Pendahuluan
Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit kronis yang membutuhkan perhatian medis jangka panjang untuk membatasi perkembangan komplikasinya yang merusak dan mengatasi komplikasi tersebut ketika terjadi. DM termasuk penyakit yang mahal, pada tahun 2002 di US, biaya perawatan kesehatan per kapita untuk orang DM mencapai 13.243 US$ sementara tanpa DM hanya 2560US$.
Artikel ini berfokus pada pemeriksaan dini dan penatalaksanaan komplikasi akut dan kronis pada DM di Unit Gawat Darurat (UGD) selain yang secara langsung berhubungan dengan hipoglikemia atau gangguan metabolik berat seperti ketoasidosis diabetikum dan hyperosmolar hyperglycemic state (HHS).
Patofisiologi
Ada 2 tiper mendasar pada DM yaitu tipe 1 dan tipe 2. DM tipe 1 dibahas lebih lanjut pada artikel yang terpisah.
DM Type 2 pernah sering disebut sebagai diabetes onset dewasa. Sekarang, karena meningkatnya insiden obesitas dan ketidakaktifan anak, DM tipe 2 dapat terjadi pada umur yang lebih muda. Walaupun DM tipe 2 sering kali mengenai seseorang diatas umur 40 tahun, bahkan telah didiagnosis pada anak berumur 2 tahun yang memiliki riwayat DM pada keluarga.
DM tipe 2 ditandai oleh adanya resitensi perifer insulin disertai dengan defek sekresi insulin dengan kerusakan yang bervariasi. Untuk menimbulkan DM tipe 2 kedua kerusakan tersebut harus terjadi: semua orang dengan obesitas mempunyai resistensi insulin, namun DM hanya terjadi pada yang tidak mampu meningkatkan produksi insulin oleh sel B. Dalam perkembangan dari toleransi glucosa yang normal menjadi toleransi glucosa abnormal, kadar glucosa postprandial yang pertama meningkat. Pada akhirnya, hiperglikemi puasa (terjadi pada saat tidak ada asupan makanan) terjadi karena inhibisi gluconeogenesis hepatik menurun
Sekitar 90% pasien yang mengidap DM tipe 2 adalah orang dengan obesitas. Karena pasien dengan DM tipe 2 mempertahankan kemampuan untuk mengsekresi insulin endogen, mereka yang mengkonsumsi insulin umumnya tidak terjadi DKA jika penggunaan insulin dihentikan. Sehingga mereka dikatakan membutuhkan insulin namun tidak bergantung lepada insulin. Lebih lanjut lagi, pasien dengan DM tipe 2 sering tidak membutuhkan pengobatan dengan obat antidiabetik oral atau insulin jika berat badan mereka turun atau berhenti makan.
Maturity-onset diabetes of the young (MODY/Diabetes onset remaja) adalah bentuk DM tipe 2 yang mengenai generasi yang lebih muda pada keluarga dengan riwayat DM. Umur yang biasanya terkena itu kurang dari 25 tahun. Ada beberapa tipe MODY. Faktor gen yang bertanggung jawab dapat dideteksi menggunakan pemeriksaan yang ada
Gestational diabetes mellitus (GDM) didefinisikan sebagai derajat apapun intoleransi glukosa dengan onset atau pertama kali diketahui pada masa kehamilan. GDM merupakan komplikasi yang ditemukan pada sekitar 4% dari seluruh kehamilan di US, walaupun jumlahnya bervariasi antara 1-14% tergantung dari populasi yang diteliti.GDM yang tidak ditangani dapat mengarah pada janin makrosomia, hypoglikemia, hypocalcemia, dan hyperbilirubinemia. Sebagai tambahan, ibu dengan GDM memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk persalinan Caesar dan hipertensi kronis. Untuk mendeteksi GDM, pemeriksaan toleransi glukosa 50 g dikerjakan pada umur kehamilan 24-28 minggu. Jika konsentrasi glukosa plasma pasien selama 1 jam lebih besar dari 140 mg/dL, pemeriksaan dilanjutkan dengan toleransi 3 jam glukosa 100 g.
Frekuensi
United States
Pada tahun 2005, seseorang dengan diabetes diperkirakan berjumlah 7% dari populasi US, atau sekitar 20.8 juta orang. Dari 20,8 juta orang ini, 14,6 juta diagnosis diabetes telah ditegakkan dan diabetes belum didiagnosis pada 6,2 juta lainnya. Sekitar 10% mengidap DM tipe 1, dan lainnya mengidap tipe 2. Sebagai tambahan, diperkirakan 54 juta orang terkena keadaan pre-diabetes. Pre-diabetes seperti didefinisikan oleh American Diabetes Association, adalah keadaan dimana kadar glukosa darah lebih dari normal namun tidak cukup tinggi untuk didiagnosis sebagai diabetes
Mortalitas/Morbiditas
Morbiditas dan mortalitas berkaitan dengan diabetes dihubungkan dengan komplikasi jangka pendek dan panjang. Komplikasi termasuk dibawah ini:
• Hipoglikemi and hyperglycemia
• Resiko infeksi meningkat
• Komplikasi microvascular (eg, retinopathy, nephropathy)
• Komplikasi neuropathic
• Komplikasi penyakit macrovascular (eg, coronary artery disease, stroke)
Diabetes adalah penyebab utama terjadinya kebutaan pada orang dewasa umur 20-74 tahun, dan juga merupakan penyebab terbanyak dari amputasi ekstremitas bawah nontraumatik dan penyakit ginjal tahap akhir (ESRD/End Stage Renal Disease)
Jenis Kelamin
Insiden biasanya sama pada perempuan dan laki-laki pada seluruh populasi.
Umur
• DM tipe 2 menjadi lebih sering terjadi karena usia orang lebih panjang dan prevalensi dari DM meningkat seiring peningkatan umur.
• Sekarang juga lebih sering ditemukan pada orang dengan umur muda berkaitan dengan peningkatan prevalensi dari obesitas masa kecil.
• Walaupun DM tipe 2 masih lebih sering terjadi pada dewaas umur 40 keatas, insiden penyakit ini lebih cenderung meningkat lebih cepat pada remaja dan dewasa muda daripada kelompok umur lainnya.
KLINIS
Riwayat
Menentukan secara tepat apakah pasien mengidap tipe 1 atau tipe 2 penting karena pasien tipe 1 sangat bergantung pada penggunaan rutin insulin exogen dan karbohidrat untuk dapat bertahan hidup. Pasien dengan DM tipe 2 dapat tidak membutuhkan penanganan hyperglycemia selama masa puasa atau penurunan intake oral. Pasien dengan Diabetes yang terkontrol dengan diet atau agen antidiabetik jelas merupakan DM tipe 2. Pasien kurus dengan diabetes sejak kecil, yang selalu bergantung pada pembrian insulin, atau dengan riwayat DKA hampir pasti mengidap DM tipe 1.
Membedakan tipe diabetes dapat sulit (1) pasien yang ditangani dengan insulin dan muda namun secara klinis sepertinya mengidap DM tipe 2 dan (2) pasien tua dengan diabetes late onset namun mengkonsumsi insulin dan sepertinya mempunyai karakteristik yang sama dengan DM tipe 1. (Kelompok yang terakhir sekarang dikatakan mempunyai latent autoimmune diabetes of the adult [LADA/ Diabetes Autoimun Laten pada Dewasa]). JIka meragukan, pasien diatasi dengan insulin dan kadar glukosanya diawasi secara ketat. Beberapa remaja atau dewasa muda, kebanyakan dengan ras Hispanik atau African American, yang memperlihatkan gejala klasik DKA, pada akhirnya sering kali ditemukan terkena DM tipe 2.
