mengalami penebalan, pus dan debris serta untuk mengangkat jaringan paru yang sakit di bawahnya.<br />
Jika inflamasi telah berlangsung lama, eksudat dapat terjadi diatas paru dan menggangu ekspansi normal paru. Dalam keadaan ini diperlukan pembuangan eksudat melalui tindakan bedah (dekortikasi)<br />
<br />
<br />
BAB II<br />
Asuhan Keperawatan pada Pasien <br />
Dengan Empiema<br />
A. Pengkajian<br />
1.Dasar Data Pengkajian Pasien<br />
1. Aktivitas / istirahat<br />
Gejala : Keletihan, kelelahan, dispnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan<br />
Tanda : Keletihan, gelisah, kelemhan umum/ kehilangan massa otot, takikardia, dispnea, nyeri.<br />
2. Integritas Ego<br />
Gejala : Peningkatan Faktor resiko, perubahan pola hidup, ketakutan<br />
Tanda : ansietas, peka rangsan, gelisah, wajah tegang, peningkatan keringat<br />
3. Makanan / cairan<br />
Gejala : mual, muntah, ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan, kehilangan nafsu makan<br />
Tanda : Turgor kulit buruk,kering, kehilangan tonus, berkeringat<br />
4. Hiegien<br />
Gejala : Penurunan kemampuan atau peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari-hari<br />
Tanda : kebersihan buruk, bau badan.<br />
5. Pernapasan<br />
Gejala : Nafas pendek, batuk menetap dengan produksi sputum stiap hari, dispnea<br />
Tanda : Takipnea, dispnea, batuk, pengembangan pernafasan tak simetri, perkusi pekak,penurunan fremits, bunyi nafas menurun/ tak ada secara bilateral atau uni lateral<br />
6. Keamanan<br />
Gejala : Riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap zat atau factor-faktor lingkungan adanya/ berulangnya infeksi.<br />
7. Interaksi Sosial<br />
Gejala : Hubungan ketergantungan, kegagalan dukungan dari/terhadap pasangan/ orang terdekat, penyakit lama atau ketidakmampuan membaik.<br />
Tanda : ketidakmampuan untuk membuat/ memoertahankan suara karena distress pernafasan, kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain.<br />
8. Penyuluhan/ pembelajaran<br />
Gejala : Penggunaan/penyalahgunaan obat pernapasan, kegagalan untuk membaik<br />
Pertimbangan Rencana Pemulangan : Perubahan pengobatn/program terapeutik, bantuan perawatan diri, pengaturan rumah/memelihara.<br />
2. Pemeriksaan Fisik<br />
• Dispnea berat, napas pendek<br />
• Diaforesis<br />
• Ketidaknormalan irama,frekuensi dan kedalaman napas<br />
• Warna kulit tidak normal, misalnya pucat dan kehitaman<br />
• Bunyi napas tak normal, misalnya mengi ronkhi<br />
• Batuk menetap dengan / tanpa produksi sputum<br />
• Nyeri dada<br />
• Kehilangan massa, tonus otot buruk<br />
• Menangis, cemas<br />
• Mual, muntah<br />
• Batuk berlebihan<br />
• Lemah, letih, lelah<br />
• Ansietas<br />
• Somnolen<br />
• Takipnea<br />
B. Diagnosa Keperawatan<br />
1. DP 1<br />
Gangguan Pertukaran gas b.d gangguan suplai oksigen, kerusakan alveoli, ketidakseimbangan perfusi-ventilasi<br />
Batasan Karakteristik<br />
Subjektif : dispnea, sakit kepala pada saat bangun, gangguan penglihtan.<br />
Objektif : gas darah arteri tidak normal, pH arteri tidak normal, ketidak normalan frekuensi, irama dan kedalaman nafas, warna kulit tidak normal, misalnya pucat dan kehitaman, konfusi, sianosis(hanya pada neonatus), CO2 menurun, diaforesis, hiperkapnia,hiperkardia, hipoksia, hipoksemia, iritabilitas, cuping hidung mengembang, gelisah, somnolen, takikardia<br />
Tujuan / Hasil<br />
Status pernapasan : pertukaran gas : CO2 atau O2 di alveolar ub\ntuk mempertahankan konsentrasi gas darah arteri dan bebas gejala distress pernafasan<br />
Status pernapasan : ventilasi : perpindahan udara masuk dan keluar dari paru-paru<br />
Kriteria Evaluasi<br />
Gangguan pertukaran gas akan terkurangi yang membuktikn dengan status pernapasan : pertukaran gs dan status pernapasan : ventilasi tidak bermasalah<br />
Status pernapsan : pertukaran gas tidak akan terganggu dibuktikan dengan indicator gangguan sbb :<br />
Status neurologist dalam rentang yang diharapkan, dispnea pada saat istirahat dan aktivitas tidak ada, gelisah,sionosi dan keletihan tidak ada,Pao2,Paco2,PH arteri,dan saturasi o2 dalam batas normal,end tidal Co2 dalam rentang yang diharapkan.<br />
Intervensi Rasional<br />
Mandiri<br />
1.Kaji frekuensi,kedalaman .pernapasan,catat penggunaan otot aksesori,napas bibir,ketidakmampuan bicara/berbincang.<br />
2.Tinggikan kepala tempat tidur,Bantu pasien untuk memilih posisi yang dalam perlahan atau napas bibir sesuai kebutuhan /toleransi individu.<br />
4. Kaji/awasi secara rutin kualitas warna membrane mukosa<br />
5. Auskultasi bunyi napas ,catat area penurunan aliran udara dan/bunyi tambahan.<br />
6. Awasi tinkat kesadaran selidiki adanya perubahan<br />
7. Awasi tanda vital<br />
Kolaborasi<br />
7.Awasi/gambarkan seri GDA dan <br />
nadi oksimetri<br />
8.Berikan oksigan tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi pasien<br />
9.Bantu intubasi,berikan/pertahankan ventilasi mekanik,atau narkotik dengan hati-hati. 1. Berguna dalam evaluasi derajat distress pernapasan dan/atau kronisnya proses penyakit.<br />
2.Pengiriman oksigen.crazy boy'shttp://www.blogger.com/profile/10427640188054710037noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2500718933329494943.post-32324314818052978922010-08-23T00:25:00.000+07:002010-08-23T00:25:30.045+07:00efusi pleuraKonsep Dasar<br />
1. Definisi <br />
Efusi pleura adalah penumpukan cairan di dalam rongga pleura yang disebabkan oleh proses eksudasi atau transudasi yang berlebihan dari permukaan pleura. (Asril Bahar ; Penyakit-penyakit Pleura, Jilid II, FKUI 1990, Hall : 705-805)<br />
Efusi pleura adalah penumpukan cairan secara abnormal dalam rongga pleura yang terletak diantara permukaan viseral dan pariental. (Buku Keperawatan Medikal Bedah ; Bronner & Suddarth, Edisi 8 Vol : 1: EGO)<br />
2. Agen Penyebab<br />
a) Neoplasma seperti : <br />
1) Neoplasma bronkhogenik <br />
2) Neoplasma metastasik <br />
b) Kardiovaskuler seperti :<br />
1) Gagal jantung kongestif <br />
2) Embolus pulmonar <br />
3) Perikarditis <br />
c) Penyakit pada abdomen <br />
1) Pankreatitis <br />
2) Asites <br />
3) Abses <br />
4) Sindrom melgs<br />
d). Infeksi yang disebabkn bakteri seperti: <br />
1) Virus <br />
2) Jamur <br />
3) Mikrobakterial <br />
4) Parasit <br />
e) Trauma<br />
f). Lain-lain seperti: <br />
1) Lupus erimatrosus sistemik <br />
2) Reumathoid athritis <br />
3) Sindrom nefrotik <br />
4) Urema. <br />
3. Patofisiologi <br />
Akibat masuknya organisme di dalam alveoli maka terjadi inflamasi pada paru-paru dan terbentuknya pus/nanah yang berakibat pada permeabilitas kapiler meningkat, kemudian terjadi tekanan di interstisinal pleura, dan cairan masu ke intestinum. Terjadi akumulasi di jaringan pleura akibat adanya efusi. <br />
4. Manifestasi Klinis <br />
Gejala yang paling sering ditemukan, tanpa menghiraukan jenis cairan yang terkumpul ataupun penyebabnya adalah sesak napas dan nyeri dada. <br />
Gejala lain yang mungkin ditemukan :<br />
a. Batuk<br />
b. Cegukan <br />
c. Pernapasan cepat <br />
d. Nyeri perut <br />
5. Komplikasi <br />
Komplikasi pada efusi pleura adalah : <br />
a. Infeksi <br />
b. Fibrosis paru <br />
6. Pemeriksaan Penunjang <br />
Ada 2 pemeriksaan yang dilakukan, yaitu : <br />
a) Pemeriksaan fisik Pada daerah efusi, fremitus tidak ada, perkusi redup, suara napas berkurang. <br />
b) Untuk membantu memperkuat diagnosis, dilakukan pemeriksaan diagnostik berikut ini:<br />
(1) Rontgen dada Rontgen dada biasanya merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk mendiagnosis efusi pleura, yang hasilnya menunjukan adanya cairan. <br />
(2) CT Scan dada CT scan dengan jelas menggambarkan paru-paru dan cairandan bisa menunjukkan adanya pneumonia, abses paru dan tumor. <br />
(3) USG dada4 USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan cairan yang jumlahnya sedikit, sehingga bisa dilakukan pengeluaran cairan. <br />
(4) Torakosentesis Penyebab dan jenis efusi pleura biasanya dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh dari torakosentesis. <br />
(5) Biopsi Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan penyebabnya, maka dilakukan biopsi, dimana contoh lapisan pleura sebelah luar diambil untuk dianalisa. <br />
(6) Analisa cairan pleura <br />
(7) Bronkoskopi Bronkoskopi kadang dilakukan untuk membantu menentukan sumber cairan yang terkumpul. <br />
7. Penatalaksanaan <br />
Jika jumlah cairan sedikit, mungkin hanya perlu dilakukan pengobatan terhadap penyebabnya.<br />
Jika jumlah cairan banyak, sehingga menyebabkan penekanan maupun sesak napas, maka perlu dilakukan tindakan drainase (pengeluaran cairan yang terkumpul). <br />
Cairan bisa dialirkan melalui prosedur torakosentesis, dimana sebuah jarum (selang) dimasukkan kedalam ronga pleura. Torakosentesis biasanya dilakukan untuk menegakkan diagnosis, tetapi pada prosedur ini uga bias dikeluarkan cairan sebanyak 1,5 liter. <br />
Jika jumlah cairan yang harus dikeluarkan lebih banyak, maka dimasukkan sebuah selang melalui dinding dada. <br />
Diberikan antibiotik pada empyema, dan apabila nanahnya sangatkental atau telah terkumpul di dalam bagian fibrosa, maka dilakukan pembedahan (operatif) untuk memotong lapisan terluar dari pleura.<br />
BAB II<br />
Askep Efusi Pleura<br />
1. Pengkajian <br />
a. Aktivitas / istirahat <br />
Gejala : <br />
Dispnea dengan aktivitas maupun istirahat.<br />
b. Sirkulasi <br />
Tanda:<br />
1) Takikardia <br />
2) Frekwensi tak teratur / disritmia <br />
3) S3 dan S4 / irama jantung gallop <br />
4) Tanda Homman (bunyi renyah sehubungan dengan denyut jantung. udara pada mediastinum. <br />
5) Tekanan darah : hipertensi / hipotensi <br />
c. Integritas ego Tanda : ketakutan / gelisah<br />
d. Makanan / cairan Tanda : adanya pemasangan I.V vena sentral / infus tekanan.<br />
e. Nyeri / kenyamanan <br />
Gejala : <br />
1) Nyeri dada unilateral, meingkat karena pernapasan, batuk. <br />
2) Timbul tiba-tiba gejala sementara batuk atau regangan (pnemotorak spontan).<br />
3) Tajam dan nyeri, menusuk yang diperberat oleh napas dalam kemungkinan menyebar ke leher, bahu, abdomen (efusi pleura).<br />
Tanda: <br />
1) Berhati-hati pada area yang sakit <br />
2) Prilaku distraksi <br />
3) Mengkerutkan wajah<br />
f. Pernapasan <br />
Gejala:<br />
1) Kesulitan bernapas, lapar napas <br />
2) Batuk<br />
3) Riwayat bedah dada / trauma : penyakit paru kronis, inflamasi / infeksi paru(empyema / efusi), keganasan (misal : obstruksi tumor) <br />
a) Pneumotorak spontan sebelumnya. <br />
Tanda : <br />
1) Pernapasan : peningkatan frekwensi / takipnea <br />
2) Peningkatan kerja napas, penurunan otot eksesori, pernapasan dada, refreksi interkostal, ekspansi abdominalis kuat. <br />
3) Bunyi napas menurun atau tidak ada. <br />
4) Fremitus menurun <br />
5) Perkusi dada ditemukan : hipersonan, bunyi pekak di antara atau di atas <br />
area yang terisi cairan.<br />
6) Observas dan palpasi dada: penurunan pengembangan torak (area yang sakit)<br />
7) Kulit : pucat, sianosis, berkeringat. <br />
8) Mental : ansietas, gelisah, bingung. <br />
b) Penggunaan ventilasi mekanik tekanan positif / terapi PEEP.<br />
g. Keamanan <br />
Gejala : adanya trauma dada, radiasi, kemotrapi untuk keganasan.<br />
h. Cari sumber infeksi saluran pernapasan atas <br />
i. Penyuluhan / pembelajaran<br />
Gejala : <br />
Riwayat faktor reiko keluarga, tuberkulosis kanker, adanya bedah intra torakal / biopsi paru, bukti kegagalan membaik <br />
2. Diagnosa Keperawatan <br />
Diagnosa adalah penilaian klinis tentang respon individu, keluarga atau komunitas terhadap masalah kesehatan / proses kehidupan yang aktual / potensial.Adapun diagnosa keperawatan pada efusi pleura adalah sebagai berikut: <br />
1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan Efusi Pleura<br />
2) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan nyeri, ansietas, posisi tubuh, kelelahan dan hiperventilasi<br />
3) Nyeri akut berhubungan dengan efusi pleura<br />
4) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh dan penurunan nafsu makan sekunder terhadap demam<br />
5) Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi, pemeriksaan diagnostik dan rencana pengobatan<br />
6) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kerusakan pertukaran gas terhadap efusi pleura, nyeri akut, imobilitas, kelemahan umum.<br />
7) Risiko trauma / penghentian napas berhubungan dengan kelelahan, penglihatn buruk gangguan keseimbangan, kurang kewaspadaaan keamanan, gangguan emosional dan riwayat trauma sebelumnya.<br />
3. Perencanaan Keperawatan<br />
Diagnosa Keperawatan 1<br />
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan Efusi Pleura<br />
Batasan Karakteristik :<br />
Subjektif<br />
Batuk produktif menetap, napas cepat, dispnea<br />
Objektif<br />
Rales<br />
AGD menunjukkan hasil tidak normal<br />
Perubahan gerakan dada<br />
Penurunan kapasitas vital<br />
Fase ekspirasi yang lama<br />
Pnenggunaan obat-obatan untuk bernapas<br />
Tujuan / Hasil Pasien (kolaboratif) :<br />
Mendemonstrasikan perbaikan ventilasi<br />
Kriteria Evaluasi : :<br />
Bunyi napas jelas, AGD dalam batas normal, frekuensi napas 12-24/menit, frekuensi nadi 60-100x/menit, tdk ada batuk, meningkatnya volume respirasi pada spirometer insentif.<br />
Intervensi Rasionalisasi<br />
Mandiri :<br />
1. Kaji Penurunan nyeri yang optimal dengan periode keletihsn atau depresi pernapasan yang optimal<br />
2. Jika tidak dapat berjalan, tetapkan suatu aturan untuk turun dari tempat tidur, duduk di kursi beberapa kali sehari<br />
3. Tingkatkan aktivitas secara bertahap, jelaskan bahwa fungsi pernapasan akan menungkat denagn aktivitas<br />
4. Bantu respon setiap 8 jam jika mungkin<br />
5. Dorong klien untuk melakukan napas dalam dan latihan batuk efektif lima kali setiap jam<br />
6. Artikulasi bidang paru selama 8 jam<br />
7. Konsul dokter jika gejala-gejala pernapasan yg ada bertambah berat.<br />
Kolaborasi :<br />
8. Berikan ekspektoran sesuai dengan anjuran dan evaluasi keefektifannya.<br />
9. Berikan oksigen tambahan sesuai dengan anjuran, sesuaikan kecepatan aliran dengan hasil AGD. Jika sudah digunakan masker oksigen namun pasien bertambah gelisah, konsul ke ahli terapi pernapasan untuk pemasangan kanula nasal.<br />
10. Konsul ke bagian terapi pernapasan dan dokter, untuk pengobatan tambahan dengan aerosol jika gagal napas terjadi diantara jadwal pengobatan. Kedalaman pernapasan dipengaruhi oleh situsi nyeri pada saat bernapas, keletihan dan depresi<br />
Meningkatkan kemampuan ekspanai paru, jiak klien dalam posisi duduk kemampuan ekspansi paru akan meningkat.<br />
Mengoptimalkan fungsi paru sesuai dengan kemampuan aktivitas individu<br />
Membantu drainase postural, mencegah depresi jaringan paru/dada untuk Pernapasan <br />
Meningkatkan ekspansi paru dan asupan oksigen ke paru dan system peredaran darah<br />
Mengevaluasi kondisi yang mungkin dapat memperburuk ventilasi dan perfusi jaringan. <br />
Hal tersebut merupakan tanda awal terjadinya komplikasi.<br />
Ekspektoran membantu mengencerkan sekresi sehingga sekret dapat dikeluarkan pada saat batuk.<br />
Pemberian oksigen tambahan dapat menurunkan kerja pernapasan dgn menyediakan lebih banyak oksigen untuk dikirim ke sel, walaupun konsentrasi oksigen yg lebih tinggi dpt dialirkan melalui masker oksigen, hal tsb seringkali mencetuskan perasaan terancam bagi pasien, khususnya pada pasien dengan distres pernapasan<br />
Ahli terapi pernapasan adalah spesialis dalam perawatan pernapasan dan biasanya dilakukan sesuai dengan hasil pemeriksaan fungsi paru dan fasilitas pengobatan yg ada <br />
Diagnosa Keperawatan 2<br />
Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan nyeri, ansietas, posisi tubuh, kelelahan dan hiperventilasi<br />
Batasan Karakteristik :<br />
Subjektif<br />
Sesak napas (Dispnea), napas pendek <br />
Objektif<br />
Perubahan gerakan dada<br />
Penurunan tekanan inspirasi / ekspirasi<br />
Penuruan ventilasi semenit<br />
Ortopnea<br />
Napas cuping hidung<br />
Penurunan kapasitas vital<br />
Fase ekspirasi yang lama <br />
Tujuan / Hasil Pasien (kolaboratif) :<br />
Menignkatkan / mempertahankan ekspansi paru untuk Oksigenasi / ventilasi adekuat.<br />
Kriteria Evaluasi : :<br />
Pola pernapasan yang efektif, ekspansi dada normal, dan tidak terjadi nyeri.<br />
Intervensi Rasionalisasi<br />
Mandiri :<br />
1. Identifikasi etiologi / faktor pencetus, contoh kolaps spontan, trauma, keganasan, infeksi, komplikasi ventilasi mekanik.<br />
2. Evaluasi fungsi pernapasan, catat kecepatan / pernapasan serak,dispnea, keluhan “ lapar udara ” terjadinya sianosis, perubahan tanda vital.<br />
3. Awasi kesesuaian pola pernapasan bila menggunakan ventilasi mekanik. Catat perubahan tekanan udara.<br />
4. Awasi pasang-surutnya air penampung. Catat apakah perubahan menetap atau sementara.<br />
5. Posisikan sistem drainase selang untuk fungsi optimal, contoh koil selang ekstra di tempat tidur, yakinkan selang tidak terlipat atau menggantung di bawah saluran masuknya ke wadah drainase. Alirkan akumulasi drainase bila perlu.<br />
6. Catat karakter / jumlah selang dada.<br />
7. Awasi/gambarkan seri GDA dan nadi oksimetri. Kaji kapasitas vital/pengukuran volume tidal.<br />
8. Ajarkan napas dalam<br />
9. Latih individu bernapas berlahan dan efektif<br />
Kolaborasi :<br />
1. Kaji seri foto torak.<br />
2. Konsultasi dengan ahli terapi pengobatan dan dokter jika terjadi gagal bernapas dalam proses pengobatan pemahaman penyebab kolaps paru perlu untuk pemasangan selang dada yang tepat dan memilih tindakan terpeutik lain.<br />
distress pernapasan dan perubahan tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologis dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syok<br />
kesulitan bernapas dengan ventilator dan / atau peningkatan tekanan jalan napas diduga memburuknya kondisi komplikasi (misalnya rupture spontan dari bleb, terjadinya pneumotorak)<br />
botol penampung bertindak sebagai manometer intra pleural ( ukuran tekanan intrapleural);sehingga fluktuasi ( pasang surut ) menunjukan perbedaan tekananantara inspirasi dan ekspirasi.<br />
posisi tak tepat ataupengumpulan bekuan / cairan pada selang mengubah tekanan negativyang diinginkan dan membuat evakuasi udara / cairan.<br />
berguna dalammengevaluasi perbaikan kondisi / terjadinya komplikasi / perdarahanyang memerlukan upaya intervensi.<br />
mengkaji status pertukaran gas dan ventilasi, perlu untuk kelanjutan atau gangguan dalam terapi.<br />
Memungkinkan pernapasan terkontrol efektif<br />
Meningkatkan pernapasan efektif<br />
mengawasi kemajuan perbaikan hemotorak / pneumotorak dan ekspansi paru. Mengidentifiasi kesalahan posisi selang endotrakeal mempengaruhi inflasi paru.<br />
Ahli terapi pernapasan adalah spesialis dalam perawatan pernapasan dan biasanya dilakukan sesuai dengan hasil pemeriksaan fungsi paru dan fasilitas pengobatan yg ada.<br />
Diagnosa Keperawatan 3<br />
Nyeri akut berhubungan dengan efusi pleura<br />
Batasan Karakteristik :<br />
Subjektif<br />
Mengeluh nyeri pada saat bernapas<br />
Objektif<br />
Gerakan menghindari nyeri<br />
Perubahan napsu makan<br />
Suhu tubuh meningkat<br />
kultur sputum positif.<br />
Tujuan / Hasil Pasien (kolaboratif) :<br />
Mendemonstrasikan bebas dari nyeri.<br />
Kriteria Evaluasi : <br />
Tidak terjadi nyeri, Napsu makan menjadi normal, ekspresi wajah rileks, dan suhu tubuh normal.<br />
Intervensi Rasionalisasi<br />
Mandiri :<br />
1. Amati perubahan suhu setiap 4 jam<br />
2. Amati kultur sputum<br />
3. Berikan tindakan untuk memberikan rasa nyaman seperti mengelap bagian punggung pasien, mengganti alat tenun yg kering setelah diaforesis, memberi minim hangat, lingkungan yg tenang dgn cahaya yg redup dan sedatif ringan jika dianjurkan berikan pelembab pada kulit dan bibir.<br />
4. Lakukan tindakan-tindakan untuk mengurangi demam seperti :<br />
- Mandi air hangat<br />
- Kompres air hangat<br />
- Selimut yg tidak terlalu tebal<br />
- Tingkatkan masukan cairan<br />
Kolaborasi :<br />
1. Konsul pada dokter jika nyeri dan demam tetap ada atau mungkin memburuk.<br />
2. Berikan antibiotik sesuai dengan anjuran dan evaluasi keefektifannya. Untuk mengidentifikasi kemajuan-kemajuan yang terjadi maupun penyimpangan yang terjadi<br />
Untuk mengidentifikasi kemajuan-kemajuan yang terjadi maupun penyimpangan yang terjadi<br />
Tindakan tersebut akan meningkatkan relaksasi. Pelembab membantu mencegah kekeringan dan pecah-pecah di mulut dan bibir.<br />
Mandi dgn air dingin dan selimut yg tdk terlalu tebal memungkinkan terjadinya pelepasan panas secara konduksi dan evaporasi (penguapan). Cairan membantu mencegah dehidrasi karena meningkatnya metabolisme.<br />
Analgesik membantu mengontrol nyeri dengan memblok jalan rangsang nyeri. Nyeri pleuritik yg berat sering kali memerlukan analgetik narkotik untuk mengontrol nyeri lebih efektif<br />
Hal tersebut merupakan tanda berkembagnya komplikasi.<br />
Diagnosa Keperawatan 4<br />
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh dan penurunan nafsu makan sekunder terhadap demam<br />
Batasan Karakteristik :<br />
Subjektif<br />
Mengeluh lemah dan lesu<br />
Objektif<br />
Mengatakan anoreksia<br />
makan kurang 40% dari yg seharusnya<br />
penurunan berat badan.<br />
.<br />
Tujuan / Hasil Pasien (kolaboratif) :<br />
Mendemonstrasikan masukan makanan yg adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.<br />
Kriteria Evaluasi : <br />
Peningkatan masukan makanan, tidak ada penurunan BB lebih lanjut, dan menyatakan perasaan nyaman.<br />
Intervensi Raionalisasi<br />
Mandiri :<br />
1. Pantau : <br />
- persentase jumlah makanan yg dikonsumsi setiap kali makan. <br />
- timbang BB setiap hari <br />
- Hasil pemeriksaan : protein total,<br />
albumin dan osmalalitas.<br />
2. Berikan perawatan mulut tiap 4 jam jika sputum tercium bau busuk. Pertahankan kesegaran ruangan.<br />
3. Dorong pasien untuk mengkonsumsi makanan TKTP.<br />
4. Berikan makanan dengan porsi sedikit tapi sering yg mudah dikunyah jika ada sesak napas berat.<br />
Kolaborasi :<br />
1. Rujuk kepada ahli diet untuk membantu memilih makanan yg dapat memenuhi kebutuhan nutrisi selama sakit Untuk mengidentifikasi kemajuan-kemajuan atau penyimpangan<br />
sasaran yg diharapkan.<br />
Bau yg tidak menyenangkan dapat mempengaruhi nafsu makan<br />
Peningkatan suhu tubuh meningkatkan metabolisme. Masukan nutrisi yg adekuat, vitamin, mineral dan kaloriuntuk aktivitas anabolik dan sintesis antibodi.<br />
Makanan porsi sedikit tapi sering memerlukan lebih sedikit energi.<br />
Ahli diet ialah spesialisasi dlm hal nutrisi yg dpt membantu pasien memilih makanan yg memenuhi kebutuhan kalori dan kebutuhan nutrisi sesuai dgn keadaan sakitnya, usia, TB & BB. Kebanyakan pasien lebih suka mengkonsumsi makanan yg merupakan pilihan sendiri.<br />
Diagnosa Keperawatan 5<br />
Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi, pemeriksaan diagnostik dan rencana pengobatan<br />
Batasan Karakteristik :<br />
Subjektif<br />
Gelisah<br />
Cemas<br />
Takut<br />
Marah<br />
Menyesal<br />
Dispnea<br />
Objektif<br />
Kontak mata yang buruk<br />
Gelisah<br />
Ketakutan<br />
Gembira berlebihan<br />
GemetarTujuan / Hasil Pasien (kolaboratif) :<br />
Memberikan informasi tentang proses penyakit, program pengobatan <br />
Kriteria Evaluasi : <br />
Peningkatan pengetahuan pasien terhadap kondisi penyakit dan pengobatan, meningkatkan rasa nyaman serta mengurangi dispnea.<br />
Intervensi Rasionalisasi<br />
Mandiri :<br />
1. Jeladkan tujuan pengobatan pada pasien<br />
2. Ajarkan tindakan yang dapat mengontrol dispnea<br />
3. Kaji patologi masalah individu.<br />
4. Kaji ulang tanda / gejala yang memerlukan evaluasi medik cepat,contoh nyeri dada tiba-tiba, dispnea, distres pernapasan lanjut.<br />
5. Kaji ulang praktik kesehatan yang baik, istirahat.<br />
Kolaborasi :<br />
1. Identifikasi kemungkinan kambuh / komplikasi jangka panjang Mengorientasi program pengobatan. Membantu menyadarkan klien untuk memperoleh kontrol<br />
Pengontrolan dispnea melalui pengontro;am seimbang, istirahat cukup dan aktivitas dapat ditoleransi<br />
Informasi menurunkan takut karena ketidaktahuan. Memberika pengetahuan dasar untuk pemahaman kondisi dinamik dan pe R <br />
berulangnya pneumotorak/hemotorak memerlukan intervensi medik untuk mencegah / menurunkan potensial komplikasi.ntingya Intervensi te <br />
mempertahanan kesehatan umum meningkatkan penyembuhan dan dapat mencegah kekambuhan.rapeutik.<br />
penyakit paru yang ada seperti PPOM berat dan keganasan dapat meningkatkan insiden kambuh. Selain itu klien sehat yang menderita pneumotorak spontan, insiden kambuh 10%-50%. Orang yang mempunyai episode spontan kedua beresiko tinggi untuk insiden ketiga.<br />
Diagnosa Keperawatan 6<br />
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kerusakan pertukaran gas terhadap efusi pleura, nyeri akut, imobilitas, kelemahan umum.<br />
Batasan Karakteristik :<br />
Subjektif<br />
Ketidaknyamanan atau dispnea yang membutuhkan pengerahan tenaga<br />
Melaporkan Keletihan atau kelemehan <br />
Objektif<br />
Denyut jantung dan tekanan darah tidak normal sebagai respon terhadap aktivitas<br />
Perubahan EKG selama aktivitas yang menunjukan aritma atau iskema<br />
Tujuan / Hasil Pasien (kolaboratif) :<br />
Dapat beraktivitas sebagaimana biasanya <br />
Kriteria Evaluasi : <br />
-Mentoleransi aktivitas yang biasa dilakukan dan ditunjukan dengan daya tahan tubuh, penghematan energi,dan perawatan diri<br />
-Mengidentifikasi tingkat aktivitas yang dapat dicapai atai dipertahankan secara realistis<br />
-Menampilkan aktivita sehari-hari dengan beberapa bantuan (misalnya eliminasi dengan bantuan ambulasi untuk ke kamar mandi<br />
-Mengurangidispnea.<br />
Intervensi Rasionalisasi<br />
Mandiri :<br />
1. Jelaskan aktivitas dan faktor yang dapat meningkatkan kebutuhan oksigen<br />
2. Anjurkan program hemat energi<br />
3. Buat jadwal aktifitas harian, tingkatkan secara bertahap<br />
4. Ajarkan teknik napas efektif<br />
5. Pertahankan terapi oksigen tambahan<br />
6. Kaji respon abdomen setelah beraktivitas<br />
7. Beri waktu istirahat yang cukup Merokok, suhu ekstrim dan stre menyebabkan vasokonstruksi pembuluh garah dan peningkatan beban jantung<br />
Mencegah penggunaan energi berlebihsn<br />
Mempertahankan pernapasan lambat dengan tetap mempertahankan latihan fiisk yang memungkinkan peningkatan kemampuan otot bantu pernapasan<br />
Meningkatkan oksigenasi tanpa mengorbankan banyak energi<br />
Mempertahankan, memperbaikidan meningkatkan konsentrasi oksigen darah <br />
Respon abdomen melipuit nadi, tekanan darah, dan pernapasan yang meningkat<br />
Meningkatkan daya tahan pasien, mencegah keletihan.<br />
Diagnosa Keperawatan 7<br />
Risiko trauma / penghentian napas berhubungan dengan kelelahan, penglihatn buruk gangguan keseimbangan, kurang kewaspadaaan keamanan, gangguan emosional dan riwayat trauma sebelumnya.<br />
Batasan Karakteristik :<br />
Subjektif<br />
Cemas, takut (mengatakan dampak trauma akibat penyakit tersebut atau cidera)<br />
Nyeri pada daerah yang dipasang kateter<br />
Objektif<br />
Gelisah, tidak nyaman, ansietas,<br />
Tujuan / Hasil Pasien (kolaboratif) :<br />
Tidak terjadi trauma<br />
Kriteria Evaluasi : <br />
Tidak terjadi dampak atau akibat lebih lanjut akibat penyakit dan cidera yang dialami; adanya pengendalian resiko.<br />
Intervensi Rasionalisasi<br />
Mandiri :<br />
1. Kaji dengan klien tujuan / fungsi unit drainase dada, catat gambaran keamanan.<br />
2. Pasangkan kateter torak ke dinding dada dan berikan panjang selang ekstra sebelum memindahkan atau mengubah posisi klien.(kolaborasi)<br />
3. Amankan sisi sambungan selang.<br />
4. Beri bantalan pada sisi dengan kasa / plester.<br />
5. Amankan unit drainase pada tempat tidur klien atau pada sangkutan / tempat tertentu pada area dengan lalu lintas rendah.<br />
6. Berikan transportasi aman bila klien dikirim keluar unit untuk tujuan diagnostik.<br />
7. Awasi sisi lubang pemasangan selang, catat kondisi kulit, adanya / karakteristik drainase dari sekitar kateter. Ganti / pasang ulang kasa penutup steril sesuai kebutuhan.<br />
8. Anjurkan klien untuk menghindari berbaring / menarik selang.<br />
Kolaborasi :<br />
9. Rujuk dengan dokter apabila terlihat gejala-gejala penting Memberikan informasi tentang bagaimana sistem bekerja memberikan keyakinan, menurunkan ansietas klien.<br />
mencegah terlepasnya kateter dada atau selang terlipat dan menurunkan nyeri / ketidaknyamanan sehubungan dengan penarikan atau menggerakkan selang.<br />
mencegah terlepasnya selang.<br />
Melindungi kulit dari iritasi / tekanan.<br />
Mempertahankan posisi duduk tinggi dan menurunkan resiko kecelakaan jatuh / unit pecah.<br />
Meningkatkan kontinuitas evakuasi optimalcairan / udara selama pemindahahan.<br />
memberikan pengenalan dini dan mengobati adanya erosi / infeksi kulit.<br />
Menurunkan resiko obstruksi drainase / terlepas selang.<br />
Menghindari terjadinya truma dan komplikasi.<br />
BAB III<br />
Kesimpulan<br />
- Efusi pleura adalah penumpukan cairan di dalam rongga pleura yang disebabkan oleh proses eksudasi atau transudasi yang berlebihan dari permukaan pleura. (Asril Bahar ; Penyakit-penyakit Pleura, Jilid II, FKUI 1990, Hall : 705-805)<br />
- Efusi pleura adalah penumpukan cairan secara abnormal dalam rongga pleura yang terletak diantara permukaan viseral dan pariental. (Buku Keperawatan Medikal Bedah ; Bronner & Suddarth, Edisi 8 Vol : 1: EGO)<br />
- Dimana konsep dasar terdiri dari : Definisi, Agen Penyebab, Patofisiologis, Manifestasi Klinis, Komplikasi, Pemeriksaan Penunjang, dan Penatalaksanaan<br />
- Dan Asuhan Keperawatan secara teoritis terdiri dari Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, Perencanaan Keperawatan<br />
BAB IV<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
- Boughman, Diane C, (Alih Bahasa oleh Yasmin Asih) . 2000. Keperawatan Medikal-Bedah ; Buku Saku untuk brunner dan Suddarth. Jakarta : EGC Penerbit buku Kedokteran.<br />
- Doengoes, Marilynn E .1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC Penerbit Buku Kedokteran.<br />
- Tlerney Lawrence M.dkk. 2002. Diagnosa Dan Terapi Kedokteran. Jakarta “Salemba Medika <br />
- Nursalam . 2001 . Proses dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika Pearce, Evelyn C (2002). Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta : Gramedia.<br />
- Tamsuri, Anas.2004. Klien Gangguan Pernapasan. Jakarta : EGC Penerbit buku Kedokteran.<br />
- Wilkinson, Judith M. 2002. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC Penerbit buku Kedokteran.crazy boy'shttp://www.blogger.com/profile/10427640188054710037noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2500718933329494943.post-56043509815567914922010-08-23T00:20:00.001+07:002010-08-23T00:20:07.316+07:00Cor PulmonaleKONSEP DASAR<br />
1. DEFINISI<br />
Cor Pulmonal (CP) adalah suatu keadaan di mana terdapat hipertrofi dan atau dilatasi dari ventrikel kanan sebagai akibat dari hipertensi (arteri) pulmonal yang disebabkan oleh penyakit intrinsik dari parenkim paru, dinding thoraks maupun vaskuler paru. Karena itu untuk mendiagnosa CP maka harus disingkirkan adanya stenosis Mitral, Kelainan Jantung Bawaan atau Gagal Jantung Kiri yang juga menyebabkan dilatasi dan hipertrofi ventrikel kanan. CP dapat bersifat akut akibat adanya emboli paru yang pasif, dapat juga bersifat kronis. (Yogiarto,M dan Baktiyasa,B : 2003).<br />
Ini adalah penyakit jantung karena peningkatan tekanan darah dalam pembuluh- pembuluh nadi paru. Penyakit jantung pulmonal terkadang timbul sekunder dengan penyakit paru- paru seperti emfisema, silicosis atau fibrosis pulmonal, yaitu darah dialirkan lewat paru- paru dengan sulit. (F. Knight, John : 1995)<br />
2. ANATOMI DAN FISIOLOGI<br />
3. ETIOLOGI<br />
Etiologi dari CP secara garis besar dapat dibagi menjadi sebagai berikut :<br />
A. Penyakit Parenkim Paru, Penyakit Paru Obstruktif Menahun (merupakan penyebab tersering CP kronis), Bronki Ektasis, Sistik Fibrosis, penyakit Paru Restriktif, Pneumokoniosis, Sarcoidosis.<br />
B. Kelainan Dinding Thoraks dan otot pernapasan, Kiposkoliosis, Amiotrofik Lateral Sclerosis, Miastenia Gravis.<br />
C. Sindroma Pickwikian dan Sleep Opnea.<br />
D. Penyakit Vaskuler Paru, Emboli paru berulang atau emboli paru pasif, emboli paru yang masih pasif merupakan penyebab tersering dari CP akut sedangkat emboli paru berulang dapat menyebabkan CP Kronis, Hipertensi Pulmonal primer, Anemia sel sabit, Schistosomiosis, Skleroderma.<br />
4. MANIFESTASI UMUM<br />
Istilah ”cor pulmonale” menggambarkan hipertrofi ventrikel kanan yang akhirnya menyebabkan gagal jantung karena penyakit paru dan hipoksia yang menyertai. Gambaran klinisnya tergantung pada penyakit primernya juga pengaruhnya terhadap jantung.<br />
Cor pulmanale terutama disebabkan oleh penyakit paru obstruksi kronis. Penyebab lainnya yang jarang adalah pneumokoniosis, fibrosis paru, kifoskoliosis, hipertensi pulmonal primer, emboli paru berulang baik subklinis maupun klinis, sindrom Pickwickian, schitosomiasis, dan infiltrasi kapiler paru obliteratif atau infiltrasi limfatik dari metastase karsinoma.<br />
Gejala- gejala pokok penyakit paru- paru muncul, termasuk batuk- batuk dengan dahak, sesak nafas, bengek, pembesaran jantung, dan gagal jantung.<br />
5. MANIFESTASI KLINIS<br />
Informasi yang didapat bisa berbeda-beda antarasatu penderita yang satu dengan yang lain tergantung pada penyakit dasar yang menyebabkan CP.<br />
CP akibat Emboli Paru : sesak tiba-tiba pada saat istirahat, kadang-kadang didapatkan batuk-batuk, dan hemoptisis.<br />
CP dengan PPOM : sesak napas disertai batuk yang produktif (banyak sputum).<br />
CP dengan Hipertensi Pulmonal primer : sesak napas dan sering pingsan jika beraktifitas (exertional syncope).<br />
CP dengan kelainan jantung kiri : sesak napas, ortopnea, paroxymal nocturnal dyspnea.<br />
CP dengan kelainan jantung kanan : bengkak pada perut dan kaki serta cepat lelah.<br />
Gejala predominan cor pulmonale yang terkompensasi berkaitan dengan penyakit parunya, yaitu batuk produktif kronik, dispnea karena olahraga, wheezing respirasi, kelelahan dan kelemahan. Jika penyakit paru sudah menimbulkan gagal jantung kanan, gejala - gejala ini lebih berat. Edema dependen dan nyeri kuadran kanan atas dapat juga muncul.<br />
Tanda- tanda cor pulmonale misalnya sianosis, clubbing, vena leher distensi, ventrikel kanan menonjol atau gallop ( atau keduanya), pulsasi sternum bawah atau epigastrium prominen, hati membesar dan nyeri tekan, dan edema dependen. <br />
Gejala- gejala tambahan ialah:<br />
Sianosis<br />
Kurang tanggap/ bingung<br />
Mata menonjol<br />
Berdasarkan stadium :<br />
1. Stadium kompensata diagnosa agar sukar:<br />
Batuk- batuk berdahak,<br />
Sesak nafas waktu kerja,<br />
Bunyi P2 mengeras (tanda tekanan sirkulasi kecil meninggi),<br />
Pulsasi- pulsasi dio epigastrium (tanda hipertrofi ventrikel kanan)<br />
2. Stadium dekompensata:<br />
TVJ meninggi,<br />
Desah sistole SI5 kanan (insufisiensi tricuspidal relatif)<br />
Hepar membesar<br />
Edema<br />
Asites<br />
6. PATOFISIOLOGI<br />
Cor Pulmonal Acut<br />
Pada emboli paru yang pasif terjadi obstruksi akut yang luas pada pembuluh darah paru. Akibatnya adalah :<br />
o Tahanan Vaskuler paru meningkat<br />
o Hipoksia akibat pertukaran gas di tengah kapiler – alveolar yang terganggu hipoksia tersebut akan menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah arteri paru.<br />
Tahanan vaskuler paru yang meningkat dan vasokontriksi menyebabkan tekanan pembukuh darah arteri paru meningkat (hipertensi pulmonal).<br />
Hipertensi pulmonal yang terjadi secara akut tidak memberikan waktu yang cukup bagi ventrikel kanan untuk berkompensasi, sehingga terjadilah kegagalan jantung kanan akut. Gagal jantung kanan mulai terjadi jika tekanan arteri pulmonalis meningkat tiba-tiba melebihi 40-45 mmHg. Gagal jantung kanan akut ditandai dengan sesak napas kebal yang terjadi secara tiba-tiba, curah jantung menurun (low output state) sampai syok, JVP meningkat, liver yang membengkak dan nyeri, dan bising insufisiensi trikuspidalis. <br />
Cor Pulmonal Kronis<br />
Seperti yang telah disebutkan, PPOM adalah penyebab tersering CP kronis (lebih dari 50% kasus). Pada penyakit paru kronis maka akan terjadi penurunan vaskuler bed paru, hipoksia, dan hiperkapnia/asidosis respiratorik. Hipoksia dapat mengakibatkan penyempitan pembuluh darah arteri paru, demikian asidosis respiratorik. Di samping itu hipoksia akan menimbulkan polisitemia sehingga viskositas darah akan meningkat. Viskositas darah yang meningkat ini pada akhirnya juga akan meningkatkan tekanan pembuluh darah arteri paru akan meningkat. Jadi adanya penurunan vaskuler bed, hiposia, dan hiperkapnia akan meningkatkan tekanan darah (arteri pulmonal), hal ini disebut hipertensi pulmonal. Adanya hipertensi pulmonal menyebabkan beban tekanan pada ventrikel kanan, sehingga ventrikel kanan melakukan mekanisme kompensasi berupa hipertrofi dan dilatasi. Jiks mekanisme kompensasi ini gagal maka terjadilah gagal jantung kanan. <br />
7. KOMPLIKASI<br />
a. Emfisema<br />
b. Gagal jantung kanan<br />
c. Gagal jantung kiri<br />
d. Hipertensi pulmonal primer<br />
8. PEMERIKSAAN PENUNJANG<br />
PEMERIKSAAN EKG<br />
Biasanya menunjukkan hipertrofi ventrikel kanan dan abnormalitas atrium kanan. Sering pula didapatkan aritmia ventrikuler dan atau supra ventrikuler. Poor progression of R pada sandapan prekordial merupakan tanda yang seringkali disalahartikan sebagai infark miokard lama.<br />
EKG menunjukkan deviasi aksis ke kanan dan gelombang P lancip. Gelombang S dalam tampak pada lead V6. deviasi aksis kekanan dan voltase rendah dapat tampak pada pasien dengan emfisema paru. Hipertrofi ventrikel kanan jarang kecuali pada ” hipertensi pulmonal primer”. EKG sering menunjukkan infark miokard. Gelombang Q dapat muncul pada lead II, III, dan aVF karena posisi ventrikel jantung., tetapi gelombang Q ini jarang dalam atau dangkal, seperti pada infark miokard. Aritmia supraventrikuler sering muncul tetapi non spesifik. <br />
Adanya hipertfofi atrium, ventrikel kanan atau kedua- duanya.<br />
PEMERIKSAAN FOTO THORAKS<br />
Tanda yang serimg didapatkan adalah :<br />
1. kelainan pada parenkim paru, pleura maupun dinding thorak tergantung penyakit dasarnya.<br />
2. Pelebaran trunkus pulmonalis pada daerah hilus disertai penurunan gambaran vaskuler paru drastis di daerah perifer, sehingga menimbulkan gambaran pohon gundul (pruned tree).<br />
3. Pembesaran ventrikel kanan.<br />
4. Pelebaran Vena Cava Superior.<br />
5. Jika ada emphysema maka diafragma agak rendah, conus pulmonalis melebar<br />
PEMERIKSAAN LABORATORIUM<br />
Pada penderita CP pemeriksaan fungsi paru menunjukkan kelainan restriktif atau obstruksi berat (atau gabungan keduanya). Pemeriksaan AGD dapat menunjukkan adanya hipoksia dan atau hiperkapnia/asidosis respiratorik. Pada beberapa penderita CP AGDnya normal pada saat istirahat, tetapi pada saat istirahat, tetapi pada saat beraktifitas pemeriksaan AGDnya menunjukkan adanya hipoksiaberat disertai hiperkapnia, hal ini membuktikan bahwa etiologi sesak napasnya adalah kelainan paru. Pada penderita CP dengan hipoksia yang bermakna (saturasi oksigen arterial 90%) seringkali menderita polisitemia.<br />
Polisitemia (hemoglobin dan eritrosit meninggi) akibat PPOM (Penyakit Paru Obstruksi Menahun). Saturasi oksigen kurang dari 85%; PCO2 dapat meningkat atau normal.<br />
Faal paru menurun, yaitu:<br />
F.V.C. berkurang (N = 5,80 L)<br />
F. E. V1 berkurang (N = 4,32 L)<br />
Analisa gas darah:<br />
PO2 kurang dari 6o mmHg<br />
PCO2 lebih besar dari 49 mmHg<br />
pH darah rendah<br />
Waktu sirkulasi stadium dekompensata akan memanjang<br />
PEMERIKSAAN EKOKARDIOGRAFI<br />
Pemeriksaan ini sangat menunjang diagnosis CP. Tetapi pada penderita CP dengan PPOM sebagai penyakit dasarnya, seringkali sulit untuk mendapatkan gambar ekokardiografi tampak adanya pembesaran (dilatasi) ventrikel kanan, tanpa adanya kelainan struktur pada jantung kiri. Pada pemeriksaan M mode, katup pulmonal menunjukkan tanda hipertensi pulmonal. Pemeriksaan ekokardiografi dengan Doopler dan atau dengan Color Mapping dapat ditunjukkan adanya regurgitasi trikuspidalis dan katup pulmonal.<br />
RONTGEN DADA<br />
Radiografi dada menyingkirkan ada tidaknya penyakit parenkim paru dan ventrikel kanan dan arteri pulmonalis yang menonjol atau membesar.<br />
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK<br />
Tes fungsi paru biasanya dapat mengkonfirmasi penyakit paru yang mendasari. Ekokardiogram diharapkan menunjukkan ukuran dan fungsi ventrikel kiri normal tetapi ventrikel kanan dilatasi. Scan paru perfusi jarang memberikan manfaat, jika negatif dapat untuk menyingkirkan emboli paru, suatu penyebab cor pulmonale yang cukup sering. Angiografi pulmoner merupakan metode diagnosis yang paling spesifik untuk adanya emboli paru, tetapiu cara ini meningkatkan risiko jika dilakukan pada pasien dengan hipertensi pulmonal.<br />
9. PENATALAKSANAAN MEDIS<br />
Terapi ditujukan pada proses- proses paru yang menyebabkan gagal jantung kanan. Pemberian oksigen, pembatasan garam dan cairan, dan diuretik tetap dilakukan; digitalis tidak diperlukan untuk gagal jantung kanan kecuali jika ada fibrilasi atrial.<br />
Istirahat<br />
Atasi infeksi saluran nafas<br />
Memperbaiki ventilasi<br />
Bronkodilator<br />
Aspirasi sekret bronkus<br />
O2 (1- 3 1/m)<br />
Jika dekompensasi diberikan; digitalis, diuretik, dan diet yang rendah garam. Pemberian digitalis harus berhti- hati, karena dalam keadaan hipoksia, dan kalium yang rendah mudah terjadi, sehingga mudah terjadi asidosis respiratorik dan alkalosis metabolik, dan bahaya intoksikasi lebih besar.<br />
Antibiotik sering diberikan, dan dalam keadaan terpaksa juga diberikan oksigen dengan alat pernafasan khusus supaya oksigen cukup didalam darah.crazy boy'shttp://www.blogger.com/profile/10427640188054710037noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2500718933329494943.post-28995774639423037092010-08-20T18:15:00.001+07:002010-08-20T18:15:04.682+07:00rahasiaNOKIA<br />
*#06# :for IMEI<br />
*#92702689# :All Manufacture (Warranty)<br />
*#3370# :Enable EFR (To disable, Type it again. Phone Automatically Restart)<br />
*#0000# :View Software version<br />
*#7780# :Restore factory settings<br />
*#67705646# :Clear LCD Display (Operator Logo)<br />
*#2820# :Bluetooth device address<br />
*#746025625# :SIM lock allowed statue<br />
*#62209526# : Display the MAC address<br />
#pw+1234567890+1# :Show if SIM restrictors.<br />
*#4720# :half rate Codec activation (To disable, Type it again)<br />
*#7370925538# :S-60 (Reset)<br />
Default code is 12345<br />
*#3925538# : Delete the contents and code of wallet<br />
*#7328748263373738# :Reset Phone Code. Default code is 12345<br />
Below are some reset codes for various Series 40, 60 and the new Series 80 Communicator series (Nokia 9300/9500):<br />
Full Reset: (clears everything off the phone memory!! Be sure to back up your contacts!!): *#7370#, 12345 and then Yes.<br />
Soft Reset: *#7780#, 12345 and then Yes. (Also works on Nokia S40 phones as a full reset)<br />
*#335738#<br />
*#delset#<br />
This deletes the Email, GPRS, MMS settings that cannot be erased via phone options. (Newer Series 40 phones only i.e. 6230(b))<br />
SAMSUNG<br />
*#1234# :SW Version<br />
*#2222# :HW Version<br />
*#0842# :Vibrator Test<br />
*#0289# :Buzzer Test<br />
*#0228# :Battery Statue<br />
*#0782# :RTC Display<br />
*#0523# :LCD Contrast<br />
*#0377# :NVM error Log<br />
*#5646# :Logo set<br />
*#0778# :SIM Service Table<br />
*#0638# :SIM Network ID<br />
*#0746# :SIM Info<br />
*#076# : Production no<br />
*#2576# :SIM errors<br />
Lock Manager<br />
*2767*2878# :EPROM Reset<br />
*2767*3855# :Master Reset<br />
*#2767*63342# :Media Reset<br />
*2767*667# :MMS reset<br />
*2767*927# :WAP Reset<br />
If you’re Phone will not reset by using those code:<br />
*2767*637#<br />
*2767*688#<br />
#*7337#<br />
*#9998*3323#<br />
*#9998*627837793#<br />
*2767*7822573738#<br />
unlock Code<br />
Model: Samsung SGH-E715<br />
Turn off the phone. Put a non-accepted SIM Card and turn it on. Type *#9998*3323#. Press Exit. Choose menu #7. After phone reboots type *0141# and hit the Call button. Turn off and insert another SIM Card. Turn on. The code is 00000000.<br />
Model: Samsung SGH-M100<br />
Type *#9998*627837793#. Then type *#9998*737#. Press >/ [] (Play Stop) until phone shows NCK/SPCK number. Press Exit. Type #0111*CODE# (Code is the last 8 digits of the NCK/SPCK)<br />
Model: Samsung SGH-S105<br />
Remove SIM Card. Enter *2767*7822573738# and after phone reboots, enter #0111*00000000#<br />
Model: Samsung SGH-S307<br />
Turn off the phone. Put a non-accepted SIM Card and turn it on. Type *#9998*3323#. Press Exit. Choose menu #7. After phone reboots type *0141# and hit the Call button. Turn off and insert another SIM Card. Turn on. The code is 00000000.<br />
Model: Samsung SGH-X100<br />
Turn off the phone. Put a non-accepted SIM Card and turn it on. Type *#9998*3323#. Press Exit. Choose menu #7. After phone reboots type *0141# and hit the Call button. Turn off and insert another SIM Card. Turn on. The code is 00000000.<br />
Model: Samsung Universal<br />
TEMPORARY UNLOCK:<br />
Put a non-accepted SIM Card and turn it on. Type *#9998*3323#. Press Exit. You will get a new menu. Select Malloc Fail.<br />
In newer phones:<br />
#*7337#<br />
LG<br />
2945*#01*# :Secret menu for LG<br />
*#06# :IMEI (ALL)<br />
*#07# :IMEI and SW (LG 510)<br />
*8375# :Software version (LG B1200)<br />
*6861# :Recount cheksum (LG B1200)<br />
1945#*5101# :Simlock menu (LG B1200)<br />
2945#*5101# :Simlock menu (LG 510W, 5200)<br />
2945#*70001# :Simlock menu (LG 7020, 7010)<br />
2947#* :Simlock menu (LG 500, 600)<br />
LG-U81XX SPECIAL CODES<br />
Code to read phone version :<br />
- Phone without SIM<br />
- Enter 277634#*# or 47328545454#<br />
- Select ‘SW Ver.info’<br />
Code to reset phone :<br />
- Phone without SIM<br />
- Enter 277634#*# or 47328545454#<br />
- Select ‘Factory Reset’<br />
Code to enter UNLOCK MENU :<br />
- Phone wit SIM inside<br />
- Enter 2945#*88110#<br />
Test Menu 8330 : 637664#*#<br />
Test Menu 8180 V10a : 49857465454#<br />
Test Menu 8180 V11a : 492662464663#<br />
Test Menu 8130-8138 : 47328545454#<br />
Test Menu 8110-8120 : 277634#*#<br />
__________________________________________________ _<br />
Alcatel<br />
IMEI number: * # 0 6 #<br />
Software version: * # 0 6 #<br />
Net Monitor: 0 0 0 0 0 0 *<br />
Bosch<br />
IMEI Number: * # 0 6 #<br />
Dafault Language: * # 0 0 0 0 #<br />
Net Monitor: * # 3 2 6 2 2 5 5 * 8 3 7 8 #<br />
Dancall<br />
IMEI number: * # 0 6 #<br />
Software version: * # 9 9 9 9 #<br />
SIMcard serial number: * # 9 9 9 4 #<br />
Information about battery status: * # 9 9 9 0 #<br />
Selftest (only Dancall HP2731): * # 9 9 9 7 #<br />
Show version configuration: * # 9 9 9 8 #<br />
Net Monitor: * # 9 9 9 3 #<br />
Ericsson 6xx/7xx/8xx<br />
IMEI number: * # 0 6 #<br />
Software version: > * < < * < *
Default language:
Enter to phone menu without SimCard – after Wrong PIN press NO: * *
0 4 * 0 0 0 0 * 0 0 0 0 * 0 0 0 0 #
Information about SIMLOCK: < * * * < < * < *
Default language:
Enter to phone menu without SimCard – after Wrong PIN
press NO: * * 0 4 * 0 0 0 0 * 0 0 0 0 * 0 0 0 0 #
Information about SIMLOCK: < * * <
Hagenuk (Duet)
IMEI number: * # 0 6 #
Software version check: # # 9 1 4 0 * 8 3 # 7 5 * 2 #
Motorola
IMEI number: * # 0 6 #
Net Monitor ON: * * * 1 1 3 * 1 * [OK]
Net Monitor OFF: * * * 1 1 3 * 1 * [OK] * – press this until box
shown up
Maxon
*#9988# Tetris Play
*#9900# Software Version
*#9911# L1 Debug on/off
*#9916# Text (scroll trough with up/down)
*#9937# Discharging battery
*#9958# Watch stop
*#9959# Watch start
*#9960# Contrast set
Lock status *#9917#
NOKIA 5110/5120/5130/5190/6110/6120/6130/6150/6190
IMEI number: * # 0 6 #
Software version: * # 0 0 0 0 #
Simlock info: * # 9 2 7 0 2 6 8 9 #
Enhanced Full Rate: * 3 3 7 0 # [ # 3 3 7 0 # off]
Half Rate: * 4 7 2 0 #
Provider lock status: # p w + 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 + 1
Network lock status # p w + 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 + 2
Provider lock status: # p w + 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 + 3
SimCard lock status: # p w + 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 + 4
1234567890 – MasterCode which is generated from IMEI
Nokia 3110
IMEI number: * # 0 6 #
Software version: * # 0 0 0 0 # or * # 9 9 9 9 # or * # 3 1 1 0 #
Simlock info: * # 9 2 7 0 2 6 8 9 #
Philips
IMEI number: * # 0 6 #
Simlock info: * # 8 3 7 7 #
Security code: * # 1 2 3 4 # (Fizz) or * # 7 4 8 9 #
Samsung SGH600/2100DB
IMEI number: * # 0 6 #
Software version: * # 9 9 9 9 # albo * # 0 8 3 7 #
Net Monitor: * # 0 3 2 4 #
Chaning LCD contrast: * # 0 5 2 3 #
Memory info: * # 0 3 7 7 # albo * # 0 2 4 6 #
Reset memory (SIMLOCK`a removing!!!): * 2 7 6 7 * 3 8 5 5#
Reset CUSTOM memory: * 2 7 6 7 * 2 8 7 8 #
Battery state: * # 9 9 9 8 * 2 2 8 #
Alarm beeper: * # 9 9 9 8 * 2 8 9 #
Vibra test: * # 9 9 9 8 * 8 4 2 #
Sagem
IMEI number: * # 0 6 #
Service Menu access: MENU 5 1 1 #
Siemens C25/S25
IMEI number: * # 0 6 #
Software version: put off sim card and enter: : * # 0 6 # and press
LONG KEY
Bunus screen: in phone booke: + 1 2 0 2 2 2 4 3 1 2 1
Net Monitor (S4 Power): Menu 9 8, left SoftKey, 7 6 8 4 6 6 6, Red
phone, Menu 5 6
Sony
IMEI number: * # 0 6 #
Software version: * # 8 3 7 7 4 6 6 #
Show list of product creator names (you must save this number in
your Phone Book with “own phone no.” record): + 1 2 0 2 2 2 4 3 1 21
Samsung sph-n240, n400, a460, a500,
Nam Set: ##Spc
Test Mode: 47*869#1235
Debug Menu: ##33284,ok
Service Menu: Menu+8+0 (#889)
Reset (Life time, Clear Memory, etc): ##786,ok
A-key: ##2539,ok
Label Selection: ##3882,ok
Label(Home, Work, etc) : **523,ok
NGG Setting (Gateway, etc.): ##2769737,ok
Vocoder: ##8626337,ok
CAI Change: ##7738,ok
Enable TTY: ##889,ok
Samsung sch-411, 611, n105, a100, a300, a2000,
Nam Set: 47*869#08#9
Nam Set: Menu+60
Test Mode: *759#813580
Test Mode: 5809540*45680
A-key: Menu+0, 25##
External Audio: Menu+0, ####
Debug Menu: Menu+8, 0415 or Spc
Debug Menu: Menu+9, 0415 or Spc
Brief NAM Programing: Menu+40,626 (not all version)
LCD Contrast: Menu+45 (not all version)
SIO Mode: Menu+49
SIO Mode: Menu+69
Samsung a300, a530, a610, a620, a660, a670,
Nam Set: Menu, 6, *
Service Menu: Menu, 9, *
Test Mode: 47*68#13580
Samsung X, E, V, S-series (korean), e250, v420, s250, etc Nam
Programming:
Nam Set: 6548#0**4#6
Nam Set: 47*869#08#9
Nam Set: 74153697193
Test Mode: 5809540*45680 (88 – efs clear)
Debug Menu: Menu(hold 2sec)+0, 6725 or 9720 or 1973 or 0415
Debug Menu: Menu+0(hold 2sec), 6725 or 9720 or 1973 or 0415
Samsung N356 (India version)
Test Mode: Menu, 5, down arrow, *
Test Mode: **00## (in some flashes)
Samsung i700, etc Nam Programming:
Nam Set: Go to start and select “PHONE” from the drop down menu,
dial #83587
Samsung i300,
1. Tap on the Phone Icon with stylus
2. Press #907*9#0 ENTER LOCK should appear on screen
3. Enter OTKSL
4. SVC MENU will appear press 1
5. Enter 10 digit MIN and then press SAVE
6. Press SAVE again
7. Press 3 and then press SAVE 6 times
8. Enter the HOME SID and press SAVE once
9. Press END key twice
TEST MODE COMMANDS
n105_test_mode.txt
a500_test_mode.txt
a530_test_mode.txt
KYOCERA
Qualcomm qcp-800 Nam Pogramming:
Nam Set: Menu+3+0+Spc
Field Test: Menu+7+0+Fsc
Kyocera 1135, 2255, 3035, 5135, 6035, Se47,
Nam Set: 111111+Jog Dial(Ok), Select “Programming”+Spc
CAI Change: ##7738,ok
Enable TTY: ##889,ok
Life Timer, PRL, etc: ##786,ok
A-key: ##2539,ok
A-key: 2539,ok
SANYO
Sanyo 4900, 5150, 5300, 8100, etc Nam Programming:
Nam Set: ##Spc+Ok+Key Down+Ok
Advanced Setup: ##3282+Ok+Key Down+Ok+Msl
A-key: ##2539+Ok+Key Down+Ok
Version: ##**837+Ok+Key Down+Ok
Debug Menu: ##FSC+Ok+Key Down+Ok
Airtime menu: ##8463+Ok+Key Down+Ok
Change CAI: ##7738+Ok+Key Down+Ok
Vocoder: ##8626337+Ok+Key Down+Ok
Reverse Logistic: ##786+Ok+Key Down+Ok
Set IP Address: ##2769737+Ok+Key Down+Ok
TTY On/Off: ##889+Ok+Key Down+Ok
Ready Link: ##4636+Ok+Key Down+Ok
Browser Init On/Off: ##4682+Ok+Key Down+Ok
Picture Token: ##25327+Ok+Key Down+Ok
Unknown Code: ##5282277+Ok+Key Down+Ok
(SPC=000000, FSC=040793)
Sanyo scp-A011, smp-A017, etc Nam Programming:
Nam Set: F9(3 beep) + 0*72696#767
NOKIA
Nokia 3280, 3285, 3580, 3585, 5185, 6185, 8280, etc
Nam Set: *3001#12345#
Software Version: *#837#
Software Version: *#9999#
Esn Number: *#92772689#
Restart Phone: *#75681#
Restart Phone: *#75682#
Nokia 8887
Nam Set: *3001#12345#
Version: *#0000#
Evrc: *#8378#
Esn/Data/Timer: *#92772689#
SID: *#743#
Nokia 8587
Nam Set: *#626#7764726#
A-Key: #8159357022#4579# (26 digits)
A-Key: #8159357022#4547# (20 digits)
Version: *#0000#
Version: *#837#
Vocoder: *#3872#
Change language: Menu 5, 3, 1
Change DM mode: *#7678#
debug Screen: *#8378#
Debug: *#8380#
Field Test Menu: *#83788#
SPC Unlock, Factory Reset:
Full Factory Reset: *#7370#
Resets all settings including non-user changeable items (like SPC)
NOKIA
51xx, 61xx, 71xx, 3285, 63xx, etc:
1) Turn on the phone. Press *3001#12345#
2) Scroll up to where it says “Field Test” and choose SELECT
3) Highlight “Enable” and choose OK. Turn the phone off then back on.
4) If the test mode screen does not show up press MENU and scroll
down to “Field Test” choose SELECT. Press 0 1 then choose OK.
5) Lower left or upper left number is the signal strength.
6) To turn off the test mode press MENU and scroll down to where it
says
“Field Test” choose SELECT. Press 0 0 and then choose OK.
3360, 6360:
1) Turn on the phone. Press *3001#12345#
2) Scroll up to where it says “Field Test” and choose SELECT
3) Highlight “Enable” and choose OK. Turn the phone off then back on.
4) If the test mode screen does not show up press MENU and scroll
down to “Field Test” choose SELECT. Press 2 1 0 1 then choose OK.
5) Lower left or upper left number is the signal strength.
6) To turn off the test mode press MENU and scroll down to where it
says
“Field Test” choose SELECT. Press 2 1 0 0 and then choose OK.