Banyak pasien dengan DM tipe 2 muncul dengan asimptomatis, dan penyakit mereka tidak didiagnosis selama bertahun-tahun. Penelitian mengatakan bahwa pasien yang baru ditemukan dengan DM tipe 2 telah terkena DM paling tidak selama 4-7 tahun sebelum didiagnosis. Diantara pasien dengan DM tipe 2, 25% mempunyai retinopathy, 9% neuropathy dan 8% nephropathy pada waktu pertama kali didiagnosis
Pre-diabetes sering terjadi sebelum munculnya DM tipe 2. Prediabetes didefinisikan dengan kadar GDP 100-125 mg/dL atau oral glucose tolerance test (OGTT) dengan kadar 140-200 mg/dL. Pasien prediabetes mempunyai peningkatan resiko terkena penyakit makrovaskuler sama halnya dengan resikonya terkena diabetes
Prediabetes dengan sindrom metabolik sering membingungkan (biasa juga disebut dengan sindrom X atau sindrom resistensi insulin). Sindrom metabolik (diperkirakan terjadi akibat resistensi insulin) dapat terjadi pada pasien dengan kadar toleransi glukosa yang normal, prediabetes, atau diabetes. Sindrom metabolik ditandai dengan adanya obesitas sentral kemudia oleh dyslipidemia. Hipertensi merupakan tanda yang umum. Pada akhirnya, secara klinis resistensi insulin yang jelas terjadi. Sayangnya, resistensi insulin tidak diukur secara klinis, kecuali pada penelitian. Peningkatan kadar GDP merupakan indikasi pertama adanya resistensi insulin, namun kadar insulin puasa biasanya sudah lama meningkat sebelum hal ini berlangsung. Pengukuran kadar insulin puasa tidak direkomendasikan untuk diagnosis resistensi insulin. Suatu usaha untuk membuat standardisasi pemeriksaan insulin sedang dikerjakan dan nantinya dapat digunakan untuk menilai kadar insulin puasa untuk dapat mendiagnosis resistensi insulin di masa depan.
Selama anamneses, cari informasi tentang tipe dan durasi terjadinya diabetes pada pasien dan tentang perawatan/pengobatan yang telah diterima pasien untuk penyakitnya
1. Tipe dan estimasi durasi diabetes : Informasi ini membantu untuk menentukan apakah pasien bergantung pada insulin. Diagnosis berdasarkan riwayat penyakit, terapi, dan penilian klinis, seperti telah dijelaskan diatas.
2. erawatan Diabetes: Cari tahu tentang penanganan terkini untuk diabetes pada pasien dan tentang kadar gula darahnya berdasarkan dari pengukuran sendiri atau pengukuran A1C (A1C, merupakan indikator jangka panjang dalam pengendalian glukosa).
Anamnesis riwayat diabetes sebaiknya dapat mengenai pertanyaan dibawah ini:
1. Apakah diabetes pada pasien dikontrol dengan baik (dengan kadar gula darah mendekati normal)? Pasien dengan kadar gula darah yang tidak terkontrol dengan baik sembuh lebih lama dan dengan meingkatnya resiko infeksi dan komplikasi lainnya.
2. Apakah pasien pernah mengalami keadaan reaksi hipoglikemik yang berat? Jika pasien pernah mempunyai episode hipoglikemia berat, maka ia mempunyai resiko untuk kehilangan kesadaran, karenanya kemungkinan ini harus dapat diperoleh
3. Apakah pasien pernah memiliki neuropathy perifer
4. Apakah pasien memiliki luka yang tidak dirasakan pada kaki atau luka yang membutuhkan penanganan?
5. Apakah pasien mengalami diabetic nephropathy sehingga mengubah penggunaan obat-obatan atau material kontras rasiography?
6. Apakah pasien pernah mempunyai penyakit macrovascular, seperti penyakit jantung koroner, yang sebaiknya dipertimbangkan dalam keadaan gawat darurat.
Jika keadaannya terkontrol, maka akan bertambah pertanyaan yang harus dijawab
• Perawatan Diabetes
o Bagaimana diet pada pasien?Apakah dia menggunakan agen antidiabetik oral, insulin, atau keduanya? Jika ya, berapa dosis dan frekuensi dari pengobatan tersebut?
o Apakah pasien memonitor sendiri kadar glukosa darahnya? Jika ya, seberapa sering dan berapa rata-rata nilainya tiap kali diperiksa?
o Kapan kadar A1C pasien diukur? Berapa besar nilainya?
o Apakah pasien dapat menyesuaikan terhadap diet tertentu atau olahraga secara teratur?
• Hyperglycemia: Tanyakan tentang polyuria, polydipsia, nocturia, berat badan menurun, dan kelemahan.
• Hipoglikemi
o Pernahkah pasien mengalami episode hipoglikemi?Apakah episode ini diketahui?Apakah episode ini ringan atau berat?
o Kapan dan seberapa sering episode ini terjadi? Bagaimana cara pasien menanganinya?
o Apakah pasien memiliki kesadaran akan munculnya hipoglikemia (mis, apakah pasien kurang mendapatkan tanda adrenergic hipoglikemia)? Ketidaksadaran akan Hipoglikemi mengindikasikan resiko peningkatan episode dari hipoglikemia.
• Komplikasi microvascular
o Retinopathy: Kapan terakhir kali pemeriksaan mata pada pasien dilakukan? Apakah ada penurunan pada penglihatan?
o Nephropathy: Apakah pasien telah mengetahui dirinya terkena penyakit ginjal atau tidak?Bagaimana hasil dan tanggal pengukuran protein urin dan kadan kreatinin serum terakhir?Jika protein pada urin belum ditelusuri, pernahkah rasio microalbumin-kreatinin dinilai setahun terakhir ini?
• Neuropathy: Apakah pasien mempunyai riwayat dari neuropathy atau gejala neuropati perifer atau neuropati otonom (termasuk impotensi pada pasien laki-laki)?
• Komplikasi macrovascular
o Hipertensi: Apakah pasien memiliki hipertensi ? (didefinisikan dengan TD >130/80 mm Hg)? Apa pengobatan yang diberikan?
o PJK: Apakah pasien memiliki PJK? Adakah riwayat PJK pada keluarga?
o Penyakit vaskuler perifer: Apakah pasien memiliki gejala kram-kram atau riwayat bypass vaskuler
o Penyakit Cerebrovascular: Pernahkah pasien terkena stroke atau transient ischemic attack?
o Hyperlipidemia: Berapaa kadar lipid terakhir dari pasien? Apakah pasien mengkonsumsi obat-obat penurun lemak?
• Kaki diabetic: Apakah pasien memiliki riwayat luka pada kaki atau pernah diamputasi? Apakah ada ulkus pada kaki pada pemeriksaan sekarang?
• Infeksi: Apakah infeksi berulang menjadi suatu masalah?dimana tempat infeksinya?
Pemeriksaan Fisis
Fokus pemeriksaan pada diabetes adalah pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan funduskopi, pemeriksaan vaskuler dan neurologic ringkas, dan penilaian pada ekstremitas bawah. Sistem organ lainnya sebaiknya diperiksa sesuai indikasi pada keadaan klinis tertentu pada pasien.
• Penilaian tanda vital
o Apakah pasien hipertensi atau hipotensi? Tanda vital Orthostatic dapat berguna untuk menilai status volume dan dapat menjelaskan adanya neuropati otonom.
o Jika frekuensi dan pola napas menjelaskan respirasi Kussmaul, DKA harus dipertimbangkan secepatnya dan pemeriksaan penunjang yang tepat harus dilakukan.