AUDIOX
Audiovox 4000, 9000, 9100, 9155, 9500, etc Nam Programming:
(Power the phone on and wait until the little light on top goes out)
Nam Set: 289+fcn+#+1
Service menu: fcn+00+fsc(000000)
Test Mode: Hold (2,*,Rcl)+Power
Test Mode Commands:
99 – download – flash phone
124 – inam data write
125 – version
126 – esn read
127 – sec_code
128 – lock_code
129 – is WFTV data write
137 – FSC code
138 – NPcode (nam program code)
139 – dscode
141 – restart
218 – Read_Addr
000 – is cdma mode
001 – is fm mode
002 – is pcs mode
008 – is reg read addr
020 – is lna_range
Audiovox pcx-3500xl
Nam Set: ##2726+Send+1998+1+Spc+1
Audiovox cdm-100, 130, 135, 8300, 8500, 8600,
Nam Set: ##20022002+Pwr+1+Spc
Audiovox 8610, 8910, etc Nam programming:
Name Set: ##847446, end, 111111
Audiovox-107 Nam Programming:
Nam Set: 45680*47*869#1
Audiovox CMP-3 Nam Programming:
Nam Set: 45680*47*869#1
Dm Mode: Menu, 6, 6
Audiovox 9950 Nam Programming:
Nam Set: ##3282
Audiovox Z800 (Audiovox 7900, Sharp) Nam Programming:
Nam Set: m + # + envelope key + * + 1
Audiovox Thera (Toshiba 2032) Nam Programming:
Thera Nam Programming User Manual – nam_thera.pdf
AUDIOVOX
9100, 9155:
1) Turn on the phone. As soon the phone comes on and the green light
turns off press RIGHTARROW, 0, 0. The phone will ask for the
“FSC Code”, press 000000 then choose OK and press RIGHTARROW,
RIGHTARROW. Your phone is now in test mode.
2) The signal strength is the number on the top right hand side of
the screen.
3) To turn off test mode shut of the phone and then turn it back on.
MOTOROLA
Motorola 7760, 7860, 2260, 8160, etc Nam Programming:
Nam Set: Fcn,0000000000000, Rcl
Nam Set: 74663#, Fcn, Fcn
Test Mode: Fcn, 00**83786633, St
Motorola v60c, v120c etc Nam Programming:
Nam Set: 74663#, Menu, Menu, Spc
Nam Set: Menu, 073887, * (type quickly)
Test Mode: Menu, 073887*, Spc
Debug Mode: ##33284
Force the phone into DIGITAL ONLY mode:
1) ##33284 (Debug)
2) RIGHT Softkey (Next) Twice
3) Down arrow 10 times to “PrefMod”
4) RIGHT Softkey (Change) until you see “DigOnly”
5) LEFT softkey (Exit)
6) MENU then LEFT Softkey return to idle screen
7) ##33284 (The last 4 will not display if you have done it
correctly)
Motorola t182, c210, :
Nam Set: ##1111 end
Nam Set: ##298645665 end
Short Nam: ##073887 sto
Motorola v710, v730, v740, ms150,:
Nam Set: 8378*# + press 3 times NATE (spc – 071082)
Test Mode: Menu, 073887*, Spc
Service Menu: #758353266#646#
Motorola StarTac 2004
Nam Set: 5759789*#, rec key (3)times (spc – 915037)
Motorola ms200, ms230, etc Nam Programming:
Nam Set: 5759789*# (spc – 915037)
Motorola v6060 Nam Programming:
Nam Set:147*369#456*0#
MOTOROLA
v60, c120, c331, etc:
1) Turn on the phone. Press MENU 0 7 3 8 8 7 *
2) The phone will require you to “Enter a Security Code”, press
000000, OK
3) Scroll down to “Test mode” choose SELECT. Scroll down to “Enable”
choose SELECT. Your phone is now in test mode.
4) Signal strength is the 3_rd number down on the left hand side of
the screen.
5) To toggle between regular mode and test mode: Press MODE then
quickly press the BUTTON DIRECTLY TO THE LEFT OF MENU.
6) To turn off the test mode the phone must be in regular mode, then
follow
the above sequence and scroll down to where it says “DISABLE”
instead of
“ENABLE” and choose select.
SK TELETEC
Sky All Models Nam Programming:
Nam Set: #7583538324#626#
Nam Set: *759#364*7388464#
Min simple mode: #758353266#646#
Irm simple mode #758353266#476#
Voice memo: #8767#277#
Test Mode: #7583538324#8378#
A-key: #758353266#2539#
Service Menu: Menu+4+0+Spc
Service Menu: Menu+5+0+Spc
WITHUS / MODOTTEL
Withus wce-100, 200, 300, etc Nam Programming:
Nam Set: ##948487+Save
Nam Set: ##948482+Save
Nam Set: ##66835+Save
SMS Settings: ##76766
NVM Rebuild: ##777464
HYUNDAI
Hyundai hwp-110 :
Nam Set: #86904**89397#
DM Mode: ##2740*
(Open phone, inter code, close phone)
Hyundai hgc-120, 130, 200 Nam Programming:
Nam Set: #86904**89397#
Hyundai hgc-310, 600, 610
Nam Set: ##20022002+Pwr+1+Spc Code
Field Test: ##20022002+Pwr+1+Master Code
Hyundai Curitel h-100, 150, hx-510b, 520 Nam Programming:
Nam Set: ##20022002+Pwr+1+Spc Code
Field Test: ##20022002+Pwr+1+Master Code
A-key: 2539**
Debug Menu: ##27732726+Pwr
Sar Test: ##27752345+Pwr
Baud Rate: ##36**+Pwr
DM Mode Enable: **1004+Pwr
DS Mode Enable: **1005+Pwr
Test Bell/Voice/Led/Dot: ##1122+Pwr
RF Mode: ##2240+Pwr
Ras Ram: ##2774+Pwr
Cmux1: **0481+Pwr
Cmux2: **0482+Pwr
RX Mode Fax: **0492+Pwr
RX Mode Data: **0491+Pwr
RX Mode Reset: **0490+Pwr
HUAWEI
Huawei ETS-668, 678, 688, etc Nam Programming:
Debug Mode: ##44+Menu
Debug Screen: ##33+Menu
CDG2 Test enable: ##234+Menu
CDG2 Test disable: ##432+Menu
China Lang Select: ##123+Menu
Blocking Debug Code: ###888+Menu
Home System Only On: ##461+Menu
Home System Only Off: ##460+Menu
ERICSSON
Ericsson A1228c, T61, etc Nam Programming:
Short NAM: 987+Menu
Long NAM: 923885+Menu+Spc
CDMA Mode: 904093+Menu
Analog Mode: 904095+Menu
QNC: 904097+Menu
Debug Screen: 904090+Menu
DM Mode: 904050+Menu
Sony-Ericsson T608 :
Nam Set: 923885, Joystick to the right, 111111
EPSILON / COMPAL
Epsilon vc-5x :
Nam Set: **147258963##
Programming1: **1232580##
Programming2: **321456987##
Version: **1470963##
Debug: **000000##
Menu_1: **078987##
Menu_2: **1234756##
A-key: 2539**
Reset: **14789##
VK MOBILE
VK-100C, 110C, 200C, etc Nam Programming:
Nam Set: 15314753974159
Test Mode: 153147539123258 (88 – clear efs)
Z510, Z710i(gcd-456) Nam Programming:
Nam Set: Menu+0+Spc
<><br />
AMC450 Nam Programming:<br />
Nam Set: *74269#*748#96148063+SEL<br />
GTRAN<br />
Gtran gcp-2000 Nam Programming:<br />
Nam Set: 01#737+Spc<br />
Debug Menu: 01#324+Spc<br />
Debug Mode: 01#727<br />
Test Mode: 01#764+Spc<br />
System Test Mode: 01#768+Spc<br />
Gtran gcp-5000 Nam Programming:<br />
Debug Mode: 01#727+Spc<br />
Test Mode: 01#765<br />
PANASONIC<br />
1) Turn on the phone. Press #7764726# choose SEND<br />
2) Scroll down to where it says “NAM 1″ and choose OK. Scroll down<br />
to “Access To Level 4″ choose YES. Scroll down to “Built-In-Monitor”<br />
and choose EDIT.<br />
3) Press 1 and choose OK then choose BACK. The phone will say<br />
“Back To Level 1″ choose YES. Now choose EXIT the phone will ask you<br />
“Exit And Save Change” choose YES.<br />
4 Signal strength is the top right number on the screen.<br />
5) To turn off the test mode follow the above sequence except press 0<br />
instead of 1 at the “Built-In-Monitor”<br />
<><br />
Synertek S200 Nam Programming:<br />
Nam Set: Menu+0+Spc<br />
Debug Mode:<br />
Test vibro/rx/tx: ##5555+Save<br />
Debug Screen: ##33+Save<br />
Debug Screen: ##523+Save<br />
RF Test: ####+Save<br />
Unknown code: ##325+Save<br />
<><br />
Sony CM-M1300, 3300, Z200 Nam Programming:<br />
Nam Set: 111111+Ok(Jog Dial)+Select+Programming+Ok+Spc<br />
Samsung:<br />
All type of phones (old modeles):<br />
NAM programming: 47*869#08#9<br />
Test mode: *759#813580 or 5809540*45680<br />
exit test mode – 02<br />
A-Key: menu + 0, code 25##<br />
Samsung A500<br />
1. Enter ## and the 6 digit OTKSL<br />
2. SERVICE MENU will appear and 1.Basic will be highlighted<br />
3. Press OK<br />
4. Device will display NAM CDMA/ Phone Number<br />
5. Enter 10 digit MIN<br />
6. Press OK (3 times)<br />
7. Display will return to Service Menu. Press END.<br />
8. Programming is complete<br />
Samsung N240 and N400<br />
1. Enter ## and type in the 6 digit OTKSL<br />
2. The display will show SVC MENU and 1. Phone Number<br />
3. Press OK<br />
4. Enter the 10 digit MIN and press OK<br />
5. The display will show NAM with Home SID on the second line (Note:<br />
SID is no longer used)<br />
6. Press OK<br />
7. The display will return to the SVC MENU<br />
8. Press END to complete the programming<br />
Samsung Uproar<br />
1. Press MENU key<br />
2. Enter 9 2 0<br />
3. Enter the OTKSL<br />
4. At SVC Menu screen press OK<br />
5. Enter MIN and press OK 4 times<br />
6. Enter SID (4654) and press OK<br />
7. Press END key<br />
8. Programming is complete<br />
Samsung N300<br />
1. Press ## followed by the OTKSL<br />
2. SVC menu will be displayed<br />
3. Press 1 for Phone #<br />
4. Enter the 10 digit MIN and press OK<br />
5. MIN that was entered will be displayed press OK<br />
6. SVC Menu will display press 3 for NAM<br />
7. Enter the 4 digit Home SID press OK<br />
8. Press END and handset will power cycle<br />
Samsung i300<br />
1. Tap on the Phone Icon with stylus<br />
2. Press #907*9#0 ENTER LOCK should appear on screen<br />
3. ENTER OTKSL<br />
4. SVC MENU will appear press 1<br />
5. Enter 10 digit MIN and then press SAVE<br />
6. Press SAVE again<br />
7. Press 3 and then press SAVE 6 times<br />
8. Enter the HOME SID and press SAVE once<br />
9. Press END key twice<br />
Samsung A400 and A460<br />
1. Enter ## and OTKSL<br />
2. Press 1 for Basic at MENU (1 of Phone # when using the MSL)<br />
3. Enter 10 digit MIN and press OK<br />
4. At 1.Basic Menu press the END key<br />
5. Handset will power cycle<br />
Samsung 3500 8500 6100 N200<br />
1. Press MENU<br />
2. Press 6 0 (3500) 8 2 0 (8500/6100/N200)<br />
3. Enter OTKSL<br />
4. Press 1 at SVC MENU Screen<br />
5. Enter MIN and press OK<br />
6. Press OK 4 times<br />
7. Enter SID (4654) and press OK<br />
8. Press END key<br />
9. Programming is complete<br />
Qualcomm:<br />
QCP-800 programming: menu + 3 + 0.<br />
SPC: “000000″ or may be other SPC typed by user.<br />
QCP-820/1920/2035: type “111111″ and press Jog Dial.<br />
Choose “Programming” and enter SPC: “000000″ or may be other SPC<br />
typed by user.<br />
QCP 1960 and 2760<br />
1. Press softkey under the work MENU<br />
2. Press 8 0<br />
3. Enter the OTKSL<br />
4. Press softkey for OK<br />
5. Enter MIN and press softkey for OK<br />
6. No SID is require for this handset<br />
7. Press softkey for EXIT<br />
8. Programming is complete<br />
LG:<br />
LGC-300 programming: menu + 9 and enter SPC: “000000″ or may be<br />
other SPC typed by user<br />
A-Key: press STO for some time while you can see special code enter<br />
zone. Type 2539** and enter A-key<br />
LGC-330W programming: menu + 4 + 0 and enter SPC: “000000″ or may be<br />
other SPC typed by user.<br />
A-Key: type 2539** and enter A-key<br />
LGC-800W /500 programming: menu + 0 and enter SPC: “000000″ or may<br />
be other SPC typed by user.<br />
A-Key: type 2539** and enter A-key<br />
LGC-510 programming: menu + 3 + 0 and enter SPC: “000000″ or may be<br />
other SPC typed by user.<br />
A-Key: type 2539** and enter A-key<br />
LG1010 LG4NE1 TP2200 TP2100 Touchpoint SB/DB TP 1100 TP5200<br />
1. Press ##<br />
2. Enter the OTKSL<br />
3. Scroll to SAVE and press OK<br />
4. Scroll to MIN and press OK<br />
5. Enter 10 digit MIN scroll to SAVE and press OK<br />
6. Scroll to SID and press OK (Skip on 4NE1 go to RESET PHONE and<br />
press OK to complete)<br />
7. Enter SID (4654) and scroll to SAVE and press OK<br />
8. Programming is complete<br />
LG5350<br />
1. Enter ## and enter the OTKSL and press the left soft key under<br />
the word “Save”<br />
2. At the Service Program display select Mobile Phone # and press<br />
the OK in the center of the 4 way navigation key<br />
3. Enter the 10 digit MIN and press OK<br />
4. Scroll down to 4. Advanced and press OK<br />
5. Scroll to NMSI and press OK<br />
6. Enter the MSID and press OK<br />
7. Scroll down to 9. Amps Phone # and press OK<br />
8. Enter the MSID and press OK<br />
9. Press the END key<br />
TP 2100<br />
1. Press ##<br />
2. Enter OTKSL<br />
3. Scroll to SAVE and press Roller Ball in for OK (ESN will display)<br />
4. Select NEXT (by pressing in the roller ball)<br />
5. Scroll to EDIT and press in the roller ball<br />
6. Enter MIN<br />
7. Scroll to SAVE and press roller ball in<br />
8. Select NEXT at the next 3 screens and then EXIT<br />
9. Programming is complete<br />
TP3000<br />
1. Press ##<br />
2. Enter OTKSL<br />
3. Scroll to SAVE and press OK<br />
4. Open flip<br />
5. Use Stylus to enter the 10 digit MIN<br />
6. Press OK (No SID entry is required)<br />
7. Programming is complete<br />
TP 5250<br />
1. Press ##<br />
2. Enter the OTKSL<br />
3. Scroll to SAVE and press OK<br />
4. The phone display will read SVC Program<br />
5. Scroll to MOBILE PHONE # and press OK<br />
6. Phone display will read Mobile Phone Number<br />
7. Enter the 10 digit MIN and press OK<br />
8. Scroll to Home SID and press OK<br />
9. Enter the 4 digit SID (4654) and press OK<br />
10. Reset Phone will be highlighted. Press OK<br />
11. Phone will reset<br />
12. Programming is complete<br />
LG V111(DM110)<br />
[menu]30.<br />
After ask lockcode, enter: 843691.<br />
Ericsson:<br />
Programming:<br />
Shot NAM 987 + menu<br />
Long NAM 923885 + menu and enter SPC: “000000″ or may be other SPC<br />
typed by user.<br />
CDMA mode 904093 + menu<br />
Analog mode 904095 + menu DM mode 904959 + menu<br />
Hyundai:<br />
HGC-120E / -130E programming: #86904**89397#<br />
HGC-600E programming: ##20022002, END and enter SPC: “000000″ or may<br />
be other SPC typed by user.<br />
Sony:<br />
CM-M1300/3300/Z200 programming: type “111111″ and press Jog Dial.<br />
Choose “Programming” and enter SPC: “000000″ or may be other SPC<br />
typed by user.<br />
Sony CM-M1300<br />
1. Power phone on<br />
2. Enter six “1s” ( 111111 )<br />
3. Press the jog dial in<br />
4. Press the jog dial in again to select programming<br />
5. Enter six “0s” for the service security code<br />
6. Phone displays the ESN<br />
7. Press the jog dial in for OK<br />
8. Enter your ten digit cellular telephone number<br />
9. Press the jog dial in for OK<br />
10. Enter your cellular carrier’s system ID (SID) without the zeros<br />
(Example: if your carrier’s system ID is 00035, enter just 35)<br />
11. Press the jog dial in for OK<br />
12. Enter a name for NAM 1 or just press the jog dial in for OK<br />
13. Phone displays Basic NAM 1 Programming is complete<br />
14. Press the jog dial in<br />
15. Press the jog dial in again for EXIT<br />
16. Phone powers itself off<br />
17. Press the power button to power the phone back on<br />
18. Basic programming is complete<br />
Motorola:<br />
StarTAC 7760/7860<br />
Service menu: FCN+0+000000+000000+RCL<br />
Test mode: FCN 00**83786633 STO<br />
V60c programming:<br />
Service menu: 74663 # [Menu] [Menu] (programming code)<br />
Test mode: [Menu] 073887 * (security code = 000000)<br />
Motorola Tarpon (120x)<br />
1. Press 74663 (spells PHONE)<br />
1. Press # MENU MENU quickly<br />
2. Enter OTKSL<br />
3. The work MIN will be highlighted<br />
4. Select the word CHANGE by selecting the top right button<br />
5. Select DELETE. Press and hold the button until clear<br />
6. Have the customer enter the 10 digit MIN number<br />
7. Select OK with the top right button. The “User Activation” screen<br />
will appear<br />
8. Scroll to highlight the CDMA Sys ID<br />
9. Select CHANGE by selecting the top right button<br />
10. Enter SID<br />
11. Select OK by selecting the top right button<br />
12. Select DONE with the top left button<br />
13. Press the END key<br />
14. Press # MENU MENU quickly<br />
15. Enter OTKSL<br />
16. The work MIN will be highlighted<br />
17. Select the word CHANGE by selecting the top right button<br />
18. Select DELETE. Press and hold the button until clear<br />
19. Have the customer enter the 10 digit MIN number<br />
20. Select OK with the top right button. The “User Activation”<br />
screen will appear<br />
21. Scroll to highlight the CDMA Sys ID<br />
22. Select CHANGE by selecting the top right button<br />
23. Enter SID<br />
24. Select OK by selecting the top right button<br />
25. Select DONE with the top left button<br />
Press the END key<br />
Motorola Phones (ALL)<br />
1. Enter 74663 # FCN FCN<br />
2. Enter OTKSL<br />
3. Enter MIN and press STO<br />
4. Enter SID (4654) and press STO<br />
5. Press STO again – programming is complete<br />
Note: on the Tarpon (120C) you will need to press the MENU key<br />
instead of FCN.<br />
Nokia:<br />
5185/6185 programming: *3001#12345#<br />
Software version: *#837# or *#VER# or *#9999#<br />
Serial / ESN: *#92772689# or *#WARRANTY#<br />
Phone reset: *#75681# or *#75682#<br />
Nokia 6185-5170<br />
1. Press *#639#<br />
2. Enter OTKSL and press OK<br />
3. Enter the MIN and select OK<br />
4. Enter the SID and select OK<br />
5. Programming is complete<br />
Nokia 3585<br />
1. Enter ## followed by the OTKSL<br />
2. Number (MDN) is highlighted. Press the upper left-hand soft key<br />
to select<br />
3. Mobile Number will display. Enter the 10 digit MIN<br />
4. Press OK<br />
5. IMSI will appear. Press and hold the Clear key until the display<br />
is empty.<br />
6. Enter 31000 plus the MSID (15 digits total)<br />
7. Press the upper left hand soft key and select OK<br />
8. It will take you back to the SVC Programming. Press the upper<br />
right hand soft key to select EXIT<br />
9. Press END.<br />
10. Phone will power cycle and programming is complete.<br />
NEOPOINT:<br />
Neopoint 1000<br />
1. Press M to display Main Menu<br />
2. Scroll to PREFERENCES<br />
3. Press softkey under SELECT<br />
4. Enter 040793<br />
5. Scroll to PROGRAMMING<br />
6. Press softkey under SELECT<br />
7. Enter OTKSL<br />
8. Press softkey under DONE<br />
9. Scroll to PHONE NUMBER<br />
10. Enter 10 digit MIN<br />
11. Scroll to HOME SID<br />
12. Enter SID (4654)<br />
13. Press softkey under SAVE to exit<br />
14. Programming is complete<br />
NEOPOINT 1600<br />
1. Power the phone on<br />
2. Press the “Menu” key<br />
3. Scroll to “Preferences” – press “Select”<br />
4. Key in the “Field Service Code” (the phone will not prompt you<br />
for the code)<br />
at the “preferences” screen to access the “Service” menu (Default<br />
code is “000000″)<br />
5. Scroll to “Programming” – press “Select” – the phone will ask for<br />
the “Subsidy Lock Code”<br />
6. Enter the “Subsidy Lock Code(654321)” to access the “NAM” menu<br />
7. Select the NAM to be programmed (NAM 1 or NAM 2)<br />
8. Program the NAM – Phone number and CDMA Home SID<br />
9. After programming has been completed press “Save” – the phone<br />
will reset<br />
Handspring TREO:<br />
1. Open the flip and press the PHONEBOOK button one time to display<br />
the dial pad<br />
2. Enter ## and the OTKSL using the numbers on the Dial Pad<br />
3. Press the handset button shown in the diagram above<br />
4. At the Activations screen enter the MIN in the phone number field<br />
using the numbers on the device keyboard<br />
5. Put a check in the Enable Number Portability box and type the<br />
MSID in the MSIN field<br />
6. Press OK<br />
7. The device will display the network search pop-up and return to<br />
the Phonebook display<br />
Hitachi P300:<br />
1. Enter ## and the 6 digit OTKSL<br />
2. Press the Options soft key and then scroll to Save Phone #. Press<br />
the OK soft key.<br />
3. At the NAM display scroll to EDIT and press the OK soft key<br />
4. Display will read NAM and MDN will be highlighted. Press the OK<br />
soft key.<br />
5. At the MDN display enter the 10 digit MIN and press the SAVE soft<br />
key.<br />
6. At the Save prompt press the OK soft key. The next display will<br />
show several options that should not edited.<br />
7. Press the EXIT soft key and the device will power cycle.<br />
8. Programming is complete.<br />
Sanyo:<br />
Sanyo 4000 4500 4700 5000 6000<br />
1. Press ##<br />
2. Enter the OTKSL<br />
3. Scroll to SAVE and press OK<br />
4. ESN will be displayed – press OK<br />
5. Enter 10 digit MIN and press OK<br />
6. Enter SID (4654) and press OK<br />
7. Press OK twice<br />
8. Programming is complete<br />
Sanyo 5150 5300 and 6400<br />
1. Enter ## followed by the OTKSL<br />
2. Press MENU SAVE PHONE #<br />
3. Press Ok<br />
4. SVC Programming will be displayed. Scroll and highlight Mobile<br />
Number. Press OK<br />
5. Press OK again<br />
6. ESN will be displayed. Press OK<br />
7. Mobile Number will be displayed enter the 10 digit MIN press OK<br />
8. Press OK 4 times<br />
9. Phone will power cycle<br />
10. Programming is complete<br />
Sanyo 6000<br />
1. Press ##<br />
2. Enter OTKSL<br />
3. Press MENU Key and scroll to SAVE PHONE # and press OK<br />
4. ESN will be displayed press OK<br />
5. Enter MIN and press OK<br />
6. Enter SID and press OK<br />
7. Press OK twice more<br />
8. Programming is complete<br />
Sanyo 4900<br />
1. Enter ## followed by the 6 digit OTKSL<br />
2. Press the MENU/OK key and scroll and highlight SAVE PHONE #<br />
3. Press MENU/OK<br />
4. Scroll and highlight MOBILE NUMBER press OK<br />
5. At the ESN display press OK<br />
6. In the MOBILE NUMBER screen enter your MIN and press OK 4 times<br />
7. At the service program menu scroll to exit and press the MENU/OK<br />
key.<br />
8. Programming is complete<br />
Sanyo 6200<br />
1. Enter ##<br />
2. Enter OTKSL<br />
3. Press the MENU key and scroll to highlight SAVE PHONE #<br />
4. Press OK<br />
5. Scroll and highlight MOBILE NUMBER<br />
6. Press OK twice<br />
7. Scroll and highlight EXIT<br />
8. Press OK<br />
9. Phone will power cycle<br />
10. Programming is complete<br />
Toshiba:<br />
Toshiba 2032P<br />
1. Slide the Radio Standby Switch on the left side of the device to<br />
the upper side (ON) to activate the phone function. This is the<br />
switch with the phone icon over it<br />
2. After power up is completed use the stylus to tap on the ADMIN<br />
pull up menu at the bottom of the screen and select ACTIVATION<br />
WIZARD. If your device has not yet<br />
been activated the ACTIVATION WIZARD will automatically start when<br />
you turn on the radio in your device.<br />
3. Tap NEXT 3 times. If the device has been previously activated it<br />
will require only 2 presses.<br />
4. On the fourth screen enter the 6 digit OTKSL using keyboard<br />
5. Enter the MIN in both entery fields then tap NEXT<br />
6. Wait for the device to initialize and display “ready to connect”<br />
7. To initiate IOTA tap the word ADMIN at the bottom of the display<br />
and then Data Provisioning<br />
8. Programming is complete<br />
*******<br />
Here is a list of various codes to try out. Some may require an MSL<br />
to be able to make full use of the functionality.<br />
##2769737 [##BROWSER] – MiniBrowser Settings (2G)<br />
##8626337 [##VOCODER] – Set Vocoder<br />
##3282 [##DATA] – Setup Menu for Vision handsets<br />
##8463 [##TIME] – Airtime Menu<br />
##040793 – Debug Menu<br />
##786 [##RUN] – Technical Information (be careful with this one, you<br />
can reset the handset)<br />
##932 [##WEB] – IP Address information (2G)<br />
##889 [##TTY] – TTY On or TTY Off<br />
##4357 [##HELP] – Help<br />
alcatel<br />
Master Codes<br />
- 25228352<br />
- 25228353<br />
- 83227423 (TH3/4,BH4,BF5,BG3,BF3/4..)<br />
###337*07# – master reset (with SIM)<br />
###847# – factory reset (with SIM)<br />
Alcatel 835 formating – **0102#<br />
enol<br />
mıtsubıshı<br />
*#987*00# – Service menu<br />
*#987*99# – Full reset<br />
*#900# – SW version<br />
fly bird<br />
S688 – #*301#02# send – with SIM<br />
menu:<br />
7 – 10 – ok,<br />
#*8000#, #*3676# (reboot repair)<br />
V09, S1180 – *, 3 times down, 3 times up – service menu<br />
huawai<br />
MASTER SECURITY CODE<br />
-309296<br />
-3092<br />
-9296<br />
maxon<br />
*#9922# – menu, reset (without SIM)<br />
*#9900# – Software Version<br />
*#9901# – Software Version (PBatch)<br />
mıtsubıshı<br />
hold * 476989 NS Lock Menu<br />
hold * 482896 CP Lock Menu<br />
hold * 574243 NS Lock Menu<br />
hold * 967678 SP Lock Menu<br />
hold * 362628 IMSI Lock Menu<br />
hold * 787090 Lock net.level<br />
hold * 787292 Lock net.level<br />
hold * 3926 Shut Down…crazy boy'shttp://www.blogger.com/profile/10427640188054710037noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2500718933329494943.post-10213989281894991232010-08-13T02:41:00.002+07:002010-08-13T02:41:44.981+07:00ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN PENYAKIT JANTUNG REMATIK (PJR)1. Defenisi<br />
Penyakit jantung rematik merupakan gejala sisa dari Demam Rematik (DR) akut yang juga merupakan penyakit peradangan akut yang dapat menyertai faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus beta-hemolyticus grup A. Penyakit ini cenderung berulang dan dipandang sebagai penyebab penyakit jantung didapat pada anak dan dewasa muda di seluruh dunia.<br />
2. Etiologi<br />
Infeksi Streptococcus beta-hemolyticus grup A pada tenggorok selalu mendahului terjadinya demam rematik, baik pada serangan pertama maupun serangan ulang.<br />
Telah diketahui bahwa dalam hal terjadi demam rematik terdapat beberapa predisposisi antara lain :<br />
a. Terdapat riwayat demam rematik dalam keluarga<br />
b. Umur<br />
DR sering terjadi antara umur 5 – 15 tahun dan jarang pada umur kurang dari 2 tahun.<br />
c. Kedaan sosial<br />
Sering terjadi pada keluarga dengan keadaan sosial ekonomi kurang, perumahan buruk dengan penghuni yang padat serta udara yang lembab, dan gizi serta kesehatan yang kurang baik.<br />
d. Musim<br />
Di Negara-negara dengan 4 musim, terdapat insiden yang tinggi pada akhir musim dingin dan permulaan semi (Maret-Mei) sedangkan insiden paling rendah pada bulan Agustus – September.<br />
e. Dsitribusi daerah<br />
f. Serangan demam rematik sebelumnya.<br />
Serangan ulang DR sesudah adanya reinfeksi dengan Streptococcus beta-hemolyticus grup A adalah sering pada anak yang sebelumnya pernah mendapat DR.<br />
<br />
3. Patofisiologi<br />
Menurut hipotesa Kaplan dkk (1960) dan Zabriskie (1966), DR terjadi karena terdapatnya proses autoimun atau antigenic similarity antara jaringan tubuh manusia dan antigen somatic streptococcus. Apabila tubuh terinfeksi oleh Streptococcus beta-hemolyticus grup A maka terhadap antigen asing ini segera terbentuk reaksi imunologik yaitu antibody. Karena sifat antigen ini sama maka antibody tersebut akan menyerang juga komponen jaringan tubuh dalam hal ini sarcolemma myocardial dengan akibat terdapatnya antibody terhadap jaringan jantung dalam serum penderiat DR dan jaringan myocard yang rusak.<br />
Salah satu toxin yang mungkin berperanan dalam kejadian DR ialah stretolysin titer 0, suatu produk extraseluler Streptococcus beta-hemolyticus grup A yang dikenal bersifat toxik terhadap jaringan myocard.<br />
Beberapa di antara berbagai antigen somatic streptococcal menetap untuk waktu singkat dan yang lain lagi untuk waktu yang cukup lama. Serum imunologlobulin akan meningkat pada penderita sesudah mendapat radang streptococcal terutama Ig G dan A.<br />
4. Manifestasi Klinik<br />
Dihubungkan dengan diagnosis, manifestasi klinik pada DR akut dibedakan atas manifestasi mayor dan minor.<br />
a. Manifestasi Mayor<br />
• Karditis. Karditis reumatik merupakan proses peradangan aktif yang mengenai endokardium, miokardium, dan pericardium. Gejala awal adalah rasa lelah, pucat, dan anoreksia. Tanda klinis karditis meliputi takikardi, disritmia, bising patologis, adanya kardiomegali secara radiology yang makin lama makin membesar, adanya gagal jantung, dan tanda perikarditis.<br />
• Artritis. Arthritis terjadi pada sekitar 70% pasien dengan demam reumatik, berupa gerakan tidak disengaja dan tidak bertujuan atau inkoordinasi muskuler, biasanya pada otot wajah dan ektremitas.<br />
• Eritema marginatum. Eritema marginatum ditemukan pada lebih kurang 5% pasien. Tidak gatal, macular, dengan tepi eritema yang menjalar mengelilingi kulit yang tampak normal.tersering pada batang tubuh dan tungkai proksimal, serta tidak melibatkan wajah.<br />
• Nodulus subkutan. Ditemukan pada sekitar 5-10% pasien. Nodul berukuran antara 0,5 – 2 cm, tidak nyeri, dan dapat bebas digerakkan. Umumnya terdapat di permukaan ekstendor sendi, terutama siku, ruas jari, lutut, dan persendian kaki.<br />
b. Manifestasi Minor<br />
Manifestasi minor pada demam reumatik akut dapat berupa demam bersifat remiten, antralgia, nyeri abdomen, anoreksia, nausea, dan muntah.<br />
5. Pemeriksaan Diagnostik/peninjang<br />
. Pemeriksaan darah<br />
a. LED tinggi sekali<br />
b. Lekositosis<br />
c. Nilai hemoglobin dapat rendah<br />
b. Pemeriksaan bakteriologi<br />
• Biakan hapus tenggorokan untuk membuktikan adanya streptococcus.<br />
• Pemeriksaan serologi. Diukur titer ASTO, astistreptokinase, anti hyaluronidase.<br />
c. Pemeriksaan radiologi<br />
Elektrokardoigrafi dan ekokardiografi untuk menilai adanya kelainan jantung.<br />
6. Diagnosis.<br />
Diagnosis demam reumatik akut ditegakkan berdasarkan kriteria Jones yang telah direvisi. Karena patologis bergantung pada manifestasi klinis maka pada diagnosis harus disebut manifestasi kliniknya, misalnya demam rematik dengan poliatritis saja. Adanya dua kriteria mayor, atau satu mayor dan dua kriteria minor menunjukkan kemungkinan besar demam rematik akut, jika didukung oleh bukti adanya infeksi sterptokokus grup A sebelumnya<br />
7. Komplikasi<br />
a. Dekompensasi Cordis<br />
Peristiwa dekompensasi cordis pada bayi dan anak menggambarkan terdapatnya sindroma klinik akibat myocardium tidak mampu memenuhi keperluan metabolic termasuk pertumbuhan. Keadaan ini timbul karena kerja otot jantung yang berlebihan, biasanya karena kelainan struktur jantung, kelainan otot jantung sendiri seperti proses inflamasi atau gabungan kedua faktor tersebut.<br />
Pada umumnya payah jantung pada anak diobati secara klasik yaitu dengan digitalis dan obat-obat diuretika. Tujuan pengobatan ialah menghilangkan gejala (simptomatik) dan yang paling penting mengobati penyakit primer.<br />
b. Pericarditis<br />
Peradangan pada pericard visceralis dan parietalis yang bervariasi dari reaksi radang yang ringan sampai tertimbunnnya cairan dalam cavum pericard.<br />
8. Pengobatan/penatalaksanaan<br />
Karena demam rematik berhubungan erat dengan radang Streptococcus beta-hemolyticus grup A, maka pemberantasan dan pencegahan ditujukan pada radang tersebut. Ini dapat berupa :<br />
a. Eradikasi kuman Streptococcus beta-hemolyticus grup A<br />
Pengobatan adekuat harus dimulai secepatnya pada DR dan dilanjutkan dengan pencegahan. Erythromycin diberikan kepada mereka yang alergi terhadap penicillin.<br />
b. Obat anti rematik<br />
Baik cortocisteroid maupun salisilat diketahui sebagai obat yang berguna untuk mengurangi/menghilangkan gejala-gejala radang akut pada DR.<br />
c. Diet<br />
Makanan yang cukup kalori, protein dan vitamin.<br />
d. Istirahat<br />
Istirahat dianjurkan sampai tanda-tanda inflamasi hilang dan bentuk jantung mengecil pada kasus-kasus kardiomegali. Biasanya 7-14 hari pada kasus DR minus carditis. Pada kasus plus carditis, lama istirahat rata-rata 3 minggu – 3 bulan tergantung pada berat ringannya kelainan yang ada serta kemajuan perjalanan penyakit.<br />
e. Obat-obat Lain<br />
Diberikan sesuai dengan kebutuhan. Pada kasus dengan dekompensasi kordis diberikan digitalis, diuretika dan sedative. Bila ada chorea diberikan largactil dan lain-lain.<br />
KONSEP KEPERAWATAN<br />
1. Pengkajian<br />
Lakukan pengkajian fisik rutin<br />
Dapatkan riwayat kesehatan, khususnya mengenai bukti-bukti infeksi streptokokus antesenden.<br />
Observasi adanya manifestasi demam rematik.<br />
2. Diagnosa Keperawatan<br />
. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan disfungsi myocardium<br />
b. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan proses infeksi penyakit.<br />
c. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia.<br />
d. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi.<br />
3. Rencana Keperawatan<br />
a. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan disfungsi myocardium<br />
Tujuan : Pasien dapat menunjukkan perbaikan curah jantung.<br />
Intervensi Rasional<br />
Beri digoksin sesuai instruksi, dengan menggunakan kewaspadaan yang sudah ditentukan untuk mencegah toksisitas.<br />
Kaji tanda- tanda toksisitas digoksin (mual, muntah, anoreksia, bradikardia, disritmia)<br />
Seringkali diambil strip irama EKG<br />
Jamin masukan kalium yang adekuat<br />
Observasi adanya tanda-tanda hipokalemia<br />
Beri obat-obatan untuk menurunkan afterload sesuai instruksi Dapat meningkatkan curah jantung<br />
Untuk mencegah terjadinya toksisitas<br />
Mengkaji status jantung<br />
Penurunan kadar kalium serum akan meningkatkan toksisitas digoksin<br />
b. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan proses infeksi penyakit.<br />
Tujuan : Suhu tubuh normal (36 – 37’ C)<br />
Intervensi Rasional<br />
Kaji saat timbulnya demam<br />
Observasi tanda-tanda vital : suhu, nadi, TD, pernafasan setiap 3 jam<br />
Berikan penjelasan tentang penyebab demam atau peningkatan suhu tubu<br />
Berikan penjelasan pada klien dan keluarga tentang hal-hal yang dilakukan<br />
Jelaskan pentingnya tirah baring bagi klien dan akibatnya jika hal tersebut tidak dilakukan<br />
Anjurkan klien untuk banyak minum kurang lebih 2,5 – 3 liter/hari dan jelaskan manfaatnya.<br />
Berikan kompres hangat dan anjurkan memakai pakaian tipis<br />
Berikan antipiretik sesuai dengan instruksi Dapat diidentifikasi pola/tingkat demam.<br />
Tanda-tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadan umum klien<br />
Penjelasan tentang kondisi yang dilami klien dapat membantu mengurangi kecemasan klien dan keluarga<br />
Untuk mengatasi demam dan menganjurkan klien dan keluarga untuk lebih kooperatif<br />
Keterlibatan keluarga sangat berarti dalam proses penyembuhan klien di RS<br />
Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan cairan tubuh meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak<br />
Kompres akan dapat membantu menurunkan suhu tubuh, pakaian tipis akan dapat membantu meningkatkan penguapan panas tubuh<br />
Antipiretika yang mempunyai reseptor di hypothalamus dapat meregulasi suhu tubuh sehingga suhu tubuh diupayakan mendekati suhu normal<br />
c. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia.<br />
Tujuan :<br />
Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi, klien mampu menghabiskan makanan yang telah disediakan.<br />
Intervensi Rasional<br />
Kaji faktor-faktor penyebab<br />
Jelaskan pentingnya nutrisi yang cukup<br />
Anjurkan klien untuk makan dalam porsi kecil dan sering, jika tidak muntah teruskan<br />
Lakukan perawatan mulut yang baik setelah muntah<br />
Ukur BB setiap hari<br />
Catat jumlah porsi yang dihabiskan klien<br />
Penentuan factor penyebab, akan menentukan intervensi/ tindakan selanjutnya<br />
Meningkatkan pengetahuan klien dan keluarga sehingga klien termotivasi untuk mengkonsumsi makanan<br />
Menghindari mual dan muntah dan distensi perut yang berlebihan<br />
Bau yang tidak enak pada mulut meningkatkan kemungkinan muntah<br />
BB merupakan indikator terpenuhi tidaknya kebutuhan nutrisi<br />
Mengetahui jumlah asupan / pemenuhan nutrisi klien<br />
d. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi.<br />
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang<br />
Intervensi Rasional<br />
Kaji tingkat nyeri yang dialami klien dengan memberi rentang nyeri (1-10), tetapkan tipe nyeri dan respon pasien terhadap nyeri yang dialami<br />
Kaji factor-faktor yang mempengaruhi reaksi pasien terhadap nyeri<br />
Berikan posisi yang nyaman, usahakan situasi ruangan yang tenang<br />
Berikan suasana gembira bagi pasien, alihkan perhatian pasian dari rasa nyeri (libatkan keluarga)<br />
Berikan kesempatan pada klien untuk berkomunikasi dengan teman/ orang terdekat.<br />
Berikan obat-obat analgetik sesuai instruksi Untuk mengetahui berapa tingkat nyeri yang dialami<br />
Reaksi pasien terhadap nyeri dapat dipengaruhi oleh berbagai factor begitupun juga respon individu terhadap nyeri berbeda dab bervariasi<br />
Mengurangi rangsang nyeri akibat stimulus eksternal<br />
Dengan melakukan aktifitas lain, klien dapat sedikit melupakan perhatiannya terhadap nyeri yang dialami<br />
Tetap berhubungan dengan orang-orang terdekat/teman membuat pasien gembira / bahagia dan dapaty mengalihkan perhatiannya terhadap nyeri<br />
Mengurangi nyeri dengan efek farmakologik<br />
<br />
<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
<br />
Arief Mansjoer,dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Ed. 3. Penerbit Media<br />
Aesculapius FKUI. Jakarta.<br />
<br />
Smeltzer Bare, dkk. 2000. Keperawatan Medikal Bedah. EGC. Jakarta.<br />
<br />
Wong Donna L. 2004. Keperawatan Pediatrik. EGC. Jakartacrazy boy'shttp://www.blogger.com/profile/10427640188054710037noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2500718933329494943.post-47024802870313462682010-08-13T02:39:00.003+07:002010-08-13T02:39:29.706+07:00HIDROSEFALUSI. Defenisi<br />
Merupakan sindroma klinis yang dicirikan dengan dilatasi yang progresif pada system ventrikuler cerebral dan kompresi gabungan dari jaringan – jaringan serebral selama produksi CSF berlangsung yang meningkatkan kecepatan absorbsi oleh vili arachnoid.<br />
Akibat berlebihannya cairan serebrospinalis dan meningkatnya tekanan intrakranial menyebabkan terjadinya peleburan ruang – ruang tempat mengalirnya liquor.<br />
Beberapa type hydrocephalus berhubungan dengan kenaikan tekanan intrakranial. 3 (Tiga) bentuk umum hydrocephalus :<br />
a. Hidrocephalus Non – komunikasi (nonkommunicating hydrocephalus)<br />
Biasanya diakibatkan obstruksi dalam system ventrikuler yang mencegah bersikulasinya CSF. Kondisi tersebut sering dijumpai pada orang lanjut usia yang berhubungan dengan malformasi congenital pada system saraf pusat atau diperoleh dari lesi (space occuping lesion) ataupun bekas luka.Pada klien dewasa dapat terjadi sebagai akibat dari obstruksi lesi pada system ventricular atau bentukan jaringan adhesi atau bekas luka didalam system di dalam system ventricular. Pada klien dengan garis sutura yag berfungsi atau pada anak – anak dibawah usia 12 – 18 bulan dengan tekanan intraranialnya tinggi mencapai ekstrim, tanda – tanda dan gejala – gejala kenaikan ICP dapat dikenali. Pada anak – anak yang garis suturanya tidak bergabung terdapat pemisahan / separasi garis sutura dan pembesaran kepala.<br />
b. Hidrosefalus Komunikasi (Kommunicating hidrocepalus)<br />
Jenis ini tidak terdapat obstruksi pada aliran CSF tetapi villus arachnoid untuk mengabsorbsi CSF terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit atau malfungsional. Umumnya terdapat pada orang dewasa, biasanya disebabkan karena dipenuhinya villus arachnoid dengan darah sesudah terjadinya hemmorhage subarachnoid (klien memperkembangkan tanda dan gejala – gejala peningkatan ICP).<br />
c. Hidrosefalus Bertekan Normal (Normal Pressure Hidrocephalus)<br />
Di tandai pembesaran sister basilar dan fentrikel disertai dengan kompresi jaringan serebral, dapat terjadi atrofi serebral. Tekanan intrakranial biasanya normal, gejala – gejala dan tanda – tanda lainnya meliputi ; dimentia, ataxic gait, incontinentia urine. Kelainan ini berhubungan dengan cedera kepala, hemmorhage serebral atau thrombosis, mengitis; pada beberapa kasus (Kelompok umur 60 – 70 tahun) ada kemingkinan ditemukan hubungan tersebut.<br />
II. Fisiologi Cairan Cerebro Spinalis<br />
a. Pembentukan CSF<br />
Normal CSF diproduksi + 0,35 ml / menit atau 500 ml / hari dengan demikian CSF di perbaharui setiap 8 jam.<br />
Pada anak dengan hidrosefalus, produksi CSF ternyata berkurang + 0, 30 / menit. CSF di bentuk oleh PPA;<br />
1). Plexus choroideus (yang merupakan bagian terbesar)<br />
2). Parenchym otak<br />
3). Arachnoid<br />
b. Sirkulasi CSF<br />
Melalui pemeriksaan radio isotop, ternyata CSF mengalir dari tempat pembentuknya ke tempat ke tempat absorpsinya. CSF mengalir dari II ventrikel lateralis melalui sepasang foramen Monro ke dalam ventrikel III, dari sini melalui aquaductus Sylvius menuju ventrikel IV. Melalui satu pasang foramen Lusckha CSF mengalir cerebello pontine dan cisterna prepontis. Cairan yang keluar dari foramen Magindie menuju cisterna magna. Dari sini mengalir kesuperior dalam rongga subarachnoid spinalis dan ke cranial menuju cisterna infra tentorial.Melalui cisterna di supratentorial dan kedua hemisfere cortex cerebri. Sirkulasi berakhir di sinus Doramatis di mana terjadi absorbsi melalui villi arachnoid.<br />
III. Patofisiologi<br />
Jika terdapat obstruksi pada system ventrikuler atau pada ruangan subarachnoid, ventrikel serebral melebar, menyebabkan permukaan ventrikuler mengkerut dan merobek garis ependymal. White mater dibawahnya akan mengalami atrofi dan tereduksi menjadi pita yang tipis. Pada gray matter terdapat pemeliharaan yang bersifat selektif, sehingga walaupun ventrikel telah mengalami pembesaran gray matter tidak mengalami gangguan. Proses dilatasi itu dapat merupakan proses yang tiba – tiba / akut dan dapat juga selektif tergantung pada kedudukan penyumbatan. Proses akut itu merupakan kasus emergency. Pada bayi dan anak kecil sutura kranialnya melipat dan melebar untuk mengakomodasi peningkatan massa cranial. Jika fontanela anterior tidak tertutup dia tidak akan mengembang dan terasa tegang pada perabaan.Stenosis aquaductal (Penyakit keluarga / keturunan yang terpaut seks) menyebabkan titik pelebaran pada ventrikel laterasl dan tengah, pelebaran ini menyebabkan kepala berbentuk khas yaitu penampakan dahi yang menonjol secara dominan (dominan Frontal blow). Syndroma dandy walkker akan terjadi jika terjadi obstruksi pada foramina di luar pada ventrikel IV. Ventrikel ke IV melebar dan fossae posterior menonjol memenuhi sebagian besar ruang dibawah tentorium. Klein dengan type hidrosephalus diatas akan mengalami pembesaran cerebrum yang secara simetris dan wajahnya tampak kecil secara disproporsional.<br />
Pada orang yang lebih tua, sutura cranial telah menutup sehingga membatasi ekspansi masa otak, sebagai akibatnya menujukkan gejala : Kenailkan ICP sebelum ventrikjel cerebral menjadi sangat membesar. Kerusakan dalam absorbsi dan sirkulasi CSF pada hidrosephalus tidak komplit. CSF melebihi kapasitas normal sistim ventrikel tiap 6 – 8 jam dan ketiadaan absorbsi total akan menyebabkan kematian.<br />
Pada pelebaran ventrikular menyebabkan robeknya garis ependyma normal yang pada didning rongga memungkinkan kenaikan absorpsi. Jika route kolateral cukup untuk mencegah dilatasi ventrikular lebih lanjut maka akan terjadi keadaan kompensasi.<br />
<br />
IV. Etiologi dan Patologi<br />
Hydrosephalus dapat disebabkan oleh kelebihan atau tidak cukupnya penyerapan CSF pada otak atau obstruksi yang muncul mengganggu sirkulasi CSF di sistim ventrikuler. Kondisi diatas pada bayi dikuti oleh pembesaran kepala. Obstruksi pada lintasan yang sempit (Framina Monro, Aquaductus Sylvius, Foramina Mengindie dan luschka ) pada ventrikuler menyebabkan hidrocephalus yang disebut : Noncomunicating (Internal Hidricephalus)<br />
Obstruksi biasanya terjadi pada ductus silvius di antara ventrikel ke III dan IV yang diakibatkan perkembangan yang salah, infeksi atau tumor sehingga CSF tidak dapat bersirkulasi dari sistim ventrikuler ke sirkulasi subarahcnoid dimana secara normal akan diserap ke dalam pembuluh darah sehingga menyebabkan ventrikel lateral dan ke III membesar dan terjadi kenaikan ICP.<br />
Type lain dari hidrocephalus disebut : Communcating (Eksternal Hidrocephalus) dmana sirkulasi cairan dari sistim ventrikuler ke ruang subarahcnoid tidak terhalangi, ini mungkin disebabkan karena kesalahan absorbsi cairan oleh sirkulasi vena. Type hidrocephalus terlihat bersama – sama dengan malformasi cerebrospinal sebelumnya.<br />
V. Tanda dan Gejala<br />
Kepala bisa berukuran normal dengan fontanela anterior menonjol, lama kelamaan menjadi besar dan mengeras menjadi bentuk yang karakteristik oleh peningkatan dimensi ventrikel lateral dan anterior – posterior diatas proporsi ukuran wajah dan bandan bayi.<br />
Puncak orbital tertekan kebawah dan mata terletak agak kebawah dan keluar dengan penonjolan putih mata yang tidak biasanya.<br />
Tampak adanya dsitensi vena superfisialis dan kulit kepala menjadi tipis serta rapuh.<br />
Uji radiologis : terlihat tengkorak mengalami penipisan dengan sutura yang terpisah – pisah dan pelebaran vontanela.<br />
Ventirkulogram menunjukkan pembesaran pada sistim ventrikel . CT scan dapat menggambarkan sistim ventrikuler dengan penebalan jaringan dan adnya massa pada ruangan Occuptional.<br />
Pada bayi terlihat lemah dan diam tanpa aktivitas normal. Proses ini pada tipe communicating dapat tertahan secara spontan atau dapat terus dengan menyebabkan atrofi optik, spasme ekstremitas, konvulsi, malnutrisi dan kematian, jika anak hidup maka akan terjadi retardasi mental dan fisik.<br />
VI. Diagnosis<br />
CT Scan<br />
Sistenogram radioisotop dengan scan .<br />
VII. Perlakuan<br />
Prosedur pembedahan jalan pintas (ventrikulojugular, ventrikuloperitoneal) shunt<br />
Kedua prosedur diatas membutuhkan katheter yang dimasukan kedalam ventrikel lateral : kemudian catheter tersebut dimasukan kedalasm ujung terminal tube pada vena jugular atau peritonium diaman akan terjadi absorbsi kelebihan CSF.<br />
VIII. Penatalaksanaan Perawatan Khusus<br />
Hal – hal yang harus dilakukan dalam rangka penatalaksanaan post – operatif dan penilaian neurologis adalah sebagai berikut :<br />
1) Post – Operatif : Jangan menempatkan klien pada posisi operasi.<br />
2) Pada beberapa pemintasan, harus diingat bahwa terdapat katup (biasanya terletak pada tulang mastoid) di mana dokter dapat memintanya di pompa.<br />
3) Jaga teknik aseptik yang ketat pada balutan.<br />
4) Amati adanya kebocoran disekeliling balutan.<br />
5) Jika status neurologi klien tidak memperlihatkan kemajuan, patut diduga adanya adanya kegagalan operasi (malfungsi karena kateter penuh);gejala dan tanda yang teramati dapat berupa peningkatan ICP.<br />
Hidrocephalus pada Anak atau Bayi<br />
Pembagian :<br />
Hidrosephalus pada anak atau bayi pada dasarnya dapat di bagi dua (2 ) ;<br />
1. Kongenital<br />
Merupakan Hidrosephalus yang sudah diderita sejak bayi dilahirkan, sehingga ;<br />
- Pada saat lahir keadaan otak bayi terbentuk kecil<br />
- Terdesak oleh banyaknya cairan didalam kepala dan tingginya tekanan intrakranial sehingga pertumbuhan sel otak terganggu.<br />
2. Di dapat<br />
Bayi atau anak mengalaminya pada saat sudah besar, dengan penyebabnya adalah penyakit – penyakit tertentu misalnya trauma, TBC yang menyerang otak dimana pengobatannya tidak tuntas.<br />
Pada hidrosefalus di dapat pertumbuhan otak sudah sempurna, tetapi kemudian terganggu oleh sebab adanya peninggian tekanan intrakranial.Sehingga perbedaan hidrosefalus kongenital denga di dapat terletak pada pembentukan otak dan pembentukan otak dan kemungkinan prognosanya..<br />
Penyebab sumbatan ;<br />
Penyebab sumbatan aliran CSF yang sering terdapat pada bayi dan anak – anak ;<br />
1. Kelainan kongenital<br />
2. Infeksi di sebabkan oleh perlengketan meningen akibat infeksi dapat terjadi pelebaran ventrikel pada masa akut ( misal ; Meningitis )<br />
3. Neoplasma<br />
4. Perdarahan , misalnya perdarahan otak sebelum atau sesudah lahir.<br />
Berdasarkan letak obstruksi CSF hidrosefalus pada bayi dan anak ini juga terbagi dalam dua bagianyaitu :<br />
1. Hidrosefalus komunikan<br />
Apabila obstruksinya terdapat pada rongga subaracnoid, sehingga terdapat aliran bebas CSF dal;am sistem ventrikel sampai ke tempat sumbatan.<br />
2. Hidrosefalus non komunikan<br />
Apabila obstruksinya terdapat terdapat didalam sistem ventrikel sehingga menghambat aliran bebas dari CSF.<br />
Biasanya gangguan yang terjadi pada hidrosefalus kongenital adalah pada sistem vertikal sehingga terjadi bentuk hidrosefalus non komunikan.<br />
Manifestasi klinis<br />
1. Bayi ;<br />
- Kepala menjadi makin besar dan akan terlihat pada umur 3 tahun.<br />
- Keterlambatan penutupan fontanela anterior, sehingga fontanela menjadi tegang, keras, sedikit tinggi dari permukaan tengkorak.<br />
- Tanda – tanda peningkatan tekanan intrakranial;<br />
• Muntah<br />
• Gelisah<br />
• Menangis dengan suara ringgi<br />
• Peningkatan sistole pada tekanan darah, penurunan nadi, peningkatan pernafasan dan tidak teratur, perubahan pupil, lethargi – stupor.<br />
- Peningkatan tonus otot ekstrimitas<br />
- Tanda – tanda fisik lainnya ;<br />
• Dahi menonjol bersinar atau mengkilat dan pembuluh – pembuluh darah terlihat jelas.<br />
• Alis mata dan bulu mata ke atas, sehingga sclera telihat seolah – olah di atas iris.<br />
• Bayi tidak dapat melihat ke atas, “sunset eyes”<br />
• Strabismus, nystagmus, atropi optik.<br />
• Bayi sulit mengangkat dan menahan kepalanya ke atas.<br />
2. Anak yang telah menutup suturanya ;<br />
Tanda – tanda peningkatan tekanan intrakranial :<br />
- Nyeri kepala<br />
- Muntah<br />
- Lethargi, lelah, apatis, perubahan personalitas<br />
- Ketegangan dari sutura cranial dapat terlihat pada anak berumur 10 tahun.<br />
- Penglihatan ganda, kontruksi penglihatan perifer<br />
- Strabismus<br />
- Perubahan pupil.<br />
1. PENGKAJIAN<br />
1.1 Anamnese<br />
1) Riwayat penyakit / keluhan utama<br />
Muntah, gelisah nyeri kepala, lethargi, lelah apatis, penglihatan ganda, perubahan pupil, kontriksi penglihatan perifer.<br />
2) Riwayat Perkembangan<br />
Kelahiran : prematur. Lahir dengan pertolongan, pada waktu lahir menangis keras atau tidak.<br />
Kekejangan : Mulut dan perubahan tingkah laku.<br />
Apakah pernah terjatuh dengan kepala terbentur.<br />
Keluhan sakit perut.<br />
<br />
1.2 Pemeriksaan Fisik<br />
1) Inspeksi :<br />
Anak dapat melioha keatas atau tidak.<br />
Pembesaran kepala.<br />
Dahi menonjol dan mengkilat. Sertas pembuluh dara terlihat jelas.<br />
2) Palpasi<br />
Ukur lingkar kepala : Kepala semakin membesar.<br />
Fontanela : Keterlamabatan penutupan fontanela anterior sehingga fontanela tegang, keras dan sedikit tinggi dari permukaan tengkorak.<br />
3) Pemeriksaan Mata<br />
Akomodasi.<br />
Gerakan bola mata.<br />
Luas lapang pandang<br />
Konvergensi.<br />
Didapatkan hasil : alis mata dan bulu mata keatas, tidak bisa melihat keatas.<br />
Stabismus, nystaqmus, atropi optic.<br />
<br />
<br />
1.3 Observasi Tanda –tanda vital<br />
Didapatkan data – data sebagai berikut :<br />
Peningkatan sistole tekanan darah.<br />
Penurunan nadi / Bradicardia.<br />
Peningkatan frekwensi pernapasan.<br />
1.4 Diagnosa Klinis :<br />
Transimulasi kepala bayi yang akan menunjukkan tahap dan lokalisasi dari pengumpulan cairan banormal. ( Transsimulasi terang )<br />
Perkusi tengkorak kepala bayi akan menghasilkan bunyi “ Crakedpot “ (Mercewen’s Sign)<br />
Opthalmoscopy : Edema Pupil.<br />
CT Scan Memperlihatkan (non – invasive) type hidrocephalus dengan nalisisi komputer.<br />
Radiologi : Ditemukan Pelebaran sutura, erosi tulang intra cranial.<br />
<br />
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN<br />
2.1 Pre Operatif<br />
1) Gangguan rasa nyaman: Nyeri sehubungan dengan meningkatkanya tekanan intrakranial .<br />
Data Indikasi : Adanya keluahan Nyeri Kepala, Meringis atau menangis, gelisah, kepala membesar<br />
Tujuan ; Klien akan mendapatkan kenyamanan, nyeri kepala berkurang<br />
Intervensi :<br />
Jelaskan Penyebab nyeri.<br />
Atur posisi Klien<br />
Ajarkan tekhnik relaksasi<br />
Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian Analgesik<br />
Persapiapan operasi<br />
<br />
2) Kecemasan Orang tua sehubungan dengan keadaan anak yang akan mengalami operasi.<br />
Data Indikasi : Ekspresi verbal menunjukkan kecemasan akan keadaan anaknya.<br />
Tujuan : Kecemasan orang tua berkurang atau dapat diatasi.<br />
Intervensi :<br />
Dorong orang tua untuk berpartisipasi sebanyak mungkin dalam merawat anaknya.<br />
Jelaskan pada orang tua tentang masalah anak terutama ketakutannya menghadapi operasi otak dan ketakutan terhadap kerusakan otak.<br />
Berikan informasi yang cukup tentang prosedur operasi dan berikan jawaban dengan benar dan sejujurnya serta hindari kesalahpahaman.<br />
3) Potensial Kekurangan cairan dan elektrolit sehubungan dengan intake yang kurang diserta muntah.<br />
Data Indikasi ; keluhan Muntah, Jarang minum.<br />
Tujuan : Tidak terjadi kekurangan cairan dan elektrolit.<br />
Intervensi :<br />
Kaji tanda – tanda kekurangan cairan<br />
Monitor Intake dan out put<br />
Berikan therapi cairan secara intavena.<br />
Atur jadwal pemberian cairan dan tetesan infus.<br />
Monitor tanda – tanda vital.<br />
2.2 Post – Operatif.<br />
1) Gangguan rasa nyaman : Nyeri sehubungan dengan tekanan pada kulit yang dilakukan shunt.<br />
Data Indikasi ; adanya keluhan nyeri, Ekspresi non verbal adanya nyeri.<br />
Tujuan : Rasa Nyaman Klien akan terpenuhi, Nyeri berkurang<br />
Intervensi :<br />
Beri kapas secukupnya dibawa telinga yang dibalut.<br />
Aspirasi shunt (Posisi semi fowler), bila harus memompa shunt, maka pemompaan dilakukan perlahan – lahan dengan interval yang telah ditentukan.<br />
Kolaborasi dengan tim medis bila ada kesulitan dalam pemompaan shunt.<br />
Berikan posisi yang nyama. Hindari posisi p[ada tempat dilakukan shunt.<br />
Observasi tingkat kesadaran dengan memperhatikan perubahan muka (Pucat, dingin, berkeringat)<br />
Kaji orisinil nyeri : Lokasi dan radiasinya<br />
2) Resiko tinggi terjadinya gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh sehubungan dengan intake yang tidak adekuat.<br />
Data Indikasi ; Adanya keluhan kesulitan dalam mengkonsumsi makanan.<br />
Tujuan : Tidak terjadi gangguan nutrisil.<br />
Intervensi :<br />
Berikan makanan lunak tinggi kalori tinggi protein.<br />
Berikan klien makan dengan posisi semi fowler dan berikan waktu yang cukup untuk menelan.<br />
Ciptakan suasana lingkungan yang nyaman dan terhindar dari bau – bauan yang tidak enak.<br />
Monitor therapi secara intravena.<br />
Timbang berta badan bila mungkin.<br />
Jagalah kebersihan mulut ( Oral hygiene)<br />
Berikan makanan ringan diantara waktu makan<br />
3) Resiko tinggi terjadinya infeksi sehubungan dengan infiltrasi bakteri melalui shunt.<br />
Tujuan : Tidak terjadi infeksi / Klien bebas dari infeksi.<br />
Intervensi :<br />
Monitor terhadap tanda – tanda infeksi.<br />
Pertahankan tekhnik kesterilan dalam prosedur perawatan<br />
Cegah terhadap terjadi gangguan suhu tubuh.<br />
Pertahanakan prinsiup aseptik pada drainase dan ekspirasi shunt.<br />
4) Resiko tinggi terjadi kerusakan integritas kulit dan kontraktur sehubungan dengan imobilisasi.<br />
Tujuan ; Pasien bebas dari kerusakan integritas kulit dan kontraktur.<br />
Intervensi :<br />
Mobilisasi klien (Miki dan Mika) setiap 2 jam.<br />
Obsevasi terhadap tanda – tanda kerusakan integritas kulit dan kontrkatur.<br />
Jagalah kebersihan dan kerapihan tempat tidur.<br />
Berikan latihan secara pasif dan perlahan – lahan.crazy boy'shttp://www.blogger.com/profile/10427640188054710037noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2500718933329494943.post-74666289556497501182010-07-07T09:55:00.000+07:002010-07-07T09:55:39.209+07:00lanjutan KTIBAB IV<br />
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN<br />
<br />
A. Hasil Penelitian<br />
Pada bab ini menguraikan hasil dan pembahasannya dengan menentukan frekuensi dan dipresentasikan ke dalam tabel, kemudian disimpulkan / interpretasikan. Variable yang diteliti adalah pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi tetanus toxoid di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi dengan sub variable yaitu pengertian imunisasi tetanus toxoid, manfaat imunisasi tetanus toxoid, periode waktu pemberian imunisasi tetanus toxoid, efek samping imunisasi tetanus toxoid, tempat mendapatkan pelayanan imunisasi tetanus toxoid. Hasil penelitian dan pembahasannya disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi sebagai berikut :<br />
1. Karakteristik Responden<br />
a. Karakteristik responden menurut umur.<br />
Karakteristik responden berdasarkan umur di dapatkan responden termuda berumur 16 tahun dan tertua berumur 40 tahun dan rata-rata berumur 25 tahun. Hasil penelitian yang di dapat dari data responden berdasarkan karakteristik umur disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi sebagai berikut :<br />
<br />
<br />
Tabel 4. 1 Distribusi frekuensi ibu hamil yang mengikuti imunisasi tetanus toxoid di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi menurut umur.<br />
<br />
No Umur Frekuensi %<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
6. 16 – 20<br />
21 – 25<br />
26 – 30<br />
31 – 35<br />
36 – 40<br />
≥ 40 11<br />
35<br />
22<br />
9<br />
8<br />
4 12,3<br />
39,3<br />
24,7<br />
10,2<br />
9,1<br />
4,4<br />
Jumlah 89 100<br />
<br />
Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar responden yaitu (39,3%) berumur 21 – 25 tahun, (24,7%) berumur 26 – 30 tahun dan (12,3%) berumur 16 – 20 tahun. Sebagian kecil dari responden yaitu (10,2%) berumur 31 – 35 tahun, (9,1%) berumur 36 – 40 tahun dan (4,4%) berumur ≥ 40 tahun.<br />
b. Karakteristik menurut pendidikan.<br />
Karakteristik responden menurut pendidikan ini dikelompokan dalam tingkat pendidikan. Pendidikan yang paling tinggi adalah DI dan yang terendah adalah SD. Yang dapat dilihat pada tabel berikut <br />
Tabel 4. 2 Distribusi Frekuensi Ibu Hamil yang mengikuti imunisasi tetanus toxoid di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi menurut pendidikan.<br />
No Pendidikan Frekuensi %<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4. SD<br />
SMP<br />
SMU<br />
DI 39<br />
30<br />
19<br />
1 43,8<br />
33,7<br />
21,4<br />
1,1<br />
Jumlah 89 100<br />
Berdasarkan tabel diatas di dapat bahwa sebagian besar responden yaitu (43,8%) responden mempunyai pendidikan SD, (33,7%) responden mempunyai pendidikan SMP dan sebagian kecil responden yaitu (21,4%) mempunyai pendidikan SMU, (1,1%) mempunyai pendidikan DI.<br />
c. Karakteristik menurut pekerjaan.<br />
Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan, di dapat hasil bahwa pekerjaan yang paling banyak adalah ibu rumah tangga dan yang paling sedikit adalah pegawai negeri sipil. Hasil penelitian yang di dapat data responden berdasarkan karakteristik menurut pekerjaan dapat dilihat dalam tabel berikut :<br />
Tabel 4. 3 Distribusi frekuensi ibu hamil yang mengikuti imunisasi tetanus toxoid di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi menurut pekerjaan.<br />
<br />
No Pekerjaan Frekuensi %<br />
1.<br />
2.<br />
3. Ibu Rumah Tangga<br />
Pedagang<br />
PNS 84<br />
4<br />
1 94,4<br />
4,5<br />
1,1<br />
Jumlah 89 100<br />
<br />
Tabel diatas menunjukan bahwa sebagian besar responden yaitu (94,4%) mempunyai pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, (4,5%) mempunyai pekerjaan sebagai pedagang dan sebagian kecil responden yaitu (1,1%) mempunyai pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil.<br />
<br />
<br />
2. Distribusi Pengetahuan Responden<br />
Hasil penelitian mengenai pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi tetanus toxoid di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi. Variable yang diteliti adalah pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi tetanus toxoid di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi dengan sub variable yaitu pengertian imunisasi tetanus toxoid, manfaat imunisasi tetanus toxoid, periode waktu pemberian imunisasi tetanus toxoid, efek samping imunisasi tetanus toxoid, tempat mendapatkan pelayanan imunisasi tetanus toxoid. Hasil penelitian dan pembahasannya akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi sebagai berikut :<br />
a. Distribusi pengetahuan ibu hamil tentang pengertian imunisasi tetanus toxoid.<br />
Berdasarkan hasil jawaban responden terhadap kuesioner nomor 1 sampai dengan nomor 3, maka diperoleh hasil seperti pada tabel distribusi frekuensi berikut ini :<br />
Tabel 4.4 Distribusi frekuensi pengetahuan ibu hamil tentang pengertian imunisasi tetanus toxoid.<br />
<br />
No Kategori<br />
Pengetahuan Frekuensi %<br />
1.<br />
2.<br />
3. Baik<br />
Cukup<br />
Kurang 7<br />
77<br />
5 7,86<br />
86,51<br />
5,61<br />
Jumlah 89 100<br />
<br />
Tabel diatas dapat diketahui bahwa pengetahuan ibu hamil tentang pengertian imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (86,51%) memiliki pengetahuan kategori yang cukup dan sebagian kecil responden yaitu (7,86%) memiliki pengetahuan kategori yang baik, (5,61%) memiliki pengetahuan yang kurang.<br />
b. Distribusi pengetahuan ibu hamil tentang manfaat imunisasi tetanus toxoid.<br />
Berdasarkan hasil jawaban responden terhadap kuesioner nomor 4 sampai dengan nomor 5, maka diperoleh hasil seperti pada tabel distribusi frekuensi berikut ini :<br />
Tabel 4.5 Distribusi frekuensi pengetahuan ibu hamil tentang manfaat imunisasi tetanus toxoid.<br />
<br />
No Kategori<br />
Pengetahuan Frekuensi %<br />
1.<br />
2.<br />
3. Baik<br />
Cukup<br />
Kurang 81<br />
0<br />
8 91,01<br />
0<br />
8,98<br />
Jumlah 89 100<br />
<br />
Tabel diatas dapat diketahui bahwa pengetahuan ibu hamil tentang manfaat imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (91,01%) memiliki kategori pengetahuan yang baik dan sebagian kecil yaitu (8,98%) memiliki pengetahuan kurang.<br />
<br />
<br />
c. Distribusi pengetahuan ibu hamil tentang periode waktu mendapatkan imunisasi tetanus toxoid.<br />
Berdasarkan hasil jawaban responden terhadap kuesioner nomor 6 sampai dengan nomor 7, maka diperoleh hasil seperti pada tabel distribusi frekuensi berikut ini :<br />
Tabel 4.6 Distribusi frekuensi pengetahuan ibu hamil tentang periode waktu imunisasi tetanus toxoid.<br />
<br />
No Kategori<br />
Pengetahuan Frekuensi %<br />
1.<br />
2.<br />
3. Baik<br />
Cukup<br />
Kurang 9<br />
0<br />
80 10,11<br />
0<br />
89,88<br />
Jumlah 89 100<br />
<br />
Tabel diatas dapat diketahui bahwa pengetahuan ibu hamil tentang periode waktu mendapatkan imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (89,88%) memiliki pengetahuan kurang dan sebagian kecil adalah (10,11%) memiliki pengetahuan baik.<br />
d. Distribusi pengetahuan ibu hamil tentang efek samping imunisasi tetanus toxoid.<br />
Berdasarkan hasil jawaban responden terhadap kuesioner nomor 8, maka diperoleh hasil seperti pada tabel distribusi frekuensi berikut ini :<br />
<br />
<br />
<br />
Tabel 4.7 Distribusi frekuensi pengetahuan ibu hamil tentang efek samping imunisasi tetanus toxoid.<br />
<br />
No Kategori<br />
Pengetahuan Frekuensi %<br />
1.<br />
2.<br />
3. Baik<br />
Cukup<br />
Kurang 34<br />
0<br />
55 32,2<br />
0<br />
61,79<br />
Jumlah 89 100<br />
<br />
Tabel diatas dapat diketahui bahwa pengetahuan ibu hamil tentang efek samping dari imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (61,79%) memiliki pengetahuan yang kurang dan sebagian kecil adalah (32,2%) memiliki pengetahuan yang baik.<br />
e. Distribusi pengetahuan ibu hamil tentang cara mendapatkan imunisasi tetanus toxoid.<br />
Berdasarkan hasil jawaban responden terhadap kuesioner nomor 9 sampai dengan nomor 10, maka diperoleh hasil seperti pada tabel distribusi frekuensi berikut ini :<br />
Tabel 4.8 Distribusi frekuensi pengetahuan ibu hamil tentang cara mendapatkan imunisasi tetanus toxoid.<br />
<br />
No Kategori<br />
Pengetahuan Frekuensi %<br />
1.<br />
2.<br />
3. Baik<br />
Cukup<br />
Kurang 84<br />
0<br />
5 94,38<br />
0<br />
5,61<br />
Jumlah 89 100<br />
<br />
Tabel diatas dapat diketahui bahwa pengetahuan ibu hamil tentang cara mendapatkan imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (94,38%) memiliki pengetahuan baik dan sebagian kecil adalah (5,61%) memiliki pengetahuan kurang.<br />
B. Pembahasan<br />
Berdasarkan hasil penelitian tentang pengetahuan ibu hamil terhadap imunisasi tetanus toxoid, maka di bawah ini akan dibahas pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi tetanus toxoid di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi – Cirebon.<br />
Menurut Notoatmodjo (2003 : 121), mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui panca indera penglihatan dan pendengaran.<br />
1. Pengetahuan ibu hamil tentang pengertian imunisasi tetanus toxoid.<br />
Pengetahuan ibu hamil tentang pengertian imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (86,51%) memiliki pengetahuan kategori yang cukup dan sebagian kecil responden yaitu (7,86%) memiliki pengetahuan kategori yang baik, (5,61%) memiliki pengetahuan yang kurang. Menurut teori seharusnya responden bisa menjawab dengan benar semua kuesioner yang mengenai pengertian dari imunisasi tetanus toxoid akan tetapi kenyataannya masih ada sejumlah responden memiliki pengetahuan dalam kategori yang kurang tentang pengertian imunisasi tetanus toxoid.<br />
Hal ini dikarenakan masih terdapat responden sangat minim yang melatarbelakangi oleh pendidikan yang masih rendah dan informasi yang diterima masih kurang mengenai pengertian imunisasi tetanus toxoid. Maka dari itu masih perlu diadakannya pembinaan melalui penyuluhan kesehatan yang merata oleh tim kesehatan.<br />
2. Pengetahuan ibu hamil tentang manfaat imunisasi tetanus toxoid.<br />
Pengetahuan ibu hamil tentang manfaat imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (91,01%) memiliki kategori pengetahuan yang baik dan sebagian kecil yaitu (8,98%) memiliki pengetahuan kurang. Menurut teori seharusnya responden bisa menjawab dengan benar semua kuesioner yang mengenai manfaat dari imunisasi tetanus toxoid akan tetapi kenyataannya masih ada sejumlah responden memiliki pengetahuan dalam kategori yang kurang dalam menjawab kuesioner.<br />
Disini kita memperoleh hasil bahwa pengetahuan ibu hamil tentang manfaat imunisasi tetanus toxoid sudah baik dan agar selanjutnya dapat dijadikan motivasi bagi ibu hamil untuk lebih mau berkembang kearah yang lebih baik lagi.<br />
3. Pengetahuan ibu hamil tentang periode waktu mendapatkan imunisasi tetanus toxoid.<br />
Pengetahuan ibu hamil tentang periode waktu mendapatkan imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (89,88%) memiliki pengetahuan kurang dan sebagian kecil adalah (10,11%) memiliki pengetahuan baik. Dengan mengetahui dari awal tentang periode waktu mendapatkan imunisasi tetanus toxoid diharapkan bisa segera mengurangi rentanitas atau dapat mencegah penyakit tetanus.<br />
Kurangnya pengetahuan responden didukung oleh karakteristik responden yang kurang dari setengah yaitu (43,8%) responden mempunyai pendidikan SD, dimana untuk mengetahui periode waktu mendapatkan imunisasi tetanus toxoid memerlukan tingkat pemahaman yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa dnegan latar belakang pendidikan yang rendah mempunyai pengetahuan dan tingkat pemahaman yang terbatas. (Notoatmodjo, 2003).<br />
4. Pengetahuan ibu hamil tentang efek samping dari imunisasi tetanus toxoid.<br />
Pengetahuan ibu hamil tentang efek samping imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (61,79%) memiliki pengetahuan yang kurang dan sebagian kecil adalah (32,2%) memiliki pengetahuan yang baik.<br />
Dengan demikian dapat diketahui bahwa ibu hamil masih mempunyai pengetahuan yang kurang tentang efek samping imunisasi tetanus toxoid, dikarenakan masih banyak responden yang tingkat pendidikannya masih rendah dan ketidakaktifan ibu hamil untuk mengetahui efek samping tentang imunisasi tetanus toxoid melalui media baik cetak maupun elektronik dan melalui penyuluhan yang dilaksanakan oleh pihak Puskesmas Kaliwedi.<br />
<br />
5. Pengetahuan ibu hamil tentang cara mendapatkan pelayanan Imunisasi tetanus toxoid.<br />
Pengetahuan ibu hamil tentang cara mendapatkan imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (94,38%) memiliki pengetahuan baik dan sebagian kecil adalah (5,61%) memiliki pengetahuan kurang.<br />
Disini dapat diketahui bahwa pengetahuan ibu hamil keseluruhan tentang penanganan penyakit tetanus toxoid sudah baik, hanya ada 5,61% responden yang berpengetahuan kurang. Walaupun demikian petugas kesehatan khususnya selalu memberikan pendidikan kesehatan atau penyuluhan kesehatan agar masyarakat lebih paham lagi khususnya ibu hamil.<br />
<br />
BAB V<br />
KESIMPULAN DAN SARAN<br />
<br />
A. Kesimpulan<br />
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi tetanus toxoid meliputi sebagai berikut : pengetahuan ibu hamil tentang pengertian imunisasi tetanus toxoid, manfaat imunisasi tetanus toxoid, periode waktu mendapatkan imunisasi tetanus toxoid, efek samping dan cara mendapatkan imunisasi tetanus toxoid di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :<br />
1. Pengetahuan ibu hamil tentang pengertian imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (86,51%) dalam kategori yang cukup.<br />
2. Pengetahuan ibu hamil tentang manfaat imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (91,01%) dalam kategori yang baik.<br />
3. Pengetahuan ibu hamil tentang periode waktu mendapatkan imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (89,88%) dalam kategori memiliki pengetahuan yang kurang.<br />
4. Pengetahuan ibu hamil tentang efek samping imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (61,79%) dalam kategori memiliki pengetahuan yang kurang.<br />
5. Pengetahuan ibu hamil tentang cara mendapatkan imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (94,38%) dalam kategori memiliki pengetahuan yang baik.<br />
<br />
B. Saran<br />
1. Bagi Perawat<br />
Menurut hasil penelitian dapat diketahui bahwa masih banyaknya responden yang menurut kategori memiliki pengetahuan kurang tentang periode waktu mendapatkan dan efek samping imunisasi tetanus toxoid. Maka masih perlu digalakannya lagi penyuluhan kesehatan tentang imunisasi tetanus toxoid sehingga menurut teori bisa dikatakan mencapai target dari yang sudah ditargetkan.<br />
2. Bagi Puskesmas<br />
Puskesmas Kaliwedi diharapkan lebih dapat lagi untuk menyusun strategi penyuluhan baik perorangan maupun kelompok disetiap kesempatan mengenai imunisasi tetanus toxoid.<br />
3. Bagi Ibu Hamil<br />
Agar dapat secara pro-aktif untuk mencari informasi tentang imunisasi tetanus toxoid baik melalui media cetak, media elektronik ataupun bertanya secara langsung kepada petugas kesehatan.crazy boy'shttp://www.blogger.com/profile/10427640188054710037noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2500718933329494943.post-90272966299008265532010-07-07T09:41:00.001+07:002010-07-07T09:50:38.861+07:00GAMBARAN PENGETAHUAN IBU HAMIL TENTANG IMUNISASI TETANUS TOXOID DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KALIWEDI KABUPATEN CIREBON<b> BAB I<br />
PENDAHULUAN<br />
</b><br />
A. Latar Belakang<br />
Pada era modern sekarang ini, di dalam dunia kesehatan peran pelayanan kesehatan tentunya sangatlah penting. Salah satu peran penting seorang pelayan kesehatan adalah penanggulangan penyakit menular, Seperti diketahui penyakit menular disebabkan oleh infeksi berbagai organisme maupun mikroorganisme di antaranya bakteri dan virus. Contoh penyakit menular yang disebabkan infeksi bakteri misalnya: difteri, pertusis, tuberkulosis dan tetanus sedangkan yang disebabkan oleh virus misalnya hepatitis, polio, dan campak.<br />
Penyakit-penyakit di atas sebetulnya sudah dapat dicegah melalui imunisasi baik imunisasi dasar saat bayi 0-11 bulan maupun imunisasi lanjutan saat anak usia sekolah, ada pula imunisasi yang diberikan pada ibu hamil dan calon pengantin wanita yaitu imunisasi tetanus toxoid. Imunisasi sendiri sebetulnya sudah berlangsung lama, misalnya menurut hikayat Raja Pontus melindungi dirinya dari keracunan makanan dengan cara minum darah itik, sedangkan penggunaan hati anjing gila untuk pengobatan rabies menjadi basis pendekatan pembuatan vaksin rabies. Pembuatan vaksin dapat dikatakan dimulai tahun 1877 oleh Pasteur menggunakan kuman hidup yang dilemahkan yaitu untuk vaksinasi cowpox dan smallpox; pada tahun 1881 mulai dibuat vaksin anthrax dan tahun 1885 dimulai pembuatan vaksin rabies.<br />
Sejarah imunisasi di Indonesia dimulai pada tahun 1956 dengan imunisasi cacar; dengan selang waktu yang cukup jauh yaitu pada tahun 1973 mulai dilakukan imunisasi BCG untuk tuberkulosis, disusul Imunisasi tetanus toxoid pada ibu hamil pada tahun 1974. Imunisasi DPT (difteri, pertusis, tetanus) pada bayi mulai diadakan pada tahun 1976. Pada tahun 1977 WHO mulai menetapkan program imunisasi sebagai upaya global dengan EPI (Expanded Program on Immunization) dan pada tahun 1981 mulai dilakukan imunisasi polio, tahun 1982 imunisasi campak mulai diberikan, dan tahun 1997 imunisasi hepatitis mulai dilaksanakan.<br />
Adapun kegiatan imunisasi yang rutin diadakan adalah :<br />
1. Imunisasi dasar pada bayi umur 0-11 bulan meliputi : BCG (1 kali pemberian), DPT (3 kali), Polio (4 kali), Hepatitis B (3 kali), dan Campak (1 kali).<br />
2. Imunisasi lanjutan pada anak sekolah yaitu imunisasi DT (1 kali) dan TT (2 kali). <br />
3. Imunisasi lanjutan pada ibu hamil dan calon pengantin wanita ialah TT 5 kali pemberian.<br />
Penyakit tetanus akibat infeksi bakteri anaerob Clostridium Tetani di tempat luka dan menghasilkan Eksotoksin yang akan menyerang otot sehingga akan terjadi spasmus (kejang) otot. Kuman ini terdapat di usus hewan sehingga penularan terjadi karena kontak daerah luka dengan feses hewan yang mengandung kuman tersebut. Masa inkubasi antara 3 -21 hari kadang-kadang antara 1 hari sampai beberapa bulan. Penyakit ini dapat menyerang bayi baru lahir (tetanus neonatorum) yang biasanya akibat pertolongan persalinan yang kurang memperhatikan prinsip-prinsip kesehatan. Penyakit ini merupakan masalah kesehatan serius di negara berkembang : pemberian imunisasi toxoid tetanus pada calon pengantin wanita dan pada ibu hamil diharapkan dapat menurunkan kasus ini. Di Indonesia ada kebijakan MNTE (Maternal Neonatal Tetanus Elimination) untuk akselerasi pencapaian imunisasi WUS (wanita usia subur) dalam mengatasi penyakit ini melalui pendekatan golongan resiko tinggi yang diharapkan akan meluas dan memberi efek positif melalui kerja sama terpadu lintas program dan kerjasama antara para profesional, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan swasta.<br />
Berdasarkan data yang diperoleh dari bagian rekamedik Puskesmas Kaliwedi Kabupaten Cirebon yang dilakukan dari tanggal 01 Januari – 31 Desember 2009. Cakupan program imunisasi tetanus toxoid di Puskesmas Kaliwedi dengan jumlah ibu hamil sebanyak 834 orang dan ibu hamil yang mengikuti program imunisasi TT1 sebanyak 748 ibu hamil sedangkan yang mengikuti program imunisasi TT2 sebanyak 757 ibu hamil sehingga dapat dilihat prosentasenya dalam tabel sebagai berikut :<br />
Tabel 1.1 Cakupan Program Imunisasi Tetanus Toxoid di Puskesmas Kaliwedi Kabupaten Cirebon dari periode Januari – Desember 2009<br />
Jenis <br />
Imunisasi Target Cakupan Kesenjangan <br />
TT 1 100% 89,6% 10,4 %<br />
TT 2 100% 90,7% 9,3 %<br />
Sumber : Rekamedik Puskesmas Kaliwedi<br />
<br />
Menurut data di atas dari cakupan program imunisasi tetanus toxoid di wilayah Puskesmas Kaliwedi dengan jumlah ibu hamil sebanyak 834 orang dan ibu hamil yang mengikuti program imunisasi TT1 sebanyak 748 ibu hamil sedangkan yang mengikuti program imunisasi TT2 sebanyak 757 ibu hamil. Jika di prosentasekan dalam prosentase dari target yang telah direncanakan sebesar 100% maka masih terdapat kesenjangan pada imunisasi TT1 sebesar 10,4% dan imunisasi TT2 sebesar 9,3% dikarenakan kurangnya pengetahuan ibu hamil atau wanita usia subur tentang pentingnya imunisasi tetanus toxoid sehingga masih rentannya ibu atau bayi yang baru lahir terkena penyakit tetanus toxoid. <br />
Dari hasil studi pendahuluan oleh peneliti bahwa ibu hamil berjumlah 10 orang, 4 orang diantaranya mengetahui pengertian dan manfaat imunisasi tetanus toxoid. Sedangkan 6 orang lainnya sama sekali tidak mengetahui tentang imunisasi tetanus toxoid. Sehingga dapat diambil suatu kesimpulan sementara adalah masih sebagian besar ibu-ibu hamil belum mengetahui tentang imunisasi tetanus toxoid.<br />
Oleh karena itu berdasarkan permasalahan di atas penulis dalam hal ini tertarik mengambil judul “ Gambaran Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Imunisasi Tetanus Toxoid “.<br />
<br />
B. Rumusan Masalah<br />
Dari uraian diatas dapat ditarik rumusan masalah yaitu bagaimana gambaran pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi tetanus toxoid.<br />
C. Tujuan Penelitian<br />
1. Tujuan Umum<br />
Tujuan umum penelitian ini adalah supaya ibu-ibu yang sedang hamil dapat mengetahui dan memahami tentang imunisasi tetanus toxoid.<br />
2. Tujuan Khusus<br />
a. Ibu-ibu hamil dapat mengetahui dan memahami tentang pengertian imunisasi tetanus toxoid.<br />
b. Ibu-ibu hamil dapat memahami tentang pentingnya manfaat imunisasi tetanus toxoid.<br />
c. Ibu-ibu hamil dapat mengetahui tentang periode waktu mendapatkan imunisasi tetanus toxoid.<br />
d. Ibu-ibu hamil dapat memahami tentang efek samping dari Imunisasi tetanus toxoid.<br />
e. Ibu-ibu hamil dapat mengetahui cara mendapatkan pelayanan Imunisasi tetanus toxoid.<br />
<br />
D. Manfaat Penelitian<br />
1. Bagi Pendidikan<br />
Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan bagi institusi pendidikan sebagai informasi yang dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut, terutama berkaitan dengan tingkat pengetahuan ibu terhadap imunisasi tetanus toxoid.<br />
<br />
2. Bagi Perawat<br />
Dengan penelitian ini diharapkan perawat dapat mengetahui pengetahuan ibu hamil atau wanita usia subur tentang pentingnya imunisasi tetanus toxoid sehingga mampu melakukan intervensi dengan memberikan penyuluhan tentang pentingnya imunisasi tetanus toxoid.<br />
3. Bagi Puskesmas<br />
Sebagai informasi dan solusi untuk mengatasi adanya keterkaitan antara pengetahuan ibu hamil atau wanita usia subur tentang pentingnya pemberian imunisasi tetanus toxoid, sehingga diharapkan dapat meningkatkan cakupan kunjungan imunisasi tetanus toxoid di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi Kabupaten Cirebon.<br />
<br />
<b> BAB II<br />
TINJAUAN PUSTAKA<br />
</b><br />
A. Definisi<br />
1. Perilaku<br />
Menurut Notoatmodjo (2003 : 96) dari segi biologis perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas orgnisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Sehingga yang dimaksud perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, menulis, membaca, menangis, kuliah dan sebagainya.<br />
2. Pengertian Pengetahuan<br />
Notoatmodjo (2003 : 121) mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui panca indera penglihatan dan pendengaran.<br />
(Suparlan, 2004 : 83) pengetahuan berasal dari akal pikiran akan meningkatkan kepercayaan serta memiliki perkiraan dan pendapat, yang boleh jadi merupakan kepastian. Pengetahuan semacam ini diperoleh melalui jalan pendidikan baik formal maupun informal, dimana pengetahuan akan berpengaruh terhadap kesehatan.<br />
<br />
Sedangkan menurut Nursalam (2001, hlm 23) pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setiap orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek.<br />
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan<br />
a. Umur<br />
Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih dewasa akan lebih di percaya dari yang belum cukup tinggi kedewasannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwa.<br />
b. Pendidikan<br />
Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin mudah menentukan informasi, makin banyak pengetahuan sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan.<br />
c. Pengalaman<br />
Individu sebagai orang yang menerima pengalaman, orang yang melakukan tangggapan atau penghayatan biasanya tidak melepaskan pengalaman yang sedang dialaminya.<br />
<br />
<br />
d. Pekerjaan<br />
Ibu yang bekerja disektor formal memiliki akses yang lebih baik, terhadap berbagai informasi, termasuk kesehatan. (Depkes RI, 1999, hlm 6).<br />
e. Inteligensi<br />
Inteligensi pada prinsipnya mempengaruhi kemampuan penyesuaian diri cara-cara pengambilan keputusan (latipon, 2001, hlm 44).<br />
4. Pengetahuan yang tercakup dalam kognitif mempunyai enam tingkatan sebagai berikut :<br />
a. Tahu (know)<br />
Tahu artinya mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya termasuk dalam pengetahuan adalah mengingat kembali apa yang telah dipelajari atau yang telah diterima.<br />
b. Memahami (comprehension)<br />
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang suatu objek yang diketahui, dan menginterprestasikan materi tersebut. <br />
c. Aplikasi (application)<br />
Yaitu suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang dipelajari pada suatu kondisi yang sebenarnya.<br />
<br />
<br />
d. Analisis (analisys)<br />
Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih didalam struktur organisasi, dan masih berkaitan satu sama lain.<br />
e. Sintesis (syntesis)<br />
Kemampuan untuk meletakkan / menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu kesuluruhan yang baru / kemampuan merumuskan formulasi baru dari yang sudah ada.<br />
f. Evaluasi (evaluation)<br />
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi / penilaian terhadap suatu materi atau objek, penilaian didasarkan pada kriteria yang telah ditentukan.<br />
5. Pengukuran Tingkat Pengetahuan <br />
Pengukuran kemampuan dapat diketahui dengan cara orang yang bersangkutan mengungkapkan apa-apa yang diketahuinya dalam bentuk bukti atau jawaban, baik lisan maupun tulisan, bukti atau jawaban tersebut merupakan suatu reaksi dari satu stimulus yang dapat berupa pertanyaan baik lisan maupun tulisan.<br />
6. Ibu (pendidikan Ibu)<br />
Gadwel mengungkapkan teori bagaimana pendidikan ibu mempengaruhi tingkat kesehatan keluarga (Kartono Muhammad, 1992, hlm 38) yaitu :<br />
a. Pendidikan mengurangi sifat fatalistik (pasrah kepada masalah ketika anak sakit).<br />
b. Pendidikan ibu meningkatkan kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan dan sarana kesehatan yang ada (Puskesmas, Dokter, Rumah Sakit, dll) untuk menyelamatkan anaknya yang sakit.<br />
c. Pendidikan mengubah perkembangan dalam menjaga kesehatan keluarga dari sifat yang tradisional yang mengutamakan pada kepentingan suami atau mertua kepada sikap yang sudah lebih seimbang terhadap kepentingan anak-anaknya.<br />
7. Arti Ibu<br />
Praktisi hukum yang juga Presiden LSM perjuangan hukum politik (PHS) HMK Aldian Pinem, SH. MH memandang sosok ibu sebagai perempuan yang harus dihormati dan dijaga hatinya jangan sampai anak menyakitinya dengan alasan apapun. Tidak dibenarkan untuk menciptakan suatu perbuatan yang dapat menggores hati ibunya. Sedangkan Ibu hamil adalah ibu yang mengandung mulai trimester I sampai dengan trimester III (Dinkes Jateng, 2005).<br />
8. Konteks umum pengertian ibu ada tiga golongan :<br />
a. Ibu sebagai orang yang telah melahirkan<br />
b. Sebagai orang yang berkarya / berkarir<br />
c. Sebagai seorang istri<br />
Dalam konteks ketiga golongan ini sering terjadi penerapan tentang kodrat sosok bergeser katanya menurut ia, pergeseran tersebut akibat beberapa faktor yakni karena timbulnya asa emansipasi sosial budaya dan spiritual agama.<br />
<br />
B. Tinjauan Teoritis<br />
1. Pengertian Imunisasi Tetanus Toxoid.<br />
Imunisasi adalah antigen untuk memicu imunitas (Cristine Hancock, 1999 : 226). Imunisasi adalah suatu upaya yang dilakukan dengan cara memasukkan kuman yang dilemahkan (vaksin ke dalam tubuh dengan tujuan sebagai tameng terhadap virus yang masuk sehingga akan menciptakan kekebalan, diberikan kepada balita atau ibu hamil untuk mencegah penyakit PD3I (Penyakit Dapat Dicegah Dengan Imunisasi). Imunisasi atau vaksinasi merupakan prinsip-prinsip imunolog yang paling dan terkenal berhasil terhadap kesehatan manusia.<br />
Vaksin adalah antigen yaitu dapat berupa bibit penyakit yang sudah dilumpuhkan atau dimatikan (bakteri, virus atau riketsia), dapat berupa tiroid dan rekayasa genetika (rekombinasi) (Depkes RI, 2004). Sasaran imunisasi adalah termasuk ibu hamil dan bayi (berusia kurang 1 bulan). Vaksin tetanus yaitu toksin kuman tetanus yang dilemahkan dan kemudian dimurnikan (Setiawan dkk, 2006, hlm 63).<br />
Penyakit tetanus adalah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi bakteri anaerob Clostridium Tetani di tempat luka dan menghasilkan Eksotoksin yang akan menyerang otot sehingga akan terjadi spasmus (kejang) otot (http://www.kalbefarma.com/tetanustoxoid/cdk.html). Imunisasi tetanus toksoid adalah proses untuk membangun kekebalan sebagai upaya pencegahan terhadap infeki tetanus (Idanati, 2005 : 61).<br />
2. Manfaat Pemberian Imunisasi Tetanus Toxoid.<br />
a. Melindungi bayinya yang baru lahir dari tetanus neorotum (BKKBN, 2005 : 5). Tetanus Neorotum adalah penyakit tetanus yang sering terjadi pada neonatus (bayi berusia kurang dari 1 bulan) yang disebabkan oleh Clostridium tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun) dan menyerang system syaraf pusat (Syaifuddin dkk, 2001 : 78).<br />
b. Melindungi ibu terhadap kemungkinan tetanus apabila terluka (Depkes RI, 2000 : 12).<br />
Kedua manfaat tersebut adalah cara untuk mencapai salah satu tujuan dari program imunisasi secara nasional yaitu eliminasi tetanus maternal dan tetanus neonarotum (Depkes RI, 2004 : 11).<br />
3. Umur kehamilan untuk mendapatkan imunisasi TT dan interval pemberian vaksin.<br />
Imunisasi TT sebaiknya diberikan sebelum kehamilan 8 bulan untuk mendapatkan imunisasi TT lengkap (BKKBN, 2005 : 21). TT1 dapat diberikan sejak diketahui positif hamil dimana biasanya pada kunjungan pertama ibu hamil ke sarana kesehatan (Depkes RI, 2000 : 10). Sedangkan menurut Depkes RI (2000 : 12) pemberian (interval) imunisasi TT1 dengan TT2 adalah minimal 4 minggu.<br />
Kekebalan terhadap tetanus hanya dapat diperoleh melalui imunisasi TT. Ibu hamil yang mendapatkan imunisasi TT dalam tubuhnya akan membentuk antibodi tetanus. Seperti difteri, antibodi tetanus termasuk dalam golongan Ig G yang mudah melewati sawar plasenta, masuk dan menyebar melalui aliran darah janin ke seluruh tubuh janin, yang akan mencegah terjadinya tetanus neonatorum.<br />
Imunisasi TT pada ibu hamil diberikan 2 kali (2 dosis). Jarak pemberian TT pertama dan kedua, serta jarak antara TT kedua dengan saat kelahiran, sangat menentukan kadar antibodi tetanus dalam darah bayi. Semakin lama interval antara pemberian TT pertama dan kedua serta antara TT kedua dengan kelahiran bayi maka kadar antibodi tetanus dalam darah bayi akan semakin tinggi, karena interval yang panjang akan mempertinggi respon imunologik dan diperoleh cukup waktu untuk menyeberangkan antibodi tetanus dalam jumlah yan cukup dari tubuh ibu hamil ke tubuh bayinya.<br />
Imunisasi tetanus toxoid mempunyai antigen yang juga aman untuk ibu hamil dan tidak ada bahaya bagi janin apabila ibu hamil mendapatkan imunisasi TT . Pada ibu hamil yang mendapatkan imunisasi TT tidak didapatkan perbedaan resiko cacat bawaan ataupun abortus dengan mereka yang tidak mendapatkan imunisasi .<br />
Tabel 2.1 <br />
Pemberian Imunisasi TT dan Lamanya Perlindungan<br />
<br />
Dosis Saat Pemberian Perlindungan<br />
(%) Lama Perlindungan<br />
TT1<br />
<br />
<br />
<br />
TT2<br />
<br />
<br />
TT3<br />
<br />
<br />
<br />
TT4<br />
<br />
<br />
<br />
TT5 Pada kunjungan pertama atau sedini mungkin pada kehamilan<br />
<br />
Minimal 4 minggu setelah TT1<br />
<br />
Minimal 6 bulan setelah TT2 atau selama kehamilan berikutnya<br />
<br />
Minimal setahun setelah TT3 atau selama kehamilan berikutnya<br />
<br />
Minimal setahun setelah TT4 atau selama kehamilan berikutnya 0<br />
<br />
<br />
<br />
80 %<br />
<br />
<br />
95%<br />
<br />
<br />
<br />
99%<br />
<br />
<br />
<br />
99% Tidak ada<br />
<br />
<br />
<br />
3 Tahun<br />
<br />
<br />
5 Tahun<br />
<br />
<br />
<br />
10 Tahun<br />
<br />
<br />
<br />
Selama usia subur<br />
(Sumber : http://www.kalbefarma.com/cdk/imunisasi/tetanustoxoid.html)<br />
4. Efek samping Imunisasi TT dan tempat pelayanan untuk mendapatkan imunisasi TT.<br />
Biasanya hanya gejala-gejala ringan seperti nyeri, kemerahan dan pembengkakan pada tempat suntik (Depkes RI, 2000 : 8). Sedangkan menurut Saifuddin dkk (2001 : 13) imunisasi tetanus toxoid mempunyai antigen yang juga aman untuk wanita hamil dan tidak ada bahaya bagi janin apabila ibu hamil mendapatkan imunisasi TT.<br />
<br />
<br />
Menurut Depkes RI (2004 : 6) ibu hamil mendapatkan imunisasi TT di tempat-tempat pelayanan milik pemerintah seperti : Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Rumah Sakit, Rumah Bersalin, Polindes, Posyandu, Rumah Sakit Swasta, Dokter Praktik, Bidan Praktik.<br />
5. Imunisasi Pasif<br />
Imunisasi pasif perlu diberikan pada kondisi-kondisi tertentu. Pada difteria atau tetanus, toksin dalam sirkulasi perlu dinetralisasi dengan antibodi terhadap tokin tersebut. Antibodi dari luar perlu diberikan bila penderita belum pernah diimunisasi sehingga tidak dapat diharapkan timbul respons sekunder terhadap toksin ini. Antibodi diberikan pada kasus-kasus gas gangrene, botulism, gigitan ular atau kalajengking berbisa, dan rabies. Antibodi juga diberikan pada penderita varisela-zoster dengan imunodefisiensi, pascapajanan terhadap hepatitis B, misalnya neonatus, dan sebagainya.<br />
Antibodi ini biasanya dibuat di dalam kuda, tetapi kadang-kadang juga bisa diperoleh dari penderita yang baru sembuh. Kumpulan imunoglobin manusia yang mengandung cukup antibodi terhadap infeksi-infeksi yang umum didapat dengan dosis 100-400 mg IgG dapat melindungi penderita hipogamaglobulinemia selama sebulan. Lebih dari 1000 donor digunakan untuk setiap kumpulan (pool). Serum yang digunakan harus diskrin terhadap HIV (human immunodeficiency virus), virus hepatitis B, dan C. di masa mendatang, penggunaan antibodi monoclonal yang dihasilkan melalui kultur Sel atau rekayasa protein mungkin dapat menggantikan metode tradisional ini.<br />
6. Antigen Yang Digunakan Sebagai Vaksin<br />
Tipe antigen yang digunakan pada vaksin bergantung pada berbagai faktor. Pada umumnya, makin banyak antigen mikroba yang dipertahankan dalam vaksin makin baik. Organisme cenderung lebih efektif organisme mati, kecuali pada penyakit yang disebabkan oleh toksin, yang mana antigen cukup dibuat dari toksin saja. Antigen mikroba juga dapat diekspresikan pada sel lain yang berfungsi sebagai vektor.<br />
a. Toksoid Merupakan Vaksin Bakteri yang paling berhasil.<br />
Yang paling berhasil dari semua vaksin bakteri adalah vaksin tetanus dan difteri. Vaksin ini dibuat dari Eksotosin yng dinonaktifkan. Prinsip pembuatannya dapat diterapkan untuk beberapa infeksi yang lain.<br />
Vaksin yang didasarkan pada toksin adalah sebagai berikut :<br />
1) Toksoid difteri yang dinonaktifkan dengan formalin dan sering diberikan secara kombinasi dalam alum-precipited.<br />
2) Toksoid tetanus yang dinonaktifkan dengan formalin dan sering diberikan secara kombinasi dalam alum-precipited.<br />
3) Toksin subunit B dari Vibrio cholerea, kadang-kadang dikombinasikan dengan organisme utuh yang mati.<br />
4) Toksoid Clostridium perfringens, yang dinonaktifkan dengan formalin untuk anak kambing baru lahir (belum ada manusia).<br />
b. Toksoid Tetanus Dapat Digunakan Sebagai “ Pembawa (Carier) “ untuk vaksin lain.<br />
Toksoid tetanus ternyata mempunyai peran lain yang berguna, yaitu sebagai “ pembawa “ vaksin peptide kecil yang kalau sendirin tidak imunogenik. Cara ini dapat dilakukan karena kebanyakan orang telah divaksinasi terhadap tetanus sehingga mempunyai sel T memori yang mengenali toksin.<br />
Tabel 2.2<br />
Preparat antigenic yang digunakan sebagai vaksin<br />
<br />
Jenis Antigen Contoh Vaksin<br />
<br />
<br />
<br />
Organisme Hidup Alamiah Vaksin untuk cacar<br />
Dilemahkan Vaksin polio oral (Sabin), campak, parotitis, rubella, demam kuning 17D, varisela-zoster (human herpes virus 3), BCG (untuk tuberkolosis).<br />
<br />
<br />
<br />
Organisme utuh Virus Polio (Salk), rabies, influenza, hepatitis A, tifus (bukan demam tifoid)<br />
Bakteri Pertusis, demam tifoid, kolera, pes.<br />
<br />
Fragmen subseluler Kapsul polisakarida Pneumokokus, meningokokus, Haemophilus influenza<br />
Antigen permukaan Hepatitis B<br />
Toksoid Tetanus difteria<br />
Berbasis rekombinasi DNA Ekspresi klon gen Hepatitis B (dari ragi)<br />
<br />
<br />
<br />
7. Vaksin<br />
a. Efektifitas Vaksin.<br />
Vaksin yang akan digunakan harus betul-betul efektif. Efektivitas semua vaksin ditinjau kembali secara terus-menerus. Banyak faktor yang mempengaruhi efektivitas vaksin. Vaksin yang efektif harus memiliki hal-hal seperti :<br />
1) Merangsang timbulnya imunitas yang tepat : antibodi untuk toksin dan organisme ekstraseluler seperti Streptococcus pneumonie ; imunitas seluler untuk organisme intraseluler seperti basil tuberkolosis. Bila jenis infeksi tidak jelas, seperti pada malaria, lebih sulit pula dibuat vaksin yang efektif utnuk penyakit tersebut.<br />
2) Stabil dalam penyimpanan : hal ini sangat penting untuk vaksin hidup yang biasanya perlu disimpan di tempat dingin, atau memerlukan rantai pendingin (cold chain) yang sempurna dari pabrik ke klinik. Hal ini tidak selalu mudah dicapai.<br />
3) Mempunyai imunogenetas yang cukup : imunogenitas vaksin bahan mati sering perlu dinaikkan dengan ajuvan.<br />
b. Keamanan Vaksin.<br />
Keamanan vaksin sangat penting untuk diperhatikn karena vaksin diberikan kepada orang yang tidak sakit. Beberapa komplikasi yang serius dapat berasal dari vaksin atau dari pasien. Vaksin dapat terkontaminasi oleh protein atau toksin yang tidak diinginkan atau bahkan oleh virus hidup. Vaksin bahan mati belum betul-betul mati atau vaksin mikroba hidup yang dilemahkan dapat hidup kembali ke tipe liarnya. Pasien dapat hipersensitif terhadap protein kontaminan, zat pembawa, dan sebagainya. Sistem imun pasien dapat terganggu (immunocompromised) sehingga vaksin hidup merupakan kontradikasi.<br />
1) Interval pemberian vaksin yang sama.<br />
Beberapa vaksin (DPT, DT, Polio, TT, dan Hepatitis B) harus diberikan lebih dari satu dosis untuk mendapatkan respons antibodi yang adekuat. Harus dihindari pemberian vaksin yang sama dengan interval kurang dari 4 minggu karena akan mengurangi respons antibodi. Memperpanjang interval pemberian dapat meningkatkan respons antibodi, tetapi lebih penting untuk segera menyelesaikan imunisasi dasar bagi anak segera terlindungi dari penyakit daripada berusaha mendapatkan respons imun yang maksimal.<br />
Interval pemberian yang lebih panjang daripada yang disarankan tidak akan mengurangi kadar antibodi akhir. Oleh karena itu, bila anak terlambat datang untuk imunisasi berikutnya, segera berikan imunisasi tersebut pada kesempatan pertama kontak dengan petugas kesehatan kemudian lanjutkan imunisasi berikutnya seperti biasa, tidak diperlukan dosis tambahan.<br />
<br />
<br />
2) Pemberian lebih dari satu macam vaksin secara bersamaan.<br />
Untuk mengurangi jumlah kontak yang diperlukan dalam menyelesaikan seluruh seri imunisasi, beberapa vaksin dapat diberikan bersamaan dalam satu kali kunjungan. Semua antigen EPI (Expended Programme on Imunization) aman dan efektif untuk diberikan bersamaan. Dalam satu kunjungan anak bisa mendapatkan beberapa jenis imunisasi yang disuntikan pada tempat yang berbeda. Misalnya, anak berumur 1 tahun yang belum pernah diimunisasi bisa sekaligus mendapatkan imunisasi BCG, Campak, dosis pertama vaksin DPT dan Polio serta Hepatitis B. namun, vaksin-vaksin tersebut tidak boleh dicampur dalam satu spuit karena dapat menurunkan efektivitas masing-masing vaksin. Bila tidak diberikan pada hari yang sama, vaksin hidup harus diberikan dengan jarak minimum 4 minggu (misalnya vaksin campak dan polio) untuk menghindari terjadinya entereferensi efek.<br />
c. Keberhasilan Vaksin.<br />
Vaksin yang telah digunakan secara luas ternyata mempunyai angka keberhasilan yang sangat bervariasi. Imunisasi cacar telah berhasil mengeradikasi penyakit cacar di dunia. Vaksin polio, campak, parotitis, dan rubella juga menunjukkan keberhasilan yang sangat menakjubkan sehingga keempat penyakit tersebut diharapkan dapat dieradikasi dari muka bumi pada awal abad ke-21 ini. Namun, agak sulit mengharapkan eradikasi beberapa penyakit karena beberapa alasan berikut ini :<br />
1) Status pengidap (carier state) : eradikasi hepatitis B tidak akan mudah karena memerlukan pemutusan rantai pengidap, terutama di Asia, tempat hepatitis B banyak ditransmisikan secara vertical (dari ibu ke bayi).<br />
2) Efektivitas suboptimal : efektivitas BCG sangat bervariasi, terutama karena peningkatan insidens tuberkolosis akibat peningkatan jumlah penderita AIDS (Acquired Imummunodeficiency Syndrome) akhir-akhir ini. Efektivitas imunisasi pertusis hanya sekitar 70%.<br />
3) Efek samping : vaksin pertusis dicurigai mempunyai efek samping sehingga mengurangi kesedian masyarakat untuk divaksinasi.<br />
4) Bentuk-bentuk kehidupan di alam bebas dan hospes binatang : basil tetanus dapat hidup untuk waktu yang cukup lama di alam bebas karena bakteri tersebut membentuk spora. Demam kuning juga akan sulit diberantas arena mempunyai hospes binatang sebagai reservoir.<br />
8. Pengaruh Imunisasi pada Epidemiologi Penyakit<br />
Pengaruh imunisasi pada epidemiologi penyakit dipengaruhi oleh apakah (1) vaksin dapat melindungi manusia dari infeksi, ataukah (2) vaksin hanya mampu mengurangi beratnya penyakit tanpa dapat sepenuhnya melindungi dari penyakit.<br />
Vaksin yang hanya perlu dapat mengurangi beratnya penyakti, seperti vaksin pertusis dan BCG, atau menghambat munculnya gejala penyakit, seperti toksodi tetanus, tidak dapat menimbulkan imunitas komunitas (hard immunity). Hard immunity menyangkut efek tidak langsung vaksin, yaitu apabila sebagian besar komunitas diimunisasi, transmisi agen infeksi akan berkurang sehingga menurunkan resiko terpejannya individu (termasuk orang yang tidak diimunisasi) pada agen infeksi.<br />
Vaksin yang dapat melindungi dari infeksi, seperti vaksin, campak, rubella, parotitis, dan poliomyelitis, mempunyai dua efek penting pada epidemilogi penyakit. Kedua efek tersebut berhubungan dengan hard immunity yang ditimbulkannya.<br />
a. Imunisasi mengubah distribusi relative umur kasus dan terjadi pergeseran ke umur yang lebih tua.<br />
b. Cenderung terjadi wabah setelah beberapatahun bebas penyakit.<br />
C. Kerangka Penelitian<br />
<br />
BAB III<br />
METODE PENELITIAN<br />
<br />
A. Jenis Penelitian dan Pendekatan<br />
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau fenomena yang sedang dihadapi pada situasi sekarang (Arikunto, 1999).<br />
Menurut Notoatmojo (2002), penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian yang dilakukan untuk membuat gambaran atau deskriftif tentang suatu keadaan secara objektif. Dalam hal ini peneliti ingin memperoleh gambaran pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi tetanus toxoid di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi Kabupaten Cirebon.<br />
B. Populasi dan Sampling<br />
1. Populasi<br />
Menurut Sugiyono (2007:55) “Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari”. Dalam Penelitian ini populasinya adalah seluruh ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi Kabupaten Cirebon.<br />
Berdasarkan dari bagian rekamedik Pukesmas Kaliwedi Kabupaten Cirebon dari bulan Januari sampai dengan Desember 2009 ibu hamil saat ini tercatat adalah 834 orang jadi populasinya menjadi sebanyak 834 orang.<br />
1. Sampel<br />
Sampel menurut Sugiyono (2006 : 56) adalah “sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.”. Sedangkan Sampel yang dipilih dalam penelitian ini menggunakan probability sampling yaitu setiap subyek dalam populasi mempunyai kesempatan untuk terpilih atau tidak terpilih sebagai sampel (Nursalam, 2003). <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Dibulatkan menjadi 89 orang sebagai sampel<br />
Keterangan :<br />
n = Besarnya Sampel<br />
N = Besarnya Populasi<br />
d = Presisi atau Tingkat Kepercayaan (0,1)<br />
(Nursalam, 2003)<br />
Pada penelitian ini menggunakan Simple Random Sampling. Pemilihan sampel dilakukan dengan cara acak dengan dadu atau dengan menulis nama dikertas lalu diambil secara acak. Besarnya populasi yang diambil adalah 834 orang dengan derajat kepercayaan atau ketetapan adalah 0,1. Maka setelah dilakukan perhitungan batas minimum sampel yang diperlukan dalam penelitian adalah 89 orang.<br />
C. Tempat Penelitian<br />
Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi Kabupaten Cirebon.<br />
D. Waktu Penelitian<br />
Peneltian mengenai gambaran pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi tetanus toxoid di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi, yang akan dilaksanakan dalam bulan April 2010.<br />
Selama melakukan penelitian ini peneliti telah menggunakan objek berupa responden yang akan dijadikan bahan penelitian.<br />
E. Instrumen Penelitian<br />
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah berupa test (daftar soal) agar hasil dalam penelitian ini valid dan realiabel maka perlu dilakukan uji coba.<br />
F. Cara Pengumpulan Data<br />
Alat yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan kuesioner yang berstruktur dimana dalam setiap nomor pertanyaan diberikan kemungkinan jawaban untuk dipilih sesuai dengan pendapatnya paling tepat dan benar kuesioner dibagikan berisi 15 pertanyaan tertutup dengan jawaban pilihan ganda.<br />
<br />
<br />
G. Cara Pengolahan Data<br />
Data yang diperoleh merupakan data yang mentah atau data belum jadi sehingga belum memberikan gambaran yang diharapkan. Oleh karena itu perlu diolah untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, selanjutnya dilakukan pengolahan data :<br />
1. Menyeleksi data (editing), langkah ini dimaksudkan untuk pemilihan data yang akurat dan representative yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.<br />
2. Mengelompokkan data (coding).<br />
3. Tabulasi data (entry data), yaitu data yang dikelompokkan akan disusun dalam tabel sehingga data yang belum jadi bisa dianalisa.<br />
H. Rencana Analisa Data<br />
Data yang terkumpul, diolah secara manual, yaitu dilakukan validasi (mengontrol kebenaran dalam mengisi kuesioner) editing (memilih dan memilah), mengelompokkan kemudian melakukan koding berdasarkan variable yang diteliti setelah itu dilakukan tabulasi data, yaitu mengelompokkan data menggunakan tabel distribusi frekuensi yang dihitung dengan prosentase.<br />
Untuk mengetahui prosentase tingkat pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi tetanus toxoid, pengolahan data dilakukan dengan cara menghitung data yang ada dengan menggunakan rumus prosentase sebagai berikut :<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Keterangan :<br />
P = Prosentase<br />
f = Frekuensi jawaban benar<br />
n = Jumlah pertanyaan<br />
I. Etika Penelitian<br />
Dalam melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan ijin kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon dan Kepala Puskesmas Kaliwedi Kabupaten Cirebon untuk mendapatkan persetujuan dalam melakukan penelitian di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi Kabupaten Cirebon. Kemudian angket penelitian dikirimkan kepada responden yang diteiti dengan menekankan pada masalah etika yang meliputi :<br />
1. Informed Concent<br />
Lembar persetujuan penelitian diberikan kepada responden. Tujuannya adalah responden mengetahui maksud dan tujuan penelitian serta dampak yang diteliti selama pengumpulan data. Jika responden bersedia diteliti, maka harus menandatangani dilembar persetujuan, jika menolak untuk diteliti, maka peneliti tidak akan memaksa dan menghormati haknya.<br />
2. Anonimity<br />
Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak akan mencantumkan nama responden. Lembar tersebut hanya diberikan nomer kode tertentu.<br />
3. Confidentiality<br />
Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden dijamin oleh peneliti.crazy boy'shttp://www.blogger.com/profile/10427640188054710037noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2500718933329494943.post-1590906634475770112010-07-07T09:00:00.001+07:002010-07-07T09:19:48.341+07:00GAMBARAN PENGETAHUAN IBU HAMIL TENTANG IMUNISASI TETANUS TOXOID DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KALIWEDI KABUPATEN CIREBONuntuk mendapatkan na please klik to link http://www.4shared.com/KTIibuhamiltentangtetanus/html................!!!!!!trus download sendiri ya gan.....!!!!!crazy boy'shttp://www.blogger.com/profile/10427640188054710037noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2500718933329494943.post-61238749902788145942010-07-06T15:50:00.000+07:002010-07-06T15:50:46.927+07:00FARMAKOTERAPI SKIZOFRENIAPENDAHULUAN<br />
Skizofrenia merupakan bentuk gangguan jiwa psikosis fungsional paling berat, dan lazim yang menimbulkan disorganisasi personalitas yang terbesar. Dalam kasus berat, pasien tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini secara bertahap akan menuju kea rah kronisitas, tetapi sekali-kali bisa menimbulkan serangan. Jarang bisa terjadi pemulihan sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya berakhir dengan personalitas yang rusak. Keadaan ini pertama kali digambarkan oleh Kraepelin pada tahun 1896 berdasarkan gejala dan riwayat alamiahnya. Kraepelin menakannya dementia prekoks. Pada tahun 1911, Bleuler menciptakan nama skizofrenia untuk menandai putusnya fungsi psikis, yang menentukan sifat penyakit ini. Secara garis besar skizofrenia dapat digolongkan kepada beberapa tipe yaitu, skizofrenia paranoid, skizofrenia hebefrenik, skizofrenia katatonik, skizofrenia tak terinci, depresi pasca skizofrenia, skizofrenia residual, skizofrenia simpleks, skizofrenia yang lain-lain dan skizofrenia yang tak tergolongkan.<br />
Unsur patogenesis skizofrenia belum dapat diketahui . Dugaan adanya unsur genetik telah dianggap sebagai kondisi yang melatarbelakangi gangguan psikosis, sebagian besar karena hasil penelitian yang distimulasi oleh ditemukannya obat-obat antipsikosis. Pada tingkat tertentu, asumsi ini banyak didukung dengan ditemukannya kasus- kasus skizofrenia yang disebabkan oleh keturunan. Pembuktian yang actual tentang adanya keterkaitan kromosom dengan menggunakan teknik genetik molekuler sulit dilakukan secara psati, baik karena kejadian yang spesifik tidak dapat disamakan maupun karena adanya banyak gen yang terlibat di dalamnya.<br />
HIPOTESIS DOPAMINE<br />
Hipotesis dopamine pada skizofrenia adalah yang paling berkembag dari berbagai hipotesis, dan merupakan dasar dari banyak terapi obat yang rasional. Beberapa bukti yang terkait menunjukkan bahwa aktifitas dopaminergik yang berlebihan dapat mempengaruhi penyakit tersebut : (1) kebanyakan obat-obat antipsikosis menyakat reseptor D2 pascasinaps di dalam sistem saraf pusat, terutama disistem mesolimbik frontal; (2) obat-obat yang meningkatkan aktifitas dopaminergik, seperti levodopa (suatu precursor), amphetamine (perilis dopamine), atau apomorphine (suatu agonis reseptor dopamine langsung), baik yang dapat mengakibatkan skizofrenia atau psikosis pada beberapa pasien; (3) densitas reseptor dopamine telah terbukti, postmortem, meningkat diotak pasien skizofrenia yang belum pernah dirawat dengan obat-obat antipsikosis; (4) positron emission tomography (PET) menunjukkan peningkatan densitas reseptor dopamine pada pasien skizofrenia yang dirawat atau yang tidak dirawat, saat dibandingkan dengan hasil pemeriksaan PET pada orang yang tidak menderita skizofrenia; dan (5) perawatan yang berhasil pada pasien skizofrenia telah terbukti mengubah jumlah homovanilic acid (HVA), suatu metabolit dopamine, di cairan serebrospinal, plasma, dan urine.<br />
Bagaimanapun juga, hipotesis dopamine ini masih jauh dari sempurna. Apabila, ketidaknormalan fisiologis dopamine sepenuhnya mempengaruhi patogenesis skizofrenia, obat-obat antipsikosis akan lebih bermanfaat dalam pengobatan pasien- tetapi obat-obat tersebut tidak begitu efektif bagi kebanyakan pasien dan tidak efektif sama sekali bagi beberapa pasien. Bahkan, antagonis reseptor NMDA seperti phencyclidine pada saat diberikan kepada orang-orang yang non-psikosis, dapat menimbulkan gejala-gejala “mirip skizofrenia” daripada agonis dopamine. Adanya pengklonaan (cloning) terbaru dan karakteristik tipe multiple reseptor dopamine memungkinkan diadakannya uji langsung terhadap hipotesis dopamine yaitu mengembangkan obat-obat yang selektif terhadap tiap-tiap tipe reseptor. Antipsikosis tradisional dapat mengikat D2 50 kali lebih kuat daripada reseptor D1 atau D3. sampai sekarang, usaha utama pengembangan obat adalah untuk menemukan obat yang lebih poten dan lebih selektif dalam menyakat reseptor D2. ¬Fakta yang menunjukkan bahwa beberapa obat antipsikosis mempunyai dampak lebih sedikit terhadap reseptor D2 dan belum efekti dalam terapi untuk skizofrenia, perhatian dialihkan ke peranan reseptor dopamine yang lain dan kepada reseptor non-dopamine khusunya subtype reseptor serotonin yang dapat memediasi efek-efek sinergistik atau melindungi dari konsekuensi ekstrapiramidal dari antagonisme D2. Sebagai hasil pertimbangan ini, arah penelitian telah berubah ke focus yang lebih besar tentang komponen yang mungkin aktif bekerja pada beberapa sistem reseptor-transmitter. Harapan yang terbesar yaitu untuk menghasilkan obat-obatan dengan tingkat efisiensi yang lebih tinggi dan sedikit menimbulkan efek yang tak diinginkan, khususnya toksisitas ekstrapiramidal. <br />
FARMAKOLOGI DASAR OBAT-OBAT ANTIPSIKOSIS<br />
Tipe Kimia<br />
Sejumlah struktur kimia telah banyak dikaitkan dengan sifat-sifat obat antipsikosis. Obat-obatan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi beberapa grup.<br />
A. Derivat Phenothiazine : Ketiga subfamili phenothiazine yang terutama berdasarkan paqda rantai samping molekul, dahulu merupakan antipsikosis yang paling banyak digunakan. Derivat alifatik (misalnya chlorpromazine) dan turunan piperidine (misalnya thioridazine ) merupakan obat-obat yang paling rendah potensinya. Derivate piperazine sangat poten pada kesadaran dan efektif pada dosis rendah. Derivat piperazine juga sedikit efektif pada efek farmakologis mereka. <br />
B. Derivat Thioxantene : Kelompok obat ini terutamanya diwakili oleh thiothixene. Pada umumnya, campuran ini lebih kecil potensinya dibandingkan dengan analog phenothoazine-nya.<br />
C. Derivat Butyrophenon : kelompok ini, dimana haloperidol paling banyak digunakan, mempunyai struktur yang sangat berbeda dari kedua kelompok pertama. Diphenylbutylpiperidine adalah senyawa yang paling erat kaitannya. Obat-obat ini cenderung lebih poten dan memiliki sedikit efek otonomis.<br />
D. Struktur lainnya: Obat-obat terbaru, Antipsikosis Generasi II yang tidak semuanya tersedia di Amerika Serikat, memiliki beragam struktur dan mencakup pimozide, molindone, loxapine, clozapine, olanzapine, quetiapine, sertindole, dan zaiprasidone<br />
A. Absorpsi dan Distribusi : Kebanyakan obat antipsikosis dapat diabsorpsi namun tidak sepenuhnya terabsorpsi. Terlebih lagi, banyak dari obat-obat ini mengalami metabolisme lintas pertama yang signifikan. Karena itu, dosis oral chlorpromazine dan thioridazine memiliki availibilitas sistemik 25% - 35% sedangkan haloperidol, yang paling sedikit dimetabolisme tubuh mempunyai availibilitas sekitar 65%.<br />
Kebanyakan antipsikosis mempunyai sifat kelarutan lipid tinggi dan ikatan protein tinggi (92%-99%). Mereka mempunyai volume distribusi yang besar (biasanya >7 L/kG). Mungkin oleh karena obat-obatan tersebut cenderung tersebar dibagian-bagian lipid tubuh dan memiliki afinitas yang amat tinggi pada reseptor neurotransmitter tertentu pada sistem saraf pusat, obat-obat tersebut umumnya mempunyai masa kerja klinis yang lebih lama daripada yang diperkirakan dari waktu plasmanya. Metabolit chlorpromazine dapat dieksresi di dalam urine beberapa minggu sesudah pemberian dosis terakhir pada penggunaan kronis. Selain itu, kekambuhan tidak akan terjadi sampai enam minggu atau lebih setelah berhentinya pemberian obat-obat antipsikosis.<br />
B. Metabolisme : Kebanyakan antipsikosis dimetabolisme hampir lengkap melalui serangkaian proses. Meskipun beberapa metabolit tetap aktif, misalnya 7-hydroxichlorpromazine dan haloperidol yang tereduksi, mereka kurang dianggap penting tehadap daya kerja obat-obat ini. Satu-satunya pengecualian adalah mesoriadzine, metabolite thioriadzine yang utama, yang lebih poten dari komponen aslinya dan lebih banyak menimbulkan efek. Komponen ini telah banyak dijual sebagi unsure terpisah.<br />
C. Eksresi : Sedikit sekali dari obat ini yang dieksresikan tanpa ada perubahan, karena obat-obat tersebut hampir sepenuhnya dimetabolisme menjadi substansi yang lebih polar. Waktu eliminasinya beragam, dari 10 sampai 24 jam <br />
Efek-efek Farmakologis<br />
Obat-obat antipsikosis phenothiazine yang pertama, dengan chlorpromazine sebagai prototipenya, terbukti memiliki serangkaian efek-efek sistem saraf pusat, otonom, dan endokrin yang beragam. Aksi ini diakibatkan oleh efek penyekatan yang kuat pada sistem reseptor. Reseptor tersebut termasuk dopamine dan adrenoreseptor-alpha, muskarinik, histamine H1,dan serotonin (5-HT2). Dari reseptor-reseptor ini, efek reseptor dopamine segera menjadi focus utama minat penelitian<br />
A. Sistem Dopaminergik : Sampai tahun 1959, dopamine belum dianggap sebagi neurotransmitter didalam sistem saraf pusat melainkan sebagai precursor norepinephrin. Lima sistem atau alur penting dopaminergik telah diketahui pada otak. Sistem pertama yang paling terkait dengan perilaku adalah mesolimbi-meokortikal, yang berawal dari badan-badan sel dekat substantia nigra menuju sistem limbic dan neokorteks. Sistem yang kedua alur nigrostriatal –terdiri dari neuron-neuron yang berawal dari substantia nigra ke nucleus kaudatus dan putamen; yang berperan dalam koordinasi pergerakan dibawah kesadaran. Sistem ketiga –sistem tuberoinfundibuler- menghubungkan nukelus arkuatus dan neuron preifentrikuler ke hipotalamus dan pituitary posterior. Dopamine yang dirilis oleh neuron-neuron ini secara fisiologis menghambat sekresi prolactin. Sistem dopaminergik keempat- alur medulari-periventrikuler- terdiri dari neuron-neuron di nucleus dari vagus yang proyeksi tidak diterangkan dengan jelas. Sistem ini mungkin berperan dalam perilaku makan. Sistem kelima –alur insertohipotalamus- membentuk hubungan didalam hipotalamus dan dengan nucleus septum lateralis. Fungsinya belum diketahui.<br />
B. Reseptor Dopamine dan Efeknya : Saat ini, lima reseptor dopamine yang berbeda telah dijabarkan, terdiri dari dua famili yang terpisah, yaitu kelompok reseptor mirip D1 dan mirip D2. Reseptor D1 ditandai dengan sebuah gen pada kromosom 5, peningkatan cAMP dengan mengaktifkan adenylyl cyclase, dan berlokasi terutama diputamen, nukelus accumben, dan tuberkel olfaktorius. Anggota kedua dari famili ini, D2,yang ditandai oleh sebuah gen pada kromosom 4, juga meningkatkan cAMP, dan ditemukan di hipokampus dan hipotalamus. Potensi terapeutik obat-obat antipsikosis tidak berkaitan dengan afinitasnya dalam mengikat D1. Reseptor D2, yang ditandai dengan kromosom 11, diperkirakan dapat menurunkan cAMP (dengan menghambat adenylyl cyclase) dan menyakat kanal kalsium. Reseptor tersebut ditemukan, baik pada pra- maupun pascasinaps neuron-neuron di putamen kaudatus, nucleus accumben, dan tuberkel olfaktorius. Anggota kedua dari famili ini, reseptor D3, yang ditandai oleh sebuah gen pada kromosom 11, diperkirakan dapat juga menurunkan cAMP, dan berlokasi di korteks frontalis, medulla, dan otak tengah. Reseptor D4, anggota terbaru famili “mirip D2” juga menurunkan cAMP. Semua reseptor dopamine mempunyai domain tujuh-transmembran dan terhubung dengan protein G.Aktifasi reseptor D2 oleh sejumlah agonis langsung dan tak langsung (misalnya levodopa amphetamine, apomorphin) enyebabkan meningkatnya aktifitas motorik dan perilaku stereotipe pada tikus, model percobaan yang telah banyak digunakan untuk skreening obat antipsikosis. Saat diberikan pada manusia, obat yang sama akan mengakibatkan skizofrenia. Obat-obat antipsikosis tersebut menyatakan reseptor D2 secara stereoselektif, pada sebagian lokasi, dan afinitas ikatannya sangat kuat, ini mempunyai korelasidengan potensi klinis antipsikosis dan ekstrapiramidal, suatu observasi memancing banyaknya studi mengenai ikatan reseptor.<br />
Tidaklah mungkin untuk menunjukkan bahwa antagonis reseptor dopamine selain reseptor D2 mempunyai peranaan terhadap obat-obat antipsikosis. Antagonis reseptor D3 yang selektif masih belum tersedia. Sedangkan antagonis reseptor D1 yang spesifik telah dikembangkan, dan setidaknya hanya 1 yang terbukti gagal dalam percobaan klinis. Usaha-usaha untuk menemukan efek antagonisme D4 selama ini menemukan jalan buntu. Partisipasi glutamate, GABA, dan reseptor achetilcolin didalam patofisiologi skizofrenia juga telah dilaporkan. Obat- obat yang menjadi target didalam sistem glutamatergic dan colinergic baru merupakan awal untuk dievaluasi didalam skizofrenia<br />
C. Perbedaan diantara obat-obat antipsikosis.<br />
Walaupun semua obat antipsikosis efektif menyakat reseptor D2, kekuatan penyakatan yang berkaitan dengan daya kerja lain resdeptor tersebut berbeda pada masing-masing obat. Sejumlah eksperimen terhadap ikatan reseptor- ligan telah dilakukan untuk menemukan satu kerja reseptor yang dapat memprediksi efikasi obat-obat antipsikosis. Misalnya, studi invitro tentang ikatan menunukkan bahwa Chlorpromazine dan Thioridazine ternyata lebih efektif dalam menyakat α-1-adrenoseptor dari pada reseptor D2 . kedua unsur tersebut juga relatif kuat menyakat reseptor 5-HT2 . bagaimanapun juga, afinitas reseptor D1, sebagaimana diukur dengan penggantian ligan D1, selektif, SCH23390 relatif lemah. Obat-obat seperti perpenazine dan haluperidol bekerja lebih banyak pada reseptor D2; dan memeberikan efek terhadap 5-HT2 dan reseptor α-1, tetapi tak begitu berpengaruh terhadap reseptor D1. pimozide bekerja secara ekslusif pada resptor D2. clozapine antipsikosis atipikal, yang menujukkan perbedaan klinis yang jelas dari yang lainnya, lebih mengikat D4 , 5-HT2, α-1, dan reseptor histamine H1,daripada reseptor D2 dan D1. Risperidone hampir sama kuatnya dalam menyakat D2 dan reseptor 5-HT2. Obat yang baru-baru ini diperkenalkan, olanzapine, ternyata lebih poten sebagai antagonis reseptor 5-HT2, dengan potensi yang lebih sedikit dan hampir sama pada reseptor D1,D2,dan α-1. sedangkan serpindole lebih poten sebagai antagonis 5-HT2 dan relatif poten sebagai antagonis D2 dan α-1. Kesimpulan yang sederhana dari eksperimen tersebut : <br />
Chlorpromazine α1 = 5-HT2 > D2 > D1<br />
Haloperidol : D2 > D1 = D4 > α1 > 5-HT2<br />
Dari penjelasan diatas, tampak bahwa pengikatan reseptor D1, tersebut plaing sedikit kemungkinannya untuk diprediksi manfaat klinisnya, tetapi afinitas reseptor lain yang paling sulit untuk diinterpretasi. Penelitian baru-baru ini dilakukan untuk mengetahui senyawa antipsikosis atipikal yang lebih selektif terhadap sistem mesolimbik ( untuk mengurangi efek-efeknya pada sistem ekstrapiramidal) atau memberi efek pada reseptor neurotransmitter pusat- seperti pada asetlkolin dan asam amino eksitatorik- yang masih belum diajukan sebagai target kerja obat-obat antipsikosis.<br />
D. Efek-efek psikologis:<br />
Kebanyakan obat-obat antipsikosis mengakibatkan efek subyektif dan tidak menyenangkan pada pasien non-psikosis; kombinasi rasa kantuk, lelah, dan efek otonom yang menimbulkan pengalaman tidak seperti yang dikaitkan dengan sedativa atau hipnotika yang lebih dikenal. Pasien non-psikosis juga akan mengalami gangguan performa sebagaimana ditunjukkan oleh tes-tes psikomotor dan psikometrik. Akan tetapi, pasien psikosis kemungkinan menunjukkan tingkatan dalam hal performa saat tingkat psikosisnya diturunkan. <br />
E. Efek-efek neurofisiologis:<br />