• Pemeriksaan funduskopi
o Pemeriksaan funduskopi sebaiknya melihat retina dengan teliti, termasuk papil dan macula.
o Jika perdarahan atau exudat terlihat, pasien sebaiknya dirujuk ke dokter mata secepatnya.Pemeriksa yang bukan ahli mata cenderung menganggap remeh retinopathy yang berat, terutama jika pupil pasien tidak berdilatasi.
• Pemeriksaan tungkai
o Nadi dorsalis pedis dan posterior tibialis sebaiknya diraba dan ada tidaknya perlu diketahui. Ini penting pada pasien yang memiliki infeksi pada kaki karena aliran darah pada tungkai yang jelek dapat memperpanjang penyembuhan dan meningkatkan resiko amputasi.
o Menilai neuropathy sensorik pada tungkai berguna pada pasien dengan ulkus pada kaki karena adanya penurunan sensasi membatasi kemampuan pasien untuk melindungi kaki dan engkel. Ini dapat dinilai dengan pemeriksaan refleks, sensasi posisi dan vibrasi
o Jika neuropathy perifer ditemukan, pasien sebaiknya dibuat menjadi sadar bahwa perawatan kaki (temasuk pemeriksaan kaki harian) sangat penting untuk mencegah perluasan ulkus kaki dan amputasi tungkai bawah.
Penyebab
Faktor resiko utama terjadinya DM tipe 2 adalah sebagi berikut :
• Umur – Umur diatas 45 tahun (walaupun seperti tercatat diatas DM tipe 2 juga meningkat frekuensinya pada seseorang berusia muda)
• Obesitas – Berat badan lebih dari 120% berat badan ideal
• Riwayat DM tipe 2 pada keluarga terdekat (mis, orang tua atau saudara)
• Riwayat adanya glukosa darah terganggu atau glukosa darah puasa terganggu
• Hipertensi (>140/90 mm Hg) atau dislipidemia ( kadar high-density lipoprotein [HDL] <40 style=""> >150 mg/dL)
• Riwayat GDM atau melahirkan bayi dengan berat >4kg
• Polycystic ovarian syndrome (yang menyebabkan resistensi insulin)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
• Tes glukosa strip cocok dilakukan untuk penegakkan diagnosis di UGD pada pasien yang terlihat mengidap DM. Seluruh pemeriksaan laboratorium lainnya disesuaikan dengan keadaan klinis masing-masing pasien.
• Pada pasien dengan gejala diabetes tidak terkendali (misal, polyuria, polydipsia, nocturia, fatigue, berat badan menurun) ditambah dengan kadar GDS >200 mg/dL, diagnosis diabetes dapat ditegakkan.
• Pada pasien asimptomatik dengan kadar GDS >140 mg/dL, pengukuran konsentrasi gula darah puasa (GDP) sebaiknya dilakukan. Tes toleransi glukosa oral tidak lagi direkomendasikan untuk pemeriksaan rutin dalam menegakkan diagnosis diabetes.]
o Kadar GDP >126 mg/dL pada 2 pemeriksaan dalam waktu yang berbeda dapat menegakkan diagnosis
o Kadar GDP 100-125 mg/dL dikatakan sebagai sebagai glukosa darah terganggu.
o Kadar GDP <100>
• Kadar C-peptide puasa >1 ng/dL pada pasien yang telah mengidap diabetes lebih dari 1-2 tahun dapat ditegakkan diagnosis DM tipe 2 (mis, residu fungsi beta-cell ).
• Autoantibodi dapat berguna dalam membedakan antara tipe 1 dan tipe 2.
o Islet-cell autoantibodies (IA2) ditemukan pada anak dengan onset baru DM tipe 1 namun tidak ditemukan pada DM tipe 2. Antibodi ini ditemukan positif sampai sekitar 6 bulan setelah diagnosis.
o Antibodi Anti-GAD65 ditemukan 80% pada pasien dewasa dengan DM tipe 1 onset baru (diketahui sebagai latent autoimmune diabetes of the adult [LADA]). Antibodi ini akan tetap positif seumur hidup..
PENATALAKSANAAN
Departement Gawat Darurat
Perawatan pada UGD pasien dengan DM tipe 2 membutuhkan perhatian pada kontrol glikemik pada pasien dan komplikasi diabetes yang kemungkinan pasien miliki.
• Diabetes onset baru
o Kebanyakan pasien diabetes mengidap DM tipe 2 dan kebanyakan tidak ada gejala pada saat diagnosis. Penatalaksaan dini pada pasien yaitu dengan terapi penyesuaian nutrisi (medical nutrition therapy/MNT) ditambah dengan pemberian metformin. Maka dari itu, jika pasien asimptomatis secara tidak sengaja diketahui mempunyai kadar gula darah meningkat pada diagnosis UGD, dokter pasien dapat melakukan tindak lanjut. Pasien dengan gejala yang ringan dari diabetes yang tidak terkontrol atau tidak terdiagnosis biasanya dapat diterapi rawat jalan.
o Penatalaksanaan yang tepat untuk pasien bergejala jelas dengan DM tipe 2 yang baru ditemukan dan dengan kadar glukosa lebih dari 400 mg/dL masih belum jelas. Jika follow-up teliti dapat dilakukan, dosis maksimum agen sulfonylurea dapat dimulai dan mereka dapat dirawat jalan. Pasien biasanya merasa lebih baik dalam 1-2 hari, dan dalam seminggu, kadar glukosa darah mereka semakin rendah. Dosis sulfonylurea dapat ditappering off dan dilanjutkan dengan MNT dan metformin; pada beberapa orang diabetes dapat dikendalikan dengan diet saja. Pasien yang tidak dapat minum dengan jumlah cairan yang adekuat, atau mereka dengan keadaan medis serius sebelumnya (mis, myocardial infarction [MI], infeksi sistemik), dan mereka dengan follow up yang diragukan, sebaiknya diopname untuk memulai terapi. Jalan lainnya, terapi insulin dapat dimulai dan disesuaikan pada keadaan rawat inap atau rawat jalan.
• Abnormalitas yang diakibatkan hiperglikemia
o Hyperglikemia akut, walaupun tidak berkaitan dengan DKA atau hyperglycemic hyperosmolar nonketotic syndrome (HNKS), tetap berbahaya karena beberapa alas an. Jika kadar gula darah melebihi dari ambang batas ginjal untuk glukosa, diuresis osmotic terjadi dan akan disertai dengan hilangnya glukosa, elektrolit, dan air. Hiperglikemia mengganggu fungsi leukosit melalui berbagai mekanisme. Pasien dengan diabetes mempunyai peningkatan jumlah infeksi pada luka dan hiperglikemia dapat memperlambat penyembuhan luka.
o Pada pasien yang diketahui dengan DM tipe 2 yang tidak terkontrol, tidak ada kadar glukosa darah yang mutlak untuk memulangkan pasien dari rumah sakit atau penghentian insulin di UGD. Jika pasien mempelihatkan gejala yang berat atau jika penyebab hiperglikemia tidak dapat ditangani di UGD, pasien sangat dianjurkan untuk diopname. Secara umum, menurunkan kadar gula darah pasien pada UGD tidak mengatasi penyebab utama dan mempunyai efek jangka pendek saja. Sehingga, perencanaan untuk menurunkan dan mengawasi kadar gula darah pasien dibutuhkan. Cukupnya tindak lanjut pada pasien sangat penting. Apakah pemberian insulin di UGD tidak berkonsekuensi besar dan dapat diputuskan tergantung keadaan klinis masing-masing pasien
• Hiperglikemia pada penyakit lainnya dan pasien bedah
o Hiperglikemia pada penyakit lainnya dan pasien bedah disebabkan oleh peningkatan resistensi insulin. Hiperglikemia dapat terjadi, bahkan pada pasien tanpa DM, karena adanya resistensi insulin yang dipicu stress ditambah dengan pemakaian cairan intravena yang mengandung dextrose. Peningkatan kadar glukagon, catecholamine, cortisol, dan hormon gonad menghambat efek insulin, dan efek alpha-adrenergik akibat meningkatnya kadar catecholamine menghambat sekresi insulin. Akibat kurangnya glukosa pada jaringan, tubuh menyesuaikan diri dengan melakukan peningkatan glukoneogenesis pada hepar sehingga akan memperparah peningkatan glukosa pada vaskuler..
o Banyak bukti yang memperlihatkan keuntungan dari penanganan hiperglikemia pada pasien dengan penyakit berat dengan atau tanpa DM. Pada pasien ICU, sebelum dan sesudah tindakan coronary artery bypass grafting (CABG), dan pada pasien Infark Myocard, morbiditas dan mortalitas kelompok ini menurun setelah pemberian infuse glucose-insulin-potassium infusion (GIK infusion) yang dirancang untuk menjaga kadar glukosa dalam angka normal. Banyak rumah sakit yang telah mengimplementasikan protokol GIK-infusion pada pasien ICU, ICU pasca operasi, dan CCU (Critical Care Unit)
o Regimen penatalaksanaan harus dapat disesuaikan untuk pasien yang tidak membutuhkan perawatan ICU untuk mengkompensasi penurunan intake kalori dan peningkatan stress fisiologik. Kadar glukosa darah antara 100-150 mg/dL sebaiknya dijaga pada pasien bedah/nonbedah yang disertai DM karena alasan berikut ini :
Untuk mencegah abnormaltas elektrolit dan penurunan cairan akibat diuresis osmotik
Untuk mencegah gangguan fungsi leukosit yang terjadi jika kadar glukosa darah meningkat
Untuk mencegah gangguan pada proses penyembuhan luka yang terjadi jika kadar glukosa darah meningkat.
o Penyakit cardiovascular (CVD/Cardiovasculer Diseases) atau disfungis ginjal meningkatkan morbiditas dan mortalitas operasi pada pasien dengan atau tanpa DM, neuropati otonom akibat diabetes meningkatkan resiko instabilitas kardiovaskuler. Dokter UGD yang menerima pasien dengan DM yang membutuhkan operasi sito harus memberitahu secara detail tentang keadaan pasien pada dokter bedah dan dokter anastesi dan melakukan pemeriksaan penunjang lengkap untuk mencegah operasi yang memakan waktu lama.
• Infeksi secara umum
o Infeksi menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi pada pasien diabetes. Infeksi dapat memicu kerusakan metabolisme dan kemudian gangguan metabolisme juga dapat meningkatkan kemungkinan tejadinya infeksi.
o Beberapa infeksi, seperti malignant otitis externa, rhinocerebral mucormycosis, dan emphysematous pyelonephritis terjadi kebanyakan hanay pada pasien dengan diabetes. Infeksi seperti staphylococcal sepsis terjadi lebih sering dan menyebabkan mortalitas yang lebih besar pada pasien DM daripada penyakit lainnya.
o Hiperglikemia dan asidemia menimbulkan gangguan pada immunitas humoral dan fungsi leukosit dan limfosit polimorfonuklear. Namun sebagian kerusakan (tidak keseluruhan) dapat diatasi jika pH dan kadar glukosa darah kembali ke angka normal. Walaupun kadar pasti dimana fungsi lekosit terganggu tidak ditentukan, bukti invitro mengatakan bahwa kadar glukosa diatas 200 mg/dL dapat mengganggu fungsi leukositik
o Pasien yang telah menderita diabetes dalam jangka waktu yang panjang cenderung memiliki komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler akibat buruknya perfusi jaringan dan peningkatan resiko infeksi. Kemampuan kulit sebagai barier infeksi dapat berkurang akibat hilangnya sensasi pada neuropati diabetic yang akan menyebabkan luka yang tidak disadari.
• Infeksi pada telinga, hidung, tenggorokan
o 2 jenis infeksi pada kepala dan leher yang berkaitan dengan meningkatnya mortalitas dan morbiditas adalah malignant otitis externa dan rhinocerebral mucormycosis; Kebanyakan penyakit ini terjadi hanya pada pasien diabetes.
o Pada dasarnya otitis externa malignant atau necrotizing terjadi pada pasien dengan diabetes yang berumur lebih tua dari 35 tahun dan kebanyakan selalu disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa.
Infeksi mula-mula terjadi pada kanalis auditorius external dan menyebar ke jaringan lunak, kartilago, dan tulang sekitar. Khasnya, pasien datang dengan nyeri telinga berat dan otorrhea. Walaupun mereka sering telah mempunyai otitis eksterna sebelumnya, perkembangan menjadi penyakit yang infasif biasanya terjadi dengan cepat.
Pemeriksaan kanalis auditorius biasanya memperlihatkan jaringan granulasi, namun penyebaran infeksi ke pinna, jaringan preauricular, dan mastoid membuat diagnosis menjadi jelas. Keterlibatan nervus kranialis, biasanya nervus facialis, biasa terjadi; dapat terjadi kematian jika infeksi meluas sampai ke menings.
CT scan dapat menilai perluasan dari penyakit ini.
Konsultasi bedah harus dilakukan pada malignant otitis media karena debridement selalu menjadi bagian utama dalam penanganan. Antibiotik antipseudomonal intravena sebaiknya segera dimulai pada pasien dengan otitis yang infasif. Pasien dengan diabetes disertai otitis eksterna berat namun tidak ditemukan tanfa adanya penyakit infasif dapat diatasi dengan ciprofloxacin oral dan tetes telinga, keduanya memerlukan pengawasan yang seksama.
o Mucormycosis pada dasarnya merujuk pada infeksi yang disebabkan oleh beragam jenis jamur. Penyakit invasif terjadi pada pasien dengan diabetes yang tak terkontrol, terutama pada DKA. Organisme berkolonisasi pada hidung dan sinus paranasales, menyebar ke jaringan sekitar dengan cara menginvasi pembuluh darah kemudian akan menyebabkan nekrosis jaringan lunak dan erosi tulang
Pasien biasanya dating dengan nyeri periorbital atau perinasalis, pembengkakan, dan indurasi. Epistaksis dapat terjadi. Keterlibatan orbita, berupa pembengkakan palpebra, adanya proptosis dan diplopia biasanya didapatkan.
Infeksi dapat menyebar hingga kedaerah cranial melalui cribriform plate, dan dapat mengakibatkan abses serebral, cavernous sinus thrombosis, atau thrombosis arteri karotis interna.