Obat-obat antipsikosis mengakibatkan pergeseran pola frekuensi elektroensefalografi, biasanya menurunkan frekuensi dan meningkatkan sinkronisasinya. Penurunan (hipersinkronisasi) tersebut fokal atau unilateral, yang dapat mengarah kepada interpretasi diagnosis yang salah. Perubahan perubahan amplitudo dan frekuensi yang diakibatkan oleh obat-obat psikotropika sudah jelas tampak dan dapat dihitung dengan teknik elektrofisiologis yang canggih<br />
Perubahan ensefalografi yang berkaitan dengan obat-obat antipsikosis pertama kali tampak pada elektroda suportikal, dan mendukung asumsi kalau obat-obat tersebut bekerja lebih banyak pada daerah subkortikal. Hipersinkronisasi yang ditimbulkan oleh obat-obat ini dapat berakibat pada pengaktifan EEG pada pasien epilepsi, dan juga mengakibatkan kelumpuhan diwaktu-waktu tertentu pada pasien yang tidak pernah mengalami kelumpuhan sebelumnya.<br />
F. Efek-Efek endokrin<br />
Obat-obat antipsikosis menimbulkan efek-efek yang tidak diinginkan pada sistem reproduksi. Amenore –galaktore, tes kehamilan yang salah (false positif), dan peningkatan libido dilaporkan telah terjadi. Pada wanita, sedangkan pada pria penurunan libido dan ginekomasti. Beberapa dampak bersifat sekunder dala menyakat penghambatan tonik dopamine pada sekresi prolaktin; yang lainnya mungkin berhubungan kepada konfersi perifer androgen ke estrogen. Sedikit atau tidak ada peningkatan sama sekali pada produksi prolaktin sesudah pemberian sejumlah antipsikosis terbaru seperti : olanzapine, guethiapine, dan sertindole, bisa menjadi tanda berkurangnya antagonisme D2 wsehingga mengurangi resiko disfungsi sistem ekstrapiramidal dan diskinesia tardiff, serta disfungsi endokrin.<br />
G. Efek-efek kardiovaskuler<br />
Hipotensi orthostatik dan denyut nadi tinggi seringkli ditimbulkan oleh peggunaan phenothiazine(potensi rendah)kemudian ” dosis tinggi”. Tekanan arteri rata-rata, resistensi perifer, dan volume sekuncup menurun, dan denyut nadi meningkat. Efek-efek ii dapat diprediksi dari daya kerja otonom obat-obat ini. ECG yang abnormal telah dicatat, khususnya dengan Thioridazine. Perubahan perubahan tersebut mencakup perpanjangan interval QT dan konfigurasi abnormal dari unsur ST dan gelombang T. Gelombang tersebut melingkar, mendatar, atau tidak rata. Perubahan ini dapat dibalik dengan hanya menghentikan obat-obat terebut. <br />
Diantara obat-obat antipsikosis terbaru, perpanjangan interval QT atau QTC- dengan peningkatan resiko aritmia yang berbahaya- sudah begitu mengkhawatirkan sen=hingga ssertindole merupakan obat pertama yang ditarik dari pasaran menunggu evaluasi selanjutnya. Sedangkan ziprasidone masih dipelajari lebih lanjut sebelum diambil keputusan yang final. Untuk mengesampingkan bermakna klinis QTc. <br />
FARMAKOLOGI KLINIK OBAT-OBAT ANTIPSIKOSIS<br />
A. Cara Penggunaan<br />
Dalam memilih pertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat, contohnya chlorpromazine dan thiaridazine yang efek samping sedatifnya kuat terutama digunakan untuk sindrom psikosis dengan gejla dominan gaduh gelisah, hiperaktif, sulit tidur, kekacauan pikiran, perasaan, dan perilaku, dll.sedangkan trifluoperazine, fluphenazine,dan haloperidol yang memiliki efek sedative lemah digunakan untuk sindrom psikosis dengan gejala dominant apatis, menarik diri, perasaan tumpul, kehilangan minat dan inisiatif, hipoaktif, waham, halusinasi, dll.<br />
Obat dimulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjurannya yaitu 1 atau 2mg.Dinaikkan dosisnya 2 sampai 3 hari sampai mencapai dosis efektif (Mulai timbul perbedaan gejala), beberapa kepustakaan mengatakan dosis per hari yang efektif antara 5-20 mg. Evaluasi dilakukan tiap 2 minggu dan bila perlu dosis dinaikkan, sampai mencapai dosis optimal. Dosis ini dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) kemudian diturunkan setiap 2 minggu sampai mencapai dosis pemeliharaan. Dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi masa bebas obat 1-2 hari /minggu ). Kemudian tappering off, dosis diturunkan tiap 2-4 minggu dan dihentikan. Pada anak-anak atau usia lanjut dosis haloperidol diturunkan dan dapat dimulai dengan 0,5 – 1,5 mg/ hari dengan pemberian 2 atau 3 kali perhari<br />
Obat antipsikosis long acting (flufenazine decanoat, 25mg/mL atau haloperidol decanoat, 50mg/mL IM, untuk 2-4 minggu) sangat berguna pada pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif terhadap medikasi oral. Dosis dimulai dengan 0,5 mL setiap 2 minggu pada bulan pertama kemudian baru ditingkatkan 1mL setiap bulan.<br />
Penggunaan chlorpromazine injeksi sering menimbulan hipotensi orthostatik bila terjadi atasi dengan injeksi noradrenalin (effortil, IM). Efek samping ini dapat dicegah dengan tidak langsung bangun setelah suntik atau tiduran selama 5-10 menit.<br />
Haloperidol sering menimbulkan gejala ekstrapiramidal, maka diberikan tablet trihexylphenidine (artane ®) 3-4 x 2mg/hari atau sulfas athropin 0,5-0,75 mg IM.<br />
B. Pengaturan Dosis<br />
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan :<br />
• Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu<br />
Onset efek sekunder (efek sampng) : sekitar 2-6 jam<br />
• Waktu paruh : 12-14 jam (pemberian obat 1-2 x/hari).<br />
• Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu kualitas hidup pasien.<br />
Mulai dengan ”dosis awal” sesuai dengan ”dosis anjuran”, dinaikkan setiap 2-3 hari sampai mencapai ”dosis efektif”(mulai timbul peredaran sindrompsikosis) dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan ”dosis optimal” dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) diturunkan setiap 2 minggu ”dosis maintenance” dipertahankan 6 bulan – 2 tahun (diselingi ”drug holiday” 1-2 hari/minggu) Tappering off (dosis diturunkan setiap 2-4 minggu) Stop.<br />
C. Lama pemberian<br />
Untuk pasien dengan serangan sindrom psikosis yang “multi episode”, terapi pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun, pemberian yang cukup lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5-5 kali<br />
Efek obat antipsikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah dosis terakhir. Masih mempunyai efek klinis. Sehingga tidak langsung menimbulkan kekambuhan setelah obat dihentikan, biasanya 1 bulan kemudian baru gejala psikosis kambuh kembali. Hal tersebut disebabkann metabolisme dan eksresi obat sangat lambat, metabolit-metabolit masih mempunyai efek antipsikosis.<br />
Pada umumnya pemberian antipsikosiss sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 3 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk “psikosis reaktif singkat” penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya dalam gejala kurun waktu 2 minggu sampai 2 bulan. Obat antipsikosis tidak meimbulkan gejala lepas obatyang hebat walaupun diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil sekali.<br />
Pada penghentian yang mendadak yang dapat timbul “ kolinergik rebound” : gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar, dll. Keadaan ini akan mereda dengan pemberian “ antikolinergic agent” (injeksi sulfas atropin 0,25mg IM), tablet trihexylphenidil (3x2mg/hari) oleh karena itu pada penggunaan bersama obat antipsikosis plus antiparkinson, bila sudah tiba waktu penghentian obat, obat antipsikosis dihentikan lebih dahulu, baru meyusul obat antiparkinson. <br />
D. Pemakaian khusus<br />
Thioridazine dosis kecil sering digunakan untuk pasien anak dengan hiperaktif, emosional labil, dan perilaku destruktif. Juga sering digunakan pada pasien usia lanjut dengan gangguan emosional (anxietas, depresi, agitasi) dengan dosis 20-200mg/hari. Hal ini disebabkan thioridazine lebih cenderung ke blokade reseptor dopamine disistem limbik daripada disistem ekstrapiramidal pada SSP (sebalinkya dari haluperidol)<br />
Haluperidol dosis kecil untuk “Gilles de la tourette’s syndrome” sangat efektif. Gangguan ini biasanya timbul mulai antara umur 2-15 tahun. Terdapat gerakan-gerakn involunter, berulang, cepat, dan tanpa tujuan, yang melibatkan banyak kelompok otot (tics). Disertai tics fokal yang multipel (misalnya, suara klik, dengusan, batuk, menggeram, menyalak, atau kata-kata kotor/koprolalia). Pasien mampu menahan tics secara volunter selama beberapa menit sampai beberapa jam. <br />
Sindrom neuroleptik maligna (SNM) merupakan kondisi yang mengancam kehidupan akibat reaksi idiosinkrasi terhadap obat antipsikosis (khususnya pada long acting) dimana resiko ini lebih besar ). Semua pasien yang diberikan obat antipsikosis mempunyai resiko untuk terjadinya SNM tetapi dengan kondisi dehidrasi, kelelahan, atau malnutrisi, resiko ini akan menjadi lebih tinggi. <br />
Butir-butir diagnostik SNM : <br />
a. Suhu badan >380C (hiperpireksia)<br />
b. Terdapat sindrom ekstrapiramidal berat (rigidity)<br />
c. Terdapat gejala disfungsi otonomik (incontinensia urine)<br />
d. Perubahan status mental<br />
e. Perubahan tingkat kesadaran<br />
f. Gejala tersebut timbul dan berkembang dengan cepat.<br />
Pengobatan :<br />
a. Hentikan segera obat antipsikosis<br />
b. Perawatan supportif<br />
c. Obat dopamin agonis ( bromokriptin 7,5 – 60 mg/hari 3dd1, L-dopa 2 x 100 mg/hari atau amantadine 200 mg/hari) <br />
Pada pasien usia lanjut atau dengan sindrom psikosis organik, obat antipsikosis diberikan dalam dosis kecil dan minimal efek samping otonomik (hipotensi orthostatik) dan sedasinya yaitu golongan ”high potency neuroleptic”, misalnya haloperidol, trifluoperazine, flufenazine, antipsikosis atipikal. <br />
Penggunaan pada wanita hamil, beresiko tinggi anak yang dilahirkan penderita gangguan saraf ekstrapiramidal.crazy boy'shttp://www.blogger.com/profile/10427640188054710037noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2500718933329494943.post-47830318989577054802010-07-06T15:24:00.001+07:002010-07-06T15:24:14.496+07:00Askep DM tipe 2Pendahuluan<br />
Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit kronis yang membutuhkan perhatian medis jangka panjang untuk membatasi perkembangan komplikasinya yang merusak dan mengatasi komplikasi tersebut ketika terjadi. DM termasuk penyakit yang mahal, pada tahun 2002 di US, biaya perawatan kesehatan per kapita untuk orang DM mencapai 13.243 US$ sementara tanpa DM hanya 2560US$. <br />
Artikel ini berfokus pada pemeriksaan dini dan penatalaksanaan komplikasi akut dan kronis pada DM di Unit Gawat Darurat (UGD) selain yang secara langsung berhubungan dengan hipoglikemia atau gangguan metabolik berat seperti ketoasidosis diabetikum dan hyperosmolar hyperglycemic state (HHS). <br />
Patofisiologi<br />
Ada 2 tiper mendasar pada DM yaitu tipe 1 dan tipe 2. DM tipe 1 dibahas lebih lanjut pada artikel yang terpisah. <br />
DM Type 2 pernah sering disebut sebagai diabetes onset dewasa. Sekarang, karena meningkatnya insiden obesitas dan ketidakaktifan anak, DM tipe 2 dapat terjadi pada umur yang lebih muda. Walaupun DM tipe 2 sering kali mengenai seseorang diatas umur 40 tahun, bahkan telah didiagnosis pada anak berumur 2 tahun yang memiliki riwayat DM pada keluarga.<br />
DM tipe 2 ditandai oleh adanya resitensi perifer insulin disertai dengan defek sekresi insulin dengan kerusakan yang bervariasi. Untuk menimbulkan DM tipe 2 kedua kerusakan tersebut harus terjadi: semua orang dengan obesitas mempunyai resistensi insulin, namun DM hanya terjadi pada yang tidak mampu meningkatkan produksi insulin oleh sel B. Dalam perkembangan dari toleransi glucosa yang normal menjadi toleransi glucosa abnormal, kadar glucosa postprandial yang pertama meningkat. Pada akhirnya, hiperglikemi puasa (terjadi pada saat tidak ada asupan makanan) terjadi karena inhibisi gluconeogenesis hepatik menurun<br />
Sekitar 90% pasien yang mengidap DM tipe 2 adalah orang dengan obesitas. Karena pasien dengan DM tipe 2 mempertahankan kemampuan untuk mengsekresi insulin endogen, mereka yang mengkonsumsi insulin umumnya tidak terjadi DKA jika penggunaan insulin dihentikan. Sehingga mereka dikatakan membutuhkan insulin namun tidak bergantung lepada insulin. Lebih lanjut lagi, pasien dengan DM tipe 2 sering tidak membutuhkan pengobatan dengan obat antidiabetik oral atau insulin jika berat badan mereka turun atau berhenti makan.<br />
Maturity-onset diabetes of the young (MODY/Diabetes onset remaja) adalah bentuk DM tipe 2 yang mengenai generasi yang lebih muda pada keluarga dengan riwayat DM. Umur yang biasanya terkena itu kurang dari 25 tahun. Ada beberapa tipe MODY. Faktor gen yang bertanggung jawab dapat dideteksi menggunakan pemeriksaan yang ada<br />
Gestational diabetes mellitus (GDM) didefinisikan sebagai derajat apapun intoleransi glukosa dengan onset atau pertama kali diketahui pada masa kehamilan. GDM merupakan komplikasi yang ditemukan pada sekitar 4% dari seluruh kehamilan di US, walaupun jumlahnya bervariasi antara 1-14% tergantung dari populasi yang diteliti.GDM yang tidak ditangani dapat mengarah pada janin makrosomia, hypoglikemia, hypocalcemia, dan hyperbilirubinemia. Sebagai tambahan, ibu dengan GDM memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk persalinan Caesar dan hipertensi kronis. Untuk mendeteksi GDM, pemeriksaan toleransi glukosa 50 g dikerjakan pada umur kehamilan 24-28 minggu. Jika konsentrasi glukosa plasma pasien selama 1 jam lebih besar dari 140 mg/dL, pemeriksaan dilanjutkan dengan toleransi 3 jam glukosa 100 g.<br />
Frekuensi<br />
United States<br />
Pada tahun 2005, seseorang dengan diabetes diperkirakan berjumlah 7% dari populasi US, atau sekitar 20.8 juta orang. Dari 20,8 juta orang ini, 14,6 juta diagnosis diabetes telah ditegakkan dan diabetes belum didiagnosis pada 6,2 juta lainnya. Sekitar 10% mengidap DM tipe 1, dan lainnya mengidap tipe 2. Sebagai tambahan, diperkirakan 54 juta orang terkena keadaan pre-diabetes. Pre-diabetes seperti didefinisikan oleh American Diabetes Association, adalah keadaan dimana kadar glukosa darah lebih dari normal namun tidak cukup tinggi untuk didiagnosis sebagai diabetes <br />
Mortalitas/Morbiditas<br />
Morbiditas dan mortalitas berkaitan dengan diabetes dihubungkan dengan komplikasi jangka pendek dan panjang. Komplikasi termasuk dibawah ini:<br />
• Hipoglikemi and hyperglycemia<br />
• Resiko infeksi meningkat<br />
• Komplikasi microvascular (eg, retinopathy, nephropathy)<br />
• Komplikasi neuropathic <br />
• Komplikasi penyakit macrovascular (eg, coronary artery disease, stroke)<br />
Diabetes adalah penyebab utama terjadinya kebutaan pada orang dewasa umur 20-74 tahun, dan juga merupakan penyebab terbanyak dari amputasi ekstremitas bawah nontraumatik dan penyakit ginjal tahap akhir (ESRD/End Stage Renal Disease) <br />
Jenis Kelamin<br />
Insiden biasanya sama pada perempuan dan laki-laki pada seluruh populasi. <br />
Umur<br />
• DM tipe 2 menjadi lebih sering terjadi karena usia orang lebih panjang dan prevalensi dari DM meningkat seiring peningkatan umur. <br />
• Sekarang juga lebih sering ditemukan pada orang dengan umur muda berkaitan dengan peningkatan prevalensi dari obesitas masa kecil.<br />
• Walaupun DM tipe 2 masih lebih sering terjadi pada dewaas umur 40 keatas, insiden penyakit ini lebih cenderung meningkat lebih cepat pada remaja dan dewasa muda daripada kelompok umur lainnya. <br />
KLINIS<br />
Riwayat<br />
Menentukan secara tepat apakah pasien mengidap tipe 1 atau tipe 2 penting karena pasien tipe 1 sangat bergantung pada penggunaan rutin insulin exogen dan karbohidrat untuk dapat bertahan hidup. Pasien dengan DM tipe 2 dapat tidak membutuhkan penanganan hyperglycemia selama masa puasa atau penurunan intake oral. Pasien dengan Diabetes yang terkontrol dengan diet atau agen antidiabetik jelas merupakan DM tipe 2. Pasien kurus dengan diabetes sejak kecil, yang selalu bergantung pada pembrian insulin, atau dengan riwayat DKA hampir pasti mengidap DM tipe 1. <br />
Membedakan tipe diabetes dapat sulit (1) pasien yang ditangani dengan insulin dan muda namun secara klinis sepertinya mengidap DM tipe 2 dan (2) pasien tua dengan diabetes late onset namun mengkonsumsi insulin dan sepertinya mempunyai karakteristik yang sama dengan DM tipe 1. (Kelompok yang terakhir sekarang dikatakan mempunyai latent autoimmune diabetes of the adult [LADA/ Diabetes Autoimun Laten pada Dewasa]). JIka meragukan, pasien diatasi dengan insulin dan kadar glukosanya diawasi secara ketat. Beberapa remaja atau dewasa muda, kebanyakan dengan ras Hispanik atau African American, yang memperlihatkan gejala klasik DKA, pada akhirnya sering kali ditemukan terkena DM tipe 2.<br />
Banyak pasien dengan DM tipe 2 muncul dengan asimptomatis, dan penyakit mereka tidak didiagnosis selama bertahun-tahun. Penelitian mengatakan bahwa pasien yang baru ditemukan dengan DM tipe 2 telah terkena DM paling tidak selama 4-7 tahun sebelum didiagnosis. Diantara pasien dengan DM tipe 2, 25% mempunyai retinopathy, 9% neuropathy dan 8% nephropathy pada waktu pertama kali didiagnosis<br />
Pre-diabetes sering terjadi sebelum munculnya DM tipe 2. Prediabetes didefinisikan dengan kadar GDP 100-125 mg/dL atau oral glucose tolerance test (OGTT) dengan kadar 140-200 mg/dL. Pasien prediabetes mempunyai peningkatan resiko terkena penyakit makrovaskuler sama halnya dengan resikonya terkena diabetes<br />
Prediabetes dengan sindrom metabolik sering membingungkan (biasa juga disebut dengan sindrom X atau sindrom resistensi insulin). Sindrom metabolik (diperkirakan terjadi akibat resistensi insulin) dapat terjadi pada pasien dengan kadar toleransi glukosa yang normal, prediabetes, atau diabetes. Sindrom metabolik ditandai dengan adanya obesitas sentral kemudia oleh dyslipidemia. Hipertensi merupakan tanda yang umum. Pada akhirnya, secara klinis resistensi insulin yang jelas terjadi. Sayangnya, resistensi insulin tidak diukur secara klinis, kecuali pada penelitian. Peningkatan kadar GDP merupakan indikasi pertama adanya resistensi insulin, namun kadar insulin puasa biasanya sudah lama meningkat sebelum hal ini berlangsung. Pengukuran kadar insulin puasa tidak direkomendasikan untuk diagnosis resistensi insulin. Suatu usaha untuk membuat standardisasi pemeriksaan insulin sedang dikerjakan dan nantinya dapat digunakan untuk menilai kadar insulin puasa untuk dapat mendiagnosis resistensi insulin di masa depan. <br />
Selama anamneses, cari informasi tentang tipe dan durasi terjadinya diabetes pada pasien dan tentang perawatan/pengobatan yang telah diterima pasien untuk penyakitnya<br />
1. Tipe dan estimasi durasi diabetes : Informasi ini membantu untuk menentukan apakah pasien bergantung pada insulin. Diagnosis berdasarkan riwayat penyakit, terapi, dan penilian klinis, seperti telah dijelaskan diatas.<br />
2. erawatan Diabetes: Cari tahu tentang penanganan terkini untuk diabetes pada pasien dan tentang kadar gula darahnya berdasarkan dari pengukuran sendiri atau pengukuran A1C (A1C, merupakan indikator jangka panjang dalam pengendalian glukosa).<br />
Anamnesis riwayat diabetes sebaiknya dapat mengenai pertanyaan dibawah ini:<br />
1. Apakah diabetes pada pasien dikontrol dengan baik (dengan kadar gula darah mendekati normal)? Pasien dengan kadar gula darah yang tidak terkontrol dengan baik sembuh lebih lama dan dengan meingkatnya resiko infeksi dan komplikasi lainnya.<br />
2. Apakah pasien pernah mengalami keadaan reaksi hipoglikemik yang berat? Jika pasien pernah mempunyai episode hipoglikemia berat, maka ia mempunyai resiko untuk kehilangan kesadaran, karenanya kemungkinan ini harus dapat diperoleh<br />
3. Apakah pasien pernah memiliki neuropathy perifer<br />
4. Apakah pasien memiliki luka yang tidak dirasakan pada kaki atau luka yang membutuhkan penanganan?<br />
5. Apakah pasien mengalami diabetic nephropathy sehingga mengubah penggunaan obat-obatan atau material kontras rasiography?<br />
6. Apakah pasien pernah mempunyai penyakit macrovascular, seperti penyakit jantung koroner, yang sebaiknya dipertimbangkan dalam keadaan gawat darurat.<br />
Jika keadaannya terkontrol, maka akan bertambah pertanyaan yang harus dijawab<br />
• Perawatan Diabetes<br />
o Bagaimana diet pada pasien?Apakah dia menggunakan agen antidiabetik oral, insulin, atau keduanya? Jika ya, berapa dosis dan frekuensi dari pengobatan tersebut?<br />
o Apakah pasien memonitor sendiri kadar glukosa darahnya? Jika ya, seberapa sering dan berapa rata-rata nilainya tiap kali diperiksa? <br />
o Kapan kadar A1C pasien diukur? Berapa besar nilainya?<br />
o Apakah pasien dapat menyesuaikan terhadap diet tertentu atau olahraga secara teratur?<br />
• Hyperglycemia: Tanyakan tentang polyuria, polydipsia, nocturia, berat badan menurun, dan kelemahan.<br />
• Hipoglikemi<br />
o Pernahkah pasien mengalami episode hipoglikemi?Apakah episode ini diketahui?Apakah episode ini ringan atau berat? <br />
o Kapan dan seberapa sering episode ini terjadi? Bagaimana cara pasien menanganinya?<br />
o Apakah pasien memiliki kesadaran akan munculnya hipoglikemia (mis, apakah pasien kurang mendapatkan tanda adrenergic hipoglikemia)? Ketidaksadaran akan Hipoglikemi mengindikasikan resiko peningkatan episode dari hipoglikemia.<br />
• Komplikasi microvascular <br />
o Retinopathy: Kapan terakhir kali pemeriksaan mata pada pasien dilakukan? Apakah ada penurunan pada penglihatan?<br />
o Nephropathy: Apakah pasien telah mengetahui dirinya terkena penyakit ginjal atau tidak?Bagaimana hasil dan tanggal pengukuran protein urin dan kadan kreatinin serum terakhir?Jika protein pada urin belum ditelusuri, pernahkah rasio microalbumin-kreatinin dinilai setahun terakhir ini?<br />
• Neuropathy: Apakah pasien mempunyai riwayat dari neuropathy atau gejala neuropati perifer atau neuropati otonom (termasuk impotensi pada pasien laki-laki)?<br />
• Komplikasi macrovascular <br />
o Hipertensi: Apakah pasien memiliki hipertensi ? (didefinisikan dengan TD >130/80 mm Hg)? Apa pengobatan yang diberikan?<br />
o PJK: Apakah pasien memiliki PJK? Adakah riwayat PJK pada keluarga?<br />
o Penyakit vaskuler perifer: Apakah pasien memiliki gejala kram-kram atau riwayat bypass vaskuler<br />
o Penyakit Cerebrovascular: Pernahkah pasien terkena stroke atau transient ischemic attack?<br />
o Hyperlipidemia: Berapaa kadar lipid terakhir dari pasien? Apakah pasien mengkonsumsi obat-obat penurun lemak?<br />
• Kaki diabetic: Apakah pasien memiliki riwayat luka pada kaki atau pernah diamputasi? Apakah ada ulkus pada kaki pada pemeriksaan sekarang?<br />
• Infeksi: Apakah infeksi berulang menjadi suatu masalah?dimana tempat infeksinya?<br />
Pemeriksaan Fisis<br />
Fokus pemeriksaan pada diabetes adalah pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan funduskopi, pemeriksaan vaskuler dan neurologic ringkas, dan penilaian pada ekstremitas bawah. Sistem organ lainnya sebaiknya diperiksa sesuai indikasi pada keadaan klinis tertentu pada pasien.<br />
• Penilaian tanda vital<br />
o Apakah pasien hipertensi atau hipotensi? Tanda vital Orthostatic dapat berguna untuk menilai status volume dan dapat menjelaskan adanya neuropati otonom.<br />
o Jika frekuensi dan pola napas menjelaskan respirasi Kussmaul, DKA harus dipertimbangkan secepatnya dan pemeriksaan penunjang yang tepat harus dilakukan.<br />
• Pemeriksaan funduskopi <br />
o Pemeriksaan funduskopi sebaiknya melihat retina dengan teliti, termasuk papil dan macula.<br />
o Jika perdarahan atau exudat terlihat, pasien sebaiknya dirujuk ke dokter mata secepatnya.Pemeriksa yang bukan ahli mata cenderung menganggap remeh retinopathy yang berat, terutama jika pupil pasien tidak berdilatasi.<br />
• Pemeriksaan tungkai<br />
o Nadi dorsalis pedis dan posterior tibialis sebaiknya diraba dan ada tidaknya perlu diketahui. Ini penting pada pasien yang memiliki infeksi pada kaki karena aliran darah pada tungkai yang jelek dapat memperpanjang penyembuhan dan meningkatkan resiko amputasi.<br />
o Menilai neuropathy sensorik pada tungkai berguna pada pasien dengan ulkus pada kaki karena adanya penurunan sensasi membatasi kemampuan pasien untuk melindungi kaki dan engkel. Ini dapat dinilai dengan pemeriksaan refleks, sensasi posisi dan vibrasi<br />
o Jika neuropathy perifer ditemukan, pasien sebaiknya dibuat menjadi sadar bahwa perawatan kaki (temasuk pemeriksaan kaki harian) sangat penting untuk mencegah perluasan ulkus kaki dan amputasi tungkai bawah.<br />
Penyebab<br />
Faktor resiko utama terjadinya DM tipe 2 adalah sebagi berikut :<br />
• Umur – Umur diatas 45 tahun (walaupun seperti tercatat diatas DM tipe 2 juga meningkat frekuensinya pada seseorang berusia muda)<br />
• Obesitas – Berat badan lebih dari 120% berat badan ideal<br />
• Riwayat DM tipe 2 pada keluarga terdekat (mis, orang tua atau saudara)<br />
• Riwayat adanya glukosa darah terganggu atau glukosa darah puasa terganggu<br />
• Hipertensi (>140/90 mm Hg) atau dislipidemia ( kadar high-density lipoprotein [HDL] <40 style=""> >150 mg/dL)<br />
• Riwayat GDM atau melahirkan bayi dengan berat >4kg<br />
• Polycystic ovarian syndrome (yang menyebabkan resistensi insulin)<br />
PEMERIKSAAN PENUNJANG<br />
Laboratorium<br />
• Tes glukosa strip cocok dilakukan untuk penegakkan diagnosis di UGD pada pasien yang terlihat mengidap DM. Seluruh pemeriksaan laboratorium lainnya disesuaikan dengan keadaan klinis masing-masing pasien.<br />
• Pada pasien dengan gejala diabetes tidak terkendali (misal, polyuria, polydipsia, nocturia, fatigue, berat badan menurun) ditambah dengan kadar GDS >200 mg/dL, diagnosis diabetes dapat ditegakkan.<br />
• Pada pasien asimptomatik dengan kadar GDS >140 mg/dL, pengukuran konsentrasi gula darah puasa (GDP) sebaiknya dilakukan. Tes toleransi glukosa oral tidak lagi direkomendasikan untuk pemeriksaan rutin dalam menegakkan diagnosis diabetes.]<br />
o Kadar GDP >126 mg/dL pada 2 pemeriksaan dalam waktu yang berbeda dapat menegakkan diagnosis<br />
o Kadar GDP 100-125 mg/dL dikatakan sebagai sebagai glukosa darah terganggu.<br />
o Kadar GDP <100><br />
• Kadar C-peptide puasa >1 ng/dL pada pasien yang telah mengidap diabetes lebih dari 1-2 tahun dapat ditegakkan diagnosis DM tipe 2 (mis, residu fungsi beta-cell ).<br />
• Autoantibodi dapat berguna dalam membedakan antara tipe 1 dan tipe 2.<br />
o Islet-cell autoantibodies (IA2) ditemukan pada anak dengan onset baru DM tipe 1 namun tidak ditemukan pada DM tipe 2. Antibodi ini ditemukan positif sampai sekitar 6 bulan setelah diagnosis.<br />
o Antibodi Anti-GAD65 ditemukan 80% pada pasien dewasa dengan DM tipe 1 onset baru (diketahui sebagai latent autoimmune diabetes of the adult [LADA]). Antibodi ini akan tetap positif seumur hidup.. <br />
PENATALAKSANAAN<br />
Departement Gawat Darurat<br />
Perawatan pada UGD pasien dengan DM tipe 2 membutuhkan perhatian pada kontrol glikemik pada pasien dan komplikasi diabetes yang kemungkinan pasien miliki. <br />
• Diabetes onset baru<br />
o Kebanyakan pasien diabetes mengidap DM tipe 2 dan kebanyakan tidak ada gejala pada saat diagnosis. Penatalaksaan dini pada pasien yaitu dengan terapi penyesuaian nutrisi (medical nutrition therapy/MNT) ditambah dengan pemberian metformin. Maka dari itu, jika pasien asimptomatis secara tidak sengaja diketahui mempunyai kadar gula darah meningkat pada diagnosis UGD, dokter pasien dapat melakukan tindak lanjut. Pasien dengan gejala yang ringan dari diabetes yang tidak terkontrol atau tidak terdiagnosis biasanya dapat diterapi rawat jalan.<br />
o Penatalaksanaan yang tepat untuk pasien bergejala jelas dengan DM tipe 2 yang baru ditemukan dan dengan kadar glukosa lebih dari 400 mg/dL masih belum jelas. Jika follow-up teliti dapat dilakukan, dosis maksimum agen sulfonylurea dapat dimulai dan mereka dapat dirawat jalan. Pasien biasanya merasa lebih baik dalam 1-2 hari, dan dalam seminggu, kadar glukosa darah mereka semakin rendah. Dosis sulfonylurea dapat ditappering off dan dilanjutkan dengan MNT dan metformin; pada beberapa orang diabetes dapat dikendalikan dengan diet saja. Pasien yang tidak dapat minum dengan jumlah cairan yang adekuat, atau mereka dengan keadaan medis serius sebelumnya (mis, myocardial infarction [MI], infeksi sistemik), dan mereka dengan follow up yang diragukan, sebaiknya diopname untuk memulai terapi. Jalan lainnya, terapi insulin dapat dimulai dan disesuaikan pada keadaan rawat inap atau rawat jalan.<br />
• Abnormalitas yang diakibatkan hiperglikemia<br />
o Hyperglikemia akut, walaupun tidak berkaitan dengan DKA atau hyperglycemic hyperosmolar nonketotic syndrome (HNKS), tetap berbahaya karena beberapa alas an. Jika kadar gula darah melebihi dari ambang batas ginjal untuk glukosa, diuresis osmotic terjadi dan akan disertai dengan hilangnya glukosa, elektrolit, dan air. Hiperglikemia mengganggu fungsi leukosit melalui berbagai mekanisme. Pasien dengan diabetes mempunyai peningkatan jumlah infeksi pada luka dan hiperglikemia dapat memperlambat penyembuhan luka.<br />
o Pada pasien yang diketahui dengan DM tipe 2 yang tidak terkontrol, tidak ada kadar glukosa darah yang mutlak untuk memulangkan pasien dari rumah sakit atau penghentian insulin di UGD. Jika pasien mempelihatkan gejala yang berat atau jika penyebab hiperglikemia tidak dapat ditangani di UGD, pasien sangat dianjurkan untuk diopname. Secara umum, menurunkan kadar gula darah pasien pada UGD tidak mengatasi penyebab utama dan mempunyai efek jangka pendek saja. Sehingga, perencanaan untuk menurunkan dan mengawasi kadar gula darah pasien dibutuhkan. Cukupnya tindak lanjut pada pasien sangat penting. Apakah pemberian insulin di UGD tidak berkonsekuensi besar dan dapat diputuskan tergantung keadaan klinis masing-masing pasien<br />
• Hiperglikemia pada penyakit lainnya dan pasien bedah<br />
o Hiperglikemia pada penyakit lainnya dan pasien bedah disebabkan oleh peningkatan resistensi insulin. Hiperglikemia dapat terjadi, bahkan pada pasien tanpa DM, karena adanya resistensi insulin yang dipicu stress ditambah dengan pemakaian cairan intravena yang mengandung dextrose. Peningkatan kadar glukagon, catecholamine, cortisol, dan hormon gonad menghambat efek insulin, dan efek alpha-adrenergik akibat meningkatnya kadar catecholamine menghambat sekresi insulin. Akibat kurangnya glukosa pada jaringan, tubuh menyesuaikan diri dengan melakukan peningkatan glukoneogenesis pada hepar sehingga akan memperparah peningkatan glukosa pada vaskuler..<br />
o Banyak bukti yang memperlihatkan keuntungan dari penanganan hiperglikemia pada pasien dengan penyakit berat dengan atau tanpa DM. Pada pasien ICU, sebelum dan sesudah tindakan coronary artery bypass grafting (CABG), dan pada pasien Infark Myocard, morbiditas dan mortalitas kelompok ini menurun setelah pemberian infuse glucose-insulin-potassium infusion (GIK infusion) yang dirancang untuk menjaga kadar glukosa dalam angka normal. Banyak rumah sakit yang telah mengimplementasikan protokol GIK-infusion pada pasien ICU, ICU pasca operasi, dan CCU (Critical Care Unit)<br />
o Regimen penatalaksanaan harus dapat disesuaikan untuk pasien yang tidak membutuhkan perawatan ICU untuk mengkompensasi penurunan intake kalori dan peningkatan stress fisiologik. Kadar glukosa darah antara 100-150 mg/dL sebaiknya dijaga pada pasien bedah/nonbedah yang disertai DM karena alasan berikut ini :<br />
Untuk mencegah abnormaltas elektrolit dan penurunan cairan akibat diuresis osmotik<br />
Untuk mencegah gangguan fungsi leukosit yang terjadi jika kadar glukosa darah meningkat<br />
Untuk mencegah gangguan pada proses penyembuhan luka yang terjadi jika kadar glukosa darah meningkat. <br />
o Penyakit cardiovascular (CVD/Cardiovasculer Diseases) atau disfungis ginjal meningkatkan morbiditas dan mortalitas operasi pada pasien dengan atau tanpa DM, neuropati otonom akibat diabetes meningkatkan resiko instabilitas kardiovaskuler. Dokter UGD yang menerima pasien dengan DM yang membutuhkan operasi sito harus memberitahu secara detail tentang keadaan pasien pada dokter bedah dan dokter anastesi dan melakukan pemeriksaan penunjang lengkap untuk mencegah operasi yang memakan waktu lama.<br />
• Infeksi secara umum<br />
o Infeksi menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi pada pasien diabetes. Infeksi dapat memicu kerusakan metabolisme dan kemudian gangguan metabolisme juga dapat meningkatkan kemungkinan tejadinya infeksi. <br />
o Beberapa infeksi, seperti malignant otitis externa, rhinocerebral mucormycosis, dan emphysematous pyelonephritis terjadi kebanyakan hanay pada pasien dengan diabetes. Infeksi seperti staphylococcal sepsis terjadi lebih sering dan menyebabkan mortalitas yang lebih besar pada pasien DM daripada penyakit lainnya. <br />
o Hiperglikemia dan asidemia menimbulkan gangguan pada immunitas humoral dan fungsi leukosit dan limfosit polimorfonuklear. Namun sebagian kerusakan (tidak keseluruhan) dapat diatasi jika pH dan kadar glukosa darah kembali ke angka normal. Walaupun kadar pasti dimana fungsi lekosit terganggu tidak ditentukan, bukti invitro mengatakan bahwa kadar glukosa diatas 200 mg/dL dapat mengganggu fungsi leukositik <br />
o Pasien yang telah menderita diabetes dalam jangka waktu yang panjang cenderung memiliki komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler akibat buruknya perfusi jaringan dan peningkatan resiko infeksi. Kemampuan kulit sebagai barier infeksi dapat berkurang akibat hilangnya sensasi pada neuropati diabetic yang akan menyebabkan luka yang tidak disadari.<br />
• Infeksi pada telinga, hidung, tenggorokan<br />
o 2 jenis infeksi pada kepala dan leher yang berkaitan dengan meningkatnya mortalitas dan morbiditas adalah malignant otitis externa dan rhinocerebral mucormycosis; Kebanyakan penyakit ini terjadi hanya pada pasien diabetes.<br />
o Pada dasarnya otitis externa malignant atau necrotizing terjadi pada pasien dengan diabetes yang berumur lebih tua dari 35 tahun dan kebanyakan selalu disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa.<br />
Infeksi mula-mula terjadi pada kanalis auditorius external dan menyebar ke jaringan lunak, kartilago, dan tulang sekitar. Khasnya, pasien datang dengan nyeri telinga berat dan otorrhea. Walaupun mereka sering telah mempunyai otitis eksterna sebelumnya, perkembangan menjadi penyakit yang infasif biasanya terjadi dengan cepat.<br />
Pemeriksaan kanalis auditorius biasanya memperlihatkan jaringan granulasi, namun penyebaran infeksi ke pinna, jaringan preauricular, dan mastoid membuat diagnosis menjadi jelas. Keterlibatan nervus kranialis, biasanya nervus facialis, biasa terjadi; dapat terjadi kematian jika infeksi meluas sampai ke menings. <br />
CT scan dapat menilai perluasan dari penyakit ini.<br />
Konsultasi bedah harus dilakukan pada malignant otitis media karena debridement selalu menjadi bagian utama dalam penanganan. Antibiotik antipseudomonal intravena sebaiknya segera dimulai pada pasien dengan otitis yang infasif. Pasien dengan diabetes disertai otitis eksterna berat namun tidak ditemukan tanfa adanya penyakit infasif dapat diatasi dengan ciprofloxacin oral dan tetes telinga, keduanya memerlukan pengawasan yang seksama.<br />
o Mucormycosis pada dasarnya merujuk pada infeksi yang disebabkan oleh beragam jenis jamur. Penyakit invasif terjadi pada pasien dengan diabetes yang tak terkontrol, terutama pada DKA. Organisme berkolonisasi pada hidung dan sinus paranasales, menyebar ke jaringan sekitar dengan cara menginvasi pembuluh darah kemudian akan menyebabkan nekrosis jaringan lunak dan erosi tulang <br />
Pasien biasanya dating dengan nyeri periorbital atau perinasalis, pembengkakan, dan indurasi. Epistaksis dapat terjadi. Keterlibatan orbita, berupa pembengkakan palpebra, adanya proptosis dan diplopia biasanya didapatkan.<br />
Infeksi dapat menyebar hingga kedaerah cranial melalui cribriform plate, dan dapat mengakibatkan abses serebral, cavernous sinus thrombosis, atau thrombosis arteri karotis interna.<br />
Penanganan termasuk engendalikan hiperglikemia dan asidemia, pemberian amphotericin B intravena, dan debridement sesegara mungkin. Sebelum diagnosis ditegakkan, terapi antibiotik antistaphylococcal cocok diberikan<br />
• Infeksi traktus urinarius<br />
o Pasien dengan diabetes mengalami peningkatan resiko cystitis dan lebih penting lagi, infeksi saluran kemih bagian atas yang berat. Infeksi bakteri intrarenal sebaiknya dipertimbangkan dalam differensial diagnosis pada pasien dengan diabetes yang dating dengan nyeri pinggul atau perut.<br />
o Penanganan cystitis pada dasarnya sama saja dengan penanganan cystisis pasien tanpa diabetes, namun jangka waktu terapi yang lebih lama dianjurkan. Seseorang dengan kandung kemih neurogenik akibat diabetic neuropathy tidak dapat mengosongkan kandung kemihnya dengan baik, pasien seperti ini membutuhkan rujukan kepada urolog. Antibiotic sulfonamide dapat menyebabkan hipoglikemia pada pasien yang mengkonsumsi sulfonylurea dengan cara melepaskan sulfonylurea dari titik tangkapnya dan akan meningkatkan efek hipoglikemik dari zat ini. <br />
o Penanganan pyelonephritis pada pasien diabetes tidak berbeda dengan yang lainnya, namun cenderung lebih sering harus diopname. Dikarenakan pertama, pyelonephritis membuat kontrol diabetes menjadi lebih sulit akibat resistensi insulin, kemudian, mual dapat membatasi kemampuan pasien untuk menjaga hidrasi normal. Hiperglikemia, lebih lanjutnya, dapat menurunkan respon imun. Kedua, pasien dengan diabetes lebih sering mendapatkan komplikasi pyelonephritis (misal, abses renal, emphysematous pyelonephritis, renal papillary necrosis, gram-negative sepsis). dibandingkan dengan orang tanpa DM. <br />
o Lebih dari 70% kasus emphysematous pyelonephritis terjadi pada pasien dengan diabetes. Emphysematous pyelonephritis merupakan infeksi renal necrotizing yang jarang terjadi, disebabkan oleh Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, atau organisme lain yang dapat mengfermentasikan glukosa menjadi karbon dioksida. Gejala biasanya mirip dengan pyelonephritis tanpa komplikasi dan diagnosis ditegakkan dengan cara melihat adanya gas di ginjal pada foto polos atau USG. Operasi diindikasikan jika diagnosis telah ditegakkan.<br />
• Infeksi kulit dan jaringan lunak<br />
o Neuropati sensorik , atherosclerotic vascular disease, dan hyperglycemia, semuanya dapat menyebabkan pasien diabetes terkena infeksi kulit dan jaringan lunak. Ini dapat mengenai permukaan kulit dimana saja namun pada umumnya terjadi pada kaki<br />
o Kadar glukosa darah lebih dari 250 mg/dL meningkatkan resiko infeksi jaringan lunak secara bermakna<br />
o Cellulitis; lymphangitis; dan, paling buruknya, staphylococcal sepsis dapat menjadi komplikasi bahkan pada luka sekecil apapun. Luka minor dan selulitis biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau hemolytic streptococci. Penanganan dengan penicillinase-resistant synthetic penicillin atau generasi pertama cephalosporin terbukti efektif untuk penanganan infeksi minor pada pasien rawat jalan, namun meningkatnya prevalensi community-acquired methicillin-resistant Staphylococcus aureus (CA-MRSA) sekarang harus dipertimbangkan jika memilih antibiotik. Pasein dengan diabetes sepertinya tidak memiliki prevalensi CA-MRSA yang lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa diabetes <br />
o Penanganan infeksi minor pada pasien rawat jalan cocok untuk pasien yang memonitor kadar glukosa darahnya dan mempunyai akses untuk follow up ruitn.<br />
• Osteomyelitis<br />
o Penyebaran berkelanjutan dari infeksi polymicrobial dari ulkus kulit ke jaringan tulang sekitar umum terjadi pada pasien diabetes<br />
o Pada suatu penelitian, osteomyelitis ditemukan pada 68% pasien kaki diabetik dan pemeriksaan fisis dan x-ray polos tidak membantu menegakkan diagnosis pada sebagian besar kasus. Disayangkan, modalitas diagnosa ini satu-satunya yang sering tersedia pada UGD, dan diagnosis menjadi hanya dicurigai namun tidak dapat ditegakkan. MRI, jika tersedia pada UGD, mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik dalam mendiagnosis osteomyelitis. <br />
o Jika osteomyelitis terlihat pada x-ray polos atau pemeriksaan fisis (misal, jika luka cukup dalam untuk menjalar ke tendon atau tulang), Pasien sebaiknya diberikan antibiotic intravena. Jika osteomyelitis dicurigai namun infeksi jaringan lunak atau gangguan metabolis tidak mengindikasikan rawat inap, pasien dapat dipulangkan untuk rawat jalan. <br />
• Infeksi lainnya<br />
o Walaupun cholecystitis mungkin sering pada pasien diabetes daripada populasi umum, infeksi fulminan berat, terutama organisme penghasil gas sering ditemukan. Manifestasi klinis dini dari cholecystitis emphysematous biasanya sulit dibedakan dari cholecystitis pada umumnya. Diagnosis ditegakkan dengan menemukan udara pada lumen, dinding atau jaringan sekitar dari kantung empedu. Walaupun pembedahan segera dikerjakan, jumlah mortalitas tetap tinggi. <br />
o Insiden infeksi staphylococcal dan K pneumoniae lebih tinggi pada pasien dengan diabetes dibandingkan tanpa diabetes.<br />
o Diabetes merupakan faktor resiko dari reaktivasi tuberculosis.<br />
o Infeksi cryptococcal dan coccidioidomycoses lebih virulen pada pasien dengan diabetes dibandingkan dengan orang lain<br />
• Komplikasi ophthalmologic <br />
o Diabetes dapat mempengaruhi lensa, vitreous, dan retina menyebabkan gejala penglihatan yang dapat membuat pasien masuk UGD. Penglihatan kabur dapat berkembang cepat karena perubahan bentuk lensa mengikuti perubahan konsentrasi glukosa darah. Efek ini disebabkan oleh aliran air osmotik ke dalam dan keluar dari lensa, biasanya terjadi jika hyperglycemia terjadi, namun dapat juga terlihat jika kadar glukosa menurun secara drastis. Pada kedua kasus, penyembuhan ke tahap ketajaman penglihatan sebelumnya, memerlukan waktu hingga satu bulan, dan beberapa pasien hampir sama sekali tidak mampu membaca tulisan kecil.<br />
o Patients dengan diabetes juga cenderung terkena katarak senilis dibandingkan pasien tanpa diabetes walaupun ini tidak berhubungan dengan derajat pengendalian glukosa.<br />
o Apakah pasien terkena retinopathy diabetic atau tidak bergantung dari durasi diabetes mereka dan dari pengendalian kadar glukosa. Karena diagnosis DM tipe 2 biasanya terlambat, 20% dari pasien ini telah mempunyai derajat retinopathy yang berbeda-beda pada saat diagnosis DM tipe 2. Berikut ini adalah 5 tahap dari perkembangan retinopathy diabetes.<br />
1. Dilatasi vena retina dan pembentukan microaneurisma pada kapiler retina. <br />
2. Peningkatan permeabilitas vaskuler<br />
3. Oklusi vaskuler dan iskemia retina<br />
4. Proliferasi dari pembuluh darah baru pada permukaan retina<br />
5. Perdarahan dan kontraksi dari proliferasi fibrovaskuler pada vitreous<br />
o 2 tahap pertama diketahui sebagai retinopati nonproliferative retinopathy.<br />
Mulanya, venula retina berdilatasi kemudian microaneurisma berkembang (titik merah kecil pada retina yang tidak menyebabkan gangguan penglihatan).<br />
Jika microaneurysms atau kapiler retinal menjadi semakin permeabel, dan eksudat keras muncul, menandakan adanya kebocoran plasma. Ruptur kapiler intraretinal menyebabkan pendarahan. Jika kapiler superficial mengalami ruptur, dapat terlihat perdarahan berbentuk kobaran api ( flame-shaped hemorrhage) <br />
Exudate keras biasanya ditemukan pada sebagian atau seluruh bagian cincin (pola circinasi) dimana biasanya termasuk microaneurisma multipl. Cincin ini biasanya tanda dari area retina edematous.<br />
Pasien dapat tidak menyadari perubahan ketajaman mata kecuali macula centralis terlibat. Edema macular dapat menyebabkan hilangnya penglihatan; maka dari itu, semua pasien yang dicurigai edema macular harus dirujuk ke spesialis penyakit mata untuk pemeriksaan lebih lanjut dan terapi laser. Terapi laser efektif dalam menurunkan edema macular dan mengembalikan ketajaman penglihatan namun kurang efektif untuk mengembalikan penglihatan yang sudah hilang.<br />
o Retinopati diabetes preproliferative dan proliferative merupakan stadium berikutnya dalam perkembangan penyakit ini. Cotton-wool spots dapat terlihat pada retinopathy preproliferative. Dapat terlihat microinfark pada retina disebabkan oleh oklusi kapiler dan terlihat sebagai bercak berwarna abu-abu keputihan dengan batas tidak tegas.<br />
o Retinopathy proliferative ditandai dengan neovaskularisasi atau perkembangan jaringan pembuluh darah baru yang mudah pecah yang dapat terlihat pada saraf optic atau sepanjang jalur pembuluh darah utama. Pembuluh darah mengalami siklus proliferasi dan regresi. Selama proliferasi, adhesi fibrous terjadi pada pembuluh darah dan vitreous. Kontraksi berkesinambungan akibat adesi dapat menyebabkan traksi pada retina dan detachment retina. Kontraksi juga memecahkan pembuluh darah baru, dimana pendarahan memasuki vitreous. Pasien hanya akan menyadari adanya perdarahan kecil yang terlihat sebagai floater (objek kecil transparan yang terlihat bergerak mengikuti pandangan) walaupun perdarahan berat dapat menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan yang berarti.<br />
o Pasien dengan retinopati preproliferative atau proliferative harus segera dilakukan pemeriksaan ophthalmologis karena terapi laser dapat efektif pada keadaan seperti ini, terutama sebelum perdarahan terjadi. Pasien dengan perdarahan retina harus dianjurkan untuk mengurangi aktifitas mereka dan menjaga kepala tetap tegak (walaupun sedang tidur) sehingga darah mengalir ke bagian inferior retina dan meminimalisir kerusakan penglihatan sentral.<br />
o Pasien dengan retinopati diabetic proliferative mempunyai rpeningkatan resiko terjadinya perdarahan retina jika mendapatkan terapi thrombolitik, sehingga, pada keadaan ini merupakan kontraindikasi relatif untuk menggunakan agen thrombolitik <br />
• Nephropathy<br />
o Pasien dengan DM tipe 2 merupakan pasien diabetes terbanyak yang mengidap ESRD (End Stage Renal Disease/Penyakit Ginjal tahap akhir). Semua pasien diabetes harus dicurigai mempunyai potensi untuk gangguan ginjal kecuali jika tidak terbukti. Sehingga, penanganan ekstra dilakukan jika menggunakan agen nephrotoksik pada semua pasien diabetes..<br />
o Pemakaian zat kontras dapat memicu gagal ginjal akut pada pasien yang telah memiliki nephropaty diabetk. Perhatian lebih dilakukan pada pemeriksaan radiologist dengan kontras jika kadar kreatinin pasien diabetes lebih besar dari 2 mg/dL; pemeriksaan ini harus mutlak dihindari jika kadar kreatinin mencapai lebih dari 3mg/dL. Walaupun kebanyakan dapat sembuh dalam 10 hari, beberapa yang lain terkena gagal ginjal irreversible. Pasien diabetes yang harus melakukan pemeriksaan ini sebaiknya minum banyak sebelum, selama, dan setelah pemeriksaan dan setelah pemeriksaan, fungsi ginjal harus diawasi secara hati-hati. Solusi yang lebih baik yaitu dengan menggunakan modalitas alternative yang tidak memerlukan media kontras (misal, sonography, CT noncontras, atau MRI).<br />
o Obat yang berpotensi nephrotoxic sebaiknya dihindari jika memungkinkan. Obat yang dieksresi melalui ginjal atau obat berpotensi nephrotoksik sebaiknya diberikan dalam dosis rendah menyesuaikan dengan kadar kreatinin pasien. <br />
o Karena peningkatan tekanan darah kronis berkontribusi dalam penurunan fungsi ginjal, maka pasien hipertensi yang terkena diabetes harus diberikan penanganan tekanan darah tinggi jangka panjang. Jika terapi antihipertensi dimulai pada UGD, Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor atau angiotensin receptor blocker (ARB) dianjurkan karena agen ini menurunkan proteinuria dan kurang merusak fungsi ginjal selain dari efeknya pada tekanan darah. ACE inhibitor dan ARBs cenderung meningkatkan kadar potassium serum sehingga digunakan dengan perhatian lebih pada pasien dengan insufisiensi renalis atau peningkatan kadar potassium serum.<br />
• Neuropati<br />
o Dari banyak tipe neuropati diabetic perifer dan otonom, polineuropati sensorimotor simetris merupakan yang paling sering (distribusi “glove and stocking”). Selain menyebabkan nyeri pada stadium awal, tipe neuropati ini berakhir dengan hilangnya sensasi perifer. Kombinasi antara penurunan sensasi dan insufisiensi arterial perifer biasanya menyebabkan ulkus di kaki dan akhirnya diamputasi.<br />
o Onset mononeuropati akut pada diabetes termasuk mononeuropati cranial, mononeuropati multiplex, lesi fokal pada plexus brachial atau lumbosacral, dan radiculopati. Pada neuropati cranial, nervus cranial II (oculomotoris) merupakan yang paling sering terkena, diikuti oleh nervus cranial VI (abdusen) dan nervus cranial IV (trochlearis). Pasien biasanya datang dengan diplopia dan nyeri mata. <br />
o Pertimbangan akan penyebab nondiabetes dari nervus cranial palsy penting karena 42% kasus disebabkan oleh penyebab selain diabetes. Sehingga, pemeriksaan juga disertai dengan CT kontras atau non-kontras atau yang lebih baik, MRI. Konsul kepada spesialis saraf direkomendasikan. Mononeuropati nervus kranialis akut biasanya sembuh dalam 2-9 bulan. Trombosis atau iskemia akut pada pembuluh darah yang menyuplai struktur terkait dicurigai merupakan penyebab dari neuropati ini. <br />
o Disfungsi otonom dapat melibatkan bagian manapun dari rantai simpatik atau parasimpatik dan menghasilkan manifestasi yang beragam. Pasien biasanya masuk ke UGD dengan gastroparesis diabetik dan muntah, diare berat, disfungsi saluran kemih, dan retensi urin atau hipotensi orthostatic simpatis. <br />
Penanganan gastroparesis adalah simptomatis dan gejala cenderung hilang timbul. Pasien dengan gastroparesis dapat diatasi dengan metoclopramide atau eritromisin. Sebelum terapi ini dimulai, derajat dehidrasi dan keseimbangan metabolik harus dinilai, dan kemungkinan penyebab muntah lain harus disingkirkan <br />
Mengembalikan fungsi saraf yang rusak yang telah terkena neuropati otonom biasanya sulit dan membuat dokter dan pasien frustasi..<br />
• Penyakit Kaki Diabetik<br />
o Sekitar 50-70% kasus amputasi tungkai nontraumatik terjadi pada pasien diabetes. Daya sensorik kaki yang menurun disertai dengan perfusi darah yang buruk merupakan faktor resiko untuk terjadinya ulkus akibat nekrosis tekanan dan trauma minor yang tidak disadari. Luka ini dapat berkembang menjadi selulitis, osteomyelitis, atau gangrene nonclostridial, dan berakhir pada amputasi.<br />
o Pasien diabetes yang datang dengan luka, ulkus, atau infeksi pada kaki sebaiknya ditangani secara intensif. Sebagai tambahan, penggunaan antibiotik, menghindari trauma berikutnya sangat penting. Ini dapt dicapai dengan immobilisasi dengan boot dan/atau menggunakan kursi roda, atau istirahat penuh. Pasien sebaiknya ditangani oleh podiatric atau orthopaedist yang berpengalaman dalam menangani penyakit kaki diabetic. Jika tulang atau tendon terlihat, osteomyelitis didapatkan, maka rawat inap dibutuhkan untuk antibiotic intravena. Banyak pasien yang memerlukan pemeriksaan vaskuler untuk penanganan lokal ulkus karena prosedur revaskularisasi memerlukan aliran darah yang adekuat untuk penyembuhan luka.<br />
o Karena menyembuhkan ulkus dan infeksi sulit dlakukan, maka pencegahannya sangat penting. Pada suatu klinik, jumlah amputasi dapat dikurangi hingga setengahnya setelah pasien diabetes diminta untuk memperlihatkan kakinya. Dokter UGD dapat melakukan ini dengan secara teliti memperhatikan kaki dari tiap pasien dan dengan mengajari mereka tentang pentingnya perawatan kaki. Pasien dengan neuropati sensorik distal, denyut perifer menurn, onychomycosis sedang-berat, atau kulit pecah pecah sebaiknya dirujuk ke podiatris..<br />
• Penyakit makrovaskuler<br />
o Penyakit ini merupakan penyebab utama kematian pada diabetes, menyebabkan 75% kematian pada kelompok ini namun hanya sekitar 35% kematian pada pasien tanpa diabetes. Diabetes meningkatkan resiko Infark myokard 2 kali pada laki-laki dan 4 kali pada perempuan. Resiko stroke pada pasien diabetes 2 kali lipat lebih besar dibandingkan pasien tanpa diabetes, dan resko terkena penyakit vaskuler perifer yaitu 4 kali lebih besar. Perbedaan yang tidak disadari pada patofisiologi atherosclerosis pada pasien diabetes mengakibatkan perkembangan yang cepat dan keadaan yang lebih malignan. Sehingga, abnormalitas lipid harus ditangani secara agresif untuk menekan resiko dari atherosclerosis. Penelitian mengatakan bahwa terapi statin sebaiknya diberikan pada pasien diabetes tipe 2 untuk menekan kadar lemak, sehingga mengurangi resiko cerebrovaskular disease <br />
o Hipertensi yang juga meningkatkan resiko atherosclerosis juga dua kali lebih banyak pada pasien diabetes disbanding pasien tanpa diabetes. Pada pasien diabetes, hipertensi harus ditangani secara agresif untuk menurunkan resiko atherosclerosis yang parah. ACE inhibitor dan ARBs dapat menurunkan resiko CVD akibat efeknya terhadap tekanan darah. Banyak yang menganjurkan pemakaiannya disertai statin.<br />
o Pasien diabtes juga memiliki peningkatan insiden silent ischemia. Namun, silent ischemia umum terjadi pada pasien dengan PJK (Penyakit Jantung Koroner) dan sepertinya peningkatan insiden disebabkan karena pasien diabetes lebih sering mengidap PJK disbanding kelompok lainnya. <br />
o Disfungsi diastolic sering terjadi pada pasien dengan diabetes dan sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan gejala gagal jantung kongestif dan fraksi ejeksi yang normal..<br />
PENGOBATAN<br />
Target Kadar Glukosa<br />
Tujuan dari pengobatan antidiabetik oral adalah untuk menurunkan kadar glukosa darah hingga mendekati normal (kadar preprandial 90-130 mg/dL dan kadar A1C levels <7%)><br />
Penanganan DM tipe 2 ditujukan untuk menurunkan resistensi insulin dan meningkatkan fungsi sel beta. Pada kebanyakan pasien disfungsi sel beta semakin memburuk, sehingga membutuhkan pemberian insulin eksogen. Karena pasien dengan DM tipe 2 memiliki baik resistensi insulin dan disfungsi sel beta, maka pengobatan oral untuk meningkatkan senitivitas insulin (misal, metformin atau thiazolidinedione [TZD]) sering diberikan bersamaan dengan intermediate-acting insulin (misal, neutral protamine Hagedorn [NPH]) pada malam hari atau insulin long-acting (eg, glargine [Lantus] insulin atau insulin detemir [Levemir]) diberikan satu kali perhari; glargine dapat diberikan pada pagi atau malam hari, detemir sebaiknya diberikan ada malam hari. Sekretagogue insulin seperti agen sulfonylurea dapat juga diberikan untuk meningkatkan insulin preprandial.<br />
Tujuan dari kombinasi agen oral harian ditambah dengan insulin sekali perhari adalah untuk menurunkan kadar glukosa darah puasa hingga mencapai 100 mg/dL dengan penyesuaian insulin. Apabila target ini dicapai, obat oral dapat efektif dalam menjaga kadar glukosa darah preprandial dan postprandial sepanjang hari. Jika kombinasi regimen agen oral dan insulin gagal menurunkan kadar glukosa sampai angka normal, pola pemberian insulin pasien sebaiknya dirubah menjadi suntikan insulin rapid acting multipel harian sebelum makan. Selama pengobatan DM tipe 2, MNT yang ketat dan olahraga sebaiknya ditekankan karena modifikasi gaya hidup mempunyai efek yang besar terhadap kontrol diabetes yang akan dicapai. <br />
Beberapa pasien sebaiknya tidak menargetkan kadar glukosa darah mendekati normal. Pada lansia, dimana angka harapan hidupnya kurang dari 5 tahun atau pada pasien dengan penyakit terminal (penyakit tahap akhir yang sukar sembuh), kontrol glukosa ketat tidak diperlu dilakukan. Pasien yang diketahui memiliki cerebrovaskuler disease juga membutuhkan target kadar glukosa darah preprandial yang lebih tinggi (misal, 100-160 mg/dL) untuk mencegah hipoglikemia berat. Pasien dengan komplikasi makrovascular dan neuropathic diabetic umumnya tidak terlalu diuntungkan oleh pemeliharaan glukosa darah mendekati kadar normal<br />
<br />
Sebagai tambahan, pasien dengan alcoholism atau penyalahgunaan zat lainnya, dan pasien dengan penyakit mental tak terkendali mungkin tidak dapat mengontrol diabetes mereka secara efektif, sehingga menempatkan mereka pada resiko tinggi terjadinya hipoglikemia berat jika kadar glukosa mendekati normal ditargetkan. Pasien dengan tidak sadar akan hipoglikemia (misal, kurangnya tanda adrenergic hipoglikemia) atau dengan episode rekuren hipoglikemia berat (ie, hipoglikemi yang membutuhkan penanganan) sebaiknya juga mempunyai target kadar gula darah yang lebih tinggi paling tidak untuk sementara..<br />
<br />
Walaupun dokter UGD jarang memulai terapi baru untuk diabetes, mengetahui obatyang digunakan, efek samping, dan kontraindikasinya sangat berguna <br />
Kategori Obat : Agen Sulfonylurea<br />
Agen ini mengurangi konsentrasi glukosa darah dengan meningkatkan sekresi insulin dari sel beta pancreas. Semua jenis diserap dengan baik; waktu paruh dan durasi bekerjanya beragam. Agen ini diklasifikasikan atas generasi pertama (acetohexamide, chlorpropamide, tolazamide, tolbutamide), generasi kedua (glipizide, glyburide), dan generasi ketiga (glimepiride). Semuanya dapat menyebabkan hipoglikemi. Dosis agen ini pada umumnya 5mg/hari namun pada beberapa keadaan yang cenderung memperlihatkan keadaan hipoglikemia atau adanya penyakit hati atau ginjal maka dosis yang dipakai dimulai dari 2,5mg/hari<br />
Kategori Obat: Meglitinides<br />
Agen ini merupakan sekretagog insulin kerja singkat. Obat ini bekerja pada channel ATP-dependent potassium pada sel beta pancreas, menyebabkan pembukaan channel calcium dan meningkatkan pelepasan insulin. Contoh dari obat ini adalah Repaglinida yang digunakan dengan dosis 0,5-4 mg oral diberikan dalam 2-3X perhari sebelum makan. Kontraindikasi yaitu adanya hipersensitivitas<br />
Kategori Obat: Biguanides<br />
Agen ini meningkatkan sensitivitas insulin dengan menurunkan gluconeogenesis hepatik (efek utama) dan meningkatkan sensitivitas insulin perifer (efek sekunder). Obat ini tidak meningkatkan kadar insulin atau meningkatkan berat badan. Jika digunakan sebagai dosis tunggal tidak mengakibatkan hipoglikemi. <br />
Diabsorbsi dari usus halus (bioavailabilitas 50-60%). Tidak mengikat pada protein plasma, tidak dimetabolisme ; cepat dieksresi oleh ginjal. berakumulasi di usus; dapat menurunkan absorbsi glukosa lokal (efek gastrointestinal).Pada kadar tinggi (mis, pada pasien gagal ginjal), akab berakumulasi pada mitochondria; mencegah oxidative phosphorylation dan menyebabkan asidosis laktat. Efek ini jarang terjadi<br />
Contoh obat ini yaitu Metformin, yang dapat digunakan sebagai monoterapi atau dikombinasikan dengan sulfonylurea, thiazolidindione, atau insulin. Dosis harian yaitu 500 atau 800 mg. Kontraindikasi pada pasien dengan kadar kreatinin serum >1,5mg, disfungsi hepatic, asidosis akut atau kronis<br />
Kategori Obat : Thiazolidinediones<br />
Derivate thiazolidinedione memperbaiki control glikemia dengan meningkatkan sensitivitas insulin. Obat ini merupakan agonis selektif untuk peroxisome proliferator-activated receptor-gamma (PPAR-gamma). Aktivasi dari reseptor PPAR-gamma mengatur transkripsi gen insulin-responsive yang terlibat dalam produksi, transport, dan pemakaian glukosa, sehingga mengurangi konsentrasi glukosa darah dan hyperinsulinemia. Harus dikonsumsi sekitar 12-16 minggu untuk mencapai efek maksimal. Agen ini digunakan sebagai monoterapi atau digunakan beserta obat hipoglikemia oral lainnya.<br />
Contoh obat dari golongan ini yaitu Pioglitazone, digunakan dengan dosis harian 15 atau 30mg PO tiga kali sehari. Perlu diperhatikan jika digunakan bersama insulin karena dapat menyebabkan hipoglikemia. Tidak dianjurkan pada pasien dengan SGOT > 2,5 kali batas normal, DKA, dan gagal jantung kongestif<br />
<br />
The US Food and Drug Administration mengeluarkan peringatan pada pasien dan dokter pada tangga 21 May 2007, bahwa rosiglitazone berpotensi menyebabkan peningkatan resiko infark myokard dan kematian akibat penyakit jantung lainnya.<br />
<br />
Troglitazone (Rezulin), jenis yang lain dari thiazolidinedione, secara suka rela ditarik dari pasaran oleh perusahaan pembuatnya pada bulan Maret 2000, setelah diketahui bahwa obat ini mempunyai efek hepatotoksik<br />
Kategori Obat: Alpha-glucosidase Inhibitors<br />
Agen ini menginhibisi kerja alpha-glucosidase (pencernaan karbohidrat), menunda dan mengurangi puncak kadar glukosa darah postprandial. Gula yang belum tercerna dibawa ke colon, dimana dikonversi menjadi asam lemak rantai pendek, methane, karbondioxida, dan hidrogen. <br />