Penanganan termasuk engendalikan hiperglikemia dan asidemia, pemberian amphotericin B intravena, dan debridement sesegara mungkin. Sebelum diagnosis ditegakkan, terapi antibiotik antistaphylococcal cocok diberikan
• Infeksi traktus urinarius
o Pasien dengan diabetes mengalami peningkatan resiko cystitis dan lebih penting lagi, infeksi saluran kemih bagian atas yang berat. Infeksi bakteri intrarenal sebaiknya dipertimbangkan dalam differensial diagnosis pada pasien dengan diabetes yang dating dengan nyeri pinggul atau perut.
o Penanganan cystitis pada dasarnya sama saja dengan penanganan cystisis pasien tanpa diabetes, namun jangka waktu terapi yang lebih lama dianjurkan. Seseorang dengan kandung kemih neurogenik akibat diabetic neuropathy tidak dapat mengosongkan kandung kemihnya dengan baik, pasien seperti ini membutuhkan rujukan kepada urolog. Antibiotic sulfonamide dapat menyebabkan hipoglikemia pada pasien yang mengkonsumsi sulfonylurea dengan cara melepaskan sulfonylurea dari titik tangkapnya dan akan meningkatkan efek hipoglikemik dari zat ini.
o Penanganan pyelonephritis pada pasien diabetes tidak berbeda dengan yang lainnya, namun cenderung lebih sering harus diopname. Dikarenakan pertama, pyelonephritis membuat kontrol diabetes menjadi lebih sulit akibat resistensi insulin, kemudian, mual dapat membatasi kemampuan pasien untuk menjaga hidrasi normal. Hiperglikemia, lebih lanjutnya, dapat menurunkan respon imun. Kedua, pasien dengan diabetes lebih sering mendapatkan komplikasi pyelonephritis (misal, abses renal, emphysematous pyelonephritis, renal papillary necrosis, gram-negative sepsis). dibandingkan dengan orang tanpa DM.
o Lebih dari 70% kasus emphysematous pyelonephritis terjadi pada pasien dengan diabetes. Emphysematous pyelonephritis merupakan infeksi renal necrotizing yang jarang terjadi, disebabkan oleh Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, atau organisme lain yang dapat mengfermentasikan glukosa menjadi karbon dioksida. Gejala biasanya mirip dengan pyelonephritis tanpa komplikasi dan diagnosis ditegakkan dengan cara melihat adanya gas di ginjal pada foto polos atau USG. Operasi diindikasikan jika diagnosis telah ditegakkan.
• Infeksi kulit dan jaringan lunak
o Neuropati sensorik , atherosclerotic vascular disease, dan hyperglycemia, semuanya dapat menyebabkan pasien diabetes terkena infeksi kulit dan jaringan lunak. Ini dapat mengenai permukaan kulit dimana saja namun pada umumnya terjadi pada kaki
o Kadar glukosa darah lebih dari 250 mg/dL meningkatkan resiko infeksi jaringan lunak secara bermakna
o Cellulitis; lymphangitis; dan, paling buruknya, staphylococcal sepsis dapat menjadi komplikasi bahkan pada luka sekecil apapun. Luka minor dan selulitis biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau hemolytic streptococci. Penanganan dengan penicillinase-resistant synthetic penicillin atau generasi pertama cephalosporin terbukti efektif untuk penanganan infeksi minor pada pasien rawat jalan, namun meningkatnya prevalensi community-acquired methicillin-resistant Staphylococcus aureus (CA-MRSA) sekarang harus dipertimbangkan jika memilih antibiotik. Pasein dengan diabetes sepertinya tidak memiliki prevalensi CA-MRSA yang lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa diabetes
o Penanganan infeksi minor pada pasien rawat jalan cocok untuk pasien yang memonitor kadar glukosa darahnya dan mempunyai akses untuk follow up ruitn.
• Osteomyelitis
o Penyebaran berkelanjutan dari infeksi polymicrobial dari ulkus kulit ke jaringan tulang sekitar umum terjadi pada pasien diabetes
o Pada suatu penelitian, osteomyelitis ditemukan pada 68% pasien kaki diabetik dan pemeriksaan fisis dan x-ray polos tidak membantu menegakkan diagnosis pada sebagian besar kasus. Disayangkan, modalitas diagnosa ini satu-satunya yang sering tersedia pada UGD, dan diagnosis menjadi hanya dicurigai namun tidak dapat ditegakkan. MRI, jika tersedia pada UGD, mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik dalam mendiagnosis osteomyelitis.
o Jika osteomyelitis terlihat pada x-ray polos atau pemeriksaan fisis (misal, jika luka cukup dalam untuk menjalar ke tendon atau tulang), Pasien sebaiknya diberikan antibiotic intravena. Jika osteomyelitis dicurigai namun infeksi jaringan lunak atau gangguan metabolis tidak mengindikasikan rawat inap, pasien dapat dipulangkan untuk rawat jalan.
• Infeksi lainnya
o Walaupun cholecystitis mungkin sering pada pasien diabetes daripada populasi umum, infeksi fulminan berat, terutama organisme penghasil gas sering ditemukan. Manifestasi klinis dini dari cholecystitis emphysematous biasanya sulit dibedakan dari cholecystitis pada umumnya. Diagnosis ditegakkan dengan menemukan udara pada lumen, dinding atau jaringan sekitar dari kantung empedu. Walaupun pembedahan segera dikerjakan, jumlah mortalitas tetap tinggi.
o Insiden infeksi staphylococcal dan K pneumoniae lebih tinggi pada pasien dengan diabetes dibandingkan tanpa diabetes.
o Diabetes merupakan faktor resiko dari reaktivasi tuberculosis.
o Infeksi cryptococcal dan coccidioidomycoses lebih virulen pada pasien dengan diabetes dibandingkan dengan orang lain
• Komplikasi ophthalmologic
o Diabetes dapat mempengaruhi lensa, vitreous, dan retina menyebabkan gejala penglihatan yang dapat membuat pasien masuk UGD. Penglihatan kabur dapat berkembang cepat karena perubahan bentuk lensa mengikuti perubahan konsentrasi glukosa darah. Efek ini disebabkan oleh aliran air osmotik ke dalam dan keluar dari lensa, biasanya terjadi jika hyperglycemia terjadi, namun dapat juga terlihat jika kadar glukosa menurun secara drastis. Pada kedua kasus, penyembuhan ke tahap ketajaman penglihatan sebelumnya, memerlukan waktu hingga satu bulan, dan beberapa pasien hampir sama sekali tidak mampu membaca tulisan kecil.
o Patients dengan diabetes juga cenderung terkena katarak senilis dibandingkan pasien tanpa diabetes walaupun ini tidak berhubungan dengan derajat pengendalian glukosa.
o Apakah pasien terkena retinopathy diabetic atau tidak bergantung dari durasi diabetes mereka dan dari pengendalian kadar glukosa. Karena diagnosis DM tipe 2 biasanya terlambat, 20% dari pasien ini telah mempunyai derajat retinopathy yang berbeda-beda pada saat diagnosis DM tipe 2. Berikut ini adalah 5 tahap dari perkembangan retinopathy diabetes.
1. Dilatasi vena retina dan pembentukan microaneurisma pada kapiler retina.
2. Peningkatan permeabilitas vaskuler
3. Oklusi vaskuler dan iskemia retina
4. Proliferasi dari pembuluh darah baru pada permukaan retina
5. Perdarahan dan kontraksi dari proliferasi fibrovaskuler pada vitreous
o 2 tahap pertama diketahui sebagai retinopati nonproliferative retinopathy.
Mulanya, venula retina berdilatasi kemudian microaneurisma berkembang (titik merah kecil pada retina yang tidak menyebabkan gangguan penglihatan).
Jika microaneurysms atau kapiler retinal menjadi semakin permeabel, dan eksudat keras muncul, menandakan adanya kebocoran plasma. Ruptur kapiler intraretinal menyebabkan pendarahan. Jika kapiler superficial mengalami ruptur, dapat terlihat perdarahan berbentuk kobaran api ( flame-shaped hemorrhage)
Exudate keras biasanya ditemukan pada sebagian atau seluruh bagian cincin (pola circinasi) dimana biasanya termasuk microaneurisma multipl. Cincin ini biasanya tanda dari area retina edematous.