Alpha-glucosidase inhibitors (AGIs) tidak meningkatkan kadar insulin atau menginhibisi laktase; Efek utama yaitu menurunkan kadar glukosa darah postprandial (efek untuk kadar puasa kurang). Obat ini tidak menyebabkan peningkatan berat badan dan dapat mengembalikan ovulasi pada orang anovulasi akibat adanya restensi insulin. AGI biasanya tidak digunakan di US, namun lebih sering pada negara lain.<br />
Dengan dosis tunggal, AGIs tidak menyebabkan hipoglikemi. Kurang dari 2% diserap sebagai obat aktif. Dapat digunakan sebagai monotherapy atau bersama sulfonylurea, TZD, metformin, or insulin. Dimakan bersama makanan untuk meminimalisir efek GI<br />
Contoh obat dari golongan ini yaitu Acarbose. Digunakan dengan dosis 25 mg/hari PO 3x/hari. Dosis dapat ditingkatkan sampai 100 mg/hari. Kontraindikasi pada pasien dengan kadar kreatinin >2 mg/dL; peningkatan kadar enzim hati, atau adanya obstruksi saluran cerna.<br />
FOLLOW-UP<br />
Perawatan Pasien Rawat Inap Lebih Lanjut<br />
• Perawatan pasien rawat inap diberikan untuk mengatasi terjadinya komplikasi akut mayor seperti hipoglikemia rekuren berat, infeksi mayor, DKA, atau HHS.<br />
Anjuran Pasien Rawat Jalan<br />
• Walaupun dengan sedikit komplikasi membutuhkan rawat inap. DM tipe 2 biasanya dapat ditangani rawat jalan..<br />
Pencegahan<br />
• Diet yang teratur, menurunkan berat badan, dan olahraga merupakan pencegah DM tipe 2. American Diabetes Association (ADA) mengatakan bahwa metformin dapat membantu mencegah perkembangan dari prediabetes menjadi diabetes.<br />
Komplikasi<br />
• Komplikasi dari diabetes termasuk hipoglikemi dan hyperglycemia, meningkatkan resiko infeksi, komplikasi mikrovaskuler (mis, retinopathy, nephropathy), komplikasi neuropati, dan penyakit makrovaskuler<br />
• Diabetes merupakan penyebab utama terjadinya kebuataan pada umur diatas 20-74 years.<br />
• Diabetes merupakan penyebab utama amputasi tungkai dan Gagal Ginjal Tahap Akhir.<br />
Prognosis<br />
• Pasien diabetes memiliki tantangan seumur hidup untuk mencapai dan menjaga kadar glukosa darah sedekat mungkin ke angka normal. Dengan pengendalian glikemia yang cocok, resiko terjadinya komplikasi mikrovaskuler dan neuropati menurun secara bermakna. Sebagai tambahan, jika hipertensi dan hiperlipidemia ditangani secara agresif, resiko terjadinya komplikasi makrovaskuler juga menurun secara drastis.<br />
• Manfaat ini juga diimbangi dengan resiko hipoglikemi dan biaya jangka pendek untuk menyediakan pengobatan berkualitas baik. Penelitian menunjukkan biaya yang dihemat setelah berkurangnya komplikasi akut diabetes selama 1-3 tahun setelah memulai pencegahan efektif<br />
• Setiap bertemu dengan dokternya, pasien sebaiknya diberitahukan tentang rencana terapi yang cocok dan memotivasi pasien untuk melakukannya secara ketat. Dokter mesti meyakinkan pasien bahwa penatalaksanaan diabetes mellitus mencakup seluruh pemeriksaan lab yang penting, pemeriksaan neurologik dan tungkai, dan rujukan ke spesialis mata atau orthopedis/podiatris.crazy boy'shttp://www.blogger.com/profile/10427640188054710037noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2500718933329494943.post-55023024717817662582010-07-06T15:08:00.003+07:002010-07-06T15:08:21.519+07:00Askep KWASHIORKORPENDAHULUAN<br />
Definisi kwashiorkor adalah satu bentuk malnutrisi yang disebabkan oleh defisiensi protein yang berat bisa dengan konsumsi energi dan kalori tubuh yang tidak mencukupi kebutuhan. Kwashiorkor atau busung lapar adalah salah satu bentuk sindroma dari gangguan yang dikenali sebagai Malnutrisi Energi Protein (MEP) Dengan beberapa karakteristik berupa edema dan kegagalan pertumbuhan,depigmentasi,hyperkeratosis.<br />
Penyakit ini merupakan bentuk malnutrisi paling banyak didapatkan di dunia ini, pada dewasa ini,terutama sekali pada wilayah-wilayah yang masih terkebelakangan bidang industrinya.¬¬(1)<br />
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Cicely D. Williams pada rangkaian saintifik internasional melalui artikelnya Lancet 1935 (1,9). Beliau pada tahun 1933 melukiskan suatu sindrom tersebut berhubungan dengan defisiensi dari nutrien apa. Akhirnya baru diketahui defisiensi protein menjadi penyebabnya (1).<br />
Walaupun sebab utama penyakit ini ialah defisiensi protein, tetapi karena biasanya bahan makanan yang dimakan itu juga kurang mengandung nutrien lainnya, maka defisiensi protein disertai defisiensi kalori sehingga sering penderita menunjukkan baik gejala kwashiorkor maupun marasmus (1).<br />
ETIOLOGI <br />
Kwashiorkor paling seringnya terjadi pada usia antara 1-4 tahun ,namun dapat pula terjadi pada bayi .Kwashiorkor yang mungkin terjadi pada orang dewasa adalah sebagai komplikasi dari parasit atau infeksi lain.<br />
Banyak hal yang menjadi penyebab kwashiorkor, namun faktor paling mayor adalah menyusui, yaitu ketika ASI digantikan oleh asupan yang tidak adekuat atau tidak seimbang. Setelah usia 1 tahun atau lebih ,kwashiorkor dapat muncul bahkan ketika kekurangan bahan pangan bukanlah menjadi masalahnya, tetapi kebiasaan adat atau ketidak tahuan (kurang nya edukasi) yang menyebabkan penyimpangan keseimbangan nutrisi yang baik.<br />
Walaupun kekurangan kalori dan bahan-bahan makanan yang lain memepersulit pola-pola klinik dan kimiawinya, gejala-gejala utama malnutrisi protein disebabkan oleh kekurangan pemasukan protein yang mempunyai nilai biologik yang baik.Bisa juga terdapat gangguan penyerapan protein,misalnya yang dijumpai pada keadaan diare kronik,kehilangan protein secara tidak normal pada proteinuria (nefrosis), infeksi,perdarahan atau luka-luka bakar serta kegagalan melakukan sintesis protein , seperti yanga didapatkan pula pada penyakit hati yang kronis.<br />
INSIDENS DAN EPIDEMIOLOGI<br />
Kwashiorkor dijumpai terutama pada golongan umur tertentu yaitu bayi pada masa menyusui dan pada anak prasekolah, 1 hingga 3 tahun yang merupakan golongan umur yang relatif memerlukan lebih banyak protein untuk tumbuh sebaik-baiknya. Sindrom demikian kemudian dilaporkan oleh berbagai negeri terutama negeri yang sedang berkembang seperti Afrika, Asia, Amerika Tengah, Amerika Selatan, dan bagian-bagian termiskin di Eropa (1,2). Penyakit ini banyak terdapat anak dari golongan penduduk yang berpenghasilan rendah. Ini dapat dimengerti karena protein yang bermutu baik terutama pada bahan makanan yang berasal dari hewan seperti protein, susu, keju, telur, daging, dan ikan (3). Bahan makanan tersebut cukup mahal , sehingga tidak terjangkau oleh mereka yang berpenghasilan rendah. Akan tetapi faktor ekonomi bukan merupakan satu-satunya penyebab penyakit ini. Ada berbagai protein nabati yang bernilai cukup baik, misalnya kacang kedele, kacang hijau, dan sebagainya, akan tetapi karena tidak diketahui atau tidak disadari, bahan makanan tersebut tidak digunakan sebagaimana mestinya (2). Pengetahuan yang kurang tentang nilai bahan makanan, cara pemeliharaan anak, disamping ketakhyulan merupakan faktor tambahan dari timbulnya penyakit kwashiorkor. Keadaan higiene yang buruk, sehingga mereka mudah dihinggapi infeksi dan infestasi parasit dan timbulnya diare mempercepat atau merupakan trigger mechanisme dari penyakit ini (1).<br />
PATOGENESIS<br />
Pada kwashiorkor yang klasik, terjadi edema dan perlemakan hati disebabkan gangguan metabolik dan perubahan sel. Kelainan ini merupakan gejala yang menyolok. Pada penderita defisiensi protein, tidak terjadi katabolisme jaringan yang berlebihan, karena persediaan energi dapat dipenuhi oleh jumlah kalori yang cukup dalam dietnya. Namun, kekurangan protein dalam dietnya akan menimbulkan kekurangan berbagai asam amino esensial yang dibutuhkan untuk sintesis (1).<br />
Oleh karena dalam diet terdapat cukup karbohidrat, maka produksi insulin akan meningkat dan sebagian asam amino dalam serum yang jumlahnya sudah kurang tersebut akan disalurkan ke otot. Berkurangnya asam amino dalam serum merupakan penyebabnya kurang pembentukan albumin oleh hepar, sehingga kemudian timbul edema (1,2).<br />
Perlemakan hati disebabkan gangguan pembentukan lipoproteinbeta sehingga transportasi lemak dari hati ke depot lemak juga terganggu dan akibatnya terjadi akumulasi lemak dalam hepar (1,4).<br />
MANIFESTASI KLINIS<br />
Manifestasi dini pada kwashiorkor cukup samar-samar mencakup letargi,apati, dan iritabilitas. Manifestasi lanjut yang berkembang dapat berupa pertumbuhan yang tidak memadai, kurangnya stamina, hilangnya jaringan otot, menjadi lebih peka terhadap serangan infeksi dan edema. Nafsu makan berkurang ,jaringan bawah kulit mengendor dan lembek serta ketegangan otot menghilang. Pembesaran hati dapat terjadi secra dini atau kalau sudah lanjut, infiltrasi lemak lazim ditemukan. Edema biasanya terjadi secara dini,kegagalan mencapai penambahan BB ini dapat terselubungi oleh edema yang terjadi ,yang kerap kali telah terdapat pada organ-organ dalam,sebelum ia dapat terlihat pada muka dan anggota gerak.<br />
1. Wujud Umum<br />
Secara umumnya penderita kwashiorkor tampak pucat, kurus, atrofi pada ekstremitas, adanya edema pedis dan pretibial serta asites. Muka penderita ada tanda moon face dari akibat terjadinya edema (2).<br />
2. Retardasi Pertumbuhan<br />
Gejala penting ialah pertumbuhan yang terganggu. Selain berat badan, tinggi badan juga kurang dibandingkan dengan anak sehat (1).<br />
3. Perubahan Mental<br />
Biasanya penderita cengeng, hilang nafsu makan dan rewel. Pada stadium lanjut bisa menjadi apatis. Kesadarannya juga bisa menurun, dan anak menjadi pasif (1).<br />
4. Edema<br />
Pada sebagian besar penderita ditemukan edema baik ringan maupun berat. Edemanya bersifat pitting. Edema terjadi bisa disebabkan hipoalbuminemia, gangguan dinding kapiler, dan hormonal akibat dari gangguan eliminasi ADH (2).<br />
5. Kelainan Rambut<br />
Perubahan rambut sering dijumpai, baik mengenai bangunnya (texture), maupun warnanya. Sangat khas untuk penderita kwashiorkor ialah rambut kepala yang mudah tercabut tanpa rasa sakit. Pada penderita kwashiorkor lanjut, rambut akan tampak kusam, halus, kering, jarang dan berubah warna menjadi putih. Sering bulu mata menjadi panjang (1).<br />
6. Kelainan Kulit<br />
Kulit penderita biasanya kering dengan menunjukkan garis-garis kulit yang lebih mendalam dan lebar. Sering ditemukan hiperpigmentasi dan persisikan kulit. Pada sebagian besar penderita dtemukan perubahan kulit yang khas untuk penyakit kwashiorkor, yaitu crazy pavement dermatosis yang merupakan bercak-bercak putih atau merah muda dengan tepi hitam ditemukan pada bagian tubuh yang sering mendapat tekanan (4,5). Terutama bila tekanan itu terus-menerus dan disertai kelembapan oleh keringat atau ekskreta, seperti pada bokong, fosa politea, lutut, buku kaki, paha, lipat paha, dan sebagainya. Perubahan kulit demikian dimulai dengan bercak-bercak kecil merah yang dalam waktu singkat bertambah dan berpadu untuk menjadi hitam. Pada suatu saat mengelupas dan memperlihatkan bagian-bagian yang tidak mengandung pigmen, dibatasi oleh tepi yang masih hitam oleh hiperpigmentasi (1,2).<br />
7. Kelainan Gigi dan Tulang<br />
Pada tulang penderita kwashiorkor didapatkan dekalsifikasi, osteoporosis, dan hambatan pertumbuhan. Sering juga ditemukan caries pada gigi penderita (2).<br />
8. Kelainan Hati<br />
Pada biopsi hati ditemukan perlemakan, bisa juga ditemukan biopsi hati yang hampir semua sela hati mengandung vakuol lemak besar. Sering juga ditemukan tanda fibrosis, nekrosis, da infiltrasi sel mononukleus. Perlemakan hati terjadi akibat defisiensi faktor lipotropik (2).<br />
9. Kelainan Darah dan Sumsum Tulang<br />
Anemia ringan selalu ditemukan pada penderita kwashiorkor. Bila disertai penyakit lain, terutama infestasi parasit ( ankilostomiasis, amoebiasis) maka dapat dijumpai anemia berat. Anemia juga terjadi disebabkan kurangnya nutrien yang penting untuk pembentukan darah seperti Ferum, vitamin B kompleks (B12, folat, B6) (2,7). Kelainan dari pembentukan darah dari hipoplasia atau aplasia sumsum tulang disebabkan defisiensi protein dan infeksi menahun. Defisiensi protein juga menyebabkan gangguan pembentukan sistem kekebalan tubuh. Akibatnya terjadi defek umunitas seluler, dan gangguan sistem komplimen (2).<br />
10. Kelainan Pankreas dan Kelenjar Lain<br />
Di pankreas dan kebanyakan kelenjar lain seperti parotis, lakrimal, saliva dan usus halus terjadi perlemakan (2).<br />
11. Kelainan Jantung<br />
Bisa terjadi miodegenerasi jantung dan gangguan fungsi jantung disebabkan hipokalemi dan hipmagnesemia (2).<br />
12. Kelainan Gastrointestinal<br />
Gejala gastrointestinal merupakan gejala yang penting. Anoreksia kadang-kadang demikian hebatnya, sehingga segala pemberian makanan ditolak dan makanan hanya dapat diberikan dengan sonde lambung. Diare terdapat pada sebagian besar penderita (5,6). Hal ini terjadi karena 3 masalah utama yaitu berupa infeksi atau infestasi usus, intoleransi laktosa, dan malabsorbsi lemak. Intoleransi laktosa disebabkan defisiensi laktase. Malabsorbsi lemak terjadi akibat defisiensi garam empedu, konyugasi hati, defisiensi lipase pankreas, dan atrofi villi mukosa usus halus (2).<br />
Dermatitis juga lazim ditemukan.Penggelapan kulit terjadi pada tempat-tempat yang mengalami iritasi,namun tidak pada daerah-daerah yang terkena sinar matahari.. Rambutnya biasanya jarang dan halu-halus serta kehilangan elastisitasnya. Pada anak-anak yang berambut gelap dapat terlihat jalur-jalur rambut berwarna merah atau abu-abu.Otot-otonya tampak lemah dan atrofi,tetapi sesekali dapat ditemukan lemak dibawah kulit yang berlebihan.<br />
DIAGNOSIS<br />
Untuk menegakkan diagnosis kwashiorkor ini bias kita lihat melalui pemeriksaan fisis dan pemeriksaan laboratorium. Dari pemeriksaan fisis yang pertama adalah inspeksi, dapat kita lihat fisik penderita secara umum seperti yang telah dijelaskan diatas antara lain edema dan kurus, pucat,moon face, kelainan kulit misalnya hiperpigmentasi, crazy pavement dermatosis. Pada palpasi ditemukan hepatomegali.<br />
Sementara untuk pemeriksaan laboratorium ada beberapa hal yang penting diperhatikan berupa : <br />
tes darah (Hb, glukosa, protein serum, albumin)<br />
kadar enzim pencernaan <br />
biopsi hati <br />
pem. tinja & urin<br />
perubahan yang paling khas adalah penurunan konsentrasi albumin dalam serum. Ketonuria lazim ditemukan pada tingkat awal karena kekurangan makanan,tetapi sering kemudian hilang pada keadaan penyakit lebih lanjut.<br />
Kadar glukosa darah yang rendah,pengeluaran hidrosiprolin melalui urin,kadar asam amino dalam plasma dapat menurun,jika dibandingkan dengan asam-asam amino yang tidak essensial dan dapat pula ditemukan aminoasiduria meningkat.<br />
Kerap kali juga ditemukan kekurangan kalium dan magnesium.Terdapat juga penurunan aktifitas enzim-enzim dari pancreas dan xantin oksidase,tetapi kadarnya akan kembali menjadi normal segera setelah pongobatan dimulai.<br />
DIAGNOSIS BANDING<br />
Diagnosa banding untuk sindroma kwashiorkor, antara lain ialah : <br />
1. Defisiensi asam lemak bebas dan karboksilase multiple; <br />
2.sindroma imunodefisiensi, <br />
3.cyctic fibrosis, <br />
4.histiositosis sel Langerhans (2,7).<br />
PENGOBATAN<br />
1.DIIETIK<br />
- Makanan TKTP = 1 setengah x kebutuhan normal <br />
Kebutuhan normal<br />
0-3 tahun : 150 – 175 kcal/kg/hari, diberikan bertahap<br />
Mg I : Fase stabilisasi (75% - 80% kebutuhan normal)<br />
Protein : 1 - 1,5 gram/kgBB/hari<br />
Mg II : Fase transisi ( 150% dari kebutuhan normal)<br />
Protein : 2 - 3 gram/kgBB/hari<br />
Mg III : Fase rehabilitasi ( 150 – 200% kebutuhan normal)<br />
Protein : 4 - 6garm/kgBB/hari<br />
2.PENAMBAHAN SUPLEMENTASI VITAMIN<br />
Vitamin A → 1 tahun : 200.000 SI (1 kali dalam 6 bulan)<br />
Vitamin D + B kompleks + C<br />
3 .MINERAL<br />
- Jumlah cairan : 130 – 200 ml/kg/BB/hari (per oral / NGT)<br />
- Kalau edem dikurangi<br />
- Porsi kecil tetapi sering<br />
PROGNOSIS<br />
Penanganan yang cepat dan tepat pada kasus-kasus gizi seperti kwashiorkor, umumnya dapat memberikan prognosis yang cukup baik. Penanganan pada stadium yang lanjut,walaupun dapat meningkatkan kesehatan anak secara umum, namun ada kemungkinannya untuk memperoleh gangguan fisik permanen dan gangguan intelektual. Sedangkan bila penanganan terlambat atau tidak memperoleh penanganan sama sekali, dapat berakibat fatal.<br />
KOMPLIKASI <br />
Shock<br />
Koma<br />
Cacat permanen<br />
PENCEGAHAN<br />
Pencegahannya dapat berupa diet adekuat dengan jumlah-jumlah yang tepat dari karbohidrat, lemak (minimal 10% dari total kalori), dan protein (12 % dari total kalori). Sentiasa mengamalkan konsumsi diet yang seimbang dengan cukup karbohidrat, cukup lemak dan protein bisa mencegah terjadinya kwashiorkor. Protein terutamanya harus disediakan dalam makanan. Untuk mendapatkan sumber protein yang bernilai tinggi bisa didapatkan dari protein hewan seperti susu, keju, daging, telur dan ikan. Bisa juga mendapatkan protein dari protein nabati seperti kacang ijo dan kacang kedelei (1)<br />
REFERENSI<br />
1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Buku Kuliah ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1985<br />
2. Dr. Lisal Sp.A., Diktat Kuliah Ilmu Gizi Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Universitas Hasanuddin<br />
3. Robert M. Kliegman MD, Hal B. Jenson MD, Nelson Essential of Pediatrics 5th Edition, Elsevier Saunders, 2000<br />
4. Scheinfeld NS. Protein Energy Malnutrition. Emedicine.com. http://www.emedicine.com/derm/topic797.htm<br />
5. Benjamin W. Van Voorhees, MD, MPH, Assistant Professor of Medicine and Pediatrics, Article on Kwashiorkor, University of Chicago, Verimed Healthcare Network, http//www.medlineplus.com<br />
6. Repulika Company, Kwasiorkor, Republika Online, http://www.republika.co.id<br />
7.Anonymous. Malnutrisi. Medicastore.com. http://www.medicastore.com/cybermed/detail_pyk.php?idktg=10&iddtl=628.crazy boy'shttp://www.blogger.com/profile/10427640188054710037noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2500718933329494943.post-55985058232582335742010-07-06T15:06:00.001+07:002010-07-06T15:06:15.599+07:00MANIFESTASI NEUROLOGIS GANGGUAN MIKSIPENDAHULUAN <br />
Fungsi kandung kencing normal memerlukan aktivitas yang terintegrasi antara sistim saraf otonomi dan somatik. Jaras neural yang terdiri dari berbagai refleks fungsi destrusor dan sfingter meluas dari lobus frontalis kemedula spinalis bagian sakral, sehingga penyebab neurogenik dari gangguan kandung kencing dapat diakibatkan oleh lesi pada berbagai derajat. <br />
<br />
ANATOMI DAN FISIOLOGI <br />
A. Struktur otot detrusor dan sfingter Susunan sebagian besar otot polos kandung kencing sedemikian rupa sehingga bila berkontraksi akan menyebabkan pengosongan kandung kencing. Pengaturan serabut detrusor pada daerah leher kandung kencing berbeda pada kedua jenis kelamin, pria mempunyai distribusi yang sirkuler dan serabut-serabut tersebut membentuk suatu sfingter leher kandung kencing yang efektif untuk mencegah terjadinya ejakulasi retrograd sfingter interna yang ekivalen. Sfingter uretra (rhabdosfingter) terdiri dari serabut otot luruk berbentuk sirkuler. Pada pria, rhabdosfingter terletak tepat di distal dari prostat sementara pada wanita mengelilingi hampir seluruh uretra. Rhabdosfingter secara anatomis berbeda dari otot-otot yang membentuk dasar pelvis. Pemeriksaann EMG otot ini menunjukkan suatu discharge tonik konstan yang akan menurun bila terjadi relaksasi sfingter pada awal proses miksi B. Persarafan dari kandung kencing dan sfingter 1. Persarafan parasimpatis (N.pelvikus) Pengaturan fungsi motorik dari otot detrusor utama berasal dari neuron preganglion parasimpatis dengan badan sel terletak pada kolumna intermediolateral medula spinalis antara S2 dan S4. Neuron preganglionik keluar dari medula spinalis bersama radiks spinal anterior dan mengirim akson melalui N.pelvikus ke pleksus parasimpatis pelvis. Ini merupakan suatu jaringanhalus yang menutupi kandung kencing dan rektum. Serabut postganglionik pendek berjalan dari pleksus untuk menginervasi organorgan pelvis. Tak terdapat perbedaan khusus postjunctional antara serabut postganglionik danotot polos dari detrusor. Sebaliknya, serabut postganglionik mempunyai jaringan difus sepanjang serabutnya yang mengandung vesikel dimana asetilkolin dilepaskan. Meskipun pada beberapa spesies transmiter nonkolinergik nonadrenergik juga ditemukan, keberadaannya pada manusia diragukan 2. Persarafan simpatis (N.hipogastrik dan rantai simpatis sakral) Kandung kencing menerima inervasi simpatis dari rantai simpatis torakolumbal melalui a hipogastrik. Leher kandung kencing menerima persarafan yang banyak dari sistem saraf simpatis dan pada kucing dapat dilihat pengaturan parasimpatis oleh simpatis, sedangkan peran sistim simpatis pada proses miksi manusia tidak jelas. Simpatektomi lumbal saja tidak berpengaruh pada kontinens atau miksi meskipun pada umumnya akan menimbulkan ejakulasi retrograd. Leher kandung kencing pria banyak mengandung mervasi noradrenergik dan aktivitas simpatis selama ejakulasi menyebabkan penutupan dari leher kandung kencing untuk mencegah ejakulasi retrograde 3. Persarafan somantik (N.pudendus) Otot lurik dari sfingter uretra merupakan satu-satunya bagian dari traktus urinarius yang mendapat persarafan somatik. Onufrowicz menggambarkan suatu nukleus pada kornu ventralis medula spinalis pada S2, S3, dan S4. Nukleus ini yang umumnya dikenal sebagai nukleus Onuf, mengandung badan sel dari motor neuron yang menginnervasi baik sfingter anal dan uretra. Nukleus ini mempunyai diameter yang lebih kecil daripada sel kornu anterior lain, tetapi suatu penelitian mengenai sinaps motor neuron ini pada kucing menunjukkan bahwa lebih bersifat skeletomotor dibandingkan persarafan perineal parasimpatis preganglionik. Serabut motorik dari sel-sel ini berjalan dari radiks S2, S3 dan S4 ke dalam N.pudendus dimana ketika melewati pelvis memberi percabangan ke sfingter anal dan cabang perineal ke otot lurik sfingter uretra. Secara elektromiografi, motor unit dari otot lurik sfingter sama dengan serabut lurik otot tapi mempunyai amplitudo yang sedikit lebih rendah. 4. Persarafan sensorik traktus urinarius bagian bawah Sebagian besar saraf aferen adalah tidak bermyelin dan berakhir pada pleksus suburotelial dimana tidak terdapat ujung sensorik khusus. Karena banyak dari serabut ini mengandung substansi P, ATP atau calcitonin gene-related peptide dan pelepasannya dapat mengubah eksitabilitas otot, serabut pleksus ini dapat digolongkan sebagai saraf sensorik motorik daripada sensorik murni. Ketiga pasang saraf perifer (simpatis torakolumbal, parasimpatis sakral dan pudendus) mengandung serabut saraf aferen. Serabut aferen yang berjalan dalam n.pelvikus dan membawa sensasi dari distensi Bandung kencing tampaknya merupakan hal yang terpenting pada fungsi kandung kencing yang normal. Akson aferen terdiri dari 2 tipe, serabut C yang tidak bermyelin kecil. Peran aferen hipogastrik tidak jelasbermyelin dan serabut A tetapi serabut ini mungkin menyampaikan beberapa sensasi dari distensi kandung kencing dan nyeri. Aferen somatik pudendal menyalurkan sensasi dari aliran urine, nyeri dan suhu dari uretra dan memproyeksikan ke daerah yang serupa dalam medula spinalis sakral sebagai aferen kandung kencing. Hal ini menggambarkan kemungkinan dari daerah-daerah penting pada medula spinalis sakral untuk intergrasi viserosomatik. Nathan dan Smith (1951) pada penelitian pasien yang telah mengalami kordotomi anterolateral, menyimpulkan bahwa jaras asending dari kandung kencing dan uretra berjalan di dalam traktus spiotalamikus. Serabut spinobulber pada kolumna dorsalis mungkin juga berperan pada transmisi dari informasi aferen. C. Hubungan dengan susunan saraf pusat 1. Pusat Miksi Pons Pons merupakan pusat yng mengatur miksi melalui refleks spinal-bulberspinal atau long loop refleks. Demyelinisasi Groat (1990) menyatakan bahwa pusat miksi pons merupakan titik pengaturan (switch point) dimana refleks transpinal-bulber diatur sedemikian rupa baikuntuk pengaturan pengisian atau pengosongan kandung kencing. Pusat miksi pons berperansebagai pusat pengaturan yang mengatur refleks spinal dan menerima input dari daerah lain di otak 2. Daerah kortikal yang mempengaruhi pusat miksi pons Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lesi pada bagian anteromedial dari lobus frontal dapat menimbulkan gangguan miksi berupa urgensi, inkontinens, hilangnya sensibilitas kandung kemih atau retensi urine. Pemeriksaan urodinamis menunjukkan adanya kandung kencing yang hiperrefleksi. D. Fisiologi pengaturan fungsi sfingter kandung kencing 1. Pengisian urine Pada pengisian kandung kencing, distensi yang timbul ditandai dengan adanya aktivitas sensor regang pada dinding kandung kencing. Pada kandung kencing normal, tekanan intravesikal tidak meningkat selama pengisian sebab terdapat inhibisi dari aktivitas detrusor dan active compliance dari kandung kencing. Inhibisi dari aktivitas motorik detrusor memerlukan jaras yang utuh antara pusat miksi pons dengan medula spinalis bagian sakral. Mekanisme active compliance kandung kencing kurang diketahui namun proses ini juga memerlukan inervasi yang utuh mengingat mekanisme ini hilang pada kerusakan radiks s2-S4. Selain akomodasi kandung kencing, kontinens selama pengisian memerlukan fasilitasi aktifitas otot lurik dari sfingter uretra, sehingga tekanan uretra lebih tinggi dibandingkan tekanan intravesikal dan urine tidak mengalir keluar 2. Pengaliran urine Pada orang dewasa yang normal, rangsangan untuk miksi timbul dari distensi kandung kencing yang sinyalnya diperoleh dari aferen yang bersifat sensitif terhadap regangan. Mekanisme normal dari miksi volunter tidak diketahui dengan jelas tetapi diperoleh dari relaksasi oto lurik dari sfingter uretra dan lantai pelvis yang diikuti dengan kontraksi kandung kencing. Inhibisi tonus simpatis pada leher kandung kencing juga ditemukan sehingga tekanan intravesikal diatas/melebihi tekanan intra uretral dan urine akan keluar. Pengosongan kandung kemih yang lengkap tergantung adri refleks yang menghambat aktifitas sfingter dan mempertahankan kontraksi detrusor selama miksi. <br />
PATOLOGI GANGGUAN MIKSI <br />
Gangguan kandung kencing dapat terjadi pada bagian tingkatan lesi. Tergantung jaras yang terkena, secara garis besar terdapat tiga jenis utama gangguan kandung kemih: 1. Lesi supra pons Pusat miksi pons merupakan pusat pengaturan refleks-refleks miksi dan seluruh aktivitasnya diatur kebanyakan oleh input inhibisi dari lobus frontal bagian medial, ganglia basalis dan tempat lain. Kerusakan pada umumnya akan berakibat hilangnya inhibisi dan menimbulkan keadaan hiperrefleksi. Pada kerusakan lobus depan, tumor, demyelinisasi periventrikuler, dilatasi kornu anterior ventrikel lateral pada hidrosefalus atau kelainan ganglio basalis, dapat menimbulkan kontraksi kandung kemih yang hiperrefleksi. Retensi urine dapat ditemukan secara jarang yaitu bila terdapat kegagalan dalammemulai proses miksi secara volunter 2. Lesi antara pusat miksi pons dansakral medula spinalis Lesi medula spinalis yang terletak antara pusat miksi pons dan bagian sakral medula spinalis akan mengganggu jaras yang menginhibisi kontraksi detrusor dan pengaturan fungsi sfingter detrusor. Beberapa keadaan yang mungkin terjadi antara lain adalah: a. Kandung kencing yang hiperrefleksi Seperti halnya lesi supra pons, hilangnya mekanisme inhibisi normal akan menimbulkan suatu keadaan kandung kencing yang hiperrefleksi yang akan menyebabkan kenaikan tekanan pada penambahan yang kecil dari volume kandung kencing. b. Disinergia detrusor-sfingter (DDS) Pada keadaan normal, relaksasi sfingter akan mendahului kontraksi detrusor. Pada keadaan DDS, terdapat kontraksi sfingter dan otot detrusor secara bersamaan. Kegagalan sfingter untuk berelaksasi akan menghambat miksi sehingga dapat terjadi tekanan intravesikal yang tinggi yang kadang-kadang menyebabkan dilatasi saluran kencing bagian atas. Urine dapat keluar dri kandung kencing hanya bila kontraksi detrusor berlangsung lebih lama dari kontraksi sfingter sehingga aliran urine terputus-putus c. Kontraksi detrusor yang lemah Kontraksi hiperrefleksi yang timbul seringkali lemah sehingga pengosongan kandung kencing yang terjadi tidak sempurna. Keadaan ini bila dikombinasikan dengan disinergia akan menimbulkan peningkatan volume residu paska miksi d. Peningkatan volume residu paska miksi Volume residu paska miksi yang banyak pada keadaan kandung kencing yang hiperrefleksi menyebabkan diperlukannya sedikit volume tambahan untuk terjadinya kontraksi kandung kencing. Penderita mengeluh mengenai seringnya miksi dalam jumlah yang sedikit. 3. Lesi Lower Motor Neuron (LMN) Kerusakan pada radiks S2-S4 baik dalam kanalis spinalis maupun ekstradural akan menimbulkan gangguan LMN dari fungsi kandung kencing dan hilangnya sensibilitas kandung kencing. Proses pendahuluan miksi secara volunter hilang dan karena mekanisme untuk menimbulkan kontraksi detrusor hilang, kandung kencing menjadi atonik atau hipotonik bila kerusakan denervasinya adalah parsial. Compliance kandung kencing juga hilang karena hal ini merupakan suatu proses aktig yang tergantung pada utuhnya persarafan. Sensibilitas dari peregangan kandung kencing terganggu namun sensasi nyeri masih didapatkan disebabkan informasi aferen yang dibawa oleh sistim saraf simpatis melalui n.hipogastrikus ke daerah torakolumbal. Denervasi otot sfingter mengganggu mekanisme penutupan namunjaringan elastik dari leher kandung kencing memungkinkan terjadinya kontinens. Mekanisme untuk mempertahankan kontinens selama kenaikan tekanan intra abdominal yang mendadak hilang, sehingga stress inkontinens sering timbul pada batuk atau bersin.<br />
<br />
GEJALA GANGGUAN DISFUNGSI MIKSI Gejala-gejala disfungsi kandung kencing neurogenik terdiri dari urgensi, frekuensi, retensi dan inkontinens. Hiperrefleksi detrusor merupakan keadaan yang mendasari timbulnya frekuensi, urgensi dan inkontinens sehingga kurang dapat menilai lokasi kerusakan (localising value) karena hiperrefleksia detrusor dapat timbul baik akibat kerusakan jaras dari suprapons maupun suprasakral. Retensi urine dapat timbul sebagai akibat berbagai keadaan patologis. Pada pria adalah penting untuk menyingkirkan kemungkinan kelainan urologis seperti hipertrofi prostat atau striktur. Pada penderita dengan lesi neurologis antara pons dan med spinalis bagiansakral, DDS dapat menimbulkan berbagai derajat retensi meskipun pada umumnya hiperrefleksia detrusor yang lebih sering timbul. Retensi dapat juga timbul akibat gangguan kontraksi detrusor seperti pada lesi LMN. Retensi juga dapat timbul akibat kegagalan untuk memulai refleks niksi seperti pada lesi susunan saraf pusat.Meskipun hanya sedikit kasus dari lesi frontal dapat menimbulkan retensi, lesi pada pons juga dapat menimbulkan gejala serupa. Inkontenensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada lesi suprapons dan suprasakral. Ini sering dihubungkan dengan frekuensi dan bila jaras sensorik masih utuh, akan timbul sensasi urgensi. Lesi LMN dihubungkan dengan kelemahan sfingter yang dapat bermanifestasi sebagai stress inkontinens danketidakmampuan dari kontraksi detrusor yang mengakibatkan retensi kronik dengan overflow.<br />
<br />
EVALUASI DAN PENATALAKSANAAN<br />
1. Evaluasi Pendekatan sistematis untuk mengetahui maslah gangguan miksi selama rehabilitasi pasien dengan cedera medula spinalis merupakan hal yang penting karena penatalaksanaan yang baik sejak awal akan mencegah komplikasi urologis dan kerusakan ginjal permanen. Pemeriksaan meliputi penilaian saluran kencing bagian atas, penilaian pengosongan kandung kencing dan deteksi hiperrefleksia detrusor a. Penilaian saluran kencing bagian atas Meskipun jarang didapatkan masalah pada saluran kencing bagian atas, gangguan ginjal merupakan hal yang potensial mengancam penderita. Penilaian ditujukan untuk menilai fungsi ginjal dandeteksi hidronefrosis. Pemeriksaan radiologis harus meliputi urografi intravena dan voiding cystourethrogram untuk menilai saluran bagian atas dan menyingkirkan kemungkinan adanya refluks vesikoureteral. b. Penilaian pengosongan kandung kencing Penilaian sisa urine dapat dilakukan dengan katerisasi pada saat pertama pemeriksaan meupun dengan menggunakan USG. Residu urine lebih dari 100 ml dikatakanbermakna c. Deteksi hiperrefleksia detrusor Pemeriksaan CMG dan EMG dari sfingter uretral eksterna akan membantu menentukan disfungsi neurogenik dan adanya suatu DDS yang signifikan. Kontraksi abnormal dari otot detrusor dapat dideteksi dengan baik dengan menggunakan filling cystometrogram (CMV). Pada orang normal, kandung kencing dapat mengakomodasi pengisian kandung kencing bahkan pada kecepatan pengisian yang tinggi sedangkan pada penderita dengan hiperrefleksia kandung kencing, terjadi peningkatan tekanan yang spontan pada pengisian d. Pemeriksaan neurologis Pemeriksaan neurologis harus meliputi pemeriksaan sensibilitas perianal untuk mengetahui ada tidaknya sacral sparing. Adanya tonus anal, refleks anal dan refleks bulbokavernosus hanya menandakan utuhnya konus danlengkung refleks lokal. Didapatkannya kontraksi volunter sfingter anal menunjukkan uthunya kontrol volunter dan pada kasus kuadriplegia, ini menandakan lesi medula spinalis yang inkomplit. Pada lesi medula spinalis, dalam hari pertama sampai 3 atau 4 minggu berikutnya seluruh refleks dalam pada tingkat di bawah lesi akan hilang. Hal ini biasanya dihubungkan dengan fase syok spinal. Dalam periode ini, kandung kencing bersifat arefleksi dan memerlukan drainase periodik atau kontinu yang cermat dan tes provokatif dengan menggunakan 4 oz air dingin steril suhu 4oC tidak akan menimbulkan aktifitas refleks kandung kencing. Tes air es dikatakan positif bila pengisian dengan air dingin segera diikuti dengan pengeluaran air kateter dari kandung kencing. Drainase kandung kencing yang adekuat selama fase syok spinal akan dapat mencegah timbulnya distensi yang berlebih dan atoni dari kandung kencing yang arefleksi. 2. Penatalaksanaan Dasar dari penatalaksanaan dari disfungsi kandung kemih adalah untuk mempertahankan fungsi gunjal dan mengurangi gejala. a. Penatalaksanaan gangguan pengosongan kandung kemih dapat dilakukan dengan cara o Stimulasi kontraksi detrusor, suprapubic tapping atau stimulasi perianal o Kompresi eksternal dan penekanan abdomen, crede’s manoeuvre o Clean intermittent self-catheterisation o Indwelling urethral catheter b. Penatalaksanaan hiperrefleksia detrusor o Bladder retraining (bladder drill) o Pengobatan oral, Propantheline, imipramine, oxybutinin c. Penatalaksanaa operatif Tindakan operatif berguna pada penderita usia muda dengan kelainan neurologis kongenital atau cedera medula spinalis. Bladder training Adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kencing yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik (UMN atau LMN), dapat dilakukan dengan pemeriksaan refleks-refleks: 1. Refleks otomatik Refleks melalui saraf parasimpatis S2-3 dansimpatis T12-L1,2, yang bergabung menjadi n.pelvikus. Tes untuk mengetahui refleks ini adalah tes air es (ice water test). Test positif menunjukkan tipe UMN sedangkan bila negatif (arefleksia) berarti tipe LMN. 2. Refleks somatis Refleks melalui n.pudendalis S2-4. Tesnya berupa tes sfingter ani eksternus dan tes refleks bulbokarvernosus. Jika tes-tes tersebut positif berarti tipe UMN, sedangkan bila negatif berarti LMN atau tipe UMN fase syok spinal Langkah-langkah Bladder Training: 1. Tentukan dahulu tipe kandung kencing neurogeniknya apakah UMN atau LMN 2. Rangsangan setiap waktu miksi 3. Kateterisasi: a. Pemasangan indwelling cathether (IDC)=dauer cathether IDC dapat dipasang dengan sistem kontinu ataupun penutupan berkala (clamping). Dengan pemakaian kateter menetap ini, banyak terjadi infeksi atau sepsis. Karena itu kateterisasi untuk bladder training adalah kateterisasi berkala. Bila dipilh IDC, maka yang dipilih adalah penutupan berkala oleh karena IDC yang kontinu tidal fisiologis dimana kandung kencing yang selalu kosong akan mengakibatkan kehilangan potensi sensasi miksi serta terjadinya atrofi serta penurunan tonus otot kk b. Kateterisasi berkala Keuntungan kateterisasi berkala antara lain: o Mencegah terjadinya tekanan intravesikal yang tinggi/overdistensi yang mengakibatkan aliran darah ke mukosa kandung kencing dipertahankan seoptimal mungkin o Kandung kencing dapat terisi dan dikosongkan secara berkala seakan-akan berfungsi normal o Bila dilakukan secara dini pada penderita cedera medula spinalis, maka penderita dapat melewati masa syok spinal secara fisiologis sehingga fedback ke medula spinalis tetap terpelihara o Teknik yang mudah dan penderita tidak terganggu kegiatan sehariharinya 4. Penatalaksanaan gangguan fungsi miksi pada lesi medula a. Lesi kauda Ekuina Penatalaksanaan pada pasien dengan lesi kauda ekuina memerlukan perhatian khusus. Pada umumnya ditemukan kandung kencing yang arefleksi (nonkontraktil) dan miksi dilakukan dengan bantuan manipulasi Crede atau Valsava. Lesi umumnya inkomplit atau tipe campuran dan berpotensi untuk mengalami penyembuhan. Pemeriksaan urodinamik mungkin menunjukkan sfingter uretral eksternal yang utuh danps demikian dengan lesi suprakonus mungkin mengalami kesulitan dalam miksi kecuali bila terdapat tekanan intravesikal yang penuh yang dapat mengakibatkan refluksi vesikoureteral. Pada pasien ini didapatkan kerusakan pada persarafan parasimpatis dengan persarafan simpatis yang utuh atau mengalami reinervasi dimana leher kandung kencing mungkin tidak dapat membuka dengan baik pada waktu miksi. b. Sindroma Medula Spinalis Sentral Neurogenic bladder akibat lesi inkomplit seperti lesi medula spinalis sentral dapat Diperbaiki pada lebih dari 50% pasien. Disamping disfungsi neurologis yang berat dalam minggu-minggu pertama, pemulihan fungsi kandung kencing dapat terjadi terutama karena serabut kandung kencing terletak perifer pada medula spinalis. Penatalaksanaan biasanya dgnkateterisasi intermiten danobat-obatan. Keadaan inkontinens dapat ditimbulkan dengan reseksi sfingter transuretral dini. DDS yang menetap, spastisitas yang berat dan hidronefrosis merupakan indikasi untuk tindakan sfingtertomi transuretral setalh mencoba penggunaan penghambat alfa, antikolinergik dan pelemas otot skelet seperti baclofen. Penatalaksanaan neurogenic bladder pada pasien wanita dengan lesi medula spinalis (UMN) adalah sulit, namun penatalaksanaan lesi konus dankauda (LMN) adalah mudah dengan menggunakan manuver Crede/Valsava. Kateterisasi intermiten dimulai setiap 4 sampai 6 jam dan dengan restriksi cairan sampai 1,5 liter perhari pada umunya memerlukan kateterisasi 3 kali perhari. Pada lesi suprakonus dengan kandung kencing hiperrefleks, untuk mengurangi inkontinens antara kateterisasi, dapat diberikan antikolinergik seperti oxybutinin 1-2 kali 5 mg perhari. Iritabilitas kandung kencing meningkat dengan adanya infeksi sehingga pengobatan infeksi adalah penting. Profilaksis jangka panjang untuk infeksi saluran kencing sangat direkomendasikan. Pasien dilatih untuk mengosongkan kandung kencing dengan menggunakan suprapubic tapping dan manuver Valsava secara periodik. Kegagalan dalam kateterisasi berkala biasanya memerlukan tindakan indwelling cathether jangka panjang. Tindakan bedah saraf seperti blok radis sakral dapat diindikasikan untuk mengubah keadaan reflex (contractile) bladder menjadi keadaan areflexic bladder yang penatalaksanaannya lebih mudah dengan tindakan Crede/Valsava. Implant radix sakral untuk merangsang miksi baru dicoba pada pasien paraplegi dengan contactile bladder. <br />
DAFTAR PUSTAKA <br />
Chancellor MB. Practical neuro-urology, genitourinary complications in neurologic disease. Boston: Butterworth, 1995: 9-21, 99-190, 239-306 Duus P. Topical diagnosis in neurology.3rd ed. New York: George Thieme, 1983:293-305 Fowler CJ. Bladder dysfunction inneurologic disease, In Asbury. Disease of the nervous system, clinical neurobiology. 2nd ed, vol.1, Philadelphia: WB Sounders, 1992:512-526 Fowler CJ. Neurogenic bladder dysfunction and its management, In Greenwood R et al. Neurological rehabilitation. New Tork : Churchil Livingstone, 1993:269-276 Lindsay KW. Neurology and neurosurgery illustrated. 3rd ed. New York: Churcill Livingstone, 1997: 445-446 Marotta JT. Spinal injury, In Rowland LP. Merritt’s texybook of neurology. 9th ed. Philadelphia : Williams & Wilkins, 1995:440-446 Perkash I. Management of neurogenic bladder dysfunction of the bladder and bowel, In Kottke FJ, Krusen’s handbook of physical medicine and rehabilitaion. 4th ed. Philadelphia: WB Sounders, 1990:810-831 Snell RS. Neuroanatomi klinik, Jakarta : EGC, 1996:504-506 Swash M. The conus medullaris and sphincter control, in Critchley E. A Spinal cord disease, basic science, diagnosis and management. London : springer-Verlag, 1997: 403-412.crazy boy'shttp://www.blogger.com/profile/10427640188054710037noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2500718933329494943.post-29401901846011698042010-07-06T15:02:00.001+07:002010-07-06T15:02:29.038+07:00tugas makalah geriatriLansia atau lanjut usia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya. Pada Kelompok yang dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu proses yang disebut Aging Process. Ilmu yang mempelajari fenomena penuaan meliputi proses menua dan degenerasi sel termasuk masalah-masalah yang ditemui dan harapan lansia disebut gerontology (Cunningham & Brookbank, 1988). Pengertian lain mengatakan bahwa gerontology adalah ilmu yang mempelajari , membahas, meneliti segala bidang yang terkait dengan lanjut usia, bukan saja mengenai kesehatan namun juga mencakup soal kesejahteraan, pemukiman, lingkungan hidup, pendidikan, perundang-undangan dan sebagainya ( Yosaputra, 1987).<br />
Lanjut usia adalah dimana individu yang berusia di atas 60 tahun yang pada umumnya memiliki tanda-tanda terjadinya penurunan fungsi-fungsi biologis, psikologis, sosial, ekonomi. Sedangkan menurut definisi dari Depkes RI 3 lanjut usia adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindarkan. Proses menjadi tua disebabkan oleh faktor biologik yang terdiri dari tiga fase yaitu fase progresif, fase stabil dan fase regresif. Dalam fase regresif mekanisme lebih kearah kemunduran yang dimulai dalam sel, komponen terkecil dalam tubuh manusia. Begitu pula pada tahap perkembangan yang lain, maka pada lansia terjadi perubahan fungsi fisik, emosi, kognitif, sosial, spiritual, dan ekonomi.<br />
Ciri ciri Lanjut Usia, yang disepakati bersama adalah: Lanjut usia bila telah berusia > 60 tahun, berlaku sama pada semua etnik yang diteliti. Ciri lainnya disepakati Lanjut Usia bila telah memiliki cucu.<br />
Ada 4 ciri yang dapat dikategorikan sebagai pasien Geriatri dan Psikogeriatri, yaitu :<br />
1. Keterbatasan fungsi tubuh yang berhubungan dengan makin meningkatnya usia. <br />
2. Adanya akumulasi dari penyakit-penyakit degeneratif .<br />
3. Lanjut usia secara psikososial yang dinyatakan krisis bila :<br />
a. Ketergantungan pada orang lain (sangat memerlukan pelayanan orang lain)<br />
b. Mengisolasi diri atau menarik diri dari kegiatan kemasyarakatan karena berbagai sebab, diantaranya setelah menajalani masa pensiun, setelah sakit cukup berat dan lama, setelah kematian pasangan hidup dan lain-lain<br />
4. Hal-hal yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan (homeostasis) sehingga membawa lansia kearah kerusakan / kemerosotan (deteriorisasi) yang progresif terutama aspek psikologis yang mendadak, misalnya bingung, panik, depresif, apatis dsb. Hal itu biasanya bersumber dari munculnya stressor psikososial yang paling berat, misalnya kematian pasangan hidup, kematian sanak keluarga dekat, terpaksa berurusan dengan penegak hukum, atau trauma psikis.<br />
WHO mengelompokkan lansia menjadi 4 kelompok yang meliputi :<br />
Midle age (usia pertengahan) yaitu kelompok usia 45-59 tahun<br />
Elderly, antara 60-74 tahun<br />
Old, antara 75-90 tahun<br />
Very old, lebih dari 90 tahun<br />
Klasifikasi lansia berdasarkan kronologis usia, yaitu :<br />
Young old: 60-75 tahun<br />
Middle old: 75-84 tahun<br />
Old-old: >85 tahun <br />
(G. Wold: Basic Gerontology nursing)<br />
Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI) lansia merupakan kelanjutan dari usia dewasa yang dibagi menjadi empat bagian, yaitu :<br />
Fase iuventus, antara 25 -40 tahun<br />
Fase verilitas, antara40 -50 tahun<br />
Fase prasenium, antara 55 – 65 tahun<br />
Fase senium, lebih dari 65 tahun<br />
Sedangkan menurut Undang-undang No. 4 Tahun 1965 pasal 1, merumuskan bahwa seseorang dapat dinyatakan sebagai orang jompo atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak memupunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain.<br />
Faktor-faktor yang Mempengaruhi ketuaan / Aging :<br />
Pengaruh Aging terhadap Perubahan Sistem Imun Tubuh<br />
Sistem imunitas tubuh memiliki fungsi yaitu membantu perbaikan DNA manusia; mencegah infeksi yang disebabkan oleh jamur, bakteri, virus, dan organisme lain; serta menghasilkan antibodi (sejenis protein yang disebut imunoglobulin) untuk memerangi serangan bakteri dan virus asing ke dalam tubuh. Tugas sistem imun adalah mencari dan merusak invader (penyerbu) yang membahayakan tubuh manusia.<br />
Fungsi sistem imunitas tubuh (immunocompetence) menurun sesuai umur. Kemampuan imunitas tubuh melawan infeksi menurun termasuk kecepatan respons imun dengan peningkatan usia. Hal ini bukan berarti manusia lebih sering terserang penyakit, tetapi saat menginjak usia tua maka resiko kesakitan meningkat seperti penyakit infeksi, kanker, kelainan autoimun, atau penyakit kronik. Hal ini disebabkan oleh perjalanan alamiah penyakit yang berkembang secara lambat dan gejala-gejalanya tidak terlihat sampai beberapa tahun kemudian. Di samping itu, produksi immunoglobulin yang dihasilkan oleh tubuh orang tua juga berkurang jumlahnya sehingga vaksinasi yang diberikan pada kelompok lansia kurang efektif melawan penyakit. Masalah lain yang muncul adalah tubuh orang tua kehilangan kemampuan untuk membedakan benda asing yang masuk ke dalam tubuh atau memang benda itu bagian dari dalam tubuhnya sendiri. <br />
Salah satu perubahan besar yang terjadi seiring pertambahan usia adalah proses thymic involution 3. Thymus yang terletak di atas jantung di belakang tulang dada adalah organ tempat sel T menjadi matang. Sel T sangat penting sebagai limfosit untuk membunuh bakteri dan membantu tipe sel lain dalam sistem imun. Seiring perjalanan usia, maka banyak sel T atau limfosit T kehilangan fungsi dan kemampuannya melawan penyakit. Volume jaringan timus kurang dari 5% daripada saat lahir. Saat itu tubuh mengandung jumlah sel T yang lebih rendah dibandingkan sebelumnya (saat usia muda), dan juga tubuh kurang mampu mengontrol penyakit dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Jika hal ini terjadi, maka dapat mengarah pada penyakit autoimun yaitu sistem imun tidak dapat mengidentifikasi dan melawan kanker atau sel-sel jahat. Inilah alasan mengapa resiko penyakit kanker meningkat sejalan dengan usia.<br />
Salah satu komponen utama sistem kekebalan tubuh adalah sel T, suatu bentuk sel darah putih (limfosit) yang berfungsi mencari jenis penyakit pathogen lalu merusaknya. Limfosit dihasilkan oleh kelenjar limfe yang penting bagi tubuh untuk menghasilkan antibodi melawan infeksi. Secara umum, limfosit tidak berubah banyak pada usia tua, tetapi konfigurasi limfosit dan reaksinya melawan infeksi berkurang. Manusia memiliki jumlah T sel yang banyak dalam tubuhnya, namun seiring peningkatan usia maka jumlahnya akan berkurang yang ditunjukkan dengan rentannya tubuh terhadap serangan penyakit.<br />
Kelompok lansia kurang mampu menghasilkan limfosit untuk sistem imun. Sel perlawanan infeksi yang dihasilkan kurang cepat bereaksi dan kurang efektif daripada sel yang ditemukan pada kelompok dewasa muda. Ketika antibody dihasilkan, durasi respons kelompok lansia lebih singkat dan lebih sedikit sel yang dihasilkan. Sistem imun kelompok dewasa muda termasuk limfosit dan sel lain bereaksi lebih kuat dan cepat terhadap infeksi daripada kelompok dewasa tua. Di samping itu, kelompok dewasa tua khususnya berusia di atas 70 tahun cenderung menghasilkan autoantibody yaitu antibodi yang melawan antigennya sendiri dan mengarah pada penyakit autoimmune. Autoantibodi adalah factor penyebab rheumatoid arthritis dan atherosklerosis. Hilangnya efektivitas sistem imun pada orang tua biasanya disebabkan oleh perubahan kompartemen sel T yang terjadi sebagai hasil involusi timus untuk menghasilkan interleukin 10 (IL-10). Perubahan substansial pada fungsional dan fenotip profil sel T dilaporkan sesuai dengan peningkatan usia.<br />
Fenotip resiko imun dikenalkan oleh Dr. Anders Wikby yang melaksanakan suatu studi imunologi longitudinal untuk mengembangkan faktor-faktor prediktif bagi usia lanjut. Fenotip resiko imun ditandai dengan ratio CD4:CD8 < 1, lemahnya proliferasi sel T in vitro, peningkatan jumlah sel-sel CD8+CD28-, sedikitnya jumlah sel B, dan keberadaan sel-sel CD8T adalah CMV (Cytomegalovirus). Efek infeksi CMV pada sistem imun lansia juga didiskusikan oleh Prof. Paul Moss dengan sel T clonal expansion (CD8T) . <br />
Secara khusus jumlah sel CD8 T berkurang pada usia lanjut. Sel CD8 T mempunyai 2 fungsi yaitu: untuk mengenali dan merusak sel yang terinfeksi atau sel abnormal, serta untuk menekan aktivitas sel darah putih lain dalam rangka perlindungan jaringan normal. Para ahli percaya bahwa tubuh akan meningkatkan produksi berbagai jenis sel CD8 T sejalan dengan bertambahnya usia. Sel ini disebut TCE (T cell clonal expansion) yang kurang efektif dalam melawan penyakit. TCE mampu berakumulasi secara cepat karena memiliki rentang hidup yang panjang dan dapat mencegah hilangnya populasi TCE secara normal dalam organisme. Sel-sel TCE dapat tumbuh lebih banyak 80% dari total populasi CD8. Perbanyakan populasi sel TCE memakan ruang lebih banyak daripada sel lainnya, yang ditunjukkan dengan penurunan efektifitas sistem imunitas dalam memerangi bakteri patogen. Hal itu telah dibuktikan dengan suatu studi yang dilakukan terhadap tikus karena hewan ini memiliki fungsi sistem imunitas mirip manusia. Ilmuwan menemukan tifus berusia lanjut mempunyai tingkat TCE lebih besar daripada tifus normal, populasi sel CD8 T yang kurang beragam, dan penurunan kemampuan melawan penyakit. Peningkatan sel TCE pada tifus normal menggambarkan berkurangnya kemampuan melawan penyakit. Ilmuwan menyimpulkan bahwa jika produksi TCE dapat ditekan pada saat terjadi proses penuaan, maka efektifitas sistem imunitas tubuh dapat ditingkatkan dan kemampuan melawan penyakit lebih baik lagi.<br />
Aging juga mempengaruhi aktivitas leukosit termasuk makrofag, monosit, neutrofil, dan eosinofil. Namun hanya sedikit data yang tersedia menjelaskan efek penuaan terhadap sel-sel tersebut<br />
• Jumlah dan Sub-populasi Limfosit<br />
Aging mempengaruhi fungsi sel T dengan berbagai cara. Beberapa sel T ditemukan dalam thymus dan sirkulasi darah yang disebut dengan sel T memori dan sel T naive. Sel T naive adalah sel T yang tidak bergerak/diam dan tidak pernah terpapard engan antigen asing, sedangkan sel T memori adalah sel aktif yang terpapar dengan antigen. Saat antigen masuk, maka sel T naive menjadi aktif dan merangsang sistem imun untuk menghilangkan antigen asing dari dalam tubuh, selanjutnya merubah diri menjadi sel T memori. Sel T memori menjadi tidak aktif dan dapat aktif kembali jika menghadapi antigen yang sama. Pada kelompok usila, hampir tidak ada sel T naive sejak menurunnya produksi sel T oleh kelenjar timus secara cepat sesuai usia. Akibatnya cadangan sel T naive menipis dan sistem imun tidak dapat berespons secepat respons kelompok usia muda. Jumlah sel B, sel T helper (CD4+) juga berubah pada orang tua. Selain terjadi perubahan jumlah sel T, pada kelompok usila juga mengalami perubahan permukaan sel T. Ketika sel T menggunakan reseptor protein di permukaan sel lalu berikatan dengan antigen, maka rangsangan lingkungan harus dikomukasikan dengan bagian dalam sel T. Banyak molekul terlibat dalam transduksi signal, proses perpindahan ikatan signal-antigen melalui membran sel menuju sel. Sel T yang berusia tua tidak menunjukkan antigen CD28, suatu molekul penting bagi transduksi signal dan aktivasi sel T. Tanpa CD28, sel T tidak berespons terhadapnya masuknya patogen asing. Pada tubuh kelompok elderly juga terdapat kandungan antigen CD69 yang lebih rendah. Sel T dapat menginduksi antigen CD69 setelah berikatan dengan reseptor sel T. Bila ikatan signal-antigen tidak dipindahkan ke bagian dalam sel T, maka antigen CD69 akan hilang di permukaan sel dan terjadi penurunan transduksi signal.<br />
<br />
<br />
• Respons Proliferasi Limfosit<br />
Perubahan utama pada fungsi imun orang tua adalah perubahan respons proliferatif limfosit seperti berkurangnya Interleukin-2 (IL-2) yang tercermin dari rusaknya proses signal pada orang tua, minimnya kadar Ca dalam tubuh, dan perubahan membran limfosit sehingga mempengaruhi fungsi imun. Penurunan Calcium (Ca) pada orang tua mempengaruhi perpindahan signal dengan gagalnya merangsang enzim termasuk protein kinase C, MAPK dan MEK; serta menghambat produksi cytokines, protein yang bertanggung jawab untuk koordinasi interaksi dengan antigen dan memperkuat respons imun. Salah satu cytokine yang dikenal adalah interleukin 2 (IL-2), cytokine diproduksi dan disekresi oleh sel T untuk menginduksi proliferasi sel dan mendukung pertumbuhan jangka panjang sel T. Sesuai peningkatan usia sel T, maka kapasitas sel T untuk menghasilkan IL-2 menurun. Jika terpapar antigen, maka sel T memori akan membelah diri menjadi lebih banyak untuk melawan antigen. Jika produksi IL-2 sedikit atau sel T tidak dapat berespons dengan IL-2, maka fungsi sel T rusak. Perubahan cytokine lain adalah interleukin 4, tumor necrosis factor alpha, dan gamma interferon. Viskositas membran sel T juga berubah pada orang tua, tetapi viskositas sel B tetap. Kompoisisi lipid pada membran limfosit orang tua menunjukkan peningkatan proporsi kolesterol dan fosolipid dibandingkan orang muda Serum darah orang tua mengandung banyak VLDL dan LDL. Perubahan komposisi lipid di atas dapat meningkatkan penurunan imunitas tubuh orang tua. Pembatasan asupan lemak mempengaruhi komposisi membran lipid limfosit, meningkatkan level asam linoleat, menurunkan kadar asam docosatetraenoat dan arakhidonat.<br />
• Produksi Cytokine<br />
Respons limfosit diatur oleh cytokine. Respons limfosit atau sel T helper dibagi menjadi 2 jenis yaitu: 1. Th-1 dan 2. Th-2. Respons antibodi biasanya diperoleh dari Th-2 cytokine. Perubahan produksi cytokine merubah imunitas perantara sel (Cell Mediated Immunity) pada roang tua. Respons limfosit pada makrofag berubah pada orang tua di mana terdapat sensitivitas yang lebih tinggi terhadap efek inhibitor. Penurunan fungsi sel T pada orang tua juga mempengaruhi fungsi sel B karena sel T dan sel B bekerjasama untuk mengatur produksi antibodi. Sel T menginduksi sel B untuk hipermutasi gen-gen immunoglobulin, menghasilkan perbedaan antibodi untuk mengenali jenis-jenis antigen. Pada orang tua terdapat jenis antibodi yang lebih sedikit dibandingkan pada orang muda, rendahnya respons IgM terhadap infeksi, dan menurunnya kecepatan pematangan sel B. Semua itu berkontribusi terhadap penurunan jumlah antibodi yang diproudksi untuk melawan infeksi. Respons tubuh pada orang tua terhadap infeksi penyebab penyakit yang ditunjukkan dengan reaksi demam tidak berlangsung secara otomatis. Lebih dari 20% manusia berusia di atas 65 tahun mempunyai infeksi bakteri yang serius tidak mengalami demam, karena tubuh mampu menetralisir demam dan reaksi imun lainnya, tetapi sistem syaraf pusat kurang sensitif terhadap tanda-tanda imun dan tidak bereaksi cepat terhadap infeksi.<br />
• Peningkatan Respons Sistem Imun<br />
Fungsi organ-organ menurun sejalan dengan peningkatan usia manusia. Organ kurang efisien dibandingkan saat usia muda, contohnya timus yang menghasilkan hormon terutama selama pubertas. Pada lansia, sebagian besar kelenjar timus tidak berfungsi. Tetapi ketika limfosit terpapar pada hormon timus, maka sistem imun meningkat sewaktu-waktu. Sekresi hormon termasuk hormon pertumbuhan dan melatonin menurun pada usia tua dan mungkin dihubungkan dengan sistem imun.<br />
Sistem endokrin dipengaruhi oleh penuaan dan sirkulasi hormon-hormon menurun dengan umur. Hormon DHEA (Dehydroepiandrosterone) erat hubungannya dengan penurunan fungsi kekebalan tubuh. Prostaglandin, hormon yang mempengaruhi proses tubuh seperti suhu dan metabolisme tubuh mungkin meningkat pada usia tua dan menghambat sel imun yang penting. Kelompok lansia mungkin lebih sensitif pada reaksi prostaglandin daripada dewasa muda, yang menjadi penyebab utama defisiensi imun pada lansia. Prostaglandin dihasilkan oleh jaringan tubuh, tetapi respons system imun pada kelompok dewasa muda lebih baik saat produksi prostaglandin ditekan.<br />
Nutrisi berperan penting dalam sistem imun tubuh. Pada kelompok dewasa tua yang sehat dan mengalami defisiensi gizi, maka asupan vitamin dan suplemen makanan dapat meningkatkan respons sistem imun, ditunjukkan dengan lebih sedikitnya hari-hari penyakit yang diderita.<br />
Orang tua sering mengalami perasaan kehilangan dan stress, dan penekanan imunitas dihubungkan dengan perasaan kehilangan, depresi, dan rendahnya dukungan sosial. Memelihara kehidupan sosial yang aktif dan memperoleh pengobatan depresi dapat meningkatkan sistem imun kelompok lansia. Secara umum kelompok lansia lebih sering menderita infeksi atau tingkat keparahan infeksi yang lebih besar dan penurunan respons terhadap vaksin lebih rendah (contohnya kematian akibat penyakit tetanus dan flu).<br />
• Depresi/Stress dan Rasa Marah mempengaruhi Sistem Imun<br />
Pada orang tua, perasaan depresi dan marah dapat melemahkan sistem imun. Mereka rentan terhadap stress dan depresi. Stress menyebabkan perubahan-perubahan fisiologis tubuh yang melemahkan sistem imun, dan akhirnya mempengaruhi kesehatan sehingga mudah terserang penyakit, serta timbulnya kelainan sistem imun dengan munculnya psoriasis dan eczema.<br />
Saat terjadi stress, maka hormon glukokortikoid dan kortisol memicu reaksi anti-inflammatory dalam sistem imun. <br />
Peneliti telah mempelajari hubungan antara marah, perasaan depressi, dan sistem imun pada 82 orang lansia yang hidup dengan pasangan penderita penyakit Al-zheimer. Ternyata beberapa tahun kemudian kondisi psikologi dan fisik kesehatan mereka menurun, ditunjukkan oleh response sistem imun yang memicu aktivasi sel limfosit. Studi lain yang dilakukan terhadap kesehatan lansia dengan stress menunjukkan level IL-6 atau interleukin-6 (suatu protein dalam kelompok cytokine) meningkat 4 kali lipat lebih cepat sehingga mereka rentan terhadap penyakit jantung, arthritis, dan sebagainya. <br />
Pada lansia pria, depresi dikaitkan dengan berkurangnya respons imun. Depresi ditimbulkan oleh rasa kesepian, enggan menceritakan masalah hidup yang dialami, dan cenderung memiliki teman dekat lebih sedikit daripada lansia wanita. Lansia pria mengalami ledakan hormon stress saat menghadapi tantangan dibandingkan dengan lansia wanita. Meskipun hubungan antara depresi dengan imunitas berbeda menurut gender, ternyata kombinasi marah dan stress yang dikaitkan dengan penurunan fungsi imun pada kedua kelompok lansia pria dan wanita tidak berbeda.<br />
Gangguan tidur pada orang tua dapat melemahkan sistem imun karena darah mengandung penurunan NKC (Natural Killer Sel). NKC adalah bagian dari sistem imun tubuh, jika kadarnya menurun dapat melemahkan imunitas sehingga rentan terhadap penyakit. Studi yang dilakukan di Pittsburgh tahun 1998 menunjukkan pentingnya tidur bagi orang tua untuk memelihara kesehatan tubuh.<br />
Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa lansia. Faktor-faktor tersebut hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat menikmati hari tua mereka dengan bahagia. Adapun beberapa faktor yang dihadapi para lansia yang sangat mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut:<br />
• Penurunan Kondisi Fisik<br />
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda (multiple pathology), misalnya tenaga berkurang, enerji menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain. Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial, sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir fisiknya. Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang. <br />
• Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual<br />
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti : <br />
• Gangguan jantung <br />
• Gangguan metabolisme, misal diabetes millitus <br />
• Vaginitis Baru selesai operasi : misalnya prostatektomi <br />
• Kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat kurang <br />
• Penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer, serta <br />
Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain :<br />
• Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia <br />
• Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan budaya<br />
• Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya <br />
• Pasangan hidup telah meninggal<br />
• Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dsb<br />
• Perubahan Aspek Psikososial<br />
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.<br />
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia sebagai berikut:<br />
• Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua. <br />
• Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada dirinya<br />
• Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya. <br />
• Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-marit. <br />
• Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah dirinya.<br />
• Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan<br />
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki masa pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah diuraikan pada point tiga di atas. <br />
Bagaimana menyiasati pensiun agar tidak merupakan beban mental setelah lansia? Jawabannya sangat tergantung pada sikap mental individu dalam menghadapi masa pensiun. Dalam kenyataan ada menerima, ada yang takut kehilangan, ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua dan ada juga yang seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah). Masing-masing sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu, baik positif maupun negatif. Dampak positif lebih menenteramkan diri lansia dan dampak negatif akan mengganggu kesejahteraan hidup lansia. Agar pensiun lebih berdampak positif sebaiknya ada masa persiapan pensiun yang benar-benar diisi dengan kegiatan-kegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan hanya diberi waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan memperoleh gaji penuh. Persiapan tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi dan terarah bagi masing-masing orang yang akan pensiun. Jika perlu dilakukan assessment untuk menentukan arah minatnya agar tetap memiliki kegiatan yang jelas dan positif. Untuk merencanakan kegiatan setelah pensiun dan memasuki masa lansia dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya memantapkan arah minatnya masing-masing. Misalnya cara berwiraswasta, cara membuka usaha sendiri yang sangat banyak jenis dan macamnya. Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung terlihat hasilnya sehingga menumbuhkan keyakinan pada lansia bahwa disamping pekerjaan yang selama ini ditekuninya, masih ada alternatif lain yang cukup menjanjikan dalam menghadapi masa tua, sehingga lansia tidak membayangkan bahwa setelah pensiun mereka menjadi tidak berguna, menganggur, penghasilan berkurang dan sebagainya.<br />
• Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat <br />
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka melakukan aktivitas, selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain dan kdang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga perilakunya seperti anak kecil. <br />
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang memiliki keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat beruntung karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun tidak punya anak dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri, seringkali menjadi terlantar. Disinilah pentingnya adanya Panti Werdha sebagai tempat untuk pemeliharaan dan perawatan bagi lansia di samping sebagai long stay rehabilitation yang tetap memelihara kehidupan bermasyarakat. Disisi lain perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa hidup dan kehidupan dalam lingkungan sosial Panti Werdha adalah lebih baik dari pada hidup sendirian dalam masyarakat sebagai seorang lansia.crazy boy'shttp://www.blogger.com/profile/10427640188054710037noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2500718933329494943.post-83634980803037546802010-07-06T14:56:00.000+07:002010-07-06T14:56:02.152+07:00ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN OBSTRUKSI USUSA. PENGERTIAN<br />
Obstruksi usus adalah gangguan pada aliran normal isi usus sepanjang traktus intestinal (Nettina, 2001). Obstruksi terjadi ketika ada gangguan yang menyebabkan terhambatnya aliran isi usus ke depan tetapi peristaltiknya normal.<br />
(Reeves, 2001)<br />
Obstruksi usus merupakan suatu blok saluran usus yang menghambat pasase cairan, flatus dan makanan dapat secara mekanis atau fungsional<br />
(Tucker, 1998)<br />
B. ETIOLOGI<br />
adapun etiologi dari ileus obstruksi ialah : <br />
a) Adhesi<br />
b) Hernia inkarserata<br />
c) Askariasis<br />
d) Tumor <br />
e) Lain-lain :<br />
•Radang khronik (TBC)<br />
•Divertikulum meckel<br />
•Invaginasi<br />
•Volvulus<br />
•Obstruksi makanan <br />
Etiologi Ileus Obstruksi<br />
C. JENIS-JENIS OBSTRUKSI<br />
Terdapat 2 jenis obstruksi :<br />
1. Obstruksi paralitik (ileus paralitik)<br />
Peristaltik usus dihambat sebagian akibat pengaruh toksin atau trauma yang mempengaruhi kontrol otonom pergerakan usus. Peristaltik tidak efektif, suplai darah tidak terganggu dan kondisi tersebut hilang secara spontan setelah 2 sampai 3 hari.<br />
2. Obstruksi mekanik<br />
Terdapat obstruksi intralumen atau obstruksi mural oleh tekanan ekstrinsik. Obstruksi mekanik digolongkan sebagai obstruksi mekanik simpleks (satu tempat obstruksi) dan obstruksi lengkung tertutup ( paling sedikit 2 obstruksi). Karena lengkung tertutup tidak dapat didekompresi, tekanan intralumen meningkat dengan cepat, mengakibatkan penekanan pebuluh darah, iskemia dan infark(strangulasi). Sehingga menimbulkan obstruksi strangulata yang disebabkan obstruksi mekanik yang berkepanjangan. Obstruksi ini tidak mengganggu suplai darah, menyebabkan gangren dinding usus.<br />
C. PATOFISIOLOGI<br />
Peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi usus adalah sama, tanpa memandang apakah obtruksi tersebut diakibatkan oleh penyebab mekanik atau fungsional. Perbedaan utamanya pada obstruksi paralitik dimana peristaltik dihambat dari permulaan, sedangkan pada obstruksi mekanis peristaltik mula-mula diperkuat, kemudian intermitten, dan akhirnya hilang.<br />
Lumen usus yang tersumbat secara progresif akan teregang oleh cairan dana gas (70 % dari gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intra lumen, yang menurunkan pengaliran air dan natrium dari lumen usus ke darah. Oleh karena sekitar 8 liter cairan disekresi kedalam saluran cerna setiap hari, tidak adanya absorbsi dapat mengakibatkan penimbunan intra lumen yang cepat. Muntah dan penyedotan usus setelah pengobatan dimulai merupakan sumber kehilangan utama cairan dan elektrolit. Pengaruh atas kehilangan cairan dan elektrolit adalah penciutan ruang cairan ekstra sel yang mengakibatkan hemokonsentrasi, hipovolemia, insufisiensi ginjal, syok-hipotensi, pengurangan curah jantung, penurunan perfusi jaringan, asidosis metabolik dan kematian bila tidak dikoreksi.<br />
Peregangan usus yang terus menerus menyebabkan lingkaran setan penurunan absorbsi cairan dan peningkatan sekresi cairan kedalam usus. Efek lokal peregangan usus adalah iskemia akibat distensi dan peningkatan permeabilitas akibat nekrosis, disertai absorbsi toksin-toksin/bakteri kedalam rongga peritonium dan sirkulasi sistemik. Pengaruh sistemik dari distensi yang mencolok adalah elevasi diafragma dengan akibat terbatasnya ventilasi dan berikutnya timbul atelektasis. Aliran balik vena melalui vena kava inferior juga dapat terganggu. Segera setelah terjadinya gangguan aliran balik vena yang nyata, usus menjadi sangat terbendung, dan darah mulai menyusup kedalam lumen usus. Darah yang hilang dapat mencapai kadar yang cukup berarti bila segmen usus yang terlibat cukup panjang.<br />
<br />
D. MANIFESTASI KLINIK<br />
1. Mekanika sederhana – usus halus atas<br />
Kolik (kram) pada abdomen pertengahan sampai ke atas, distensi, muntah empedu awal, peningkatan bising usus (bunyi gemerincing bernada tinggi terdengar pada interval singkat), nyeri tekan difus minimal.<br />
2. Mekanika sederhana – usus halus bawah<br />
Kolik (kram) signifikan midabdomen, distensi berat,muntah – sedikit atau tidak ada – kemudian mempunyai ampas, bising usus dan bunyi “hush” meningkat, nyeri tekan difus minimal.<br />
3. Mekanika sederhana – kolon <br />
Kram (abdomen tengah sampai bawah), distensi yang muncul terakhir, kemudian terjadi muntah (fekulen), peningkatan bising usus, nyeri tekan difus minimal.<br />
<br />
4. Obstruksi mekanik parsial<br />
Dapat terjadi bersama granulomatosa usus pada penyakit Crohn. Gejalanya kram nyeri abdomen, distensi ringan dan diare.<br />
5. Strangulasi<br />
Gejala berkembang dengan cepat; nyeri parah, terus menerus dan terlokalisir; distensi sedang; muntah persisten; biasanya bising usus menurun dn nyeri tekan terlokalisir hebat. Feses atau vomitus menjadi berwarna gelap atau berdarah atau mengandung darah samar.<br />
<br />
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG<br />
1. Sinar x abdomen menunjukkan gas atau cairan di dalam usus<br />
2. Barium enema menunjukkan kolon yang terdistensi, berisi udara atau lipatan sigmoid yang tertutup.<br />
3. Penurunan kadar serum natrium, kalium dan klorida akibat muntah; peningkatan hitung SDP dengan nekrosis, strangulasi atau peritonitis dan peningkatan kadar serum amilase karena iritasi pankreas oleh lipatan usus.<br />
4. Arteri gas darah dapat mengindikasikan asidosis atau alkalosis metabolik.<br />
<br />
F. PENATALAKSANAAN MEDIS/BEDAH<br />
1. Koreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit :<br />
2. Terapi Na+, K+, komponen darah<br />
3. Ringer laktat untuk mengoreksi kekurangan cairan interstisial<br />
4. Dekstrosa dan air untuk memperbaiki kekurangan cairan intraseluler<br />
5. Dekompresi selang nasoenteral yang panjang dari proksimal usus ke area penyumbatan; selang dapat dimasukkan dengan lebih efektif dengan pasien berbaring miring ke kanan.<br />
6. Implementasikan pengobatan unutk syok dan peritonitis.<br />
7. Hiperalimentasi untuk mengoreksi defisiensi protein karena obstruksi kronik, ileus paralitik atau infeksi.<br />
8. Reseksi usus dengan anastomosis dari ujung ke ujung.<br />
9. Ostomi barrel-ganda jika anastomosis dari ujung ke ujung terlalu beresiko.<br />
10. Kolostomi lingkaran untuk mengalihkan aliran feses dan mendekompresi usus dengan reseksi usus yang dilakukan sebagai prosedur kedua.<br />
<br />
G. PENGKAJIAN<br />
1. Umum :<br />
Anoreksia dan malaise, demam, takikardia, diaforesis, pucat, kekakuan abdomen, kegagalan untuk mengeluarkan feses atau flatus secara rektal, peningkatan bising usus (awal obstruksi), penurunan bising usus (lanjut), retensi perkemihan dan leukositosis.<br />
2. Khusus :<br />
a. Usus halus <br />
Berat, nyeri abdomen seperti kram, peningkatan distensi<br />
Distensi ringan<br />
Mual<br />
Muntah : pada awal mengandung makanan tak dicerna dan kim; selanjutnya muntah air dan mengandung empedu, hitam dan fekal<br />
Dehidrasi<br />
b. Usus besar<br />
Ketidaknyamana abdominal ringan<br />
Distensi berat<br />
Muntah fekal laten<br />
Dehidrasi laten : asidosis jarang<br />
<br />
H. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI<br />
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual, muntah, demam dan atau diforesis.<br />
Tujuan : kebutuhan cairan terpenuhi<br />
Kriteria hasil :<br />
a. Tanda vital normal <br />
b. Masukan dan haluaran seimbang<br />
Intervensi :<br />
c. Pantau tanda vital dan observasi tingkat kesadaran dan gejala syok<br />
d. Pantau cairan parentral dengan elektrolit, antibiotik dan vitamin<br />
e. Pantau selang nasointestinal dan alat penghisap rendah dan intermitten. Ukur haluaran drainase setiap 8 jam, observasi isi terhadap warna dan konsistensi<br />
f. Posisikan pasien pada miring kanan; kemudian miring kiri untuk memudahkan pasasse ke dalam usus; jangan memplester selang ke hidung sampai selang pada posisi yang benar<br />
g. Pantau selang terhadap masuknya cairan setiap jam<br />
h. Kateter uretral indwelling dapat dipasang; laporkan haluaran kurang dari 50 ml/jam<br />
i. Ukur lingkar abdomen setiap 4 jam<br />
j. Pantau elektrolit, Hb dan Ht<br />
k. Siapkan untuk pembedahan sesuai indikasi<br />
l. Bila pembedahan tidak dilakukan, kolaborasikan pemberian cairan per oral juga dengan mengklem selang usus selama 1 jam dan memberikanjumlah air yang telah diukur atau memberikan cairan setelah selang usus diangkat.<br />
m. Buka selang, bila dipasang, pada waktu khusus seusai pesanan, untuk memperkirakan jumlah absorpsi.<br />
n. Observsi abdomen terhadap ketidaknyamanan, distensi, nyeri atau kekauan.<br />
o. Auskultasi bising usus, 1 jam setelah makan; laporkan tak adanya bising usus.<br />
p. Cairan sebanyak 2500 ml/hari kecuali dikontraindikasikan.<br />
q. Ukur masukan dan haluaran sampai adekuat.<br />
r. Observasi feses pertama terhadap warna, konsistensi dan jumlah; hindari konstipasi<br />
<br />
2. Nyeri berhubungan dengan distensi, kekakuan<br />
Tujuan : rasa nyeri teratasi atau terkontrol<br />
Kriteria hasil : pasien mengungkapkan penurunan ketidaknyamanan; menyatakan nyeri pada tingkat dapat ditoleransi, menunjukkan relaks.<br />
Intervensi :<br />
a. Pertahankan tirah baring pada posisi yang nyaman; jangan menyangga lutut.<br />
b. Kaji lokasi, berat dan tipe nyeri<br />
c. Kaji keefektifan dan pantau terhadap efek samping anlgesik; hindari morfin<br />
d. Berikan periode istirahat terencana.<br />
e. Kaji dan anjurkan melakukan lathan rentang gerak aktif atau pasif setiap 4 jam.<br />
f. Ubah posisi dengan sering dan berikan gosokan punggung dan perawatan kulit.<br />
g. Auskultasi bising usus; perhatikan peningkatan kekauan atau nyeri; berikan enema perlahan bila dipesankan.<br />
h. Berikan dan anjurkan tindakan alternatif penghilang nyeri.<br />
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen dan atau kekakuan.<br />
Tujuan : pola nafas menjadi efektif.<br />
Kriteria hasil : pasien menunjukkan kemampuan melakukan latihan pernafasan, pernafasan yang dalam dan perlahan.<br />
Intervensi :<br />
a. Kaji status pernafasan; observasi terhadap menelan, “pernafasan cepat”<br />
b. Tinggikan kepala tempat tidur 40-60 derajat.<br />
c. Pantau terapi oksigen atau spirometer insentif<br />
d. Kaji dan ajarkan pasien untuk membalik dan batuk setiap 4 jam dan napas dalam setiap jam.<br />
e. Auskultasi dada terhadap bunyi nafas setiap 4 jam.<br />
<br />
4. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi dan perubahan status kesehatan.<br />
Tujuan : ansietas teratasi<br />
Kriteria hasil : pasien mengungkapkan pemahaman tentang penyakit saat ini dan mendemonstrasikan keterampilan kooping positif dalam menghadapi ansietas.<br />
Intervensi :<br />
a. Kaji perilaku koping baru dan anjurkan penggunaan ketrampilan yang berhasil pada waktu lalu.<br />
b. Dorong dan sediakan waktu untuk mengungkapkan ansietas dan rasa takut; berikan penenangan.<br />
c. Jelaskan prosedur dan tindakan dan beri penguatan penjelasan mengenai penyakit, tindakan dan prognosis.<br />
d. Pertahankan lingkungan yang tenang dan tanpa stres.<br />
e. Dorong dukungan keluarga dan orang terdekat.<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Nettina, Sandra M. Pedoman Praktik Keperawatan. Alih bahasa Setiawan dkk. Ed. 1. Jakarta : EGC; 2001<br />
2. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001.<br />
3. Tucker, Susan Martin et al. Patient care Standards : Nursing Process, diagnosis, And Outcome. Alih bahasa Yasmin asih. Ed. 5. Jakarta : EGC; 1998<br />
4. Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC; 1994<br />
5. Reeves, Charlene J et al. Medical-Surgical Nursing. Alih Bahasa Joko Setyono. Ed. I. Jakarta : Salemba Medika; 2001.crazy boy'shttp://www.blogger.com/profile/10427640188054710037noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2500718933329494943.post-3627751946572617272010-07-06T14:50:00.000+07:002010-07-06T14:50:47.021+07:00INKONTINENSIA URINA. Pengertian<br />
Inkontinensia urin merupakan eliminasi urin dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan.<br />
Jika Inkontinensia urin terjadi akibat kelainan inflamasi ( sistitis ), mungkin sifatnya hanya sementara. Namun, jika kejadian ini timbul karena kelainan neurologi yang serius ( paraplegia ), kemungkinan besar sifatnya akan permanent.<br />
(Brunner & Suddarth, 2002. hal: 1471)<br />
B. Anatomi dan Fisiologi<br />
VESIKA URINARIA<br />
Vesika terletak dalam pelvis minor, dorsal dan agak kronial dari ossa pubis. Vesika urinaria terpisah dan dari tulang-tulang tersebut oleh ” Spatium retropubicum ” dan pada tempat ia bersandar diatas dasar pelvis, terletak kaudal ari peritoneum. Kedudukan Vesika urinaria dalam jaringan lemak ekstra peritoneal membuatnya relatif bebas kecualiservik vecicae yang tertambat erat oleh ligamentum pubovesikale pada wanita dan ligamentum puboprostatieum pada laki-laki. Sewaktu ferisi, vesika membesar kearah kronial kedalam lemak ekstraperitoneal lembar superfisial fasra dinding abdomen ventral.<br />
Dalam vesika urinaria selalu terdapat sedikit banyaknya urin dan bentuknya ebih kurang membulat. Vesika urinarus yang kosong dan berbentuk limas, memiliki empat permukaan : sebuah permukaan kronial, dua permukaan laterokaudal dan sebuah permukaan dorsal. Permukaan Laterokaudal bersentuhan dengan fasera penutup muskulus elevatoroini. Permukaan dobokaudal vesika urinaria adalah alasnya ( fundus veskae ) mengarah ke tepi kronial symphisis pubica. Servik vesicae dengan permukaan – permukaan laterokaudal.<br />
Palungan Vasica urinaria ( bladder bed ) pada masing – masing sisi dibentuk oleh Os Pubis, musculus obturator internus dan musculus elevator ani, dan kearah dorsal oleh rectum. Seluruh vesica urinaria terbungkus oleh jaringan ikat jarang yang dikenal sebagai facia vesicalis dan ditempati oleh plexus venosus vesicalis. Dinding vesica urinaria terutama dibentuk oleh musculus detrusor vesicae. Kearah cervix vesicae serabut ototnya membentuk sphineter urethrae internus, sebuah otot invocuntar. Beberapa serabutnya teratur radial dan membantu membuka ostium urethra internum. Pada laki – laki serabut otot dalam serviks vesicae bersinambungan dengan serabut otot dalam dinding urethra. Ostium uretheris dan ostium urethrae internum terletak pada sudut trigonum vesicae. Kedua reter melewati dinding vesica urinaria secara serong dalam arah mediokaudal. Peningkatan tekanan dalam vesica urinaria menekan rapat dinding ureter, dan menghindari urin terdorong balik ke dalam ureter karena peningkatan tekanan tersebut.<br />
(Brunner & Suddarth, 2002. hal: 1471)<br />
<br />
C. Etiologi <br />
Usia jenis kelamin serta jumlah persalinan pervagina yang pernah dialami sebelumnya merupakan faktor resiko yang sudah dipastikan dan secara parsial menyebabkan peningkatan insidensnya pada wanita. Faktor resiko lain yang diperkirakan merupakan penyebab gangguan ini adalah infeksi saluran kemih, menopause, pembedahan urogenital, penyakit kronis dan penggunaan berbagai obat. Gejala puam, dekubitus, infeksi kulit serta saluran kemih dan pembatasan aktivitas merupakan konsekuensi dari inkontinensia urin.<br />
<br />
D. Patofisiologi<br />
Bila terjadi pengisian kandung kencing, tekanan didalam kandung kemih meningkat. Otot detrusor ( lapisan yang ketiga dari dinding kandung kencing ) memberikan respon dengan relausasi agar memperbesar volume daya tampung bila titik daya tampung. Bila titik daya tampung telah dicapai, biasanya 150 – 200 ml urin daya tentang reseptor yang terletak pada dinding kandung kemih mendapat rangsangan. Stimulus transmisi lewat serabut reflek efferent ke lengkungan pusat refleks untuk mikturisasi. Impuls kemudian disalurkan melalui serabut eferen dari lengkungan reflek ke kandung kemih, menyebabkan kontraksi otot detruksor.<br />
Sfingter interna yang dalam keadaan normal menutup, serentak bersama – sama membuka dan urine masuk kedalam irethra posterior. Relaksasi sfingter eksterna dan otot parineal mengikuti dan isi kandung kemih keluar, pelaksanaan kegiatan reflek bias mengalami interupsi dan berkemih dan ditangguhkan melalui dikeluarkanya impuls in hibitori dari pusat kortek yang berdampak kontraksi dilaur kesadaran dari sfingter eksterna. Bila salah satu bagian dari fungsi yang komleks uni rusak bias terjadi inkontinensia urine, karena bakteri pada saluran kemih menyebabkan iritasi pada lapisan mukosa kandung dan menstimulis rethrovesika urinaria.<br />
<br />
<br />
<br />
E. Manifestasi Klinis<br />
Tanda dan gejala Inkontinensia urine berdasarkan tipe inkontinensia sendiri :<br />
• Inkontinensia akibat stress<br />
Eliminasi urin diluar keinginan melalui uretra sebagai akibat dari peningkatan mendadak pada tekanan intra abdomen.<br />
• Urge Inkontinensia<br />
Terjadi bila pasien merasakan dorongan atau keinginan untuk urinasi tetapi tidak mampu menahannya cukup lama sebelum mencapai toilet.<br />
• Overflow inkontinensia<br />
Ditandai oleh eliminasi urin yang sering dan kadang – kadang terjadi hampir terus menerus dari kandung kemih.<br />
• Inkontinensia fungsional<br />
Merupakan Inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi faktor lain, seperti gangguan kognitif berat yang membuat pasien sulit untuk mengidentifikasi perlunya urinasi ( misal, demensia alzheimer ) atau gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin menjangkau toilet untuk melakukan urinasi.<br />
• Bentuk – bentuk Inkontinensia urin campuran<br />
Mencakup ciri – ciri inkontinensia seperti yang baru disebutkan.<br />
<br />
F. Komplikasi<br />
Infeksi saluran kemih merupakan sumber morbiditas yang menonjol united states dan juga menonjol dalam perkembangan kegagalan ginjal kronis pad tiap bagian dari saluran kemih.<br />
Kebanyakan infeksi saluran kemih tidak merupakan komplikasi, keadaannya tidak simtomasis, spontan, jelas dan sebagian merupakan cukup menonjol yang mengisyarakatkan pemikiran sebagai suatu masalah kesehatan. Tidak terdapat hal yang kontroversial dikalangan yang melaksanakan pencegahan pelayanan kesehatan sehubungan pertanyaan tentang kebutuhan pemeriksaan infeksi asimtomasis, namun terdapat kesukaran untuk mengidentifikasi kelompok beresiko dimana deteksi dan pengobatan dari infeksi ini memperlihatkan perbaikan kesehatan seseorang. Wanita cenderung mudah terserang infeksi saluran kemih bila dibandingkan dengan pria.<br />
<br />
G. Penatalaksanaan Medis<br />
Pemeriksaan diagnosis harus mencakup evaluasi foal ginjal. Dapat dilakukan melalui urinarisasi, kultur urine, elektrolit urine, urea nitrogen darah, kreatin serum dan kreatin elearance.<br />
Biasanya kandung kemih berisi sedikit air kemih atau sama sekali kosong setelah berkemih. Pengosongan kandung kencing dengan sempurna. Beberapa kondisi yang sering terjadi dimana pengosongan kandung kemih tidak sempurna dapat menimbulkan prostat benigna, striktur uretra dan interupsi inervasi kandung kemih. Air kemih yang tertinggal didalam kandung kemih setelah berkemih disebut air kemih residu.<br />
Salah satu cara untuk menentukan jumlah residu urine ialah dengan melakukan katerisasi segera setelah ornag itu berkemih. Cara ini ssewaktu – waktu suka dipesan oleh dokter baik hanya sekali atau berulang kali. Sebelum katerisasi harus berkonsultasi kembali dengan dokter tentang drainase air kemih selanjutnya. Bila diduga terdapat jumlah besar dari urine residu, biasanya dokter memasangkan kateter daver. Volume urine residu 50 ml atau kurang menunjukkan fungsi kandung kencing yang normal atau kondisi kandung kemih pulih kembali.<br />
Untuk mencegah tidak terjangkaunya urine residu oleh kateter, perlu dilaksanakan protet X – Ray air kencing residu. Pada prosedur dipakai bahan kontraks yang tidak tembus sinar yang diekresikan oleh ginjal setelah suntikan zat kontraks intravena, zat kontrkas melalui kandung kemih. Jumlah urine yang cukup banyak mengandung zat kontraks dibiarkan berakumulasi dalam kandung kemih sebelum orang diminta untuk berkemih. Segera setelah bekemih foto X – Ray dibuat. Tiap urin yang tertahan pada kandung kemih akan dapat divisualisasikan pada radiografi. Ini berarti pada penentuan jumlah volume urine residu diperlukan dengan keterkaitan visualisasi study saluran kemih dari saluran kemih.<br />
Pemeriksaan Eystometic dilakuakan untuk evaluasi tonus kandung kemih. Pada umumnya pemeriksaan dilakukan bila terjadi inkontinen atau bila ditemukan data bahwa terjadi disfungsi kandung kemih yang neurologik. Dipasang kateter folay sebelum dilakukan pemeriksaan. Setelah pasien tertidur terlentang, disiapkan Na Cl normal dalam botol satu liter atau aquabidest steril dan Cysometer disambungkan dengan kateter. Cairan dimasukkan dengan kecepatan yang teratur pengukuran tekanan terhadap cairan yang didorong oleh otot kandung kemih diukur setelah dimasukkan 50 ml cairan. Orang ditanya tentang rasa penuh, keinginan berkemih atau perasaan tidak nyaman yang mendesak. Ciaran terus dimasukkan sampai terjadi atau desakkan ditentukan bahwa perasaan itu tidak timbul. Pada waktu pemeriksaan Cystometrik, diberikan bethanecol chloride ( urecholine ) dan diharapkan efeknya terhadap tonus kandung kemih yang lemah, atau obat – obat anticholigeric untuk mengkaji relaksasi pad kandung kemih yang hiperaktif. Tidak diperlukan perawatan specifik setelah pemeriksaan Cytrometrio.<br />
H. Analisa data :<br />
1. Diagnosa Keperawatan<br />
Diagnosa Keperawatan ditentukan atas dasar pengkajian pada pasien. Kemungkinan diagnosa keperawatan dari orang inkontinensia urin yaitu :<br />
Judul Diagnosa Kemungkinan Etiologi<br />
Defisit mandi sendiri / pemeliharaan higyne ketoilet Gangguan kognitif / depresi<br />
Gangguan penampilan tubuh Kehilangan fungsi tubuh, perubahan cara hidup, perubahan keterlihatan sosial<br />
Penyesuaian individu yang kurang mantap Krisis kondisi, krisis kedewasaan<br />
Gangguan pengelolaan rumah tangga Tidak ada sistem bantuan, kurang pengetahuan<br />
Inkontinen Fungsional Perubahan lingkungan defisit sensori<br />
Inkontinen Refleks Gangguan neurologi<br />
Inkontinen stress Relaksasi otot pelvis, terlalu mengembang<br />
Inkontinen total Gangguan neurologik<br />
Inkontinen desakan Kapasitas kandung kemih menurun, infeksi kandung kemih, kandung kencing terlalu mengembang<br />
Potensial gangguan integritas kulit Iritasi<br />
Perubahan pola eliminasi urine Gangguan sensori motor<br />
<br />
2. Perencanaan : Hasil Yang Diharapkan<br />
Hasil yang diharapkan dari pasien dengan inkontinensia urine terdiri dari :<br />
1) Orang bebas dari Ekskoriasi kulit perineum<br />
2) Pasien bebas dari bau air kemih<br />
3) Orang itu atau orang penting dapat menguraikan atau berkata tentang hal berikut :<br />
a. Hubungan hygine yang mantap dengan pemeliharaan integritas kulit.<br />
b. Hubungan intake cairan yang adekuat demi kelancaran latihan kandung kemih.<br />
c. Rencana latih kandung kemih.<br />
4) Bagaimana cara merawat masalah kulit yang ringan bila itu terjadi.<br />
5) Bagaimana cara mendapatkan sember profesional dan anggota masyarakat :<br />
a. Lembaga yang ada bila diperlukan.<br />
b. Bagaimana cara mendapatkan suplay dan peralatan ( sistem drain, kursih tempat toilet, kasa protektif, tempat tidur khusus ).<br />
c. Diaman dan bila harus mencari pertolongan bila timbul masalah.<br />
6) Perencanaan pengobatan kesinambungan<br />
3. Implementasi<br />
Tujuan : <br />
• Membantu meraih terapi<br />
• Pengendalian inkontinen urine<br />
Pengendalian inkontinen urine sebagian besar tergantung pada penyebabnya. Usaha – usaha terdiri dari pengobatan, program latihan ulang kandung kemih, prosedur bedah atau pemakaian alat drainase interna atau eksterna.<br />
Disfungsi Sfinkter<br />
Bila sfinkter eksterna pernah rusak orang akan menderita inkontinen pada terjadi adanya desakan diluar kesadaran. Sfinkter, akan terjadi perasaan akut berkemih. Bila demikian masalahnya bukan inkontinen tapi retensi. Untuk menjamin keteraturan berkemih diperlukan jadwal. Bila kedua sfinkter rusak akan terjadi inkontinen yang total.<br />
Inkontinen Stress<br />
Inkontinen urine yang terjadi sewaktu batuk, waktu terjadi adanya tarikan atau mengangkat yang berat disebut inkontinen stres.<br />
Terapi Konservatif<br />
Latihan Perineum dapat menolong pada inkontinen stres rinagn. Latihan terdiri dari mengencangkan dan mengendurkan perineum dan otot glitimus dan dapat dilakukan dalam berbagai cara, yaitu :<br />
a. Kencangkan otot perineum seperti mencegah berkemih ( dalam hitungan 10, kemudian kendurkan ).<br />
b. Tarik nafas<br />
c. Berjongkok seperti akan BAB kendurkan otot perineum<br />
d. Letakkan sebuah pensil di antara lipatan pantat dan perineum<br />
e. Duduk pada toilet dengan dengkul direntangkan kesamping.<br />
Bedah <br />
Bedah dapat dilakukan pada Inkontinen Stres yang gawat. Vesicourethropexy ( operasi marshall marchetti. Krantz ) yang terdiri dari fikasasi uretra kepada fascia musculus rectus abdomialis dengan tahanan kepada leher dari kendung kemih.<br />
Prosedur bedah yang lebih metakhir yang kurang invasif adalah prosedur stamey. Sebagian leher kandung kemih melalui jahitan sambungan kesambungan urethrovesicalis.<br />
<br />
<br />
Inkontinen mendesak<br />
Inkontinen mendesak disebabkan oleh infeksi saluran kemih kumrahnya temporer,memberi respon terhadap pengobatan antibiotik sistemik. Akibat specifik dari infeksi misalnya : infeksi harus diidentifikasi dan dikoreksi bila masih mungkin.<br />
Disfungsi kandung kencing neurogenik<br />
Oarng yang cedera sum – sum belakang mengalami periode transitori ” syok spinal ” dimana terjadi retensi urine. Ditolong dengan katerisasi kontinue atau intermiten yang tujuannya mencegah infeksi saluran kemih dan distensi kandung kemih yang berlebihan.<br />
Drainase urine pada inkontinen<br />
Dalier kateter sesungguhnya menghadirkan bahaya yang potensial seperti infeksi saluran kemih, urethiritis, epididymis, fistula uretra.<br />
Membantu kenyamanan dan aktivitas kebutuhan sehari – hari<br />
Orang yang mengalami inkontinen sewaktu – waktu bisa mengendalikan kandung kemih. Perawat hendaknya segera memberi respon bila diminta bantuan untuk ke toilet dan pasien juga harus dihimbau untuk membatasai intake cairan 2 sampai 3 jam sebelum waktu tidur.<br />
Latihan kembali kandung kemih<br />
a. Menetukan pia waktu biasanya orang berkemih<br />
b. Merencanakan waktu toilet berjadwal berdasarkan pola dari pasien, bantu pasien seperlunya.<br />
c. Rencana ke toilet 1 sampai 2 jam sekali<br />
d. Mengusahakan agar pasien berposisi normal pada waktu ke toilet<br />
e. Mengusahakan agar pasien mengosongkan kandung kencing sesempurna mungkin.<br />
f. Mengusahakan agar intake cairan 3000 ml perhari demi memenuhi volume urine yang adekuat.<br />
g. Membuat jadwal agar cairan diminum<br />
4. Evaluasi<br />
a) Drainase urine yang adekuat harus dipertahankan.<br />
b) Pasien menyadari terdapatnya sumber profesional dan sumber di masyarakat.<br />
c) Pasien dapat menjelaskan kebutuhan alat yang diperlukan<br />
d) Kulit pasien bebas dari ekskoriasi<br />
e) Pasien dapat menguraikan rencana perawatan selanjutnya<br />
f) Pasien dapat menguraikan program latihan kembali dari kandung kemih.<br />
5. Pengkajian <br />
Data Objektif<br />
Pertanyaan berikut diajukan bila melakukan pengkajian yang inkontinen :<br />
• Apakah terjadi ketidakmampuan total untuk pengendalian berkemih ?<br />
• Berapakah fungsi Inkontinen ?<br />
• Apakah ada sesuatu yang mendahului inkontinen ( stres, ketakuatan tertawa, gerakan ) ?<br />
• Apakah disertai atau terbakar pada waktu inkontinen ?<br />
• Apakah terjadi tetesan air kemih ?<br />
Data Subjektif<br />
Data – data objektif yang penting diketahui adalah :<br />
• Volume output.<br />
• Karakteristik dari urine.<br />
• Palpasi vesica urinaria untuk mengetahui adanya residu air kemih.<br />
• Tingkat kesadaran pasien untuk menjalin kerjasama.<br />
• Kemampuan pasien untuk mengikuti petunjuk – petunjuk.<br />
• Apakah terdapat sebab fisiologi pada inkontinen ( contoh, cedera sum – sum belakang ).<br />
I. Kesimpulan<br />
Inkontinensia urin adalah eliminasi urin dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan.<br />
Jenis – jenis Inkontinensia urine :<br />
• Inkontinensia akibat stress<br />
• Urge Inkontinensia<br />
• Overflow inkontinensia<br />
• Bentuk – bentuk Inkontinensia urin campuran<br />
• Inkontinensia fungsional<br />
Faktor Penyebab :<br />
• Usia<br />
• Jenis Kelamin<br />
• Jumlah persalinan pervagina ( pada wanita )<br />
• Infeksi saluran kemih<br />
• Menopause<br />
• Pembedahan urogenital<br />
• Penggunaan obat<br />
<br />
<br />
J. Daftar Pustaka<br />
1. Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2. Jakarta: EGC.<br />
2. E. long, Barbara. Keperawatan Medikal Bedah 3.<br />
3. Moore, keith L, Anatomi Klinis Dasar, Hipokrates, Jakarta. 2002.crazy boy'shttp://www.blogger.com/profile/10427640188054710037noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2500718933329494943.post-7313189016783548672010-07-06T14:48:00.003+07:002010-07-06T14:48:29.793+07:00kanker NasofaringPENDAHULUAN<br />
<br />
Penyebab pasti terjadinya kanker belum diketahui, namun terjadinya kanker dipengaruhi oleh berbagai faktor sehingga disebut sebagai “multifaktorial karsinogenesis” yang proses terjadinya bertahap “multistep karsinogenesis”. Permukaan mukosa dari traktus respiratoris bagian atas, paru-paru dan esofagus dapat terpapar berulang-ulang dengan karsinogen yang sama misalnya tembakau dan alkohol. Tumorigenesis atau karsinogenesis pada traktus aerodigestive dipercaya sebagai proses multistep dimulai oleh kerusakan genetik akibat pemaparan karsinogen yang kontinue.<br />
Perubahan genetik yang spesifik berupa aktivasi onkogen (misalnya Cyclin D1), inaktivasi atau mutasi dari tumor suppressor gen (misalnya p53) dan amplifikasi dari faktor pertumbuhan dan reseptornya. Perubahan-perubahan gen spesifik ini akan berakibat perubahan fenotipe dari diferensiasi atau proliferasi atau keduanya. Tumor suppresor gen p53 berlokasi pada kromosom 17 merupakan gen yang sangat lengkap diamati pada neoplasia kepala dan leher serta kanker lain. Mutasi dan over ekspresi dari p53 terjadi pada 40-60% penderita kanker dan berhubungan dengan prognosis yang jelek dimana penderita mengalami Rekurensi yang lebih cepat. Di samping itu dengan melakukan pemeriksaan mutasi gen pada tumor margin penderita maka, dapat mengidentifikasi adanya rekurensi lokal tumor, sehingga pemberian ajuvan terapi bisa dilakukan. Telah diketahui pada 37% orang yang merokok mengalami mutasi dan bila disertai dengan alkohol meningkat menjadi 58%. Lesi neoplastik yang multipel dapat muncul dan menjadi progresif pada penderita yang sama secara simultan atau sekuensial dalam suatu proses yang disebut field cancerization.<br />
Metachronous second primary tumor berkembang pada 4-7% umumnya adalah skuamous sel dapat terjadi pada daerah yang terpapar karsinogen traktus aerodigestive. (47,98%), hidung dan sinus paranasalis 114 kasus (19,96%), tonsil 59 kasus (10,33%), laring 43 (7,72%) dan rongga mulut 40 kasus (7%) sedangkan tumor-tumor yang lain mempunyai frekuensi yang lebih jarang. Dari tahun ke tahun tampak ada peningkatan dari kasus-kasus kanker kepala dan leher. Insiden meningkat sesuai dengan umur, umumnya terjadi pada usia di atas 50 tahun, dengan ratio antara laki-laki dan perempuan 4-5:1. Namun dengan meningkatnya kebiasaan merokok pada wanita maka ratio ini menurun menjadi 3:1 sejak 5-10 tahun lalu.<br />
Selain itu alkohol juga mempunyai pengaruh yang sama dan berpotensi lebih cepat pada mereka yang merokok. Kebiasaan merokok dan minum alkohol ditemukan pada 80% penderita kanker kepala leher dan menempatkan mereka 15 kali lebih besar ke resiko kanker dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok dan minum alkohol. Pemakaian smokeless tobacco sangat berhubungan dengan lesi premalignan pada kavum oris seperti hiperkeratosis, displasia epitel. Faktor diet tampaknya memegang peran penting terhadap risiko kanker oral dan faringeal. Sejumlah studi epidemiologi menunjukkan resiko yang meningkat pada mereka dengan diet nutrien yang tidak mencukupi seperti defisiensi vitamin B, riboflavin, vitamin C. Karsinogen berupa debu kayu, penyamakan kulit, nikel, radium, toratrasi dan gas mustard berperan pada kanker hidung dan sinus paranasalis.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
BAB I<br />
KANKER NASOFARING<br />
<br />
Kanker nasofaring sering tidak tampak pada fase awal. Pasien sering muncul dalam keadaan penyakit fase klanjut dengan keluhan hilangnya rasa nyeri, penbesaran nodus limfa pada leher, obstruksi nasal unilateral, epistaksis, pendarahan nasal yag tidak sembuh-sembuh, penurunan fungsi pendengaran pada salah satu telinga, tinitus, otitis media unilateral, yang terus kambuh, penurunan fungsi saraf kranial yang mungkin dapat mengakibatkan pandanangan ganda, nyeri pada tenggorokan, dan nyeri nyeri kepala terlikalisasi memburuk. Kanker kecil dari nasofaring, meskipun tidak sering muncul dapat disembuhkan melalui Radioterapi dengan rata-rata bertahan hidup 5 tahun sekitar 80 - 90%.<br />
Lesi sedang dengan fase lanjut tanpa ada bukti-bukti klinis adanya penyebaran ke daerah nodus limfa servikal sering dapat disembuhkan dengan angka bertahan hidup 5 tahun sekitar 50 - 70%. Pasien dengan fase lanjut dapat diatasi dengan Radioterapi dengan hasil yang sangat buruk, dengan atau tanpa pembedahan dan sering menjadi bermetastase selain dari kontrol setempat. Radioterapi dosis tinggi dengan batang Radioaktif eksternal merupakan penatalaksaan pilihan untuk tumor primer pada kepala dan leher. Pembedahan biasanya disiapkan untuk nodus-nodus yang gagal untuk perbaikan setelah terapi radiasi atau unutk paliatif jiak nodus-nodus tersebut terlihat kembali menyertai respon klinik secara keseluruhan. Beberapa tumor mungkin lebih menguntungkan denganterapi Radiaktif intrakavitas atau Implantasi interstisal.<br />
Menurut Dr. Budianto Komari, Sp.THT, spesialis onkologi THT di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta, konsumsi ikan asin secara terus-menerus dalam dalam jumlah banyak dan dalam jangka waktu lama, rupanya bisa menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya kanker nasofaring. Peringatan itu mengemuka dalam seminar yang rutin diselenggarakan oleh RS Dharmais, Selasa pekan lalu. Dalam seminar bertajuk Kanker Nasofaring, Diagnosis dan Pengobatan, Dr. Budianto mengungkapkan bahwa ikan asin merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus Epstein-Barr sehingga menimbulkan kanker nasofaring. <br />
Nasofaring adalah daerah tersembunyi yang terletak di belakang hidung berbentuk kubus. Bagian depan nasofaring berbatasan dengan rongga hidung, bagian atas berbatasan dengan dasar tengkorak, serta bagian bawah merupakan langit-langit dan rongga mulut. Virus Epstein-Barr adalah virus yang berperan penting dalam timbulnya kanker nasofaring. Virus yang hidup bebas di udara ini bisa masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di nasofaring tanpa menimbulkan gejala. Dikatakan, nitrosamin yang merupakan salah satu metabolisme dalam ikan asin merupakan mediator dari virus Epstein-Barr tersebut. Sebenarnya bukan hanya ikan asin, makanan yang mengandung protein dan diawetkan juga bisa menjadi mediator. Namun, sejauh ini ikan asin yang lebih banyak diteliti. "Angka kejadian kanker nasofaring memang cukup tinggi pada golongan nelayan tradisional di Hong Kong yang mengonsumsi ikan asin," kata Dr Budianto. Selain ikan asin, mediator lain yang juga bisa ikut menimbulkan kanker nasofaring adalah lingkungan dengan ventilasi yang kurang baik, pembakaran dupa, kontak dengan zat karsinogen seperti pada pekerja pabrik bahan kimia, ras, dan keturunan, serta radang kronis nasofaring. Ras mongoloid, disebut Dr. Budianto, merupakan faktor dominan untuk timbulnya kanker tersebut. <br />
<br />
Kanker nasofaring, yang lebih banyak ditemui pada laki-laki, merupakan tumor ganas. Kanker nasofaring merupakan tumor ganas pada daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Sekitar 70 persen dari benjolan di leher bagian atas adalah kanker nasofaring. Berdasarkan data laboratorium patologi anatomi, tumor ganas nasofaring menduduki peringkat keempat dari seluruh keganasan setelah kanker rahim, payudara dan kulit. Sayangnya, sekitar 60-95 persen penderita kanker nasofaring datang pada stadium III-IV. Bila hal ini terjadi, terapi radiasi sebagai treatment of choice akan lebih baik jika dikombinasi dengan kemoterapi. <br />
Gejala kanker nasofaring biasanya tergantung pada derajat penyebaran dan lokasi tumbuhnya tumor. Gejala yang sering ditemukan adalah pembesaran kelenjar di bagian leher. Gejala tidak khas seperti hidung tersumbat, ingus, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, kelumpuhan pada otot mata, penglihatan ganda, kelumpuhan otot lidah juga merupakan gejala yang ditemui pada penderita kanker nasofaring. <br />
Bila hasil uji klinis dan biopsi menunjukkan hasil positif, pasien harus diterapi. Sebenarnya penanda tumor sudah bisa dilakukan. Caranya, dengan melakukan pemeriksaan imunoglobulin A (IgA), anti-Early Antigen (anti-EA) dan anti- Viral Caption Antigen (anti-VGA). Meski sudah ada penanda tumor, uji klinis dan biopsi tetap harus dilakukan untuk memastikan hasilnya.<br />
A. SERANG EPITEL MUKOSA<br />
Nasofaring merupakan daerah tersembunyi, terletak di belakang hidung, berbentuk kubus. Daerah ini sulit dilihat dan dirasakan sehingga secara klinis disebut sebagai daerah gelap di pertengahan dasar tengkorak. Bagian depan nasofaring berbatasan dengan rongga hidung, bagian atas berbatasan dengan dasar tengkorak, dan bagian bawah merupakan langit-langit dan rongga mulut.<br />
''Nasofaring dilapisi epitel skuamosa berbentuk gepeng. Kanker itu menyerang lapisan tersebut,'' ujar Dr Budianto Komari SpTHT, ahli onkologi THT RS Kanker Dharmais (RSKD) Jakarta. Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kanker nasofaring dibagi menjadi tiga kategori. Karsinoma (kanker) nasofaring tipe-1 yaitu karsinoma sel skuamosa dengan keratin (berlapisan tanduk), tipe-2 yang tak ada keratin, dan tipe-3 yang tanpa deferensiasi. Dari ketiga kategori tersebut, Budianto menilai, hanya kategori ke-2 dan ke-3 yang bersifat radiosensitif. Infeksi virus Epstein-Barr berperan penting dalam timbulnya kanker nasofaring. Virus dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di nasofaring tanpa menimbulkan gejala. Untuk mengaktifkan virus ini, dibutuhkan suatu mediator. <br />
A. Penyebab <br />
Ada beberapa faktor yang dianggap berpengaruh menjadi mediator untuk timbulnya kanker nasofaring. Antara lain ikan asin, sosial, lingkungan, kebiasaan hidup, adanya zat karsinogen, ras atau keturunan, serta seringnya terkena radang nasofaring. ''Ikan asin mengandung protein. Nitrosamin adalah salah satu metabolisme dari ikan asin, juga terdapat pada makanan yang diawetkan dan kacang tanah yang terasa pahit. Zat itulah yang memicu kanker nasofaring,'' sambung Budianto. <br />
Kebiasaan mengonsumsi ikan asin dalam jangka waktu lama secara terus menerus, sejak anak-anak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus Epstein-Barr. Penelitian internasional di Hongkong menyebutkan bahwa ikan asin adalah makanan yang popular di Cina Selatan dan merupakan faktor penyebab timbulnya kanker nasofaring. Teori ini didasarkan pada tingginya angka kejadian penyakit ini pada golongan nelayan tradisional di Hongkong. Mereka mengonsumsi ikan asin dalam jumlah besar, dan kurang konsumsi vitamin, buah, dan sayuran segar. <br />
Penelitian lain memperlihatkan, udara yang penuh asap di rumah-rumah dengan ventilasi yang kurang baik di Cina, Indonesia, dan Kenya, juga meningkatkan kejadian kanker ini. Pembakaran dupa di rumah-rumah juga dianggap berperan dalam menimbulkan kanker nasofaring di Hongkong. Kejadian tertinggi di dunia ternyata pada ras Cina, baik di daerah asal maupun perantauan. Ras Melayu termasuk yang terkena dalam jumlah agak banyak.<br />
C. Gejala Kanker Nasofaring<br />
Gejala yang timbul berhubungan erat dengan lokasi tumor di nasofaring dan derajat penyebarannya, yaitu:<br />
1. Pembesaran kelenjar leher. Gejala ini paling sering ditemukan. Pembesaran ini teraba keras dan tak nyeri.<br />
2. Gejala di hidung dapat merupakan gejala dini dari kanker ini. Tetapi, gejala ini tidak khas. Seperti hidung tersumbat, pilek dengan ingus yang kental, mimisan ringan yang kadang bercampur ingus sehingga berwarna merah jambu, atau terdapat garis-garis halus. <br />
3. Gejala di telinga berupa gangguan pendengaran, rasa penuh di telinga, seperti ada cairan, suara berdenging. Gejala ini merupakan gejala dini dan harus merupakan perhatian apabila gejalanya menetap atau sering hilang-timbul tanpa penyebab yang jelas. <br />
4. Gejala pada saraf timbul akibat perluasan kanker ke otak. Gejala ini berupa gangguan penglihatan, kelumpuhan otot-otot mata seperti mata juling dan penglihatan ganda. Dapat pula menimbulkan rasa kebas pada separuh wajah atau nyeri kepala. Selain itu, dapat berupa gangguan menelan dan kelumpuhan otot lidah. Jika gejala ini timbul, maka merupakan gejala lanjut. <br />
5. Gejala akibat penyebaran jauh. Sel-sel kanker dapat menyebar melalui aliran darah limfa. Organ yang sering terkena adalah tulang, paru, dan hati. Ini merupakan stadium lanjut. <br />
<br />
<br />
D. Pengobatan Kanker Nasofaring<br />
Kanker nasofaring tidak menimbulkan gejala khas. Kebanyakan pasien datang berobat setelah kanker berada pada stadium lanjut. Terapi dilakukan dengan kemoterapi dan radiasi. Karena, walaupun disebabkan oleh virus, terapi antiviral memberikan hasil tidak memuaskan.<br />
Masyarakat awam mungkin lebih banyak mengenal jenis penyakit kanker payudara, kanker rahim, kanker paru, dan kanker hati. Namun, kanker nasofaring belum banyak yang mendengar atau mengetahuinya. Padahal, kanker jenis ini termasuk agresif menyerang masyarakat. Kanker nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 70 persen tumor ganas kepala dan leher merupakan kanker nasofaring. Dari data laboratorium patologi anatomi, tumor ganas nasofaring menduduki peringkat ke-4 dari seluruh keganasan setelah kanker rahim, payudara, dan kulit. <br />
Meski kanker nasofaring sering dijumpai, masih belum banyak masyarakat memahaminya. Penyakit ini merupakan tantangan bagi dokter telinga hidung tenggorokan (THT) untuk mendapatkan kasus ini pada stadium dini. Ini karena gejala dini kanker nasofaring yang tidak khas sehingga sering tidak disadari oleh penderita. Pada umumnya ras mongoloid merupakan faktor dominan menjadi penyebab timbulnya kanker nasofaring. Sehingga, kejadian kasus ini pada penduduk Cina bagian Selatan, Hongkong, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia cukup tinggi.<br />
Kondisi ganas ini sangat jarang ditemukan di dataran Eropa dan Amerika Utara, yaitu dengan angka kejadian kurang dari satu dari antara 100 ribu orang penduduk. Sebaliknya di Cina bagian Selatan, tercatat sebesar 40-50 kasus dari 100 ribu orang penduduk. Kanker nasofaring lebih sering ditemukan pada pria daripada perempuan dengan angka 2,18 dibanding banding satu. Sebanyak 60 persen ditemukan antara usia 25-60 tahun. Pada kasus lanjut kanker ini menyebar hingga ke paru, hati, dan organ lainnya. Kebanyakan, yakni 60-95 persen, penderita kanker nasofaring datang berobat pada stadium lanjut (III-IV). Di Indonesia kejadian kanker nasofaring hampir merata di setiap daerah. Di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Kanker Dharmais Jakarta terdapat 60 kasus, dan RS Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus setahunnya. Di Makassar terdapat 25 kasus, Denpasar ada 15 kasus, dan Padang sebanyak 11 kasus.<br />
E. Terapi<br />
Terapi diberikan sesuai dengan kondisi penyakitnya. Diagnosis dapat dilakukan dengan biopsi nasofaring lewat anestesi lokal dan alat endoskop dari rongga hidung. Umumnya pengobatan untuk kanker nasofaring adalah radioterapi. Namun, bila kankernya sudah menyebar ke organ lain, terapi radiasi yang diberikan terbatas. Maka, di sini perlu dikombinasikan dengan kemoterapi. Kemoterapi diberikan untuk menghambat penyebaran kanker ke kelenjar getah bening leher dan kasus lainnya. <br />
Biasanya pengobatan pada stadium I dan II dilakukan dengan radiasi (stadium II dikombinasikan kemoterapi). Sedangkan, pada stadium III dan IV pasien harus menjalani kemoterapi. Berdasarkan angka ketahanan hidup (dalam jangka waktu 5 tahun) untuk stadium I-II adalah 76 persen. Untuk stadium lanjut kurang dari 40 persen. <br />
Penelitian yang dilakukan Soetjipto pada 1989 di RSCM mendapatkan, sebanyak 50 persen penderita kanker nasofaring stadium lanjut meninggal dalam tahun pertama setelah radiasi. Sementara itu, penelitian Soesworo pada 1990 di tempat yang sama menunjukkan hasil pengobatan radiasi pada kanker ini selama satu tahun. Yaitu, angka ketahanan hidup untuk stadium I sebesar 100 persen, stadium II sebesar 86,73 persen, stadium III sebesar 71,67 persen, dan stadium IV sebsar 41,60 persen.<br />
Meski kanker nasofaring lebih banyak disebabkan virus, menurut Budianto, pemberian terapi antiviral (antivirus) memberikan hasil yang tidak memuaskan. Jadi, kemoterapi tak perlu dicampur dengan penggunaan antiviral. Makanan terus diberikan untuk mempertahankan kondisi dan meningkatkan imunitas. Selain pengobatan tadi, saat ini terapi sering menggunakan Cisplatin dan 5 Fluorouracil (FU) yang khusus untuk antikanker nasofaring. Pemberiannya dilakukan sebanyak enam seri tiap tiga minggu. Setiap satu seri diikuti dengan pemeriksaan dan evaluasi. ''Terapi ini memiliki efek samping minimal.Terapi tersebut kini dipakai hampir diseluruh dunia untuk kanker nasofaring,'' kata Budianto.<br />
<br />
<br />
BAB II<br />
KANKER LARING<br />
Kanker Laring adalah keganasan pada pita suara, kotak suara (laring) atau daerah lainnya di tenggorokan. Kanker laring lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita dengan sekitar 12.300 kasus baru terdiagnosis setiap tahunnya di Amerika Serikat. Tanda dan gejala umum saat didiagnosis adalah nyeri atau sakit tenggorokan, nyeri saat menelan, nyeri menyebar ke telinga, perubahan kwalitas suara atau pembesaran nodus limfa. Prognosis untuk kanker-kanker yang kecil tanpa penyebaran pada nodus limfa adalah sangat baik dengan rata-rata kesembuhansejitar 75 – 95 %. Lesi lanjut langsung terutama dengan keterlibatan nodus limfa secara klinis dapat dikonrol dengan sangat buruk dengan pembedahan , terapi Radiasi atau kombiansi dari modalitas pengobatab yang ada. Mestastase jauh umum juga dengan kontrol lokal dari penyakit tersebut. Kemampuan bertahan hidup saat ini sekitar 50 – 80 %. Insiden tumor multi primer adalah 5 – 10 %. Kanker permukaan kecil dengan cukup berhasil ditangani dengan terapi Radiasi atau pembedahan meliputi pembedahan eksisi laser. Kanker laring lanjut, dengan fiksasi laring atau terkenannya nodus limfa sering kali ditangani dengan kombinasi pembedahan dan terapi radiasi. Karena rendahnya rata-rata kesembuhan dari lesi lanjut, penelitian klinik yang mengeksploritasi Kemoterapi, terapi radiasi, terapi sensitiser, atau radioterapi partikel-partikel batang harus dipertimbangkan. Tinjauan literatur sekarang ini menyatakan bahwa panjangnya waktu pemberian Radioterapi menghasilkan kontrol yang buruk dan harus dihindari. Begitu juga, bagi pasien yang merokok selama terapi radiasi tampaknya mempunyai respon yang rata – rata yang lebih rendah dan kemampuan bertahan hidup yang bertahan singkat daripada orang yang tidak merokok. Karena itu pasien harus diberikan konseling untuk berhenti merokok sebelum terapi dimulai.<br />
A PENYEBAB<br />
Kanker laring lebih banyak ditemukan pada pria dan berhubungan dengan rokok serta pemakaian alkohol.<br />
<br />
B. GEJALA<br />
Kanker laring biasanya berasal dari pita suara, menyebabkan suara serak. <br />
Seseorang yang mengalami serak selama lebih dari 2 minggu sebaiknya segera memeriksakan diri. Kanker bagian laring lainnya menyebabkan nyeri dan kesulitan menelan. Kadang sebuah benjolan di leher yang merupakan penyebaran kanker ke kelenjar getah bening, muncul terlebih dulu sebelum gejala lainnya timbul.<br />
Gejala lainnya yang mungkin terjadi adalah:<br />
Nyeri tenggorokan<br />
Nyeri leher<br />
Penurunan berat badan<br />
Batuk<br />
Batuk berdarah<br />
Bunyi pernafasan yang abnormal<br />
C. DIAGNOSA<br />
Untuk menegakkan diagnosis dilakukan pemeriksan laringoskop dan biopsi. CT scan dan MRI kepala atau leher juga bisa menunjukkan adanya kanker laring.<br />
D. PENGOBATAN<br />
Pengobatan tergantung kepada lokasi kanker di dalam laring. <br />
Kanker stadium awal diatasi dengan pembedahan atau terapi penyinaran. Jika menyerang pita suara, lebih sering dilakukan terapi penyinaran karena bisa mempertahankan suara yang normal. Kanker stadium lanjut biasanya diatasi dengan pembedahan, yang bisa meliputi pengangkatan seluruh bagian laring (laringektomi total atau parsial), diikuti dengan terapi penyinaran. Pengangkatan seluruh pita suara menyebabkan penderita tidak memiliki suara.<br />
Suara yang baru dibuat dengan salah satu dari cara berikut:<br />
1. Esophageal speech, penderita diajari untuk membawa udara ke dalam kerongkongan ketika bernafas dan secara perlahan menghembuskannya untuk menghasilkan suara. <br />
2. Fistula trakeoesofageal, merupakan katup satu arah yang dimasukkan diantara trakea dan kerongkongan. Katup ini mendorong udara ke dalam kerongkongan ketika penderita bernafas, sehingga menghasilkan suara. Jika katup mengalami kelainan fungsi, cairan dan makanan bisa secara tidak sengaja masuk ke dalam trakea. <br />
3. Elektrolaring adalah suatu alat yang bertindak sebagai sumber suara dan dipasang di leher. <br />
Suara yang dihasilkan oleh ketiga cara tersebut dirubah menjadi percakapan dengan menggunakan mulut, hidung, gigi, lidah dan bibir. Suara yang dihasilkan lebih lemah dibandingkan suara normal.<br />
E. PENCEGAHAN<br />
Kurangi atau hindari rokok dan alkohol.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Krause CJ. Presidential address, head and neck. In: Fee, Goepert, John,<br />
editors. American Society for Head and Neck Surgery; 1990.p.1-3<br />
2. Rodriguez-Monge EJ, Shin DM, Lippman SM. A comprehensive review<br />
head and neck cancer. Medical Oncology 1997<br />
3. Soegeng SM, Willy S, Dyah F. Aspek patologi tumor THT-Kepala.<br />
Perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan tumor ganas THT-KL. In: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan. Surabaya:<br />
FK UNAIR; 2002.p.8-36<br />
4. Forastiere A, Koch W, Trotti A, et al. Head and Neck Cancer. NEJM 2001;<br />
345:1890-900<br />
5. Kuhuwael FG, Didit S. Aspek klinis karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Umum Dadi dan Rumah Sakit Umum Dr Wahidin tahun 1990-1999. Pertemuan Ilmiah Berkala XV. Fakultas Kedokteran UNHAS; 2001<br />
6. Masrin M. Keganasan dibidang telinga hidung tenggorok. In: Buku Ajar<br />
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok FKUI. 4th ed; 2000.<br />
p.135-41<br />
7. Masrin M. Keganasan dibidang telinga hidung tenggorok. In: Buku Ajar<br />
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok FKUI. 4th ed; 2000.<br />
p.135-41.crazy boy'shttp://www.blogger.com/profile/10427640188054710037noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2500718933329494943.post-6379184751671491922010-07-06T14:48:00.001+07:002010-07-06T14:48:03.829+07:00PENDAHULUAN<br />
<br />
Penyebab pasti terjadinya kanker belum diketahui, namun terjadinya kanker dipengaruhi oleh berbagai faktor sehingga disebut sebagai “multifaktorial karsinogenesis” yang proses terjadinya bertahap “multistep karsinogenesis”. Permukaan mukosa dari traktus respiratoris bagian atas, paru-paru dan esofagus dapat terpapar berulang-ulang dengan karsinogen yang sama misalnya tembakau dan alkohol. Tumorigenesis atau karsinogenesis pada traktus aerodigestive dipercaya sebagai proses multistep dimulai oleh kerusakan genetik akibat pemaparan karsinogen yang kontinue.<br />
Perubahan genetik yang spesifik berupa aktivasi onkogen (misalnya Cyclin D1), inaktivasi atau mutasi dari tumor suppressor gen (misalnya p53) dan amplifikasi dari faktor pertumbuhan dan reseptornya. Perubahan-perubahan gen spesifik ini akan berakibat perubahan fenotipe dari diferensiasi atau proliferasi atau keduanya. Tumor suppresor gen p53 berlokasi pada kromosom 17 merupakan gen yang sangat lengkap diamati pada neoplasia kepala dan leher serta kanker lain. Mutasi dan over ekspresi dari p53 terjadi pada 40-60% penderita kanker dan berhubungan dengan prognosis yang jelek dimana penderita mengalami Rekurensi yang lebih cepat. Di samping itu dengan melakukan pemeriksaan mutasi gen pada tumor margin penderita maka, dapat mengidentifikasi adanya rekurensi lokal tumor, sehingga pemberian ajuvan terapi bisa dilakukan. Telah diketahui pada 37% orang yang merokok mengalami mutasi dan bila disertai dengan alkohol meningkat menjadi 58%. Lesi neoplastik yang multipel dapat muncul dan menjadi progresif pada penderita yang sama secara simultan atau sekuensial dalam suatu proses yang disebut field cancerization.<br />
Metachronous second primary tumor berkembang pada 4-7% umumnya adalah skuamous sel dapat terjadi pada daerah yang terpapar karsinogen traktus aerodigestive. (47,98%), hidung dan sinus paranasalis 114 kasus (19,96%), tonsil 59 kasus (10,33%), laring 43 (7,72%) dan rongga mulut 40 kasus (7%) sedangkan tumor-tumor yang lain mempunyai frekuensi yang lebih jarang. Dari tahun ke tahun tampak ada peningkatan dari kasus-kasus kanker kepala dan leher. Insiden meningkat sesuai dengan umur, umumnya terjadi pada usia di atas 50 tahun, dengan ratio antara laki-laki dan perempuan 4-5:1. Namun dengan meningkatnya kebiasaan merokok pada wanita maka ratio ini menurun menjadi 3:1 sejak 5-10 tahun lalu.<br />
Selain itu alkohol juga mempunyai pengaruh yang sama dan berpotensi lebih cepat pada mereka yang merokok. Kebiasaan merokok dan minum alkohol ditemukan pada 80% penderita kanker kepala leher dan menempatkan mereka 15 kali lebih besar ke resiko kanker dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok dan minum alkohol. Pemakaian smokeless tobacco sangat berhubungan dengan lesi premalignan pada kavum oris seperti hiperkeratosis, displasia epitel. Faktor diet tampaknya memegang peran penting terhadap risiko kanker oral dan faringeal. Sejumlah studi epidemiologi menunjukkan resiko yang meningkat pada mereka dengan diet nutrien yang tidak mencukupi seperti defisiensi vitamin B, riboflavin, vitamin C. Karsinogen berupa debu kayu, penyamakan kulit, nikel, radium, toratrasi dan gas mustard berperan pada kanker hidung dan sinus paranasalis.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
BAB I<br />
KANKER NASOFARING<br />
<br />
Kanker nasofaring sering tidak tampak pada fase awal. Pasien sering muncul dalam keadaan penyakit fase klanjut dengan keluhan hilangnya rasa nyeri, penbesaran nodus limfa pada leher, obstruksi nasal unilateral, epistaksis, pendarahan nasal yag tidak sembuh-sembuh, penurunan fungsi pendengaran pada salah satu telinga, tinitus, otitis media unilateral, yang terus kambuh, penurunan fungsi saraf kranial yang mungkin dapat mengakibatkan pandanangan ganda, nyeri pada tenggorokan, dan nyeri nyeri kepala terlikalisasi memburuk. Kanker kecil dari nasofaring, meskipun tidak sering muncul dapat disembuhkan melalui Radioterapi dengan rata-rata bertahan hidup 5 tahun sekitar 80 - 90%.<br />
Lesi sedang dengan fase lanjut tanpa ada bukti-bukti klinis adanya penyebaran ke daerah nodus limfa servikal sering dapat disembuhkan dengan angka bertahan hidup 5 tahun sekitar 50 - 70%. Pasien dengan fase lanjut dapat diatasi dengan Radioterapi dengan hasil yang sangat buruk, dengan atau tanpa pembedahan dan sering menjadi bermetastase selain dari kontrol setempat. Radioterapi dosis tinggi dengan batang Radioaktif eksternal merupakan penatalaksaan pilihan untuk tumor primer pada kepala dan leher. Pembedahan biasanya disiapkan untuk nodus-nodus yang gagal untuk perbaikan setelah terapi radiasi atau unutk paliatif jiak nodus-nodus tersebut terlihat kembali menyertai respon klinik secara keseluruhan. Beberapa tumor mungkin lebih menguntungkan denganterapi Radiaktif intrakavitas atau Implantasi interstisal.<br />
Menurut Dr. Budianto Komari, Sp.THT, spesialis onkologi THT di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta, konsumsi ikan asin secara terus-menerus dalam dalam jumlah banyak dan dalam jangka waktu lama, rupanya bisa menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya kanker nasofaring. Peringatan itu mengemuka dalam seminar yang rutin diselenggarakan oleh RS Dharmais, Selasa pekan lalu. Dalam seminar bertajuk Kanker Nasofaring, Diagnosis dan Pengobatan, Dr. Budianto mengungkapkan bahwa ikan asin merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus Epstein-Barr sehingga menimbulkan kanker nasofaring. <br />
Nasofaring adalah daerah tersembunyi yang terletak di belakang hidung berbentuk kubus. Bagian depan nasofaring berbatasan dengan rongga hidung, bagian atas berbatasan dengan dasar tengkorak, serta bagian bawah merupakan langit-langit dan rongga mulut. Virus Epstein-Barr adalah virus yang berperan penting dalam timbulnya kanker nasofaring. Virus yang hidup bebas di udara ini bisa masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di nasofaring tanpa menimbulkan gejala. Dikatakan, nitrosamin yang merupakan salah satu metabolisme dalam ikan asin merupakan mediator dari virus Epstein-Barr tersebut. Sebenarnya bukan hanya ikan asin, makanan yang mengandung protein dan diawetkan juga bisa menjadi mediator. Namun, sejauh ini ikan asin yang lebih banyak diteliti. "Angka kejadian kanker nasofaring memang cukup tinggi pada golongan nelayan tradisional di Hong Kong yang mengonsumsi ikan asin," kata Dr Budianto. Selain ikan asin, mediator lain yang juga bisa ikut menimbulkan kanker nasofaring adalah lingkungan dengan ventilasi yang kurang baik, pembakaran dupa, kontak dengan zat karsinogen seperti pada pekerja pabrik bahan kimia, ras, dan keturunan, serta radang kronis nasofaring. Ras mongoloid, disebut Dr. Budianto, merupakan faktor dominan untuk timbulnya kanker tersebut. <br />
<br />
Kanker nasofaring, yang lebih banyak ditemui pada laki-laki, merupakan tumor ganas. Kanker nasofaring merupakan tumor ganas pada daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Sekitar 70 persen dari benjolan di leher bagian atas adalah kanker nasofaring. Berdasarkan data laboratorium patologi anatomi, tumor ganas nasofaring menduduki peringkat keempat dari seluruh keganasan setelah kanker rahim, payudara dan kulit. Sayangnya, sekitar 60-95 persen penderita kanker nasofaring datang pada stadium III-IV. Bila hal ini terjadi, terapi radiasi sebagai treatment of choice akan lebih baik jika dikombinasi dengan kemoterapi. <br />
Gejala kanker nasofaring biasanya tergantung pada derajat penyebaran dan lokasi tumbuhnya tumor. Gejala yang sering ditemukan adalah pembesaran kelenjar di bagian leher. Gejala tidak khas seperti hidung tersumbat, ingus, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, kelumpuhan pada otot mata, penglihatan ganda, kelumpuhan otot lidah juga merupakan gejala yang ditemui pada penderita kanker nasofaring. <br />
Bila hasil uji klinis dan biopsi menunjukkan hasil positif, pasien harus diterapi. Sebenarnya penanda tumor sudah bisa dilakukan. Caranya, dengan melakukan pemeriksaan imunoglobulin A (IgA), anti-Early Antigen (anti-EA) dan anti- Viral Caption Antigen (anti-VGA). Meski sudah ada penanda tumor, uji klinis dan biopsi tetap harus dilakukan untuk memastikan hasilnya.<br />
A. SERANG EPITEL MUKOSA<br />
Nasofaring merupakan daerah tersembunyi, terletak di belakang hidung, berbentuk kubus. Daerah ini sulit dilihat dan dirasakan sehingga secara klinis disebut sebagai daerah gelap di pertengahan dasar tengkorak. Bagian depan nasofaring berbatasan dengan rongga hidung, bagian atas berbatasan dengan dasar tengkorak, dan bagian bawah merupakan langit-langit dan rongga mulut.<br />
''Nasofaring dilapisi epitel skuamosa berbentuk gepeng. Kanker itu menyerang lapisan tersebut,'' ujar Dr Budianto Komari SpTHT, ahli onkologi THT RS Kanker Dharmais (RSKD) Jakarta. Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kanker nasofaring dibagi menjadi tiga kategori. Karsinoma (kanker) nasofaring tipe-1 yaitu karsinoma sel skuamosa dengan keratin (berlapisan tanduk), tipe-2 yang tak ada keratin, dan tipe-3 yang tanpa deferensiasi. Dari ketiga kategori tersebut, Budianto menilai, hanya kategori ke-2 dan ke-3 yang bersifat radiosensitif. Infeksi virus Epstein-Barr berperan penting dalam timbulnya kanker nasofaring. Virus dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di nasofaring tanpa menimbulkan gejala. Untuk mengaktifkan virus ini, dibutuhkan suatu mediator. <br />
A. Penyebab <br />
Ada beberapa faktor yang dianggap berpengaruh menjadi mediator untuk timbulnya kanker nasofaring. Antara lain ikan asin, sosial, lingkungan, kebiasaan hidup, adanya zat karsinogen, ras atau keturunan, serta seringnya terkena radang nasofaring. ''Ikan asin mengandung protein. Nitrosamin adalah salah satu metabolisme dari ikan asin, juga terdapat pada makanan yang diawetkan dan kacang tanah yang terasa pahit. Zat itulah yang memicu kanker nasofaring,'' sambung Budianto. <br />
Kebiasaan mengonsumsi ikan asin dalam jangka waktu lama secara terus menerus, sejak anak-anak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus Epstein-Barr. Penelitian internasional di Hongkong menyebutkan bahwa ikan asin adalah makanan yang popular di Cina Selatan dan merupakan faktor penyebab timbulnya kanker nasofaring. Teori ini didasarkan pada tingginya angka kejadian penyakit ini pada golongan nelayan tradisional di Hongkong. Mereka mengonsumsi ikan asin dalam jumlah besar, dan kurang konsumsi vitamin, buah, dan sayuran segar. <br />
Penelitian lain memperlihatkan, udara yang penuh asap di rumah-rumah dengan ventilasi yang kurang baik di Cina, Indonesia, dan Kenya, juga meningkatkan kejadian kanker ini. Pembakaran dupa di rumah-rumah juga dianggap berperan dalam menimbulkan kanker nasofaring di Hongkong. Kejadian tertinggi di dunia ternyata pada ras Cina, baik di daerah asal maupun perantauan. Ras Melayu termasuk yang terkena dalam jumlah agak banyak.<br />
C. Gejala Kanker Nasofaring<br />
Gejala yang timbul berhubungan erat dengan lokasi tumor di nasofaring dan derajat penyebarannya, yaitu:<br />
1. Pembesaran kelenjar leher. Gejala ini paling sering ditemukan. Pembesaran ini teraba keras dan tak nyeri.<br />
2. Gejala di hidung dapat merupakan gejala dini dari kanker ini. Tetapi, gejala ini tidak khas. Seperti hidung tersumbat, pilek dengan ingus yang kental, mimisan ringan yang kadang bercampur ingus sehingga berwarna merah jambu, atau terdapat garis-garis halus. <br />
3. Gejala di telinga berupa gangguan pendengaran, rasa penuh di telinga, seperti ada cairan, suara berdenging. Gejala ini merupakan gejala dini dan harus merupakan perhatian apabila gejalanya menetap atau sering hilang-timbul tanpa penyebab yang jelas. <br />
4. Gejala pada saraf timbul akibat perluasan kanker ke otak. Gejala ini berupa gangguan penglihatan, kelumpuhan otot-otot mata seperti mata juling dan penglihatan ganda. Dapat pula menimbulkan rasa kebas pada separuh wajah atau nyeri kepala. Selain itu, dapat berupa gangguan menelan dan kelumpuhan otot lidah. Jika gejala ini timbul, maka merupakan gejala lanjut. <br />
5. Gejala akibat penyebaran jauh. Sel-sel kanker dapat menyebar melalui aliran darah limfa. Organ yang sering terkena adalah tulang, paru, dan hati. Ini merupakan stadium lanjut. <br />
<br />
<br />
D. Pengobatan Kanker Nasofaring<br />
Kanker nasofaring tidak menimbulkan gejala khas. Kebanyakan pasien datang berobat setelah kanker berada pada stadium lanjut. Terapi dilakukan dengan kemoterapi dan radiasi. Karena, walaupun disebabkan oleh virus, terapi antiviral memberikan hasil tidak memuaskan.<br />
Masyarakat awam mungkin lebih banyak mengenal jenis penyakit kanker payudara, kanker rahim, kanker paru, dan kanker hati. Namun, kanker nasofaring belum banyak yang mendengar atau mengetahuinya. Padahal, kanker jenis ini termasuk agresif menyerang masyarakat. Kanker nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 70 persen tumor ganas kepala dan leher merupakan kanker nasofaring. Dari data laboratorium patologi anatomi, tumor ganas nasofaring menduduki peringkat ke-4 dari seluruh keganasan setelah kanker rahim, payudara, dan kulit. <br />
Meski kanker nasofaring sering dijumpai, masih belum banyak masyarakat memahaminya. Penyakit ini merupakan tantangan bagi dokter telinga hidung tenggorokan (THT) untuk mendapatkan kasus ini pada stadium dini. Ini karena gejala dini kanker nasofaring yang tidak khas sehingga sering tidak disadari oleh penderita. Pada umumnya ras mongoloid merupakan faktor dominan menjadi penyebab timbulnya kanker nasofaring. Sehingga, kejadian kasus ini pada penduduk Cina bagian Selatan, Hongkong, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia cukup tinggi.<br />
Kondisi ganas ini sangat jarang ditemukan di dataran Eropa dan Amerika Utara, yaitu dengan angka kejadian kurang dari satu dari antara 100 ribu orang penduduk. Sebaliknya di Cina bagian Selatan, tercatat sebesar 40-50 kasus dari 100 ribu orang penduduk. Kanker nasofaring lebih sering ditemukan pada pria daripada perempuan dengan angka 2,18 dibanding banding satu. Sebanyak 60 persen ditemukan antara usia 25-60 tahun. Pada kasus lanjut kanker ini menyebar hingga ke paru, hati, dan organ lainnya. Kebanyakan, yakni 60-95 persen, penderita kanker nasofaring datang berobat pada stadium lanjut (III-IV). Di Indonesia kejadian kanker nasofaring hampir merata di setiap daerah. Di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Kanker Dharmais Jakarta terdapat 60 kasus, dan RS Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus setahunnya. Di Makassar terdapat 25 kasus, Denpasar ada 15 kasus, dan Padang sebanyak 11 kasus.<br />
E. Terapi<br />
Terapi diberikan sesuai dengan kondisi penyakitnya. Diagnosis dapat dilakukan dengan biopsi nasofaring lewat anestesi lokal dan alat endoskop dari rongga hidung. Umumnya pengobatan untuk kanker nasofaring adalah radioterapi. Namun, bila kankernya sudah menyebar ke organ lain, terapi radiasi yang diberikan terbatas. Maka, di sini perlu dikombinasikan dengan kemoterapi. Kemoterapi diberikan untuk menghambat penyebaran kanker ke kelenjar getah bening leher dan kasus lainnya. <br />
Biasanya pengobatan pada stadium I dan II dilakukan dengan radiasi (stadium II dikombinasikan kemoterapi). Sedangkan, pada stadium III dan IV pasien harus menjalani kemoterapi. Berdasarkan angka ketahanan hidup (dalam jangka waktu 5 tahun) untuk stadium I-II adalah 76 persen. Untuk stadium lanjut kurang dari 40 persen. <br />
Penelitian yang dilakukan Soetjipto pada 1989 di RSCM mendapatkan, sebanyak 50 persen penderita kanker nasofaring stadium lanjut meninggal dalam tahun pertama setelah radiasi. Sementara itu, penelitian Soesworo pada 1990 di tempat yang sama menunjukkan hasil pengobatan radiasi pada kanker ini selama satu tahun. Yaitu, angka ketahanan hidup untuk stadium I sebesar 100 persen, stadium II sebesar 86,73 persen, stadium III sebesar 71,67 persen, dan stadium IV sebsar 41,60 persen.<br />
Meski kanker nasofaring lebih banyak disebabkan virus, menurut Budianto, pemberian terapi antiviral (antivirus) memberikan hasil yang tidak memuaskan. Jadi, kemoterapi tak perlu dicampur dengan penggunaan antiviral. Makanan terus diberikan untuk mempertahankan kondisi dan meningkatkan imunitas. Selain pengobatan tadi, saat ini terapi sering menggunakan Cisplatin dan 5 Fluorouracil (FU) yang khusus untuk antikanker nasofaring. Pemberiannya dilakukan sebanyak enam seri tiap tiga minggu. Setiap satu seri diikuti dengan pemeriksaan dan evaluasi. ''Terapi ini memiliki efek samping minimal.Terapi tersebut kini dipakai hampir diseluruh dunia untuk kanker nasofaring,'' kata Budianto.<br />
<br />
<br />
BAB II<br />
KANKER LARING<br />
Kanker Laring adalah keganasan pada pita suara, kotak suara (laring) atau daerah lainnya di tenggorokan. Kanker laring lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita dengan sekitar 12.300 kasus baru terdiagnosis setiap tahunnya di Amerika Serikat. Tanda dan gejala umum saat didiagnosis adalah nyeri atau sakit tenggorokan, nyeri saat menelan, nyeri menyebar ke telinga, perubahan kwalitas suara atau pembesaran nodus limfa. Prognosis untuk kanker-kanker yang kecil tanpa penyebaran pada nodus limfa adalah sangat baik dengan rata-rata kesembuhansejitar 75 – 95 %. Lesi lanjut langsung terutama dengan keterlibatan nodus limfa secara klinis dapat dikonrol dengan sangat buruk dengan pembedahan , terapi Radiasi atau kombiansi dari modalitas pengobatab yang ada. Mestastase jauh umum juga dengan kontrol lokal dari penyakit tersebut. Kemampuan bertahan hidup saat ini sekitar 50 – 80 %. Insiden tumor multi primer adalah 5 – 10 %. Kanker permukaan kecil dengan cukup berhasil ditangani dengan terapi Radiasi atau pembedahan meliputi pembedahan eksisi laser. Kanker laring lanjut, dengan fiksasi laring atau terkenannya nodus limfa sering kali ditangani dengan kombinasi pembedahan dan terapi radiasi. Karena rendahnya rata-rata kesembuhan dari lesi lanjut, penelitian klinik yang mengeksploritasi Kemoterapi, terapi radiasi, terapi sensitiser, atau radioterapi partikel-partikel batang harus dipertimbangkan. Tinjauan literatur sekarang ini menyatakan bahwa panjangnya waktu pemberian Radioterapi menghasilkan kontrol yang buruk dan harus dihindari. Begitu juga, bagi pasien yang merokok selama terapi radiasi tampaknya mempunyai respon yang rata – rata yang lebih rendah dan kemampuan bertahan hidup yang bertahan singkat daripada orang yang tidak merokok. Karena itu pasien harus diberikan konseling untuk berhenti merokok sebelum terapi dimulai.<br />
A PENYEBAB<br />
Kanker laring lebih banyak ditemukan pada pria dan berhubungan dengan rokok serta pemakaian alkohol.<br />
<br />
B. GEJALA<br />
Kanker laring biasanya berasal dari pita suara, menyebabkan suara serak. <br />
Seseorang yang mengalami serak selama lebih dari 2 minggu sebaiknya segera memeriksakan diri. Kanker bagian laring lainnya menyebabkan nyeri dan kesulitan menelan. Kadang sebuah benjolan di leher yang merupakan penyebaran kanker ke kelenjar getah bening, muncul terlebih dulu sebelum gejala lainnya timbul.<br />
Gejala lainnya yang mungkin terjadi adalah:<br />
Nyeri tenggorokan<br />
Nyeri leher<br />
Penurunan berat badan<br />
Batuk<br />
Batuk berdarah<br />
Bunyi pernafasan yang abnormal<br />
C. DIAGNOSA<br />
Untuk menegakkan diagnosis dilakukan pemeriksan laringoskop dan biopsi. CT scan dan MRI kepala atau leher juga bisa menunjukkan adanya kanker laring.<br />
D. PENGOBATAN<br />
Pengobatan tergantung kepada lokasi kanker di dalam laring. <br />
Kanker stadium awal diatasi dengan pembedahan atau terapi penyinaran. Jika menyerang pita suara, lebih sering dilakukan terapi penyinaran karena bisa mempertahankan suara yang normal. Kanker stadium lanjut biasanya diatasi dengan pembedahan, yang bisa meliputi pengangkatan seluruh bagian laring (laringektomi total atau parsial), diikuti dengan terapi penyinaran. Pengangkatan seluruh pita suara menyebabkan penderita tidak memiliki suara.<br />
Suara yang baru dibuat dengan salah satu dari cara berikut:<br />
1. Esophageal speech, penderita diajari untuk membawa udara ke dalam kerongkongan ketika bernafas dan secara perlahan menghembuskannya untuk menghasilkan suara. <br />
2. Fistula trakeoesofageal, merupakan katup satu arah yang dimasukkan diantara trakea dan kerongkongan. Katup ini mendorong udara ke dalam kerongkongan ketika penderita bernafas, sehingga menghasilkan suara. Jika katup mengalami kelainan fungsi, cairan dan makanan bisa secara tidak sengaja masuk ke dalam trakea. <br />
3. Elektrolaring adalah suatu alat yang bertindak sebagai sumber suara dan dipasang di leher. <br />
Suara yang dihasilkan oleh ketiga cara tersebut dirubah menjadi percakapan dengan menggunakan mulut, hidung, gigi, lidah dan bibir. Suara yang dihasilkan lebih lemah dibandingkan suara normal.<br />
E. PENCEGAHAN<br />
Kurangi atau hindari rokok dan alkohol.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Krause CJ. Presidential address, head and neck. In: Fee, Goepert, John,<br />
editors. American Society for Head and Neck Surgery; 1990.p.1-3<br />
2. Rodriguez-Monge EJ, Shin DM, Lippman SM. A comprehensive review<br />
head and neck cancer. Medical Oncology 1997<br />
3. Soegeng SM, Willy S, Dyah F. Aspek patologi tumor THT-Kepala.<br />
Perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan tumor ganas THT-KL. In: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan. Surabaya:<br />
FK UNAIR; 2002.p.8-36<br />
4. Forastiere A, Koch W, Trotti A, et al. Head and Neck Cancer. NEJM 2001;<br />
345:1890-900<br />
5. Kuhuwael FG, Didit S. Aspek klinis karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Umum Dadi dan Rumah Sakit Umum Dr Wahidin tahun 1990-1999. Pertemuan Ilmiah Berkala XV. Fakultas Kedokteran UNHAS; 2001<br />
6. Masrin M. Keganasan dibidang telinga hidung tenggorok. In: Buku Ajar<br />
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok FKUI. 4th ed; 2000.<br />
p.135-41<br />
7. Masrin M. Keganasan dibidang telinga hidung tenggorok. In: Buku Ajar<br />
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok FKUI. 4th ed; 2000.<br />
p.135-41.crazy boy'shttp://www.blogger.com/profile/10427640188054710037noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2500718933329494943.post-24758039100929632272010-07-06T14:45:00.002+07:002010-07-06T14:45:26.650+07:00Manfaat Obat-obat Antitrombosis dan Trombolisis dalam Menunjang Pengobatan Gangguan Pembuluh DarahPendahuluan <br />
Konstribusi pembuluh darah dalam kehidupan jaringan mempunyai peranan maksimal dalam kelangsungan hidup sel. Pembuluh darah terdiri dari pembuluh darah arteri dan pembuluh darah vena.<br />
Pembuluh darah arteri secara anatomi histologi berbeda dengan pembuluh darah vena yaitu dimana pembuluh darah arteri mempunyai otot polos sehingga dapat berkontraksi sedangkan pembuluh darah vena tak memiliki otot polos tetapi memiliki katup.<br />
Disamping itu pembuluh darah arteri membawa darah bersih yang kaya akan O2 ke organ tubuh sedangkan pembuluh darah vena yang dikenal sebagai pembuluh darah balik membawa komponen darah kotor atau kaya akan CO2 untuk kembali kejantung. <br />
Adanya gangguan pembuluh darah tidaklah semata mata disebabkan oleh kelainan pembuluh darah tetapi dapat pula disebabkan karena gangguan aliran yang terjadi didalam pembuluh darah itu sendiri seperti gangguan pada viscositas maupun pada gangguan koagulitas darah.<br />
Manifestasi gangguan pembuluh darah baru terjadi apabila adanya gangguan pada target organ yang mendapat perdarahan tersebut mengalami gangguan fungsi ataupun terjadinya bendungan pada pembuluh darah sehingga target organ mengalami gangguan fungsi.<br />
Gangguan aliran darah arterial akan mengakibatkan terjadinya iskemia sampai infark sedangkan gangguan darah balik atau vena akan mengakibatkan terjadinya bendungan yang pada ahirnya mengganggu aliran darah arterial juga dengan segala manifestasinya.<br />
Berdasarkan gangguan target organ maka gangguan pembuluh darah dapat dikelompokan menjadi <br />
1. Gangguan pembuluh darah koroner. <br />
2. Gangguan pembuluh darah serebral <br />
3. Gangguan pembuluh darah perifer.<br />
Gangguan pembuluh darah koroner maupun serebral sudah jelas target organ nya yaitu jantung dan otak sedangkan gangguan pembuluh darah perifer meliputi gangguan pembuluh darah lainnya yaitu seperti gangguan pembuluh darah extremitas yaitu tungkai dan gangguan pembuluh darah organ dalam seperti mesenterik.<br />
Oleh karena itu pengetahuan yang mendasar terhadap keberadaan gangguan pembuluh darah arteri mapun vena harus diketahui dengan cepat, tepat dan akurat sebelum dilakukan intervensi pengobatan.<br />
Gangguan aliran darah didalam pembuluh darah<br />
Target organ mempunyai kebutuhan yang konstan terhadap suplai akliran darah seperti otak mempunyai kebutuhan aliran darah sebesar 50-60 cc/100 grm otak /menit , apabila keberadaan in dikurangi akan berdampat terjadinya respon kompensasi baik melalui tekanan darah maupun sistim antikoagulasi tubuh agar kebutuhan tersebut menjadi stabil, apabila kompensassi tubuh tak berhasilmenyelamatkan kekurangan aliran maka terjadilah gangguan fungsi organ yang bersangkutan.<br />
Diketahui bahwa didalam aliran darah terdapat komponen pembekuan darah yang dikenal sebagai procoagulant seperti thrombosist, fibrinogen, protrombine , calcium dan lainnya dan juga terdapat komponen antikoagulan yaitu seperti AT III, Protein S, protein C.<br />
Apabila terjadi gangguan keseimbangan pro dan anti koagulan, yang dapat disebabkan ole berkurangannya faktor2 anticoagulant maupun terjadinya peningkatan faktor2 prokoagulan maka keadaan ini dikenal sebagai hypercoagulable state dimana darah cendrung untuk mudah membeku yang pada akhirnya terjadilah bekuan darah yang dapat mengganggua aliran darah yang menuju target organ ( darah arterial ) maupun gangguan aliran darah yang terjadi dari target organ ( darah vena ).<br />
Dilain pihak adanya peningkatan factor pembekuan darah maupun sel darah akan meningkatkan viskositas atau kekentalan darah ( hyperviskositas ) yang akan berakibat terjadinya perlambatan aliran ( velocity ), perlambatan aliran ini akan meninbulkan berkurangnya aliran darah ketarget organ dan memicu terjadinya Koagulasi atau pembekuan darah yang pada ahirnya terjadilah deficit aliran ketarget orgat sehingga sehingga timbul gangguan fungsi organ. <br />
Thombosis<br />
Pembentukan trombus dapat terjadi didalam pembuluh darah arterial, vena maupun jantung.<br />
Trombus adalah bekuan darah yang menepel didinding , hal ini terjadi karena permukaan tempat darah mengalir yairu endothel maupun jantung mengalami kerusakan yang dikenal sebagai disfungsi endothel atau endothel injured .<br />
Adanya difungsi endothel ini akan mengundang thrombosit untuk melakukan adhesi dan selanjutnya dengan bantuan factor factor pembekuan darah akan terjadi aggregasi trombosit dan terbentuklah bekuan darah yang komponen utamanya adalah trombosit sehingga dikenal dengan nama trombus putih (white thrombus).<br />
Trombus putih ini terbentuk pada pembuluh yang mempunyai aliran cepat seperti pembuluh darah arterial.<br />
Trombus yang terbentuk pada aliran darah lambat seperti vena dan kantong-kantong di jantung (yang terbentuk karena bekas infark) akan mempunyai komponen utama yaitu erythrosit dan fibrinogen serta faktor2 pembekuan darah lain sehingga memberikan warna yang merah dan dikenal sebagai trombus merah (red thrombus). <br />
Adanya trombus yang masih melekat pada dinding ini akan mengakibatkan ganggua aliran karena trombus tersebut berpotensi untuk membesar dan dilain pihak adanya trombus tersebut akan berpotensi untuk lepas yang selanjutnya akan berjalan didalam aliran darah yang disebut sebagai embolus.<br />
Adanya embolus ini baru meninbulkan bencana apabila diameter pembuluh darah yang dilalui oleh embolus tersebut berdiameter lebih kecil daripada embolusnya sendiri sehingga terjadilah penutupan pembuluh darah secara mendadak.<br />
Fibrinolysis / Thrombolysis<br />
Adanya mekanisme tubuh untuk menghancurkan fibrin atau thrombus yang ada didalam tubuh dikenal sebagai fibrinolysis atau trombolisis , komponen utama dari trombolisis ini adalah plasminogen yang kemudian diaktifkan dan dikenal sebagai plasmin oleh tissue plasminogen activator (t-PA).<br />
Adanya kerusakan jaringan /endothel disamping akan mengaktifkan proses thrombosis juga terjadi pengeluaran t-PA dari endothel dan jaringan sekitar , t-PA mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin dan selanjutnya plasmin akan merusak fibrin yang ada pada bekuan darah sehingga bekuan darah itu menjadi lysis.<br />
Plasmin disamping merusak fibrin juga menurunkan factor pembekuan darah lain seperti fibrinogen, factor V, factor VIII dan menimbulkan gangguan fungsi trombosit ( platelet dysfunction ).<br />
Adanya t-PA dan plasmin dalam sirkulasi akan secepatnya diantisipasi oleh tubuh dengan mengeluarkan plasminogen activator inhibition ( PAI-1) yang akan menghambat tissue plasminogen activator atau t-PA dan ₤2-antiplasmin (₤2-AP) agar aktipitas kedua zat tersebut dapat berhenti karena dapat menimbulkan gangguan pada sistim pembekuan darah apabila terus berada didalam aliran darah.<br />
Aktivitas fibrinolitik atau trombolitik ini dilakukan tubuh hanya bersifat regional atau lokal yaitu didaerah yang terdapat bekuan darah.<br />
Pada keadaan terjadinya banyak bekuan darah didalam aliran darah seperti penyakit DIC ( disseminated intravascular coagulation ) maka aktivitas system ini meningkat secara umum sehingga terlihat terjadi perdarahan diseluruh system organ.<br />
Parameter klinis untuk melihat aktipitas dari fibrinolysis adalah dengan memeriksa D-Dimer yang merupakan hasil produk FDP.<br />
Aktivitas plasmin in dapat pula dilihat dengan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, faktor V, dan faktor VIII.<br />
Disfungsi platelet, gangguan aggregasi trombosit terjadi karena pengaruh dari FDP, sedangkan gangguan adhesi trombosit disebabkan karena pengaruh plasmin terhadap abnormality dari von Willenbrand faktor-glycoprotein 1b intraksi. <br />
Kepustakaan.<br />
Scott H.Goodnight, William E.Hathaway : disorder of hemostasis and thrombosis , the McGraw-Hill Companies, second edition, 2001.crazy boy'shttp://www.blogger.com/profile/10427640188054710037noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2500718933329494943.post-40579168608683424562010-07-06T14:43:00.001+07:002010-07-06T14:43:15.981+07:00kumpulan Askep 01NYERI ABDOMEN<br />
<br />
Nyeri viseral<br />
<br />
Pembagian<br />
Anatomi Visera Tempat Penjalaran Nyeri<br />
Foregut Esofagus dan duodenum Epigastrium <br />
Midgut Yeyunum hingga pertengahan kolon transversum Umbilikus <br />
Hindgut Pertengahan kolon transversum hingga rektum Hipogastrium <br />
(Catatan : Nyeri karena pankreatitis dan nefrolitiasis yang pada umumnya menjalar hingga ke punggung)<br />
<br />
<br />
Nyeri Tekan pada Abdomen<br />
<br />
Gambar 3-1. etiologi nyeri abdomen berdasarkan lokasi<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
GANGGUAN ESOFAGUS DAN GASTER<br />
DISFAGIA<br />
Definisi <br />
• Kesulitan pada proses menelan dan melewatkan makanan dari esofagus ke lambung.<br />
Etiologi <br />
Gambar 3-2. Etiologi disfagia <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Pemeriksaan diagnostik <br />
• Menelan barium atau esofagogastroduodenoskopi (EGD); ± pemantauan pH esofagus atau manometri.<br />
<br />
PENYAKIT REFLEKS GASTROENSOFAGUS (GERD)<br />
Patofisiologi<br />
• Relaksasi sementara yang berlebihan pada sfingter esofagus bawah (LES, Lower Esophageal Spincter) atau pada beberapa kasus, LES yang inkompeten.<br />
• Kerusakan mukosa esofagus karena kontak yang lama dengan asam, pepsin, garam empedu.<br />
• Hiatus hemia dapat menyebabkan tonus LES dan bertindak sebagai penampung isi lambung yang mengalami refluks.<br />
<br />
Manifestasi klinis<br />
• Heartburn, “angina” atipikal; regurtasi isi lambung kurang air, disfagia<br />
• Batuk (aspirasi nokturnal kronis), asma, suara parau (peradangan plika vokalis).<br />
• Pencetus : makan yang banyak, posisi supinasi, makanan berlemak, kafein, teofilin, alkohol, rokok, penyekat kanal kalsium (CCB).<br />
<br />
Uji diagnostik<br />
• Diagnosis sering berdasarkan pada anamnesis, mencoba mengobati dulu dengan inhibitor pompa proton.<br />
• EGD (esophagoduodenoscopy) untuk mendeteksi esofagitis, ulkus, easofagus Barret atau striktur.<br />
• Pemantauan pH esofagus ambulatoris selama 24 jam apabila diagnosisnya meragukan.<br />
<br />
Penatalaksanaan <br />
• Tindakan konservatif : mencegah pencetus, meninggikan kepada saat tidur, hindari keterlambatan makan.<br />
• Medikamentosa : antasid, penyekat H, agen prokinetik (seperti : cisapride); penghambat pompa proton (PPI).<br />
• Pembedahan : fundoplikasi (sering dengan laparoskopik)<br />
<br />
Komplikasi <br />
• Esofagus Barret (epitelisasi kolumnar dengan risiko adenokarsinoma), esofagitis, striktur.<br />
<br />
<br />
GASTROPATI DAN GASTRITIS<br />
Gastropati akut<br />
• Etiologi : NSAID, alkohol, stres yang berhubungan dengan penyakit mukosa (penyakit kritis).<br />
• Manifestasi klinis : asimtomatik, anoreksia, mual dan muntah, nyeri epigastrium, perdarahan saluran cerna atas.<br />
<br />
Gastritis antral kronis (“Tipe B”)<br />
• Etiologi : Infeksi H. Pylori <br />
• Manifestasi klinis : umumnya asimtomatik; tidak ada bukti yang jelas bahwa gastritis H. Pylori menyebabkan dispepsia non-ulkus; dapat berlanjut menjadi gastritis atrofi dengan risiko adenokarsinoma gaster.<br />
• Penatalaksanaan : Lihat penanganan H. Pylori <br />
<br />
Gastritis kronis pada daerah fundus (“Tipe A”)<br />
• Etiologi : Anemia pernisiosa <br />
• Patogenesis : auto-antibodi langsung terhadap sel parietalis (sehingga kekurangan asam dan faktor intrinsik).<br />
• Manifestasi klinis : gastritis atrofi, aklorhidria, dan hipergastrenemia, anemia permisiosa, tumor karsinoid gaster dan adenokarsinoma.<br />
<br />
PENYAKIT ULKUS PEPTIKUM<br />
Etiologi dasar<br />
• Infeksi H. Pylori (namun hanya 15-20 % dari pasien yang terinfeksi akan berkembang menjadi suatu ulkus.<br />
• NSAID<br />
• Gastrinoma dan keadaan hipersekretorius lainnya<br />
<br />
<br />
<br />
Manifestasi klinis<br />
• Nyeri abdomen spigastrik, hilang dengan makan (duodenum) atau memburuk dengan makan (gastrikum).<br />
• Perdarahan saluran cerna atas <br />
<br />
Pemeriksaan diagnostik<br />
• Uji untuk H. Pylori <br />
Serologi : (sensitivitas 90 %, spesifisitas 70-80 %, titer 3-6 bulan setelah terapi efektif) urea breath test (UBT, sensitivitas dan spesifitasnya > 95%)<br />
EGD + uji urease cepat (seperti, CLO testTM, > sensitivitas dan spesifisitas 95 %) atau biopsi dan histologi.<br />
• EGD atau UGI serial untuk mendeteksi ulkus<br />
<br />
Penatalaksanaan <br />
• Penghentian NSAID dan rokok<br />
• PUD dan H. Pylori (+) : Antibiotik dan PPI selama 7-14 hari memiliki angka keberhasilan > 90 % (Am J Med 105 : 424, 1998) antibiotik (2 dari 3) : klaritromisin 500 mg 2 x 1, amoksilin 1 g 2 x 1, mtronidazol 500 mg 2 x 1<br />
• Dispepsia non-ulkus : percobaan PPI atau cisapride; data yang diperdebatkan tentang manfaat eradikasi H. Pylori (N Engl J Med 339 : 1869 dan 1875, 1998; 341 : 1106, 1999).<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Gambar 3-3. Langkah diagnostik dan penanganan dispepsia<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
PERDARAHAN GASTROINTESTINAL<br />
<br />
Definisi<br />
• Hilangnya darah yang bisa dari berbagai tempat di intralumen dari orofaring sampai anus.<br />
• Klasifikasi : atas = di atas ligamentum Treitz; bawah = di bawah ligamentum Treitz.<br />
• Tanda : hematemesis = darah yang dimuntahkan atau terdapat pada muntahan (UGIB); hematokezia = buang air besar berdarah (LGIB atau UGIB yang cepat); melena = buang air besar seperti ter, berwarna hitam akibat darah dari saluran cerna (biasanya dari bagian atas saluran cerna, namun dapat di segala tempat di atas sekum).<br />
<br />
Etiologi perdarahan saluran cerna atas<br />
• Perdarahan orofaringeal dan epistakis darah tertelan<br />
• Esofagitis erosif<br />
Pejamu yang tanggap imunnya baik : GERD / esofagus Barrett, XRT<br />
Pejamu yang tanggap imunnya lemah : CMV, HSV, kandida<br />
• Varices (10 %)<br />
• Ruptur Mallory-Weiss (7%, robekan di gastroesofagus karena mau muntah / muntah-muntah dengan glotis yang tertutup).<br />
• Gastritis / gastropati (23%, NSAID, H. Pylori, alkohol, penyakit mukosa yang berhubungan dengan stres).<br />
• Penyakit ulkus peptikum (PUD) (46%)<br />
• Malformasi vaskular<br />
Lesi Dieulafony (arteri ektatik superfisialis biasanya pada kardia dengan UGIB yang mendadak dan masif) AVM (tersendiri atau bersama sindrom Osler-Weber-Rendu) fistula aorta-enterik (tandur aorta mengikis sepertiga porsio duodenum, muncul dengan “perdarahan luas”) vaskulitis.<br />
• Penyakit neoplastik (esofagus atau gaster)<br />
• Penyebab lahirnya : ulserasi hiatus hernia, koagulapati, amiloidosis, penyakit jaringan penyambung.<br />
<br />
Etiologi perdarahan saluran cerna bawah<br />
• Penyakit divertikular<br />
• Angiodisplasia<br />
• Penyakit neoplastik<br />
• Kolitis : infeksi, iskemik, radiasi, penyakit radang usus (UC > CD)<br />
• Hemoroid <br />
<br />
Manifestasi klinis<br />
• UGIB > LGIB : mual, muntah, hematemesis, muntah seperti warna kopi, nyeri epigastrium, reaksi vasovagal, sinkop, melena.<br />
• LGIB > IGIB : diare, tenesmus, BRBPR atau kotoran berwarna maron<br />
<br />
Langkah penanganan<br />
• Anamnesis <br />
GIB atau kronis, jumlah serangan, serangan terakhir yang paling sering hematemesis, muntah sebelum hematemesis, hematokezia, melena, nyeri abdomen, diare, penggunaan aspirin, NSAID, atau antikoagulan, atau diketahui menderita koagulopati ketergantungan alkohol, sirosis riwayat pembedahan saluran cerna atau aorta.<br />
• Pemeriksaan fisik<br />
Tanda vital : takikardi bila kehilangan cairan 10%; hipotensi ortostatik bila kehilangan cairan 20%; syok bila kehilangan cairan 30%, pucat, telangektasiasis (penyakit hepar alkohol atau sindrom Osleer-Weber-Rendu) <br />
Tanda penyakit hepar kronis : ikterus, spider angiomata, ginekomastia, atrofi testis, eritema palmaris, kaput medusa.<br />
Pemeriksaan abdomen : nyeri tekan dapat terlokalisir atau tanda-tanda di daerah peritoneum.<br />
Pemeriksaan rektum : warna kotoran, adanya hemoroid, atau fisura ani<br />
• Pemeriksaan laboratorium : Hematokrit (mungkin normal pada awal kehilangan darah akut sebelum seimbang kembali), hitung trombosit, PT, PTT, BUN / kreatinin (rasionya pada UGIB karena resorpsi saluran cerna dari darah atau azotemia prerenal), uji fungsi hepar.<br />
• Slang Nasogastrik dapat mendiagnosis UGIB, dapat membuang isi saluran cerna (sebelum dilakukan EGD dan untuk mencegah aspirasi), lavase untuk melihat ada tidaknya perdarahan yang menetap (prognosis buruk); negatif palsu pada waktu UGIB apabila perdarahan berasal baik dari duodenum maupun intermiten.<br />
• Pemeriksaan diagnostik pada UGIB : esofagogastroduodenoskopi (EGD) (dan terapi yang potensial).<br />
• Pemeriksaan diagnostik pada LGIB (periksa UGIB sebelum mencoba untuk melokalisasi LGIB yang diperkirakan)<br />
Perdarahan berhenti secara spontan klonoskopi (mengidentifikasi penyebab pada > 70% kasus dan potensial untuk tindakan terapi) <br />
Stabil namun perdarahan terus-menerus sken perdarahan (RBC berlabel 99mTc/albumin) : mendeteksi laju perdarahan yang > 0,1-1,0 ml/menit, namun sulit menentukan lokasi yang akurat.<br />
Tidak stabil arteriografi (mendeteksi laju perdarahan yang > 0,5-1,0 ml/menit dan potensial untuk tindakan terapi (infus vasopresin intra arteri atau embolisasi) laparotomi ekspolari.<br />
<br />
Penatalaksanaan<br />
• Penatalaksanaan akut perdarahan saluran cerna adalah resusitasi hemodinamik dengan cairan IV dan darah<br />
Buatlah akses dengan 2 jalur intravena yang berdiameter besar (18 gauge atau lebih).<br />
Resusitasi cairan dengan salin normal atau larutab Ringer laktat<br />
Terapi transfusi (sampel bank darah untuk tipe dan crossmarch; dapat menggunakan golongan darah O negatif jika eksanguinis).<br />
Identifikasi dan perbaiki koagulopati (FFP untuk menormalkan PT, trombosit tetap > 50000/mm3).<br />
Lavase slang nasogastrik<br />
Penatalaksanaan jalan nafas bila diperlukan <br />
Konsultasi dengan ahli bedah digestif bila diperlukan.<br />
<br />
Tanda-tanda prognosis buruk pada UGIB<br />
• Demografik : Usia > 60 tahun, komorbiditas<br />
• Beratnya : darah merah segar pada aspirat NGT, permintaan transfusi, hemodinamik tak stabil.<br />
• Etiologi : varises atau neoplastik<br />
• Munculnya ulkus (dari prognosis yang terbaik hingga terburuk) : dasarnya bersih keluar darah tanpa pembuluh yang terlihat bekuan yang melekat erat perdarahan aktif.<br />
<br />
Etiologi Pilihan <br />
Varises Farmakologi <br />
Octreotide 50 gram bolus IV 50 g/jam infus (berhasil 84%, Lancet 342 : 637, 1993)<br />
Vasopresin atau vasopresin + nitrogliserin (kurang manjur dan lebih banyak komplikasi)<br />
Penyekat-β (non-selektif) dan nitrat apabila hemodinamik stabil<br />
Non-Farmakologi<br />
Skleroterapi endoskopi (berhasil 88%) atau band ligation (angka keberhasilan > 90%)<br />
Octreotide + terapi endoskopik (angka keberhasilan > 95% ; <br />
(N Eng J Med 333 : 555, 1995)<br />
Tamponade balon apabila perdarahannya berat<br />
Embolisasi atau TIPS apabila terapi endoskopik gagal <br />
(N Engl J Med 333 : 165, 1994)<br />
PUD Farmakologi<br />
Penghambat pompa proton (N Egl J Med 336 : 1054, 1997)<br />
Octreotide 50 gram bolus IV 50 gram/jam infus<br />
Non-Farmakologi<br />
Terapi endoskopi (injeksi, kontak termal, laser)<br />
Angiografi mesenterika dengan infus vasopresin atau embolisasi<br />
Reseksi gastrik apabila endoskopi dan terapi farmakologi gagal<br />
Mallory-Weiss Biasanya berhenti secara spontan<br />
Gastritis esofagus Penghambat pompa proton, antagonis H2<br />
Penyakit divertikuler Biasanya berhenti secara spontan<br />
Terapi endoskopi (injeksi epinefrin), vasopresin arterial atau embolisasi, pembedahan<br />
Angiodisplasia Vasopresin arterial, terapi endoskopik, pembedahan<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
DIARE<br />
Keluarnya feses > 200 gram / hari<br />
ETIOLOGI <br />
Infeksi <br />
• Akut<br />
Toksin yang belum terbentuk (seperti : “keracunan makanan”; berlangsung < 24 jam) : S. Aureus, C. Perfrigens, B. Cereus
Virus : Rotavirus, Norwalk
Bakteri non-invasif
Menghasilkan enterotoksin (tidak ada darah atau leukosit di feses) : E. Col enterotoksigenik
Vibrio cholera : menghasilkan sitotoksin (ada darah dan leukosit di feses) : E. Coli O157 : H7, C. Difficile.
Bakteri invasif (leukosit di feses dan darah (+)) : E. Coli enteroinvasif (EIEC, Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia, V. Parahemolyticus
Parasit : Giardia, E. Histolytica
Oportunistik : Crystosporidia, Isopora, Microsporidia, Cyclospora, MAC, CMV.
• Kronis : Giardia, E. Histolytica, C. Difficile, organisme oportunistik.
Malabsorpsi ( kesenjangan osmotik, lemak feses, diare dengan puasa, defisiensi vitamin larut-lemak)
• Defisiensi garam empedu
Pertumbuhan bakteri berlebihan (e.g., blind loop) dekonjugasi garam empedu penyakit ileum (seperti penyakit Crohn, reseksi pembedahan) terhentinya sirkulasi enterohepatik.
• Insufisiensi pankreas
• Kelainan mukosa
Seliak sprue : karena reaksi usus terhadap -gliadin dalam gluten hilangnya vili dan daerah absorpsi
Pemeriksaan diagnostik : D-xylose (+); anti-gliadin (+) atau anti-endomisial absolut
Penatalaksanaan : diet bebas gluten.
Tropikal sprue : terjadi pada penghuni daerah tropis; penatalaksanaan dengan antibiotik, asam folat, B12.
Penyakit Whipple : karena Trophyrema whippeli (basilus gram (+)); terlihat pada laki-laki kulit putih usia separuh baya.
Manifestasi lainnya : demam, limfadenopati, edema, poliartritis, perubahan SSP, pigmentasi kulit abu-abu-ciklat
Penatalaksanaan : pemberian antibiotik jangka panjang
Limfoma usus
Osmotik ( gap / kesenjangan osmotik, lemak feses normal, diare dengan berpuasa)
• Obat-obatan : antasid, laktulosa, sorbitol
• Intoleransi laktosa : kelainan mukosa primer atau sekunder, enterintis bakterial atau virus, reseksi usus sebelumnya
Manifestasi klinis : kembung, flatus, rasa begah, diare
Pemeriksaan diagnostik : uji napas hidrogen laktosa, atau diet bebas laktosa empiris.
Penatalaksanaan : diet bebas laktosa, gunakan lactaid milk dan tablet enzim laktase.
Peradangan (demam, hematokezia, nyeri abdomen)
• Penyakit peradangan usus
• Enteritis radiasi
• Kolitis iskemik
Sekretorius (Gap ostomik normal, cairan banyak, tidak ada perubahan diare setelah nothing by mounth / NPO)
• Hormonal : VIP (VIPoma, Verner-Morrison), Serotonin (karsinoid), Kalsitonin (karsinoma tiroid tipe medular), Gastrin (Zollinger-Ellison), Glukagon, Substansi P, Tiroksin (Hipertiroidisme).
• Ketergantungan laksatif
• Adenoma vilosa
• Malabsorpsi garam empedu idiopatik
Motilitas
• Sindroma iritabilitas usus
• Skleroderma (pseudoobstruktif)
• Endokrinopati : diabetes melitus, hipertiroidisme (hiperdefekasi)
Langkah penanganan diare
Gambar 3-4. Rencana penanganan diare akut (durasi < 3 minggu)
Gambar 3-5. Langkah penanganan diare kronis (durasi > 3 minggu)<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
PENYAKIT DIVERTIKULAR<br />
<br />
DIVERTIKULOSIS <br />
Definisi dan Patologi<br />
• Herniasi akuisita (didapat) pada mukosa dan submukosa kolon ke dalam dinding kolon.<br />
• Lebih sering pada sisi kiri pada sisi kanan kolon<br />
• Mungkin sebagai akibat diet rendah serat muskulatur kolon berkontraksi terhadap feses yang kecil dan keras.<br />
<br />
Epidemiologi<br />
• 20-50 % pasien di atas usia 50 tahun<br />
<br />
Manifestasi klinis<br />
• Biasanya asimtomatik, namun dapat mengalami komplikasi mikroperforasi (divertikulitis) atau perdarahan.<br />
<br />
DIVERTIKULITIS<br />
Patofisiologi<br />
• Retensi makanan yang tak tercerna dan bakteri di dalam divertikulum pembentukan fekalit obstruksi asupan darah divertikulum terganggu, infeksi, perforasi.<br />
• Mikroperforasi ( infeksi terlokalisir) atau makroperforasi ( pembentukan abses dan / atau peritonitis).<br />
<br />
Manifestasi klinis<br />
• Nyeri abdomen kuadran lateral kiri, demam, mual, muntah, konstipasi<br />
<br />
<br />
<br />
Pemeriksaan fisik<br />
• Ringan : Nyeri kuadran lateral kiri, massa dapat diraba ±, uji darah samar (FOBT) ± (- 25)<br />
• Berat : peritonitis, syok septik<br />
<br />
Pemeriksaan diagnostik<br />
• Foto polos abdomen untuk melihat adanya bebas, ileus, atau obstruksi<br />
• CT abdomen apabila pasien gagal berespons terhadap terapi atau apabila dicurigai adanya abses perikolon<br />
• Sigmoidoskopi / kolonoskopi merupakan kontraindikasi pada waktu akut karena tingginya risiko perforasi yang membahayakan.<br />
<br />
Penatalaksanaan <br />
• NPO, cairan IV, NGT (jika ileus)<br />
• Antibiotik (spektrumnya mencakup batang gram negatif dan anaerob)<br />
• Drainase abses perkutaneus atau pembedahan<br />
• Pembedahan apabila terapi medikamentosa gagal, abses besar yang tidak dapat didrainase perkutaneus, atau menjadi peritonitis.<br />
<br />
Patofisiologi <br />
• Erosi pembuluh divertikel oleh suatu fekalit<br />
• Divertikula lebih sering di sebelah kiri (distal) kolon; namun perdarahan divertikula biasanya pada sisi kanan (proksimal) kolon<br />
<br />
Manifestasi klinis<br />
• Biasanya onset kram perut yang mendadak dan diikuti dengan hematokezia yang sangat banyak (masif).<br />
• Biasanya berhenti secara spontan (90%) namun bisa juga muncul sekali-kali dalam hitungan jam hingga hari.<br />
<br />
Pemeriksaan fisik<br />
• Biasanya jinak<br />
<br />
Pemeriksaan diagnosis<br />
• Kolonoskopi (setelah perdarahan akut terhenti dan mengikuti lavase oral) atau, pada perdarahan berat, arteriografi mesenterikus (biasanya setelah suatu sken perdarahan).<br />
<br />
Penatalaksanaan <br />
• Endoskopi Injeksi epinefrin atau pengikatan; arteriografi infus vasopresin intraarteri; pembedahan<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
PENYAKIT RADANG USUS<br />
<br />
Definisi<br />
• Kolitis ulserativa (UC) : inflamasi idiopatik pada mukosa kolon<br />
• Penyakit Crohn (CD) : inflamasi transmural idiopatik pada saluran pencernaan.<br />
• Pada 5-10% pasien yang menderita kolitis tidak dapat dibedakan dengan dengan jelas apakah UC atau CD walaupun dengan biopsi mukosa.<br />
<br />
Diagnosis Banding<br />
• Infeksi bakteri, pseudomembranosa, amuba, CMV, PMS<br />
• Usus iskemik<br />
• Limfoma atau karsinoma usus<br />
• Irritable bowel syndrome<br />
• Obat-obatan (NSAID, pil kontrasepsi oral, preparat emas, alopurinol)<br />
<br />
KOLITIS ULSERATIVE<br />
Epidemiologi<br />
• Onset pada kisaran usia 20-25 tahun, insiden pada ras kaukasoid, terutama suku bangsa Yahudi; 10% bersifat familial<br />
<br />
Patologi<br />
• Luasnya : meliputi rektum dan meluas ke proksimal dan organ-organ yang berdekatan; 50% pasien menderita proktosigmoiditis, 30% kolitis kolon sisi kiri, dan 20% kolitis ekstensif.<br />
• Tampilan : mukosa granular, rapuh dengan ulkus kecil; terdapat pseudopolip<br />
• Biopsi : Mikroulserasi superfisialis; abses kripta (PMN); tidak ada granuloma<br />
<br />
<br />
<br />
Manifestasi klinis<br />
• Diare berdarah yang menyolok, kram abdomen bagian bawah dan urgensi<br />
• Kolitis fulminan : berjalan progresif cepat sekitar 1-2 minggu dengan hematokrit, LED, demam, hipotensi, > 6 x BAB berdarah tiap hari, distensi abdomen dengan bising usus yang menghilang.<br />
• Megakolon toksik : dilatasi kolon (> 6 cm pada KUB), atonia kolon, dan toksisitas sistemik.<br />
• Perforasi<br />
• Ekstrakolon (25%)<br />
Eritema nodosum, pioderma gangrenosum, ulkus aftosa, iritis, episkleritis, gangguan tromboembolik.<br />
Artritis seronegatif, hepatitis kronis, sirosis, kolangitis sklerotikans, kolangiokarsinoma.<br />
<br />
Komplikasi<br />
• Striktur (jarang, muncul pada rektosigmoid)<br />
• Karsinoma kolon : setelah 10 tahun, risiko 1% / tahun; skrining dengan kolonoskopi tiap tahunnya.<br />
<br />
Prognosis<br />
• Remisi pada 10%; eksaserbasi intermiten sebanyak 75%; penyakit aktif berlanjut sebanyak 10%.<br />
• Mortalitas <br />
<br />
PENYAKIT CROHX<br />
Epidemiologi<br />
• Bimodus dengan puncak pada usia 20 dan 50-70 tahun; insiden pada ras kaukasoid, terutama suku bangsa Yahudi.<br />
<br />
<br />
Patologi <br />
• Luasnya penyakit dapat mengenai bagian manapun dari slauran cerna, dari mulut hingga anus, skip lesions 30% pasien mengalami ileitis, 40% ileokolitis, dan 30% kolitis.<br />
• Tampilan : ulkus > 1 cm, mukosa tidak rapuh, tampilan “cobblestone”, fisura panjang dan dalam.<br />
• Biopsi : inflamasi trnasmural dengan infiltrasi sel mononuklear, granuloma non-kaseosa, fisura.<br />
<br />
Manifestasi klinis<br />
• Penyakit terkesan ringan dengan nyeri abdomen, diare berdarah non-makroskopik yang mengandung mukus.<br />
• Demam, ,malaise, penurunan berat badan<br />
• Albumin , ESR , Hematokrit karena defisiensi Fe B12, asam folat, atau penyakit kronis.<br />
• Ekstrakolon : sama dengan kolitis ulserastiva, ditambah batu empedu (karena malabsorpsi garam empedu) dan batu ginjal (batu Ca oksalat karena malabsorpsi lemak yang menyebabkan peningkatan absorpsi oksalat)<br />
<br />
Komplikasi <br />
• Fisura perianal, abses perirektal<br />
• Striktur : rasa kembung setelah makan, distensi, borborygmi<br />
• Fistula : abses, pertumbuhan bakteri berlebihan dan malabsorpsi<br />
• Abses : demam, menggigil, massa di abdomen yang nyeri bila ditekan, leukosit .<br />
• Karsinoma : usus halus dan kolon; risiko sama dengan kolitis ulserativa apabila keseluruhan kolon terkena; skrining dengan kolonoskopi.<br />
<br />
<br />
<br />
PENATALAKSANAAN<br />
Terapi simtomatik dan diet<br />
• Suplemen serat (kecuali gejala obstruktif pada penyakit Crohn)<br />
• Tidak mengkonsumsi kafein dan sayur yang menghasilkan gas<br />
• Percobaan diet bebas laktosa pada penyakit Crohn<br />
• Antidiare dan antispasmodik kecuali pada serangan akut<br />
<br />
Remisi<br />
• Senyawa 5-ASA (formulasi yang cocok untuk mengobati daerah yang terkena) ± azatioprin atau 6- merkaptopurin.<br />
<br />
Pembedahan <br />
• Kolitis ulserativa (25% dari seluruh pasien) : terapi medikamentosa gagal, perdarahan, perforasi, striktur, kolitis fulminan atau megakolon toksik yang gagal berespons dalam 48-72 jam setelah diberikan terapi medikamentosa, displasia atau karsinoma.<br />
• Penyakit Crohn (75% dari seluruh pasien) : terapi medikamentosa gagal, kebutuhan steroid kronis, striktur, fistula, abses, karsinoma.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Penatalaksanaan Serangan Akut<br />
Beratnya Pilihan <br />
Ringan Senyawa 5-ASA<br />
Sulfasalazin (5-ASA + struktur yang berasal dari sulfa) : azoreduktase bakteri melepaskan 5-ASA dalam kolon.<br />
Mesalamin (5-ASA pada berbagai tingkat kesensitifannya terhadap pH atau kapsul-kapsul yang time-dependent)<br />
Asakol : larut pada pH 7,0 5-ASA yang dilepaskan pada usus halus terminal dan kolon <br />
Pentasa : 5-ASA dilepaskan ke seluruh usus halus dan kolon<br />
Olsalazin (5-ASA dimer) : terpecah di dalam kolon<br />
+ Metronidazol apabila terdapat penyakit Crohn perianal<br />
Sedang Steroid oral <br />
+ Azatioprin, 6-merkaptopurin, atau metotreksat pada penyakit Crohn<br />
Berat Steroid intravena + siklosporin + Ab anti TNF- (untuk penyakit Crohn yang refrakter)<br />
Usus diistirahatkan, obat pilihan anti-diare, TPN, antibiotik<br />
Pemeriksaan abdomen serial dan radiografi / CT untuk menentukan dilatasi, perforasi, atau abses.<br />
Dekompresi pada megakolon toksik (Pasien berguling dari sisi ke sisi dan ke arah abdomennya)<br />
(Med Clin North Am78 : 1413, 1994)<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
ISKEMIK MESENTERIKA<br />
<br />
Etiologi akut pada usus halus<br />
• Emboli arteri (50%) : dari LA (AF) atau LV ( EF)<br />
• Trombosis Arteri (20%) : biasanya pada tempat aterosklerosis yang sebelumnya ada, sering berasal dari arteri.<br />
• Iskemia mesenterikus non-oklusif (20%) : curah jantung yang rendah + agen -adrenergik dosis tinggi.<br />
• Trombosis vena (10%) : keadaan hiperkoagulasi, hipertensi portal, keganasan, peradangan (pankreatitis, peritonitis), trauma, pembedahan.<br />
<br />
Kolitis iskemik<br />
• Non-oklusif, dengan curah jantung yang diperberat oleh aterosklerosis yang sebelumnya sudah ada.<br />
<br />
Manifestasi klinis<br />
• + Riwayat tanda-tanda iskemia mesenterikus kronis : nyeri perineumbikalis setelah makan, cepat kenyang.<br />
• Akut; onset mendadak nyeri abdomen, lebih nyeri dibandingkan saat pemeriksaan fisik pada abdomen.<br />
• Subakut : onset mual yang meningkat bertahap, muntah, anoreksia, perubahan pola defekasi.<br />
• GIB<br />
<br />
Pemeriksaan fisik<br />
• Mungkin tidak ada tanda yang jelas<br />
• Infark mesenterium yang dicurigai karena adanya nyeri tekan di abdomen tanda-tanda pada peritoneum distensi, hilangnya bising usus, nyeri tekan yang sangat hebat, uji darah samar (+).<br />
<br />
Pemeriksaan diagnostik<br />
• Evaluasi laboratorium : Hitung leukosit , amilase , LDH dan CPK; asidosis metabolik dan laktat (lambat).<br />
• Pemeriksaan pencitraan<br />
Foto polos abdomen : ileus adinamik<br />
USG doppler (sering sulit karena distensi usus) : mungkin menunjukkan aliran mesenterikus yang abnormal.<br />
CT abdomen : penebalan dinding usus, pneumatosis dinding usus<br />
Angiografi : merupakan pemeriksaan baku (gold standar)<br />
<br />
Penatalaksanaan<br />
• Penggantian volume cairan dan mengoptimalkan hemodinamik, menghentikan agen -adrenergik bila memungkinkan.<br />
• Antibiotik<br />
• Infus agen trombolitik intraarteri untuk emboli arteri akut<br />
• Antikoagulan untuk trombosis vena<br />
• Infus papaverin intraarteri untuk iskemia mesenterikus non-oklusif<br />
• Pembedahan : embolektomi untuk emboli arteri akut; reseksi usus yang terkena infark mesenterikus.<br />
<br />
Prognosis <br />
• Mortalitas 20-70%<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
PANKREAS AKUT<br />
<br />
Etiologi<br />
• Umumnya : Alkohol dan batu empedu<br />
• Jarang <br />
Obstruksi (tumor pada ampula atau pankreas, divisum pankreas dengan stenosis papila minor).<br />
Metabolik (hipertrigliseridemia, hiperkalsemia)<br />
Obat-obatan (furosemid, tiazid, sulfa, didanosin, penghambat protease, estrogen, azatioprin).<br />
Infeksi (echovirus, Coxsackievirus, mumps, rubela, EBV, CMV, HIV, HAV, HBV).<br />
Trauma (trauma tumpul abdomen, pasca ERCP)<br />
Sengatan kalajengking (di Trinidad)<br />
<br />
Manifestasi klinis<br />
• Nyeri abdomen di midepigastrium, menyebar ke punggung, hilang bila posisi duduk condong ke arah depan.<br />
• Mual dan muntah<br />
• Demam<br />
<br />
Pemeriksaan fisik<br />
• Nyeri tekan dan nyeri lepas di daerah abdomen, bising usus (ileus adinamik), massa abdomen dapat dipalpasi +.<br />
• Apabila berat : tanda Cullen (periumbilikalis) atau Grey Turner (bokong) menunjukkan adanya perdarahan retroperitoneum.<br />
• Hipotensi atau syok +<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Pemeriksaan diagnostik<br />
• Laboratorium : amilase dan lipase<br />
Bergantung tingkat keparahannya : leukosit , hematokrit , BUN , Ca , glukosa , uji fungsi hepar + .<br />
• Pemeriksaan pencitraan : CT abdomen merupakan terpilih (namun akan tampak normal pada lebih dari 28% kasus ringan)<br />
Suntikan cepat kontraksi IV + (CT dinamik) untuk menilai integritas mikrosirkulasi dan mendeteksi nekrosis dapat menunjukkan kalsifikasi apabila terdapat pankreatitis kronis.<br />
• Drainase abses yang dipandu CT atau aspirasi jarum halus pada nekrosis pankreas.<br />
• Endoscopic retrograde cholangiopancreatograpgy (ERCP) : secara umum bukan indikasi kecuali pada pankreatitis karena batu empedu dengan obstruksi biliaris (lihat dibawah).<br />
<br />
Penatalaksanaan <br />
• Terapi suportif<br />
Resusitasi cairan (mungkin perlu hingga 10 L/hari apabila terjadi pankreatitis yang menyebabkan gangguan hemodinamika yang berat.<br />
Analgetik dengan meperidin<br />
Penggantian elektrolit<br />
• Sisa pankreas NPO : penyedotan pada NG jika mual dan muntah proyektil; pemberian octreotide pada kasus-kasus yang berat.<br />
• Antibiotik : imipenem pada pasien yang mengalami nekrosis<br />
• ERCP apabila pankreatitis disebabkan batu empedu dengan obstruksi biliaris<br />
<br />
Komplikasi <br />
• Sistemik : syok, ARDS, gagal ginjal, perdarahan saluran cerna.<br />
• Metabolik : hipokalsemia, hiperglikemia, hipertrigliseridemia<br />
<br />
• Pseudokista (10-20%)<br />
Dicurigai bila terdapat nyeri persisten atau peningkatan enzim amilase atau lipase yang persisten kebanyakan sembuh secara respon spontan; apabila menetap > 6 minggu dan disertai rasa nyeri drainase internal atau perkutaneus.<br />
• Pankreatik nekrotikans : tangani secara konservatif selama mungkin, pembedahan dilakukan apabila pasien tetap tidak stabil.<br />
• Infeksi (5%) : demam peningkatan leukosit<br />
Abses pankreas : antibiotik + drainase (jika mungkin di pandu dengan CT)<br />
Pankreatik nekrotikans terinfeksi (aspirasi kultur bakteri (+)) : antibiotik + debrideman secara pembedahan (mortalitas 100% tanpa debrideman yang ekstensi / luas).<br />
Asites pankreatik atau efusi pleura : menunjukkan disrupsi duktus pankreatikus; pertimbangan ERCP dengan penempatan stent menyilang duktus.<br />
Kriteria Ranson<br />
Pada diagnosis Pada 48 jam<br />
Usia > 55 tahun Hematokrit > 10 %<br />
Jumlah leukosit > 16.000/mm3 BUN > 5 mg/dl<br />
Glukosa > 200 mg/dl Defisit basa > 4mEq/L<br />
AST > 250 U/L Ca < 8 mEq/L
LDH > 350 U/L PO2 < 60 mmHg
Sekuestrasi cairan > 6 L<br />
Prognosis <br />
#Kriteria Mortalitas <br />
< 2 < 5 %
3 – 4 15 – 20 %
5 – 6 40 %
> 7 > 99 %<br />
(Am J Gastroenterol 77 : 663, 1982)<br />
UJI HEPAR ABNORMAL<br />
<br />
Uji fungsi hepar<br />
• Albumin : petanda umum untuk sintesis protein hepar. Menurun secara perlahan pada gagal hepar.<br />
• Waktu protrombin (PT) : bergantung pada sintesis faktor pembekuan I, II, V, VII, X; karena waktu paruh beberapa faktor pembekuan ini pendek, peningkatan PT dapat terjadi dalam hitungan jam setelah terjadi disfungsi hepar.<br />
• Bilirubin : produk metabolisme heme di dalam hepar; baik tak terkonjugasi (indirek) ataupun terkonjugasi (direk).<br />
<br />
Uji hepar abnormal pada cedera<br />
• Aminotransferase (AST, ALT) : enzim-enzim intraselular<br />
ALT spesifik terhadap hepar; AST ditemukan dalam hepar, jantung, muskulo skeletal, ginjal, dan otak; aminotransferase berupa LDH nonspesifik dilepaskan (dan menjadi meningkat kadarnya) pada nekrosis dan peradangan hepar.<br />
ALT > AST hepatitis virus ; AST : ALT > 2 : 1 hepatitis alkoholik, LDH hepatitis iskemik.<br />
• Fosfatase alkali (AP) : enzim yang terikat pada membran kanikular hepar<br />
Selain di hepar, juga ditemukan di tulang, usus, dan plasenta<br />
Untuk menginformasikan enzim ini berasal dari hepar adalah dengan : fraksinasi panas : (“hepar hidup, tulang terbakar”), 5’-NT atau GGT.<br />
kadar terlihat pada obstruksi biliaris (seperti : batu) atau kolestasis intrahepatik (seperti : infiltrasi hepatik)<br />
<br />
Pola-pola pada cedera hepar<br />
• Hepatoselular : aminotransferase , bilirubin atau AP +<br />
aminotransferase (> 1000) : hepatitis virus, overdosis asetaminofen, dan iskemia.<br />
• Kolestasis : AP dan bilirubin, aminotransferase +<br />
• Hiperbilirubinemia terpisah : bilirubin, AP dan aminotransferase yang mendekati normal.<br />
• Infiltratif : AP , bilirubin atau aminotransferase +<br />
<br />
Gambar 3-6. Pendekatan uji hepar abnormal dengan pola hepatoselular<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Gambar 3-7. Pendekatan uji hepar abnormal dengan pola kolestatik<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Gambar 3-8. Pendekatan uji hepar abnormal dengan hiperbilirubinemia yang terpisah<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Gambar 3-9. Pendekatan uji hepar abnormal dengan pola infiltratif<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
HEPATITIS<br />
<br />
Hepatitis A<br />
• Penularan : rute orofekal; makanan, air, susu dan kerang yang tercemar; pusat perawatan harian dalam keadaan terjangkit wabah.<br />
• Inkubasi : 2-6 minggu<br />
• Kronis : tidak ada<br />
• Diagnosis : hepatitis akut = 1gM anti-HAV (+); pernah terpajan = anti-HAV (+), 1gM anti HAV-<br />
<br />
Hepatitis B<br />
• Penularan : perkutaneus, seksual, perinatal<br />
• Inkubasi : 2-6 bulan<br />
• Sindrom ekstrahepatik : poliartritis nodosa, glomerulonefritis membranosa<br />
• Kronisitas : < 10%
• Serologi :
HbsAg : muncul sebelum gejala; digunakan untuk skrining pendonor darah
HbeAg : bukti replikasi virus dan infektivitas
IgM anti-HBc : Antibodi yang pertama kali muncul : menunjukkan infeksi akut
IgG anti-HBc : menunjukkan infeksi HBV sebelumnya (HbsAg-) atau infeksi HBV yang sedang berlangsung (HbsAG +)
Anti-HBe : menunjukkan penghentian replikasi virus, infektivitas
Anti-HBs : menunjukkan resolusi penyakit akut dan kekebalan (petanda tunggal setelah vaksinasi)
HBV DNA : muncul dalam serum yang berhubungan dengan replikasi virus aktif di dalam hepar.