Pasien dapat tidak menyadari perubahan ketajaman mata kecuali macula centralis terlibat. Edema macular dapat menyebabkan hilangnya penglihatan; maka dari itu, semua pasien yang dicurigai edema macular harus dirujuk ke spesialis penyakit mata untuk pemeriksaan lebih lanjut dan terapi laser. Terapi laser efektif dalam menurunkan edema macular dan mengembalikan ketajaman penglihatan namun kurang efektif untuk mengembalikan penglihatan yang sudah hilang.
o Retinopati diabetes preproliferative dan proliferative merupakan stadium berikutnya dalam perkembangan penyakit ini. Cotton-wool spots dapat terlihat pada retinopathy preproliferative. Dapat terlihat microinfark pada retina disebabkan oleh oklusi kapiler dan terlihat sebagai bercak berwarna abu-abu keputihan dengan batas tidak tegas.
o Retinopathy proliferative ditandai dengan neovaskularisasi atau perkembangan jaringan pembuluh darah baru yang mudah pecah yang dapat terlihat pada saraf optic atau sepanjang jalur pembuluh darah utama. Pembuluh darah mengalami siklus proliferasi dan regresi. Selama proliferasi, adhesi fibrous terjadi pada pembuluh darah dan vitreous. Kontraksi berkesinambungan akibat adesi dapat menyebabkan traksi pada retina dan detachment retina. Kontraksi juga memecahkan pembuluh darah baru, dimana pendarahan memasuki vitreous. Pasien hanya akan menyadari adanya perdarahan kecil yang terlihat sebagai floater (objek kecil transparan yang terlihat bergerak mengikuti pandangan) walaupun perdarahan berat dapat menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan yang berarti.
o Pasien dengan retinopati preproliferative atau proliferative harus segera dilakukan pemeriksaan ophthalmologis karena terapi laser dapat efektif pada keadaan seperti ini, terutama sebelum perdarahan terjadi. Pasien dengan perdarahan retina harus dianjurkan untuk mengurangi aktifitas mereka dan menjaga kepala tetap tegak (walaupun sedang tidur) sehingga darah mengalir ke bagian inferior retina dan meminimalisir kerusakan penglihatan sentral.
o Pasien dengan retinopati diabetic proliferative mempunyai rpeningkatan resiko terjadinya perdarahan retina jika mendapatkan terapi thrombolitik, sehingga, pada keadaan ini merupakan kontraindikasi relatif untuk menggunakan agen thrombolitik
• Nephropathy
o Pasien dengan DM tipe 2 merupakan pasien diabetes terbanyak yang mengidap ESRD (End Stage Renal Disease/Penyakit Ginjal tahap akhir). Semua pasien diabetes harus dicurigai mempunyai potensi untuk gangguan ginjal kecuali jika tidak terbukti. Sehingga, penanganan ekstra dilakukan jika menggunakan agen nephrotoksik pada semua pasien diabetes..
o Pemakaian zat kontras dapat memicu gagal ginjal akut pada pasien yang telah memiliki nephropaty diabetk. Perhatian lebih dilakukan pada pemeriksaan radiologist dengan kontras jika kadar kreatinin pasien diabetes lebih besar dari 2 mg/dL; pemeriksaan ini harus mutlak dihindari jika kadar kreatinin mencapai lebih dari 3mg/dL. Walaupun kebanyakan dapat sembuh dalam 10 hari, beberapa yang lain terkena gagal ginjal irreversible. Pasien diabetes yang harus melakukan pemeriksaan ini sebaiknya minum banyak sebelum, selama, dan setelah pemeriksaan dan setelah pemeriksaan, fungsi ginjal harus diawasi secara hati-hati. Solusi yang lebih baik yaitu dengan menggunakan modalitas alternative yang tidak memerlukan media kontras (misal, sonography, CT noncontras, atau MRI).
o Obat yang berpotensi nephrotoxic sebaiknya dihindari jika memungkinkan. Obat yang dieksresi melalui ginjal atau obat berpotensi nephrotoksik sebaiknya diberikan dalam dosis rendah menyesuaikan dengan kadar kreatinin pasien.
o Karena peningkatan tekanan darah kronis berkontribusi dalam penurunan fungsi ginjal, maka pasien hipertensi yang terkena diabetes harus diberikan penanganan tekanan darah tinggi jangka panjang. Jika terapi antihipertensi dimulai pada UGD, Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor atau angiotensin receptor blocker (ARB) dianjurkan karena agen ini menurunkan proteinuria dan kurang merusak fungsi ginjal selain dari efeknya pada tekanan darah. ACE inhibitor dan ARBs cenderung meningkatkan kadar potassium serum sehingga digunakan dengan perhatian lebih pada pasien dengan insufisiensi renalis atau peningkatan kadar potassium serum.
• Neuropati
o Dari banyak tipe neuropati diabetic perifer dan otonom, polineuropati sensorimotor simetris merupakan yang paling sering (distribusi “glove and stocking”). Selain menyebabkan nyeri pada stadium awal, tipe neuropati ini berakhir dengan hilangnya sensasi perifer. Kombinasi antara penurunan sensasi dan insufisiensi arterial perifer biasanya menyebabkan ulkus di kaki dan akhirnya diamputasi.
o Onset mononeuropati akut pada diabetes termasuk mononeuropati cranial, mononeuropati multiplex, lesi fokal pada plexus brachial atau lumbosacral, dan radiculopati. Pada neuropati cranial, nervus cranial II (oculomotoris) merupakan yang paling sering terkena, diikuti oleh nervus cranial VI (abdusen) dan nervus cranial IV (trochlearis). Pasien biasanya datang dengan diplopia dan nyeri mata.
o Pertimbangan akan penyebab nondiabetes dari nervus cranial palsy penting karena 42% kasus disebabkan oleh penyebab selain diabetes. Sehingga, pemeriksaan juga disertai dengan CT kontras atau non-kontras atau yang lebih baik, MRI. Konsul kepada spesialis saraf direkomendasikan. Mononeuropati nervus kranialis akut biasanya sembuh dalam 2-9 bulan. Trombosis atau iskemia akut pada pembuluh darah yang menyuplai struktur terkait dicurigai merupakan penyebab dari neuropati ini.
o Disfungsi otonom dapat melibatkan bagian manapun dari rantai simpatik atau parasimpatik dan menghasilkan manifestasi yang beragam. Pasien biasanya masuk ke UGD dengan gastroparesis diabetik dan muntah, diare berat, disfungsi saluran kemih, dan retensi urin atau hipotensi orthostatic simpatis.
Penanganan gastroparesis adalah simptomatis dan gejala cenderung hilang timbul. Pasien dengan gastroparesis dapat diatasi dengan metoclopramide atau eritromisin. Sebelum terapi ini dimulai, derajat dehidrasi dan keseimbangan metabolik harus dinilai, dan kemungkinan penyebab muntah lain harus disingkirkan
Mengembalikan fungsi saraf yang rusak yang telah terkena neuropati otonom biasanya sulit dan membuat dokter dan pasien frustasi..