Gambar 3-10. Perjalanan serologik infeksi hepatitis virus B akut
(Atas izin dari Hoofnage, J.H. dan Schafer, D.F. Serologic markers of hepatitis B virus Infection Semin Liver Dis 6 : 1-10, 1986)
• Diagnosis
Diagnosis HBsAG Anyi-HBs Anti-HBc
Hepatitis akut - IgM
Riwayat pajanan - IgG
Hepatitis kronis + IgG
Imunisasi - -
• Penatalaksanaan untuk penyakit kronis (HbsAg (+), HBV DNA (+), ALT)
IFN--2b (N Engl J Med 323 : 295, 1990) atau lamuvidine (N Engl J Med 333 : 1657, 1995) hilangnya petanda replikasi virus dan normalisasi uji fungsi hepar pada 20-40%.
Transplantasi hepar : 80-100% reinfeksi dan hasilnya sering buruk kecuali bila diberikan HBIG atau lamuvidine.
Hepatitis C
• Penularan : perkutaneus > > seksual; 20% tanpa suatu pencetus yang jelas<br />
• Inkubasi : 1-3 bulan<br />
• Sindrom ekstrahepatik krioglobulinemia, porfiria kutaneus tarda, MPGN (glomerulonefritis membranoproliferatif), limfoma.<br />
• Perjalanan penyakit<br />
Infeksi akut : ikterus pada 25%, subklinis pada 75%, hepatitis fulminan pada < 1%.
Kronis : 80% berkembang menjadi hepatitis kronis, 20-30% dari yang berkembang menjadi sirosis (setelah 20 tahun), karsinoma hepatoselular berkembang menjadi 2-5% sirosis tiap tahunnya (biasanya setelah 30 tahun).
• Serologi
Anti-HCV (ELISA) : dalam waktu 6 minggu hingga 6 bulan
HCV RIBA : digunakan untuk mengkonfirmasi anti-HCV-ELISA pada pasien dengan kemungkinan kecil infeksi HCV.
HCV RNA : petanda infeksi aktif
• Diagnosis : hepatitis akut = HCV RNA, anti HCV +; hepatitis kronis = anti-HCV dan HCV RNA .
• Penatalaksanaan : (pasien dengan ALT dan peradangan aktif pada biopsi terhadap seluruh pasien; JAMA 280 : 2088, 1998)
IFN--2b 20% laju respons bertahan (N Engl J Med 321 : 1501 dan 1506, 1989).
IFN + ribavirin - 40% laju respons bertahan (N Engl J Med 339 : 11485 dan 1493, 1998) transplantasi hepar : 100% terinfeksi kembali, namun biasanya ringan.
Hepatitis D
• Penularan : perkutaneus atau seksual
• Patogenesis : memerlukan fungsi pembantu infeksi HBV untuk menimbulkan baik infeksi spontan maupun superimposisi.
• Perjalanan penyakit : hepatitis yang lebih berat, perubahan ke arah sirosis yang lebih cepat
• Diagnosis : anti-HDV
Hepatitis E
• Penularan : oro-fekal; wisatawan ke Pakistan, India, Asia Tenggara, Afrika, dan Meksiko.
• Perjalanan penyakit : hepatitis akut dengan mortalitas yang meningkat (10-20%) selama kehamilan.
• Diagnosis : IgM anti-HEV (melalui CDC)
Virus-virus lain : (CMV, EBV, HSV, VZV)
AUTOIMUN
Klasifikasi (N Engl J Med 334 ; 897, 1996)
• Tipe 1 : Antibodi anti-otot polos (ASMA), ANA; 2/3 perempuan; penyakit tiroid autoimun +, atau RA.
• Tipe 2 : mikrosom tipe 1 anti-hepar/ginjal (anti-LKM1)
• Tipe 3 : antigen hepar anti-larut (anti-SLA)
Sindrom Tumpang-tindih
• Hepatitis autoimun + sirosis biliaris primer atau kolangitis sklerosis primer
Penatalaksanaan
• Prenison + azatioprin 80% remisi; 50-90% relaps saat penghentian, memerlukan terapi jangka panjang.
PENYEBAB LAIN HEPATITIS ATAU HEPATOTOKSISITAS
Hepatitis alkoholik
• Kadar aminotransferase biasanya < 300-500 dengan rasio AST : ALT > 2 : 1, sebagian karena adanya defisiensi B6 yang terjadi bersamaan.<br />
• Pengobatan : diindikasikan jika fungsi diskriminan > 32 atau ensefalopati (tanpa GIB atau infeksi)<br />
Fungsi diskriminan = [4,6 x (PT-kontrol)] + bilirubin total (mg/dl)<br />
Prednison 40 mg per oral 4 kali sehari selama 1 bulan (N Engl J Med 326 : 507, 1992).<br />
<br />
Hepatotoksisitas asetaminofen<br />
• Patofisiologi : metabolisme normal melalui glukuronidasi dan sulfasi metabolit nontoksis;<br />
Over dosis hidroksilasi N oleh sitokrom P450 senyawa reaktif elektrofilik yang disimpan oleh glutation sampai jenuh hepatotoksisitas.<br />
• Pengobatan : N-asetilsestein : diberikan sampai 36 jam setelah konsumsi obat jika kadar asetaminofen sudah (sehingga kadar puncak tidak diketahui).<br />
Regimen : dosis pembebanan 140 mg/kg setiap 4 jam sebanyak 17 kali dosis tambahan.<br />
<br />
Obat-obat dan toksin lain yang dapat menyebabkan hepatitis<br />
• Amidaron, azol, statin, INH, metildopa, fenitoin, sulfonamid, tetrasiklin<br />
• Halotan, CCI4<br />
• Jamur racun (Amanita phalloides)<br />
<br />
Hepatitis iskemik : “syok hepar” dengan aminotrasferase > 1000 dan LDH <br />
<br />
Stetohepatitis non-alkoholik (NASH)<br />
• Perubahan lemak dan peradangan dalam hepar bukan pada waktu penggunaan alkohol.<br />
• Berhubungan dengan obesitas, hiperlipidemia, diabetes melitus, dan sindrom Cushing.<br />
<br />
Gambar 3-11. Nomogram toksisitas asetaminofen<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
(Apabila kadar asetaminofen didapatkan > 4 jam setelah lajak takar (over dosis) turun hingga di atas garis pengobatan, berikan asetilsistein untuk keseluruhan waktu pemberian. Diadaptasi dari Arch Int Med 141 : 382, 1981 dan Guidelines for the Management of Acute Acetaminophen Overdose atas izin McNeil, 1999)<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
GAGAL HATI AKUT<br />
<br />
Definisi<br />
• Penyakit hepar akut + koagulopati + ensefalopati<br />
• Fulminan = berkembang dalam 8 minggu; subfulminan = berkembang antara 8 minggu hingga 6 bulan.<br />
<br />
Etiologi<br />
• Virus ( 60%)<br />
HAV (0,35% infeksi akut), HBV (1%), HCV (< < 1%), HDV (10%), HEV (jika hamil).
HSV (penjamu mengalami gangguan kekebalan), EBV, CMV, adenovirus, paramiksovirus, parvovirus B19.
• Obat-obatan / Toksin ( 20%)
Asetaminofen
Obat lain : fenitoin, INH, rifampin, sulfonamid, tetrasiklin, amidaron, propiltiourasil.
Toksin : hidrokarbon terfluorinasi, CCI4
Amanita phalloides
• Vaskular : hepatitis iskemik, sindrom Budd-Chiari, VOD hepatik, infiltrasi malignan.
• Hepatitis autoimun
• Lain-lain : penyakit Wilson, perlemakan hepar akut pada kehamilan, sindrom HELLP, sindrom Reye.
• Idiopatik ( 20%)
Manifestasi klinis
• Neurologik
Asteriksis
Ensefalopato : Derajat I = perubahan status mental; derajat II = letargi, konfusi, derajat III = stupor, derajat IV = koma.
Edema serebral refleks Cushing (hipetensi + bradikardi), dilatasi pupil, posisi deerebrasi, apnu.
• Kardiovaskular : hipotensi dengan SVR yang rendah
• Paru : alkalosis respiratorik, asupan O2, perifer yang terganggu, ARDS
• Saluran cerna : GIB, pankreatitis
• Ginjal : nekrosis tubular akut (ATN), sindrom hepatorenal, hiponatremia, hipokalemia, hipofosfatemia.
• Hematologi : koagulopati (karena sintesis faktor pembekuan darah + DIC)
• Infeksi : terlihat pada 90% pasien; SBP pada 32% pasien; demam dan leukositosis mungkin tidak dijumpai.
• Endokrin : hipoglikemia
Rencana penanganan
• Serologi virus
• Skrining toksikologi (kadar asetaminofen tiap 1-2 jam hingga puncaknya ditentukan)
• Pemeriksaan pencitraan (USG pada abdomen kuadran kanan atas atau CT abdomen, pemeriksaan doppler terhadap vena porta dan hepatika).
• Uji lainnya : serologi autoimun, seruloplasmain dan tembaga dalam urin
• Biopsi hepar (kecuali ada koagulopati)
Penatalaksanaan
• Perawatan setingkat ICU yang potensial meliputi pengawasan dan perawatan ICP, hemodinamik dan alat bantu ventilator, anti-koagulopati, pengawasan dan penanganan secara agresif terhadap infeksi, tetesan D10 untuk hipoglikemia, dan lain-lain.
• Penatalaksanaan penyebab spesifik (N-asetilsistein untuk asetaminofen, kortikosteroid terhadap hepatitis autoimun, terapi khelasi terhadap penyakit Wilson, dan lain-lain)
• Transplantasi hepar jika prognosisnya buruk (lihat dibawah)
Prognosis
• Kelangsungan hidup 10-50%
• Perkiraan hasil akhir yang buruk (Gastroenterology 97 : 439, 1989)
Usia > 40 tahun; penyebabnya selain asetaminofen, HAV dan HBV<br />
Ensefalopati derajat III atau IV (onset > 7 hari setelah onset ikterus), PT > 50, bilirubin > 17,5.<br />
• Daya tahan hidup 1 tahun setelah transplantasi hepar adalah > 60%.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
SIROSIS<br />
<br />
Definisi<br />
• Definisi : regenerasi fibrosis dan nodular yang berasal dari cedera hepatoselular.<br />
<br />
Etiologi<br />
• Alkohol<br />
• Hepatitis virus (Infeksi HBV, HCV, HDV kronis)<br />
• Hepatitis autoimun (perempuan, IgG , ANA , Ab-otot polos)<br />
• Penyakit metabolik : hemokromatosis, penyakit Wilson, defisiensi 1-antitripsin.<br />
• Penyakit traktus biliaris : sirosis biliaris primer, sirosis biliaris sekunder (kalkulus, neoplasma, striktura, atresia biliaris), kolangitis sklerosis primer.<br />
• Penyakit vaskular : sindrom Budd-Chiari, gagal jantung sisi kanan atau perikarditis konstriktif<br />
<br />
Manifestasi klinis<br />
• Mungkin subklinis akan muncul sebagai disfungsi hepar yang progesif, hipertensi portal, atau keduanya.<br />
<br />
Pemeriksaan fisik<br />
• Hepar : membran, dapat dipalpasi, berbatas tegas, nodular menyusut dan nodular.<br />
• Tanda gagal hepar : ikterus, telangiektaris, eritema plamaris, kontraktur Dupuytren, bantalan kuku proksimal berwarna putih (kuku Terry), ginekomastia, atrofi testis, asteriksis, ensefalopati, fetor hepatikus.<br />
• Tanda hipertensi portal : splenomegali, asites, vena abdominal superfisialis yang berdilatasi (kaput medusa).<br />
<br />
Langkah Penanganan<br />
• USG abdomen : ukuran hepar, melihat adanya karsinoma hepatoselular, asites, menilai patensi vena porta, splenikus dan hepatika.<br />
• Serologi hepatitis (HbsAg, anti HBs, anti-HCV), pemeriksaan hepatitis autoimun (IgG, ANA, Ab anti-otot polos), pemeriksaan Fe (saturasi Fe, feritin), seruloplasmin, tembaga urine, 1AT, Ab anti-mitokondrial, ekokardiogram (jika berkenaan dengan gagal jantung sisi kanan).<br />
• Biopsi hepar (perkutaneus atau transjugularis)<br />
• AFP<br />
<br />
Komplikasi<br />
• Hipertensi portal : aasites, peritonitis bakterialis spontaneus, varises, UGIB<br />
• Ensefalopati hepatik : kegagalan hepar melakukan detoksifikasi bahan-bahan beracun (NH, dan sejenisnya) yang dicetuskan dengan kadar NH3 yang terlihat dengan asupan protein yang berlebihan, konstipasi, GIB, infeksi, azotemia, hipokalemia, gagal hepar, HCC, pirau portosistemik, hipotensi, alkalosis.<br />
Penatalaksanaan : pembatasan asupan protein, laktulosa (pengawasan kolon yang menjadikan NH3 NH4¬+; perubahan flora usus organisme yang menghasilkan NH3), neomisin, flumazenil.<br />
• Sindrom hepatorenal : azotemia dan oluguria progesif, UNa < 10 mEq/L, tidak ada respons terhadap pemberian cairan intravena (IVF).
Pencetus : GIB, diuresis berlebihan, parasentesis, aminoglikosida, NSAID
• Sindrom hepatopulmonal : hipoksemia )+ plapnu-ortodeoksia) karena pirau AV paru.
• Gagal hepar : dicetuskan karena kerusakan hepar yang lebih lanjut atau stresor sistemik (infeksi, pembedahan).
• Infeksi
• Karsinoma hepatoselular : pertimbangkan apabila ukuran hepar , asites dan nyeri abdomen , ensefalopati , berat badan , AFP , atau nodul hepatik pada USG atau CT.
Klasifikasi Modifikasi Child-Pugh
Nilai Skor
1 2 3
Asites Tidak ada Mudah diatasi Sulit diatasi
Ensefalopati Tidak ada Derajat I atau II Derajat III atau IV
Bilirubin (mg/dl) < 2,0 2, 0-3,0 > 3,0<br />
Albumin (g/dl) > 3,5 2, 8-3,5 < 2,8
PT (memanjang) < 4 4 – 6 > 6<br />
Klasifikasi <br />
A B C<br />
Jumlah keseluruhan 5 – 6 7 – 9 10 – 15 <br />
(Birt J surg 60 : 646, 1973)<br />
<br />
Tranplantasi Hati<br />
• Indikasi : ensefalopati berat atau rekurens, asites reprakter, peritonitis bakterial spontan (SBP), perdarahan varises rekurens, bilirubin > 10 mg/dl, albumin < 3 g/dl, PT > 3 detik di atas kontrol.<br />
• Kontraindikasi : HIV, penyalahgunaan substansi akut, sepsis, keganasan (ekstrahepatik), komorbiditas berat.<br />
• Daya tahan hidup 1 tahun hingga lebih dari 90%, daya tahan hidup 5 tahun mencapai lebih dari 80%.<br />
<br />
ETIOLOGI SIROSIS YANG KURANG SERING<br />
Hemakromatosis<br />
• Definisi : gangguan kelebihan tembaga yang diturunkan secara resesif autosomal.<br />
• Epidemiologi : 1 dalam 300, biasanya pada laki-laki usia pertengahan<br />
• Manifestasi klinis tambahan : kulit berwarna perunggu, diabetes melitus, artritis, gagal jantung.<br />
• Pemeriksaan diagnostik : saturasi zat besi (> 60% pada laki-laki, > 50% pada perempuan), feritin, indeks besi hepar > 1,9, mutasi gen HFE.<br />
• Penatalaksanaan : flebotomi, deferoksamin, konseling genetik.<br />
<br />
Penyakit Wilson<br />
• Definisi : gangguan kelebihan tembaga yang diturunkan secara resesif autosomal.<br />
• Epidemiologi : 1 dalam 30000-50000, biasanya manifestasi dimulai sebelum usia 30 tahun.<br />
• Manifestasi klinis tambahan : gangguan neuropsikiatrik, cincin Kayser-Fleischer.<br />
• Pemeriksaan diagnostik : tembaga di urine, seruloplasmin serum , kandungan tembaga di hepar > 250 gram/g berat kering.<br />
• Penatalaksanaan : terapi khelasi dengan penisilinamin, trientin; seng oral apabila preimtomatik atau hamil.<br />
<br />
Defisien 1-antitripsin (1-AT)<br />
• 1-AT yang abnormal polimerisasi di hepar (sirosis) & protase yang tak terkontrol di paru (emfisema).<br />
• Manifestasi klinis tambahan : emfisema<br />
• Pemeriksaan diagnostik : tidak ada globulin 1-AT pada SPEP, badan inklusi dengan pewarnaan PAS pada biopsi hepar..<br />
• Penatalaksanaan : transplantasi hepar (untuk penyakit hepar) dan penggantian 1-AT (terhadap penyakit paru).<br />
<br />
Sirosis biliaris primer (PBC, Primary Biliary Cirrhosis)<br />
• Definisi : destruksi autoimun atau duktus biliaris intrahepatik<br />
<br />
• Epidemiologi : perempuan usia pertengahan, familial, bersamaan dengan penyakit autoimun.<br />
• Manifestasi klinis tambahan : fatigue, pruritus, malabsorpsi lemak<br />
• Pemeriksaan diagnostik : AP , bilirubin , An anti-mitokondrial (AMA) pada 95%, kolesterol .<br />
• Penatalaksanaan : asam ursodeoksikolat; vitamin yang larut dalam lemak; kolestiramin untuk pruritus, transplantasi.<br />
<br />
Kolangitis sklerosis primer (PSC, Primary Sclerosing Cholangitis)<br />
• Definisi : kolestatis idiopatik dengan fibrosis pada duktus biliaris intra dan ekstrahepatik.<br />
• Epidemiologi : laki-laki muda (usia 20-50 tahun), berhubungan dengan IBD pada 70% kasus (UC > > CD).<br />
• Manifestasi klinis : pruritus, demam, keringat malam, nyeri kudran kanan atas, kolangiokarsinoma.<br />
• Pemeriksaan diagnostik : bilirubin , AP , p-ANCA pada 70%, ERCP striktur duktus biliaris berbercak multifokal.<br />
• Penatalaksanaan : asam ursodeoksikolat, kolestiramin, vitamin yang larut dalam lemak, pemasangan stent pada striktur duktus biliaris yang dominan, transplantasi hepar (risikonya adalah adanya kemungkinan terjadi striktur duktus biliaris pasca transplantasi).<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
ASITES<br />
<br />
Etiologi<br />
• Yang berhubungan dengan hipertensi portal (SAAG > 1,1)<br />
Sinusoid<br />
Sirosis (81% kasus)<br />
Peritonitis bakterial spontan (SBP)<br />
Hepatitis<br />
Metastasis masif pada hepar<br />
Karsinoma hepatoseluler<br />
Pasca-sinusoid<br />
Perikarditis konstriktif<br />
Gagal jantung kongestif sisi kanan<br />
Insufisiensi trikuspid<br />
Budd-Chiari (trombosis vena hepatika)<br />
Penyakit oklusi vena<br />
Pre-sinusoid (kadang-kadang menyebabkan asites)<br />
Trombosis vena spenikus atau porta<br />
Skistosomiasis<br />
• Yang tidak berhubungan dengan hipertensi portal (SAAG < 1,1)
Peritonitis TB, ruptur viskus (amilase )
Karsinomatosis peritonii
Pankreatitis (amilase )
Vaskulitis
• Lain-lain : sindrom Meig, miksedema, sindrom nefrotik, enteropati akibat kehilangan protein.
• Chylous : limfoma, TB, trauma
Patofisiologi
• Teori “Underfill” : hipertensi portal transudasi cairan ke dalam peritoneum volume plasma retensi Na di ginjal.
• Teori “Overflow” : refleks hepatorenal retensi Na
• Teori vasodilatasi perifer : hipertensi portal vasodilatasi sistemik (karena lepasnya nitrat oksida) efektivitas volume arteri retensi Na di ginjal.
• Hipoalbuminemia penurunan tekanan onkotik serum
• produksi limfe hepatik
Langkah-langkah penatalaksanaan
• Deteksi : pemeriksaan fisik (pekak alih, gelombang cairan) memiliki sensitivitas 60%; USG mendeteksi apabila > 100 cc.<br />
• Gradien albumin serum asites (SAAG); akurasi > 95%; Ann Intern Med 117 : 215, 1992) > 1,1 g/dl berhubungan dengan hipertensi portal ; < 1,1 g/dl tidak berhubungan dengan hipertensi portal.
• Protein total cairan asites (AFTP, akurasi 50%); < 2,5 g/dl “transudat”; > 2,5 g/dl “eksudat” <br />
SBP (proses “eksudasi”) : SAAG < 1,1 namun AFTP < 2,5 g/dl
Asites karena jantung (proses-proses transudatif) : SAAG > 1,1 tapi AFTP > 2,5 g/dl sehingga AFTP berguna apabila SAAG > 1,1 untuk membedakan sirosis ( AFTP) dengan asites karena jantung (AFTP )<br />
• Apabila terdapat hipertensi portal pikirkan uji fungsi hepar, USG di abdomen kuadran kanan atas, pemeriksaan doppler pada vena porta, splenikus dan hepatikus, ekokardiogram + kateterisasi jantung kanan (apabila tanda-tanda gagal jantung sisi kanan), biopsi hepar.<br />
• Singkirkan infeksi : hitung jenis (perlakukan seperti pada peritonitis apabila neutrofil > 220 – 500/l), pewarnaan gram dan kultur (+ BTA) + inokulasi bangsal terhadap botol-botol kultur darah (hasil 85%).<br />
• Uji lain sesuai indikasi (seperti : amilase, sitologi)<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Penatalaksanaan <br />
• Asupan Na (1-2 g/hari); tirah baring, pembatasan cairan bila hiponatremik<br />
• Diuretik (efektif pada 90% kasus)<br />
Spironolakton (mulai dengan 100 mg PO 4 x 1) + furosemid (mulai dengan 40 mg PO 4 x 1)<br />
Tujuan : membuat diuresis 1 L/hari (biasanya tubuh tidak mampu mereabsorpsi asites dengan kecepatan > 1 L/hari).<br />
• Parasentesis terapeutik<br />
Indikasi bila pasien dispnu atau merasa sangat tidak nyaman<br />
Keluarkan 4-6 liter; + albumin pengganti (sedikit abnormalitas kimiawi asimtomatik; tidak ada perubahan mortalitas).<br />
• Parasentesis terapeutik pasien rawat jalan<br />
• Pirau portosistemik intrahepatik transjugular (TIPS) : > 75% resolusi asites, namun > 15% menjadi ensefalopati.<br />
• Transplantasi hepar, bila memenuhi syarat.<br />
<br />
Peritonitis bakterial<br />
• Definisi <br />
Tipe Hitung sel asites/mm3 Kultur asites<br />
Steril < 250 PMN -
Peritonitis bakterial spontan > 250 PMN (satu organisme)<br />
Asites neutrositik kultur negatif (CCNA) > 250 PMN -<br />
Bakterasites non-neutrositik (NNBA) < 250 PMN (satu organisme)
Sekunder > 250 PMN (polimikroba)<br />
Berhubungan dengan dialisis peritoneum > 100 dengan predominan PMN <br />
<br />
• Peritonitis Bakterial Spontan<br />
Epidemiologi : terjadi pada 19% sirosis; faktor risiko : AFTP < 1,0 g/dl, serum bilirubin > 2,5 mg/dl.<br />
Manifestasi klinis : demam, nyeri abdomen, nyeri tekan dan nyeri lepas, perubahan status mental, tanda klinis mungkin kurang dipercaya, karena memiliki ambang yang rendah dalam parasentesis diagnostik.<br />
Patogen : 70% batang gram negatif (E. Coli, Klebsiella), 30% kokus gram positif (S. Penumococus, golongan streptococci lainnya,Enterococcus).<br />
Pengobatan : sefalosporin generasi III (pemberiannya berdasarkan kultur dan sensitivitas data) selama 5 hari profilaksis (apabila ada riwayat SBP, GIB, atau albumin asites < 1,0 g/dl) : norfloksasin 400 mg PO 4 x 1.
• CNNA : varian dari peritonitis bakterial spontan dengan perjalanan penyakit yang serupa, juga diterapi dengan sefalosporin generasi III selama 5 hari.
• NNBA : obati hanya jika simtomatik
• Sekunder (abses intraabdominal atau viskus yang mengalami perforasi)
Polimikroba
Biasanya AFTP > 1,0 g/dl, glukosa cairan asites < 50 mg/dl, atau LDH cairan asites > 225 U/L.<br />
Penatalaksanaan : sefalosporin generasi III + metronidazol<br />
• Yang berhubungan dengan dialisis peritoneum<br />
Patogen : 70% kokus gram positif, 30% batang gram negatif<br />
Penatalaksanaan : vankomisin + gentamisin (bolus IV kemudian berikan saat dialisis peritoneum)<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
PENYAKIT TRAKTUS BILIARIS<br />
<br />
KOLELITIASIS (“BATI EMPEDI”)<br />
Epidemiologi <br />
• > 10% orang dewasa menderita batu empedu, prevalensi pada perempuan dan sejalan dengan penambahan usia, obesitas, dan kehamilan.<br />
<br />
Patogenesis <br />
• Empedu = gram empedu, fosfolipid, kolesterol, saturasi kolesterol dalam empedu pembentukan batu empedu.<br />
<br />
Jenis batu empedu<br />
• Campuran (80%) : batu multipel, kebanyakan kolesterol, dapat berkalsifikasi (15-20%).<br />
• Kolesterol (10%) : biasanya batu tunggal, besar, tidak mengalami kalsifikasi<br />
• Pigmen (10%) : bilirubin tak terkonjugasi (karena itu terlihat pada hemolisis kronis) dan kalsium.<br />
<br />
Manifestasi klinis<br />
• Anamnesis : mungkin asimtomatik (gejala pada 2% tahun) “kolik” biliaris serangan di kuadran kanan atas atau nyeri di epigastrium yang mulainya mendadak, terus-menerus, menghilang perlahan, dan berlangsung selama 30 menit hingga 3 jam. Berhubungan dengan nausea. Bisa dicetuskan oleh makanan berlemak.<br />
• Pemeriksaan fisik : tidak demam, nyeri tekan pada abdomen kuadran kanan atas.<br />
<br />
Pemeriksaan diagnostik<br />
• USG abdomen kuadran kanan atas : sensitivitas dan spesifisitas > 90-95%; dapat memperlihatkan komplikasi (kolesistitis dan kolangitis)<br />
Penatalaksanaan <br />
• Kolesistektomi (biasanya laparoskopi) jika simtomatik<br />
• Terapi disolusi oral (ursodiol) pada pasien yang menolak atau yang tidak memenuhi syarat untuk dilakukannya tindakan pembedahan.<br />
<br />
Komplikasi <br />
• Kolesistitis (30% kolik biliaris simtomatik kolesistitis dalam 2 tahun)<br />
• Kolangitis<br />
• pankreatitis<br />
<br />
KOLESISTITIS<br />
Definisi<br />
• Peradangan pada kandung empedu (vesika felea)<br />
<br />
Patogenesis <br />
• Obstruksi duktus sistikus oleh batu empedu<br />
<br />
Manifestasi klinis<br />
• Anamnesis : mual, muntah, demam, nyeri di abdomen kuadran kanan atas dan mid-epigastrium yang berat dan menetap.<br />
• Pemeriksaan fisik : nyeri tekan di abdomen kuadrah kanan atas, tanda Murphy = rasa nyeri di kuadran kanan atas pada saat inspirasi, palpasi vesika felea bisa +.<br />
• Evaluasi laboratorium : jumlah leukosit , bilirubin dan AP +, amilase + (bahkan tanpa adanya pankreatitis)<br />
<br />
Pemeriksaan diagnostik<br />
• USG abdomen kuadran kanan atas : sensitivitas dan spesifisitas tinggi untuk batu empedu; tanda spesifik kolesistitis meliputi cairan perikolesistik, edema dinding vesika felea, dan tanda Murphy pada sonografi.<br />
• Koleskintigrafi (HIDA-scan) : uji paling sensitif terhadap kolesistitis akut. Prosedurnya meliputi injeksi HID intravena yang berlabel radioaktif, yang secara selektif melakukan sekresi ke dalam percabangan biliaris. Pada kolesistitis akut, HIDA memasuki duktus kolekodus (CBD), tapi tidak ke vesika felea.<br />
<br />
Penatalaksanaan <br />
• NPO, cairan IV, antibiotik (E. Coli, Klebsiela, enterokokus, dan Enterobacter adalah kuman patogen yang sering).<br />
• Kolesistektomi semidarurat (biasanya dalam 72 jam)<br />
• Kolesistostomi dan drainase perkutaneus pada pasien yang keadaan umumnya sangat lemah sehingga belum bisa dilakukan tindakan pembedahan.<br />
• ERCP atau eksplorasi duktus koledokus untuk melihat koledokolitiasis pada pasien yang ikterik atau terlihat batu di duktus koledokusnya pada USG.<br />
<br />
Komplikasi<br />
• Perforasi<br />
• Empiema<br />
• Vesika felea emfisematosa karena infeksi oleh organisme yang membentuk gas.<br />
• Fistula kolesisenterik (ke duodenum, kolon, atau gaster) : dapat terlihat udara pada percabangan biliaris.<br />
• Ileus batu empedu : obstruksi usus (biasanya pada ileum terminalis) karena batu dalam usus yang melewati suatu fistula.<br />
<br />
KOLEDOKOLITIASIS<br />
Definisi<br />
• Batu empedu bersarang di duktus koledokus (CBD)<br />
<br />
<br />
Epidemiologi <br />
• Terjadi pada 15% pasien dengan batu empedu<br />
<br />
Manifestasi klinis<br />
• Asimtomatik (50%)<br />
• Kolik biliaris<br />
• Ikterik <br />
<br />
Pemeriksaan diagnostik<br />
• USG abdomen kuadran kanan atas : tampak dilatasi duktus (namun sensitivitas hanya 33% untuk mendeteksi batu di duktus koledokus).<br />
• Kolangiogram (ERCP, perkutaneus atau operasif)<br />
<br />
Penatalaksanaan <br />
• ERCP dan papilotomi dengan ekstraksi batu<br />
<br />
Komplikasi<br />
• Kolangitis<br />
• Pankreatitis<br />
• Kolesistitis<br />
• Striktur <br />
<br />
KOLANGITIS<br />
Definisi<br />
• Obstruksi duktus koledokus (CBD) infeksi proksimal dari lokasi obstruksi (“pus di bawah tekanan”)<br />
<br />
Etiologi <br />
• Batu duktus koledokus<br />
• Striktur<br />
• Neoplasma (biliaris atau pankreatik)<br />
• Infiltrasi dengan parasit (cacing) (Clonorchis sinensis, Opisthorchis viverrini)<br />
<br />
Manifestasi klinis<br />
• Trias Charcot : Nyeri kuadran kanan atas, ikterik, demam / menggigil<br />
• Panca Reynold : Trias Charcot + syok dan perubahan status mental<br />
<br />
Pemeriksaan diagnostik<br />
• USG abdomen kuadran kanan atas <br />
• ERCP<br />
<br />
Penatalaksanaan <br />
• Antibiotik<br />
• Dekompresi cabang biliaris dengan ERCP atau tindakan pembedahan.crazy boy'shttp://www.blogger.com/profile/10427640188054710037noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2500718933329494943.post-55589699602591378032010-07-06T14:39:00.000+07:002010-07-06T14:39:52.648+07:00kumpulan askep tentang abdomenGANGGUAN ESOFAGUS DAN GASTER<br />
DISFAGIA<br />
Definisi <br />
• Kesulitan pada proses menelan dan melewatkan makanan dari esofagus ke lambung.<br />
Etiologi <br />
Gambar 3-2. Etiologi disfagia <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Pemeriksaan diagnostik <br />
• Menelan barium atau esofagogastroduodenoskopi (EGD); ± pemantauan pH esofagus atau manometri.<br />
<br />
PENYAKIT REFLEKS GASTROENSOFAGUS (GERD)<br />
Patofisiologi<br />
• Relaksasi sementara yang berlebihan pada sfingter esofagus bawah (LES, Lower Esophageal Spincter) atau pada beberapa kasus, LES yang inkompeten.<br />
• Kerusakan mukosa esofagus karena kontak yang lama dengan asam, pepsin, garam empedu.<br />
• Hiatus hemia dapat menyebabkan tonus LES dan bertindak sebagai penampung isi lambung yang mengalami refluks.<br />
<br />
Manifestasi klinis<br />
• Heartburn, “angina” atipikal; regurtasi isi lambung kurang air, disfagia<br />
• Batuk (aspirasi nokturnal kronis), asma, suara parau (peradangan plika vokalis).<br />
• Pencetus : makan yang banyak, posisi supinasi, makanan berlemak, kafein, teofilin, alkohol, rokok, penyekat kanal kalsium (CCB).<br />
<br />
Uji diagnostik<br />
• Diagnosis sering berdasarkan pada anamnesis, mencoba mengobati dulu dengan inhibitor pompa proton.<br />
• EGD (esophagoduodenoscopy) untuk mendeteksi esofagitis, ulkus, easofagus Barret atau striktur.<br />
• Pemantauan pH esofagus ambulatoris selama 24 jam apabila diagnosisnya meragukan.<br />
<br />
Penatalaksanaan <br />
• Tindakan konservatif : mencegah pencetus, meninggikan kepada saat tidur, hindari keterlambatan makan.<br />
• Medikamentosa : antasid, penyekat H, agen prokinetik (seperti : cisapride); penghambat pompa proton (PPI).<br />
• Pembedahan : fundoplikasi (sering dengan laparoskopik)<br />
<br />
Komplikasi <br />
• Esofagus Barret (epitelisasi kolumnar dengan risiko adenokarsinoma), esofagitis, striktur.<br />
<br />
<br />
GASTROPATI DAN GASTRITIS<br />
Gastropati akut<br />
• Etiologi : NSAID, alkohol, stres yang berhubungan dengan penyakit mukosa (penyakit kritis).<br />
• Manifestasi klinis : asimtomatik, anoreksia, mual dan muntah, nyeri epigastrium, perdarahan saluran cerna atas.<br />
<br />
Gastritis antral kronis (“Tipe B”)<br />
• Etiologi : Infeksi H. Pylori <br />
• Manifestasi klinis : umumnya asimtomatik; tidak ada bukti yang jelas bahwa gastritis H. Pylori menyebabkan dispepsia non-ulkus; dapat berlanjut menjadi gastritis atrofi dengan risiko adenokarsinoma gaster.<br />
• Penatalaksanaan : Lihat penanganan H. Pylori <br />
<br />
Gastritis kronis pada daerah fundus (“Tipe A”)<br />
• Etiologi : Anemia pernisiosa <br />
• Patogenesis : auto-antibodi langsung terhadap sel parietalis (sehingga kekurangan asam dan faktor intrinsik).<br />
• Manifestasi klinis : gastritis atrofi, aklorhidria, dan hipergastrenemia, anemia permisiosa, tumor karsinoid gaster dan adenokarsinoma.<br />
<br />
PENYAKIT ULKUS PEPTIKUM<br />
Etiologi dasar<br />
• Infeksi H. Pylori (namun hanya 15-20 % dari pasien yang terinfeksi akan berkembang menjadi suatu ulkus.<br />
• NSAID<br />
• Gastrinoma dan keadaan hipersekretorius lainnya<br />
<br />
<br />
<br />
Manifestasi klinis<br />
• Nyeri abdomen spigastrik, hilang dengan makan (duodenum) atau memburuk dengan makan (gastrikum).<br />
• Perdarahan saluran cerna atas <br />
<br />
Pemeriksaan diagnostik<br />
• Uji untuk H. Pylori <br />
Serologi : (sensitivitas 90 %, spesifisitas 70-80 %, titer 3-6 bulan setelah terapi efektif) urea breath test (UBT, sensitivitas dan spesifitasnya > 95%)<br />
EGD + uji urease cepat (seperti, CLO testTM, > sensitivitas dan spesifisitas 95 %) atau biopsi dan histologi.<br />
• EGD atau UGI serial untuk mendeteksi ulkus<br />
<br />
Penatalaksanaan <br />
• Penghentian NSAID dan rokok<br />
• PUD dan H. Pylori (+) : Antibiotik dan PPI selama 7-14 hari memiliki angka keberhasilan > 90 % (Am J Med 105 : 424, 1998) antibiotik (2 dari 3) : klaritromisin 500 mg 2 x 1, amoksilin 1 g 2 x 1, mtronidazol 500 mg 2 x 1<br />
• Dispepsia non-ulkus : percobaan PPI atau cisapride; data yang diperdebatkan tentang manfaat eradikasi H. Pylori (N Engl J Med 339 : 1869 dan 1875, 1998; 341 : 1106, 1999).<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Gambar 3-3. Langkah diagnostik dan penanganan dispepsia<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
PERDARAHAN GASTROINTESTINAL<br />
<br />
Definisi<br />
• Hilangnya darah yang bisa dari berbagai tempat di intralumen dari orofaring sampai anus.<br />
• Klasifikasi : atas = di atas ligamentum Treitz; bawah = di bawah ligamentum Treitz.<br />
• Tanda : hematemesis = darah yang dimuntahkan atau terdapat pada muntahan (UGIB); hematokezia = buang air besar berdarah (LGIB atau UGIB yang cepat); melena = buang air besar seperti ter, berwarna hitam akibat darah dari saluran cerna (biasanya dari bagian atas saluran cerna, namun dapat di segala tempat di atas sekum).<br />
<br />
Etiologi perdarahan saluran cerna atas<br />
• Perdarahan orofaringeal dan epistakis darah tertelan<br />
• Esofagitis erosif<br />
Pejamu yang tanggap imunnya baik : GERD / esofagus Barrett, XRT<br />
Pejamu yang tanggap imunnya lemah : CMV, HSV, kandida<br />
• Varices (10 %)<br />
• Ruptur Mallory-Weiss (7%, robekan di gastroesofagus karena mau muntah / muntah-muntah dengan glotis yang tertutup).<br />
• Gastritis / gastropati (23%, NSAID, H. Pylori, alkohol, penyakit mukosa yang berhubungan dengan stres).<br />
• Penyakit ulkus peptikum (PUD) (46%)<br />
• Malformasi vaskular<br />
Lesi Dieulafony (arteri ektatik superfisialis biasanya pada kardia dengan UGIB yang mendadak dan masif) AVM (tersendiri atau bersama sindrom Osler-Weber-Rendu) fistula aorta-enterik (tandur aorta mengikis sepertiga porsio duodenum, muncul dengan “perdarahan luas”) vaskulitis.<br />
• Penyakit neoplastik (esofagus atau gaster)<br />
• Penyebab lahirnya : ulserasi hiatus hernia, koagulapati, amiloidosis, penyakit jaringan penyambung.<br />
<br />
Etiologi perdarahan saluran cerna bawah<br />
• Penyakit divertikular<br />
• Angiodisplasia<br />
• Penyakit neoplastik<br />
• Kolitis : infeksi, iskemik, radiasi, penyakit radang usus (UC > CD)<br />
• Hemoroid <br />
<br />
Manifestasi klinis<br />
• UGIB > LGIB : mual, muntah, hematemesis, muntah seperti warna kopi, nyeri epigastrium, reaksi vasovagal, sinkop, melena.<br />
• LGIB > IGIB : diare, tenesmus, BRBPR atau kotoran berwarna maron<br />
<br />
Langkah penanganan<br />
• Anamnesis <br />
GIB atau kronis, jumlah serangan, serangan terakhir yang paling sering hematemesis, muntah sebelum hematemesis, hematokezia, melena, nyeri abdomen, diare, penggunaan aspirin, NSAID, atau antikoagulan, atau diketahui menderita koagulopati ketergantungan alkohol, sirosis riwayat pembedahan saluran cerna atau aorta.<br />
• Pemeriksaan fisik<br />
Tanda vital : takikardi bila kehilangan cairan 10%; hipotensi ortostatik bila kehilangan cairan 20%; syok bila kehilangan cairan 30%, pucat, telangektasiasis (penyakit hepar alkohol atau sindrom Osleer-Weber-Rendu) <br />
Tanda penyakit hepar kronis : ikterus, spider angiomata, ginekomastia, atrofi testis, eritema palmaris, kaput medusa.<br />
Pemeriksaan abdomen : nyeri tekan dapat terlokalisir atau tanda-tanda di daerah peritoneum.<br />
Pemeriksaan rektum : warna kotoran, adanya hemoroid, atau fisura ani<br />
• Pemeriksaan laboratorium : Hematokrit (mungkin normal pada awal kehilangan darah akut sebelum seimbang kembali), hitung trombosit, PT, PTT, BUN / kreatinin (rasionya pada UGIB karena resorpsi saluran cerna dari darah atau azotemia prerenal), uji fungsi hepar.<br />
• Slang Nasogastrik dapat mendiagnosis UGIB, dapat membuang isi saluran cerna (sebelum dilakukan EGD dan untuk mencegah aspirasi), lavase untuk melihat ada tidaknya perdarahan yang menetap (prognosis buruk); negatif palsu pada waktu UGIB apabila perdarahan berasal baik dari duodenum maupun intermiten.<br />
• Pemeriksaan diagnostik pada UGIB : esofagogastroduodenoskopi (EGD) (dan terapi yang potensial).<br />
• Pemeriksaan diagnostik pada LGIB (periksa UGIB sebelum mencoba untuk melokalisasi LGIB yang diperkirakan)<br />
Perdarahan berhenti secara spontan klonoskopi (mengidentifikasi penyebab pada > 70% kasus dan potensial untuk tindakan terapi) <br />
Stabil namun perdarahan terus-menerus sken perdarahan (RBC berlabel 99mTc/albumin) : mendeteksi laju perdarahan yang > 0,1-1,0 ml/menit, namun sulit menentukan lokasi yang akurat.<br />
Tidak stabil arteriografi (mendeteksi laju perdarahan yang > 0,5-1,0 ml/menit dan potensial untuk tindakan terapi (infus vasopresin intra arteri atau embolisasi) laparotomi ekspolari.<br />
<br />
Penatalaksanaan<br />
• Penatalaksanaan akut perdarahan saluran cerna adalah resusitasi hemodinamik dengan cairan IV dan darah<br />
Buatlah akses dengan 2 jalur intravena yang berdiameter besar (18 gauge atau lebih).<br />
Resusitasi cairan dengan salin normal atau larutab Ringer laktat<br />
Terapi transfusi (sampel bank darah untuk tipe dan crossmarch; dapat menggunakan golongan darah O negatif jika eksanguinis).<br />
Identifikasi dan perbaiki koagulopati (FFP untuk menormalkan PT, trombosit tetap > 50000/mm3).<br />
Lavase slang nasogastrik<br />
Penatalaksanaan jalan nafas bila diperlukan <br />
Konsultasi dengan ahli bedah digestif bila diperlukan.<br />
<br />
Tanda-tanda prognosis buruk pada UGIB<br />
• Demografik : Usia > 60 tahun, komorbiditas<br />
• Beratnya : darah merah segar pada aspirat NGT, permintaan transfusi, hemodinamik tak stabil.<br />
• Etiologi : varises atau neoplastik<br />
• Munculnya ulkus (dari prognosis yang terbaik hingga terburuk) : dasarnya bersih keluar darah tanpa pembuluh yang terlihat bekuan yang melekat erat perdarahan aktif.<br />
<br />
Etiologi Pilihan <br />
Varises Farmakologi <br />
Octreotide 50 gram bolus IV 50 g/jam infus (berhasil 84%, Lancet 342 : 637, 1993)<br />
Vasopresin atau vasopresin + nitrogliserin (kurang manjur dan lebih banyak komplikasi)<br />
Penyekat-β (non-selektif) dan nitrat apabila hemodinamik stabil<br />
Non-Farmakologi<br />
Skleroterapi endoskopi (berhasil 88%) atau band ligation (angka keberhasilan > 90%)<br />
Octreotide + terapi endoskopik (angka keberhasilan > 95% ; <br />
(N Eng J Med 333 : 555, 1995)<br />
Tamponade balon apabila perdarahannya berat<br />
Embolisasi atau TIPS apabila terapi endoskopik gagal <br />
(N Engl J Med 333 : 165, 1994)<br />
PUD Farmakologi<br />
Penghambat pompa proton (N Egl J Med 336 : 1054, 1997)<br />
Octreotide 50 gram bolus IV 50 gram/jam infus<br />
Non-Farmakologi<br />
Terapi endoskopi (injeksi, kontak termal, laser)<br />
Angiografi mesenterika dengan infus vasopresin atau embolisasi<br />
Reseksi gastrik apabila endoskopi dan terapi farmakologi gagal<br />
Angiodisplasia <br />
Mallory-Weiss<br />
Gastritis esofagus <br />
Penyakit divertikuler<br />
Biasanya berhenti secara spontan<br />
Penghambat pompa proton, antagonis H2<br />
Biasanya berhenti secara spontan<br />
Terapi endoskopi (injeksi epinefrin), vasopresin arterial atau embolisasi, pembedahan<br />
Vasopresin arterial, terapi endoskopik, pembedahan.crazy boy'shttp://www.blogger.com/profile/10427640188054710037noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2500718933329494943.post-85930421085189307652010-07-06T14:31:00.003+07:002010-07-06T14:31:50.873+07:00ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN KATARAKDefinisi<br />
Katarak adalah istilah kedokteran untuk setiap keadaan kekeruh an yang terjadi pada lensa mata yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan lensa), denaturasi protein lensa atau dapat juga akibat dari kedua-duanya. Biasanya mengenai kedua mata dan berjalan progresif. Katarak menyebabkan penderita tidak bisa melihat dengan jelas karena dengan lensa yang keruh cahaya sulit mencapai retina dan akan menghasilkan bayangan yang kabur pada retina. Jumlah dan bentuk kekeruhan pada setiap lensa mata dapat bervariasi.<br />
Klasifikasi<br />
Katarak dapat diklasifikasikan menjadi :<br />
katarak Kongenital: Katarak yang sudah terlihat pada usia di bawah 1 tahun<br />
Katarak Juvenil : katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun<br />
Katarak Senil: katarak setelah usia 50 tahun<br />
Katarak Trauma: Katarak yang terjadi akibat trauma pada lensa mata<br />
Etiologi <br />
Sebagian besar katarak terjadi karena proses degeneratif atau bertambahnya usia seseorang. Usia rata-rata terjadinya katarak adalah pada umur 60 tahun keatas. Akan tetapi, katarak dapat pula terjadi pada bayi karena sang ibu terinfeksi virus pada saat hamil muda. <br />
Penyebab katarak lainnya meliputi :<br />
• Faktor keturunan. <br />
• Cacat bawaan sejak lahir. <br />
• Masalah kesehatan, misalnya diabetes. <br />
• Penggunaan obat tertentu, khususnya steroid. <br />
• gangguan metabolisme seperti DM (Diabetus Melitus)<br />
• gangguan pertumbuhan,<br />
• Mata tanpa pelindung terkena sinar matahari dalam waktu yang cukup lama. <br />
• Rokok dan Alkohol<br />
• Operasi mata sebelumnya. <br />
• Trauma (kecelakaan) pada mata. <br />
• Faktor-faktor lainya yang belum diketahui.<br />
Patofisiologi<br />
Lensa mata mengandung tiga komponen anatomis an: nukleus korteks & kapsul.nukleus mengalami perubahan warna coklat kekuningan seiring dengan bertambahnya usia.disekitar opasitas terdapat densitas seperti duri dianterior & posterior nukleus. Opasitas pada kapsul posterior merupakan bentuk katarak yang paling bermakna.perubahan fisik & kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparansi.salah satu teori menyebutkan terputusnya protein lensa normal terjadi disertai infulks air kedalam lensa proses ini mematahkan serabut lensa yang tegang & mengganggu transmisi sinar.teori lain mengatakan bahwa suatu enzim mempunyai peranan dalam melindungi lensa dari degenerasi.jumlah enzim akan menurun dg bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan pasien menderita katarak.<br />
Manifestasi Klinik<br />
Biasanya gejala berupa keluhan penurunan tajam pengelihatan secara progresif (seperti rabun jauh memburuk secara progresif). Pengelihatan seakan-akan melihat asap dan pupil mata seakan akan bertambah putih. Pada akhirnya apabila katarak telah matang pupil akan tampak benar-benar putih ,sehingga refleks cahaya pada mata menja di negatif (-).<br />
Bila Katarak dibiarkan maka akan mengganggu penglihatan dan akan dapat menimbulkan komplikasi berupa Glaukoma dan Uveitis.<br />
Gejala umum gangguan katarak meliputi :<br />
• Penglihatan tidak jelas, seperti terdapat kabut menghalangi objek. <br />
• Peka terhadap sinar atau cahaya. <br />
• Dapat melihat dobel pada satu mata. <br />
• Memerlukan pencahayaan yang terang untuk dapat membaca. <br />
• Lensa mata berubah menjadi buram seperti kaca susu. <br />
Pemeriksaan Diagnostik<br />
Keratometri.<br />
Pemeriksaan lampu slit.<br />
Oftalmoskopis.<br />
A-scan ultrasound (echography).<br />
Penghitungan sel endotel penting u/ fakoemulsifikasi & implantasi.<br />
Pengobatan <br />
Satu-satunya adalah dengan cara pembedahan ,yaitu lensa yang telah keruh diangkat dan sekaligus ditanam lensa intraokuler sehingga pasca operasi tidak perlu lagi memakai kaca mata khusus (kaca mata aphakia). Setelah operasi harus dijaga jangan sampai terjadi infeksi.<br />
Pembedahan dilakukan bila tajam penglihatan sudah menurun sedemikian rupa sehingga mengganggu pekerjaan sehari-hari atau bila telah menimbulkan penyulit seperi glaukoma dan uveitis.<br />
Tekhnik yang umum dilakukan adalah ekstraksi katarak ekstrakapsular, dimana isi lensa dikeluarkan melalui pemecahan atau perobekan kapsul lensa anterior sehingga korteks dan nukleus lensa dapat dikeluarkan melalui robekan tersebut. Namun dengan tekhnik ini dapat timbul penyulit katarak sekunder. Dengan tekhnik ekstraksi katarak intrakapsuler tidak terjadi katarak sekunder karena seluruh lensa bersama kapsul dikeluarkan, dapat dilakukan pada yang matur dan zonula zinn telah rapuh, namun tidak boleh dilakukan pada pasien berusia kurang dari 40 tahun, katarak imatur, yang masih memiliki zonula zinn. Dapat pula dilakukan tekhnik ekstrakapsuler dengan fakoemulsifikasi yaitu fragmentasi nukleus lensa dengan gelombang ultrasonik, sehingga hanya diperlukan insisi kecil, dimana komplikasi pasca operasi lebih sedikit dan rehabilitasi penglihatan pasien meningkat.<br />
Komplikasi<br />
Penyulit yg terjadi berupa : visus tdk akan mencapai 5/5 ambliopia sensori<br />
Komplikasi yang terjadi : nistagmus dan strabismus<br />
Pencegahan <br />
Disarankan agar banyak mengkonsumsi buah-buahan yang banyak mengandung vit.C ,vit.A dan vit E <br />
DASAR DATA PENGKAJIAN PASIEN<br />
AKTIVITAS/ISTRAHAT<br />
Gejala : Perubahan aktivitas biasanya/hobi sehubungan dengan gangguan penglihatan<br />
NEUROSENSORI<br />
Gejala : Gangguan penglihatan (kabur/tak jelas), sinar terang menyebabkan silau dengan kehilangan bertahap penglihatan perifer, kesulitan memfokuskan kerja dengan dekat/merasa di ruang gelap.<br />
Perubahan pengobatan tidak memperbaiki penglihatan.<br />
Tanda : Tampak kecoklatan /putih susu pada pupil.<br />
Peningkatan air mata.<br />
NYERI/KENYAMANAN<br />
Gejala : Ketidaknyamanan ringan/mata berair<br />
PEMBELAJARAN/PENGAJARAN<br />
Gejala : Riwayat keluarga diabetes, gangguan sistem vaskuler.<br />
Riwayat stres, alergi, gangguan vasomotor (contoh: peningkatan tekanan vena), ketidakseimbangan endokrin, diabetes.<br />
Terpajan pada radiasi, steroid/toksisitas fenotiazin.<br />
Pertimbangan rencana pemulangan DRG menunjukkan rerata lamanya dirawat:4,2 hari (biasanya dilakukan sebagai prosedur pasien rawat jalan)..<br />
Memerlukan bantuan dengan transportasi, penyediaan makanan, perawatan/pemeliharaan rumah.<br />
PRIORITAS KEPERAWATAN<br />
Mencegah penyimpangan penglihatan lanjut<br />
meningkatkan adaptasi terhadap perubahan/penurunan ketajaman penglihatan.<br />
mencegah komplikasi.<br />
memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis dan kebutuhan pengobatan.<br />
TUJUAN PEMULANGAN<br />
1. penglihatan dipertahankan pada tingkat sebaik mungkin<br />
2. pasien mengatasi situasi dengan tindakan positif.<br />
3. komplikasi dicegah/minimal.<br />
4. proses penyakit/prognosis dan program terapi dipahami.<br />
DIAGNOSA KEPERAWATAN<br />
Diagnosa keperawatan yang muncul selama periode peri operasi (pre, intra, dan post operasi) adalah:<br />
Kecemasan berhubungan dengan kurang terpapar terhadap informasi tentang prosedur tindakan pembedahan<br />
Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan prosedure tindakan invasiv insisi jaringan tubuh <br />
Nyeri berhubungan dengan perlukaan sekunder operasi miles prosedur<br />
PERENCANAAN KEPERAWATAN<br />
Kecemasan berhubungan dengan kurang terpapar terhadap informasi tentang prosedur tindakan pembedahan<br />
Tujuan/kriteria evaluasi:<br />
Pasien mengungkapkan dan mendiskusikan rasa cemas/takutnya.<br />
Pasien tampak rileks tidak tegang dan melaporkan kecemasannya berkurang sampai pada tingkat dapat diatasi.<br />
Pasien dapat mengungkapkan keakuratan pengetahuan tentang pembedahan<br />
INTERVENSI RASIONAL<br />
Kaji tingkat kecemasan pasien dan catat adanya tanda- tanda verbal dan nonverbal.<br />
Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan isi pikiran dan perasaan takutnya.<br />
Observasi tanda vital dan peningkatan respon fisik pasien<br />
Beri penjelasan pasien tentang prosedur tindakan operasi, harapan dan akibatnya.<br />
Beri penjelasan dan suport pada pasien pada setiap melakukan prosedur tindakan<br />
Lakukan orientasi dan perkenalan pasien terhadap ruangan, petugas, dan peralatan yang akan digunakan. Derajat kecemasan akan dipengaruhi bagaimana informasi tersebut diterima oleh individu.<br />
mengungkapkan rasa takut secara terbuka dimana rasa takut dapat ditujukan.<br />
mengetahui respon fisiologis yang ditimbulkan akibat kecemasan.<br />
meningkatkan pengetahuan pasien dalam rangka mengurangi kecemasan dan kooperatif.<br />
mengurangi kecemasan dan meningkatkan pengetahuan .<br />
mengurangi perasaan takut dan cemas.<br />
Nyeri berhubungan dengan perlukaan sekunder operasi miles prosedur<br />
Tujuan/kriteria evaluasi:<br />
Klien mengungkapkan nyeri berkurang/hilang<br />
Tidak merintih atau menangis<br />
Ekspresi wajah rileks<br />
Klien mampu beristrahat dengan baik.<br />
INTERVENSI RASIONAL<br />
Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik dan intensitas nyeri (skala 0-10).<br />
Motivasi untuk melakukan teknik pengaturan nafas dan mengalihkan perhatian. <br />
Hindari sentuhan seminimal mungkin untuk mengurangi rangsangan nyeri.<br />
Berikan analgetik sesuai dengan program medis. Untuk membantu mengetahui derajat ketidaknyamanan dan keefektifan analgesic sehingga memudahkan dalam memberi tindakan.<br />
Tehnik relaksasi dapat mengurangi rangsangan nyeri.<br />
Sentuhan dapat meningkatkan rangsangan nyeri.<br />
Analgesik membantu memblok nyeri.<br />
Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan prosedure tindakan invasiv insisi jaringan tubuh (miles prosedur)<br />
Tujuan/kriteria evalusi: <br />
Tidak terjadi penyebaran infeksi selama tindakan prosedur pembedahan ditandai dengan penggunaan teknik antiseptik dan desinfeksi secara tepat dan benar.<br />
INTERVENSI RASIONAL<br />
Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan secara tepat.<br />
Ciptakan lingkungan ruangan yang bersih dan babas dari kontaminasi dunia luar<br />
Jaga area kesterilan luka operasi<br />
Lakukan teknik aseptik dan desinfeksi secara tepat dalam merawat luka<br />
Kolaborasi terapi medik pemberian antibiotika profilaksis Melindungi klien dari sumber-sumber infeksi, mencegah infeksi silang.<br />
mengurangi kontaminasi dan paparan pasien terhadap agen infektious.<br />
mencegah dan mengurangi transmisi kuman<br />
mencegah kontaminasi patogen<br />
mencegah pertumbuhan dan perkembangan kuman.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol. 3. EGC: Jakarta.<br />
http://www.shoutmix.com/<br />
www.jakarta-eye-center.com<br />
Arif, mansjoer, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculpius.: Jakarta.<br />
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Medikal Keperawatan Vol.3. EGC: Jakarta<br />
Doengoes. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC: Jakarta.crazy boy'shttp://www.blogger.com/profile/10427640188054710037noreply@blogger.com0