• Penyakit Kaki Diabetik
o Sekitar 50-70% kasus amputasi tungkai nontraumatik terjadi pada pasien diabetes. Daya sensorik kaki yang menurun disertai dengan perfusi darah yang buruk merupakan faktor resiko untuk terjadinya ulkus akibat nekrosis tekanan dan trauma minor yang tidak disadari. Luka ini dapat berkembang menjadi selulitis, osteomyelitis, atau gangrene nonclostridial, dan berakhir pada amputasi.
o Pasien diabetes yang datang dengan luka, ulkus, atau infeksi pada kaki sebaiknya ditangani secara intensif. Sebagai tambahan, penggunaan antibiotik, menghindari trauma berikutnya sangat penting. Ini dapt dicapai dengan immobilisasi dengan boot dan/atau menggunakan kursi roda, atau istirahat penuh. Pasien sebaiknya ditangani oleh podiatric atau orthopaedist yang berpengalaman dalam menangani penyakit kaki diabetic. Jika tulang atau tendon terlihat, osteomyelitis didapatkan, maka rawat inap dibutuhkan untuk antibiotic intravena. Banyak pasien yang memerlukan pemeriksaan vaskuler untuk penanganan lokal ulkus karena prosedur revaskularisasi memerlukan aliran darah yang adekuat untuk penyembuhan luka.
o Karena menyembuhkan ulkus dan infeksi sulit dlakukan, maka pencegahannya sangat penting. Pada suatu klinik, jumlah amputasi dapat dikurangi hingga setengahnya setelah pasien diabetes diminta untuk memperlihatkan kakinya. Dokter UGD dapat melakukan ini dengan secara teliti memperhatikan kaki dari tiap pasien dan dengan mengajari mereka tentang pentingnya perawatan kaki. Pasien dengan neuropati sensorik distal, denyut perifer menurn, onychomycosis sedang-berat, atau kulit pecah pecah sebaiknya dirujuk ke podiatris..
• Penyakit makrovaskuler
o Penyakit ini merupakan penyebab utama kematian pada diabetes, menyebabkan 75% kematian pada kelompok ini namun hanya sekitar 35% kematian pada pasien tanpa diabetes. Diabetes meningkatkan resiko Infark myokard 2 kali pada laki-laki dan 4 kali pada perempuan. Resiko stroke pada pasien diabetes 2 kali lipat lebih besar dibandingkan pasien tanpa diabetes, dan resko terkena penyakit vaskuler perifer yaitu 4 kali lebih besar. Perbedaan yang tidak disadari pada patofisiologi atherosclerosis pada pasien diabetes mengakibatkan perkembangan yang cepat dan keadaan yang lebih malignan. Sehingga, abnormalitas lipid harus ditangani secara agresif untuk menekan resiko dari atherosclerosis. Penelitian mengatakan bahwa terapi statin sebaiknya diberikan pada pasien diabetes tipe 2 untuk menekan kadar lemak, sehingga mengurangi resiko cerebrovaskular disease
o Hipertensi yang juga meningkatkan resiko atherosclerosis juga dua kali lebih banyak pada pasien diabetes disbanding pasien tanpa diabetes. Pada pasien diabetes, hipertensi harus ditangani secara agresif untuk menurunkan resiko atherosclerosis yang parah. ACE inhibitor dan ARBs dapat menurunkan resiko CVD akibat efeknya terhadap tekanan darah. Banyak yang menganjurkan pemakaiannya disertai statin.
o Pasien diabtes juga memiliki peningkatan insiden silent ischemia. Namun, silent ischemia umum terjadi pada pasien dengan PJK (Penyakit Jantung Koroner) dan sepertinya peningkatan insiden disebabkan karena pasien diabetes lebih sering mengidap PJK disbanding kelompok lainnya.
o Disfungsi diastolic sering terjadi pada pasien dengan diabetes dan sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan gejala gagal jantung kongestif dan fraksi ejeksi yang normal..
PENGOBATAN
Target Kadar Glukosa
Tujuan dari pengobatan antidiabetik oral adalah untuk menurunkan kadar glukosa darah hingga mendekati normal (kadar preprandial 90-130 mg/dL dan kadar A1C levels <7%)>
Penanganan DM tipe 2 ditujukan untuk menurunkan resistensi insulin dan meningkatkan fungsi sel beta. Pada kebanyakan pasien disfungsi sel beta semakin memburuk, sehingga membutuhkan pemberian insulin eksogen. Karena pasien dengan DM tipe 2 memiliki baik resistensi insulin dan disfungsi sel beta, maka pengobatan oral untuk meningkatkan senitivitas insulin (misal, metformin atau thiazolidinedione [TZD]) sering diberikan bersamaan dengan intermediate-acting insulin (misal, neutral protamine Hagedorn [NPH]) pada malam hari atau insulin long-acting (eg, glargine [Lantus] insulin atau insulin detemir [Levemir]) diberikan satu kali perhari; glargine dapat diberikan pada pagi atau malam hari, detemir sebaiknya diberikan ada malam hari. Sekretagogue insulin seperti agen sulfonylurea dapat juga diberikan untuk meningkatkan insulin preprandial.
Tujuan dari kombinasi agen oral harian ditambah dengan insulin sekali perhari adalah untuk menurunkan kadar glukosa darah puasa hingga mencapai 100 mg/dL dengan penyesuaian insulin. Apabila target ini dicapai, obat oral dapat efektif dalam menjaga kadar glukosa darah preprandial dan postprandial sepanjang hari. Jika kombinasi regimen agen oral dan insulin gagal menurunkan kadar glukosa sampai angka normal, pola pemberian insulin pasien sebaiknya dirubah menjadi suntikan insulin rapid acting multipel harian sebelum makan. Selama pengobatan DM tipe 2, MNT yang ketat dan olahraga sebaiknya ditekankan karena modifikasi gaya hidup mempunyai efek yang besar terhadap kontrol diabetes yang akan dicapai.
Beberapa pasien sebaiknya tidak menargetkan kadar glukosa darah mendekati normal. Pada lansia, dimana angka harapan hidupnya kurang dari 5 tahun atau pada pasien dengan penyakit terminal (penyakit tahap akhir yang sukar sembuh), kontrol glukosa ketat tidak diperlu dilakukan. Pasien yang diketahui memiliki cerebrovaskuler disease juga membutuhkan target kadar glukosa darah preprandial yang lebih tinggi (misal, 100-160 mg/dL) untuk mencegah hipoglikemia berat. Pasien dengan komplikasi makrovascular dan neuropathic diabetic umumnya tidak terlalu diuntungkan oleh pemeliharaan glukosa darah mendekati kadar normal
Sebagai tambahan, pasien dengan alcoholism atau penyalahgunaan zat lainnya, dan pasien dengan penyakit mental tak terkendali mungkin tidak dapat mengontrol diabetes mereka secara efektif, sehingga menempatkan mereka pada resiko tinggi terjadinya hipoglikemia berat jika kadar glukosa mendekati normal ditargetkan. Pasien dengan tidak sadar akan hipoglikemia (misal, kurangnya tanda adrenergic hipoglikemia) atau dengan episode rekuren hipoglikemia berat (ie, hipoglikemi yang membutuhkan penanganan) sebaiknya juga mempunyai target kadar gula darah yang lebih tinggi paling tidak untuk sementara..
Walaupun dokter UGD jarang memulai terapi baru untuk diabetes, mengetahui obatyang digunakan, efek samping, dan kontraindikasinya sangat berguna
Kategori Obat : Agen Sulfonylurea
Agen ini mengurangi konsentrasi glukosa darah dengan meningkatkan sekresi insulin dari sel beta pancreas. Semua jenis diserap dengan baik; waktu paruh dan durasi bekerjanya beragam. Agen ini diklasifikasikan atas generasi pertama (acetohexamide, chlorpropamide, tolazamide, tolbutamide), generasi kedua (glipizide, glyburide), dan generasi ketiga (glimepiride). Semuanya dapat menyebabkan hipoglikemi. Dosis agen ini pada umumnya 5mg/hari namun pada beberapa keadaan yang cenderung memperlihatkan keadaan hipoglikemia atau adanya penyakit hati atau ginjal maka dosis yang dipakai dimulai dari 2,5mg/hari
Kategori Obat: Meglitinides
Agen ini merupakan sekretagog insulin kerja singkat. Obat ini bekerja pada channel ATP-dependent potassium pada sel beta pancreas, menyebabkan pembukaan channel calcium dan meningkatkan pelepasan insulin. Contoh dari obat ini adalah Repaglinida yang digunakan dengan dosis 0,5-4 mg oral diberikan dalam 2-3X perhari sebelum makan. Kontraindikasi yaitu adanya hipersensitivitas
Kategori Obat: Biguanides
Agen ini meningkatkan sensitivitas insulin dengan menurunkan gluconeogenesis hepatik (efek utama) dan meningkatkan sensitivitas insulin perifer (efek sekunder). Obat ini tidak meningkatkan kadar insulin atau meningkatkan berat badan. Jika digunakan sebagai dosis tunggal tidak mengakibatkan hipoglikemi.
Diabsorbsi dari usus halus (bioavailabilitas 50-60%). Tidak mengikat pada protein plasma, tidak dimetabolisme ; cepat dieksresi oleh ginjal. berakumulasi di usus; dapat menurunkan absorbsi glukosa lokal (efek gastrointestinal).Pada kadar tinggi (mis, pada pasien gagal ginjal), akab berakumulasi pada mitochondria; mencegah oxidative phosphorylation dan menyebabkan asidosis laktat. Efek ini jarang terjadi
Contoh obat ini yaitu Metformin, yang dapat digunakan sebagai monoterapi atau dikombinasikan dengan sulfonylurea, thiazolidindione, atau insulin. Dosis harian yaitu 500 atau 800 mg. Kontraindikasi pada pasien dengan kadar kreatinin serum >1,5mg, disfungsi hepatic, asidosis akut atau kronis
Kategori Obat : Thiazolidinediones
Derivate thiazolidinedione memperbaiki control glikemia dengan meningkatkan sensitivitas insulin. Obat ini merupakan agonis selektif untuk peroxisome proliferator-activated receptor-gamma (PPAR-gamma). Aktivasi dari reseptor PPAR-gamma mengatur transkripsi gen insulin-responsive yang terlibat dalam produksi, transport, dan pemakaian glukosa, sehingga mengurangi konsentrasi glukosa darah dan hyperinsulinemia. Harus dikonsumsi sekitar 12-16 minggu untuk mencapai efek maksimal. Agen ini digunakan sebagai monoterapi atau digunakan beserta obat hipoglikemia oral lainnya.
Contoh obat dari golongan ini yaitu Pioglitazone, digunakan dengan dosis harian 15 atau 30mg PO tiga kali sehari. Perlu diperhatikan jika digunakan bersama insulin karena dapat menyebabkan hipoglikemia. Tidak dianjurkan pada pasien dengan SGOT > 2,5 kali batas normal, DKA, dan gagal jantung kongestif
The US Food and Drug Administration mengeluarkan peringatan pada pasien dan dokter pada tangga 21 May 2007, bahwa rosiglitazone berpotensi menyebabkan peningkatan resiko infark myokard dan kematian akibat penyakit jantung lainnya.
Troglitazone (Rezulin), jenis yang lain dari thiazolidinedione, secara suka rela ditarik dari pasaran oleh perusahaan pembuatnya pada bulan Maret 2000, setelah diketahui bahwa obat ini mempunyai efek hepatotoksik
Kategori Obat: Alpha-glucosidase Inhibitors
Agen ini menginhibisi kerja alpha-glucosidase (pencernaan karbohidrat), menunda dan mengurangi puncak kadar glukosa darah postprandial. Gula yang belum tercerna dibawa ke colon, dimana dikonversi menjadi asam lemak rantai pendek, methane, karbondioxida, dan hidrogen.
Alpha-glucosidase inhibitors (AGIs) tidak meningkatkan kadar insulin atau menginhibisi laktase; Efek utama yaitu menurunkan kadar glukosa darah postprandial (efek untuk kadar puasa kurang). Obat ini tidak menyebabkan peningkatan berat badan dan dapat mengembalikan ovulasi pada orang anovulasi akibat adanya restensi insulin. AGI biasanya tidak digunakan di US, namun lebih sering pada negara lain.
Dengan dosis tunggal, AGIs tidak menyebabkan hipoglikemi. Kurang dari 2% diserap sebagai obat aktif. Dapat digunakan sebagai monotherapy atau bersama sulfonylurea, TZD, metformin, or insulin. Dimakan bersama makanan untuk meminimalisir efek GI
Contoh obat dari golongan ini yaitu Acarbose. Digunakan dengan dosis 25 mg/hari PO 3x/hari. Dosis dapat ditingkatkan sampai 100 mg/hari. Kontraindikasi pada pasien dengan kadar kreatinin >2 mg/dL; peningkatan kadar enzim hati, atau adanya obstruksi saluran cerna.
FOLLOW-UP
Perawatan Pasien Rawat Inap Lebih Lanjut
• Perawatan pasien rawat inap diberikan untuk mengatasi terjadinya komplikasi akut mayor seperti hipoglikemia rekuren berat, infeksi mayor, DKA, atau HHS.
Anjuran Pasien Rawat Jalan
• Walaupun dengan sedikit komplikasi membutuhkan rawat inap. DM tipe 2 biasanya dapat ditangani rawat jalan..
Pencegahan
• Diet yang teratur, menurunkan berat badan, dan olahraga merupakan pencegah DM tipe 2. American Diabetes Association (ADA) mengatakan bahwa metformin dapat membantu mencegah perkembangan dari prediabetes menjadi diabetes.
Komplikasi
• Komplikasi dari diabetes termasuk hipoglikemi dan hyperglycemia, meningkatkan resiko infeksi, komplikasi mikrovaskuler (mis, retinopathy, nephropathy), komplikasi neuropati, dan penyakit makrovaskuler
• Diabetes merupakan penyebab utama terjadinya kebuataan pada umur diatas 20-74 years.
• Diabetes merupakan penyebab utama amputasi tungkai dan Gagal Ginjal Tahap Akhir.
Prognosis
• Pasien diabetes memiliki tantangan seumur hidup untuk mencapai dan menjaga kadar glukosa darah sedekat mungkin ke angka normal. Dengan pengendalian glikemia yang cocok, resiko terjadinya komplikasi mikrovaskuler dan neuropati menurun secara bermakna. Sebagai tambahan, jika hipertensi dan hiperlipidemia ditangani secara agresif, resiko terjadinya komplikasi makrovaskuler juga menurun secara drastis.
• Manfaat ini juga diimbangi dengan resiko hipoglikemi dan biaya jangka pendek untuk menyediakan pengobatan berkualitas baik. Penelitian menunjukkan biaya yang dihemat setelah berkurangnya komplikasi akut diabetes selama 1-3 tahun setelah memulai pencegahan efektif
• Setiap bertemu dengan dokternya, pasien sebaiknya diberitahukan tentang rencana terapi yang cocok dan memotivasi pasien untuk melakukannya secara ketat. Dokter mesti meyakinkan pasien bahwa penatalaksanaan diabetes mellitus mencakup seluruh pemeriksaan lab yang penting, pemeriksaan neurologik dan tungkai, dan rujukan ke spesialis mata atau orthopedis/podiatris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar