PENDAHULUAN
Penyebab pasti terjadinya kanker belum diketahui, namun terjadinya kanker dipengaruhi oleh berbagai faktor sehingga disebut sebagai “multifaktorial karsinogenesis” yang proses terjadinya bertahap “multistep karsinogenesis”. Permukaan mukosa dari traktus respiratoris bagian atas, paru-paru dan esofagus dapat terpapar berulang-ulang dengan karsinogen yang sama misalnya tembakau dan alkohol. Tumorigenesis atau karsinogenesis pada traktus aerodigestive dipercaya sebagai proses multistep dimulai oleh kerusakan genetik akibat pemaparan karsinogen yang kontinue.
Perubahan genetik yang spesifik berupa aktivasi onkogen (misalnya Cyclin D1), inaktivasi atau mutasi dari tumor suppressor gen (misalnya p53) dan amplifikasi dari faktor pertumbuhan dan reseptornya. Perubahan-perubahan gen spesifik ini akan berakibat perubahan fenotipe dari diferensiasi atau proliferasi atau keduanya. Tumor suppresor gen p53 berlokasi pada kromosom 17 merupakan gen yang sangat lengkap diamati pada neoplasia kepala dan leher serta kanker lain. Mutasi dan over ekspresi dari p53 terjadi pada 40-60% penderita kanker dan berhubungan dengan prognosis yang jelek dimana penderita mengalami Rekurensi yang lebih cepat. Di samping itu dengan melakukan pemeriksaan mutasi gen pada tumor margin penderita maka, dapat mengidentifikasi adanya rekurensi lokal tumor, sehingga pemberian ajuvan terapi bisa dilakukan. Telah diketahui pada 37% orang yang merokok mengalami mutasi dan bila disertai dengan alkohol meningkat menjadi 58%. Lesi neoplastik yang multipel dapat muncul dan menjadi progresif pada penderita yang sama secara simultan atau sekuensial dalam suatu proses yang disebut field cancerization.
Metachronous second primary tumor berkembang pada 4-7% umumnya adalah skuamous sel dapat terjadi pada daerah yang terpapar karsinogen traktus aerodigestive. (47,98%), hidung dan sinus paranasalis 114 kasus (19,96%), tonsil 59 kasus (10,33%), laring 43 (7,72%) dan rongga mulut 40 kasus (7%) sedangkan tumor-tumor yang lain mempunyai frekuensi yang lebih jarang. Dari tahun ke tahun tampak ada peningkatan dari kasus-kasus kanker kepala dan leher. Insiden meningkat sesuai dengan umur, umumnya terjadi pada usia di atas 50 tahun, dengan ratio antara laki-laki dan perempuan 4-5:1. Namun dengan meningkatnya kebiasaan merokok pada wanita maka ratio ini menurun menjadi 3:1 sejak 5-10 tahun lalu.
Selain itu alkohol juga mempunyai pengaruh yang sama dan berpotensi lebih cepat pada mereka yang merokok. Kebiasaan merokok dan minum alkohol ditemukan pada 80% penderita kanker kepala leher dan menempatkan mereka 15 kali lebih besar ke resiko kanker dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok dan minum alkohol. Pemakaian smokeless tobacco sangat berhubungan dengan lesi premalignan pada kavum oris seperti hiperkeratosis, displasia epitel. Faktor diet tampaknya memegang peran penting terhadap risiko kanker oral dan faringeal. Sejumlah studi epidemiologi menunjukkan resiko yang meningkat pada mereka dengan diet nutrien yang tidak mencukupi seperti defisiensi vitamin B, riboflavin, vitamin C. Karsinogen berupa debu kayu, penyamakan kulit, nikel, radium, toratrasi dan gas mustard berperan pada kanker hidung dan sinus paranasalis.
BAB I
KANKER NASOFARING
Kanker nasofaring sering tidak tampak pada fase awal. Pasien sering muncul dalam keadaan penyakit fase klanjut dengan keluhan hilangnya rasa nyeri, penbesaran nodus limfa pada leher, obstruksi nasal unilateral, epistaksis, pendarahan nasal yag tidak sembuh-sembuh, penurunan fungsi pendengaran pada salah satu telinga, tinitus, otitis media unilateral, yang terus kambuh, penurunan fungsi saraf kranial yang mungkin dapat mengakibatkan pandanangan ganda, nyeri pada tenggorokan, dan nyeri nyeri kepala terlikalisasi memburuk. Kanker kecil dari nasofaring, meskipun tidak sering muncul dapat disembuhkan melalui Radioterapi dengan rata-rata bertahan hidup 5 tahun sekitar 80 - 90%.
Lesi sedang dengan fase lanjut tanpa ada bukti-bukti klinis adanya penyebaran ke daerah nodus limfa servikal sering dapat disembuhkan dengan angka bertahan hidup 5 tahun sekitar 50 - 70%. Pasien dengan fase lanjut dapat diatasi dengan Radioterapi dengan hasil yang sangat buruk, dengan atau tanpa pembedahan dan sering menjadi bermetastase selain dari kontrol setempat. Radioterapi dosis tinggi dengan batang Radioaktif eksternal merupakan penatalaksaan pilihan untuk tumor primer pada kepala dan leher. Pembedahan biasanya disiapkan untuk nodus-nodus yang gagal untuk perbaikan setelah terapi radiasi atau unutk paliatif jiak nodus-nodus tersebut terlihat kembali menyertai respon klinik secara keseluruhan. Beberapa tumor mungkin lebih menguntungkan denganterapi Radiaktif intrakavitas atau Implantasi interstisal.
Menurut Dr. Budianto Komari, Sp.THT, spesialis onkologi THT di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta, konsumsi ikan asin secara terus-menerus dalam dalam jumlah banyak dan dalam jangka waktu lama, rupanya bisa menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya kanker nasofaring. Peringatan itu mengemuka dalam seminar yang rutin diselenggarakan oleh RS Dharmais, Selasa pekan lalu. Dalam seminar bertajuk Kanker Nasofaring, Diagnosis dan Pengobatan, Dr. Budianto mengungkapkan bahwa ikan asin merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus Epstein-Barr sehingga menimbulkan kanker nasofaring.
Nasofaring adalah daerah tersembunyi yang terletak di belakang hidung berbentuk kubus. Bagian depan nasofaring berbatasan dengan rongga hidung, bagian atas berbatasan dengan dasar tengkorak, serta bagian bawah merupakan langit-langit dan rongga mulut. Virus Epstein-Barr adalah virus yang berperan penting dalam timbulnya kanker nasofaring. Virus yang hidup bebas di udara ini bisa masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di nasofaring tanpa menimbulkan gejala. Dikatakan, nitrosamin yang merupakan salah satu metabolisme dalam ikan asin merupakan mediator dari virus Epstein-Barr tersebut. Sebenarnya bukan hanya ikan asin, makanan yang mengandung protein dan diawetkan juga bisa menjadi mediator. Namun, sejauh ini ikan asin yang lebih banyak diteliti. "Angka kejadian kanker nasofaring memang cukup tinggi pada golongan nelayan tradisional di Hong Kong yang mengonsumsi ikan asin," kata Dr Budianto. Selain ikan asin, mediator lain yang juga bisa ikut menimbulkan kanker nasofaring adalah lingkungan dengan ventilasi yang kurang baik, pembakaran dupa, kontak dengan zat karsinogen seperti pada pekerja pabrik bahan kimia, ras, dan keturunan, serta radang kronis nasofaring. Ras mongoloid, disebut Dr. Budianto, merupakan faktor dominan untuk timbulnya kanker tersebut.
Kanker nasofaring, yang lebih banyak ditemui pada laki-laki, merupakan tumor ganas. Kanker nasofaring merupakan tumor ganas pada daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Sekitar 70 persen dari benjolan di leher bagian atas adalah kanker nasofaring. Berdasarkan data laboratorium patologi anatomi, tumor ganas nasofaring menduduki peringkat keempat dari seluruh keganasan setelah kanker rahim, payudara dan kulit. Sayangnya, sekitar 60-95 persen penderita kanker nasofaring datang pada stadium III-IV. Bila hal ini terjadi, terapi radiasi sebagai treatment of choice akan lebih baik jika dikombinasi dengan kemoterapi.
Gejala kanker nasofaring biasanya tergantung pada derajat penyebaran dan lokasi tumbuhnya tumor. Gejala yang sering ditemukan adalah pembesaran kelenjar di bagian leher. Gejala tidak khas seperti hidung tersumbat, ingus, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, kelumpuhan pada otot mata, penglihatan ganda, kelumpuhan otot lidah juga merupakan gejala yang ditemui pada penderita kanker nasofaring.
Bila hasil uji klinis dan biopsi menunjukkan hasil positif, pasien harus diterapi. Sebenarnya penanda tumor sudah bisa dilakukan. Caranya, dengan melakukan pemeriksaan imunoglobulin A (IgA), anti-Early Antigen (anti-EA) dan anti- Viral Caption Antigen (anti-VGA). Meski sudah ada penanda tumor, uji klinis dan biopsi tetap harus dilakukan untuk memastikan hasilnya.
A. SERANG EPITEL MUKOSA
Nasofaring merupakan daerah tersembunyi, terletak di belakang hidung, berbentuk kubus. Daerah ini sulit dilihat dan dirasakan sehingga secara klinis disebut sebagai daerah gelap di pertengahan dasar tengkorak. Bagian depan nasofaring berbatasan dengan rongga hidung, bagian atas berbatasan dengan dasar tengkorak, dan bagian bawah merupakan langit-langit dan rongga mulut.
''Nasofaring dilapisi epitel skuamosa berbentuk gepeng. Kanker itu menyerang lapisan tersebut,'' ujar Dr Budianto Komari SpTHT, ahli onkologi THT RS Kanker Dharmais (RSKD) Jakarta. Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kanker nasofaring dibagi menjadi tiga kategori. Karsinoma (kanker) nasofaring tipe-1 yaitu karsinoma sel skuamosa dengan keratin (berlapisan tanduk), tipe-2 yang tak ada keratin, dan tipe-3 yang tanpa deferensiasi. Dari ketiga kategori tersebut, Budianto menilai, hanya kategori ke-2 dan ke-3 yang bersifat radiosensitif. Infeksi virus Epstein-Barr berperan penting dalam timbulnya kanker nasofaring. Virus dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di nasofaring tanpa menimbulkan gejala. Untuk mengaktifkan virus ini, dibutuhkan suatu mediator.
A. Penyebab
Ada beberapa faktor yang dianggap berpengaruh menjadi mediator untuk timbulnya kanker nasofaring. Antara lain ikan asin, sosial, lingkungan, kebiasaan hidup, adanya zat karsinogen, ras atau keturunan, serta seringnya terkena radang nasofaring. ''Ikan asin mengandung protein. Nitrosamin adalah salah satu metabolisme dari ikan asin, juga terdapat pada makanan yang diawetkan dan kacang tanah yang terasa pahit. Zat itulah yang memicu kanker nasofaring,'' sambung Budianto.
Kebiasaan mengonsumsi ikan asin dalam jangka waktu lama secara terus menerus, sejak anak-anak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus Epstein-Barr. Penelitian internasional di Hongkong menyebutkan bahwa ikan asin adalah makanan yang popular di Cina Selatan dan merupakan faktor penyebab timbulnya kanker nasofaring. Teori ini didasarkan pada tingginya angka kejadian penyakit ini pada golongan nelayan tradisional di Hongkong. Mereka mengonsumsi ikan asin dalam jumlah besar, dan kurang konsumsi vitamin, buah, dan sayuran segar.
Penelitian lain memperlihatkan, udara yang penuh asap di rumah-rumah dengan ventilasi yang kurang baik di Cina, Indonesia, dan Kenya, juga meningkatkan kejadian kanker ini. Pembakaran dupa di rumah-rumah juga dianggap berperan dalam menimbulkan kanker nasofaring di Hongkong. Kejadian tertinggi di dunia ternyata pada ras Cina, baik di daerah asal maupun perantauan. Ras Melayu termasuk yang terkena dalam jumlah agak banyak.
C. Gejala Kanker Nasofaring
Gejala yang timbul berhubungan erat dengan lokasi tumor di nasofaring dan derajat penyebarannya, yaitu:
1. Pembesaran kelenjar leher. Gejala ini paling sering ditemukan. Pembesaran ini teraba keras dan tak nyeri.
2. Gejala di hidung dapat merupakan gejala dini dari kanker ini. Tetapi, gejala ini tidak khas. Seperti hidung tersumbat, pilek dengan ingus yang kental, mimisan ringan yang kadang bercampur ingus sehingga berwarna merah jambu, atau terdapat garis-garis halus.
3. Gejala di telinga berupa gangguan pendengaran, rasa penuh di telinga, seperti ada cairan, suara berdenging. Gejala ini merupakan gejala dini dan harus merupakan perhatian apabila gejalanya menetap atau sering hilang-timbul tanpa penyebab yang jelas.
4. Gejala pada saraf timbul akibat perluasan kanker ke otak. Gejala ini berupa gangguan penglihatan, kelumpuhan otot-otot mata seperti mata juling dan penglihatan ganda. Dapat pula menimbulkan rasa kebas pada separuh wajah atau nyeri kepala. Selain itu, dapat berupa gangguan menelan dan kelumpuhan otot lidah. Jika gejala ini timbul, maka merupakan gejala lanjut.
5. Gejala akibat penyebaran jauh. Sel-sel kanker dapat menyebar melalui aliran darah limfa. Organ yang sering terkena adalah tulang, paru, dan hati. Ini merupakan stadium lanjut.
D. Pengobatan Kanker Nasofaring
Kanker nasofaring tidak menimbulkan gejala khas. Kebanyakan pasien datang berobat setelah kanker berada pada stadium lanjut. Terapi dilakukan dengan kemoterapi dan radiasi. Karena, walaupun disebabkan oleh virus, terapi antiviral memberikan hasil tidak memuaskan.
Masyarakat awam mungkin lebih banyak mengenal jenis penyakit kanker payudara, kanker rahim, kanker paru, dan kanker hati. Namun, kanker nasofaring belum banyak yang mendengar atau mengetahuinya. Padahal, kanker jenis ini termasuk agresif menyerang masyarakat. Kanker nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 70 persen tumor ganas kepala dan leher merupakan kanker nasofaring. Dari data laboratorium patologi anatomi, tumor ganas nasofaring menduduki peringkat ke-4 dari seluruh keganasan setelah kanker rahim, payudara, dan kulit.
Meski kanker nasofaring sering dijumpai, masih belum banyak masyarakat memahaminya. Penyakit ini merupakan tantangan bagi dokter telinga hidung tenggorokan (THT) untuk mendapatkan kasus ini pada stadium dini. Ini karena gejala dini kanker nasofaring yang tidak khas sehingga sering tidak disadari oleh penderita. Pada umumnya ras mongoloid merupakan faktor dominan menjadi penyebab timbulnya kanker nasofaring. Sehingga, kejadian kasus ini pada penduduk Cina bagian Selatan, Hongkong, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia cukup tinggi.
Kondisi ganas ini sangat jarang ditemukan di dataran Eropa dan Amerika Utara, yaitu dengan angka kejadian kurang dari satu dari antara 100 ribu orang penduduk. Sebaliknya di Cina bagian Selatan, tercatat sebesar 40-50 kasus dari 100 ribu orang penduduk. Kanker nasofaring lebih sering ditemukan pada pria daripada perempuan dengan angka 2,18 dibanding banding satu. Sebanyak 60 persen ditemukan antara usia 25-60 tahun. Pada kasus lanjut kanker ini menyebar hingga ke paru, hati, dan organ lainnya. Kebanyakan, yakni 60-95 persen, penderita kanker nasofaring datang berobat pada stadium lanjut (III-IV). Di Indonesia kejadian kanker nasofaring hampir merata di setiap daerah. Di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Kanker Dharmais Jakarta terdapat 60 kasus, dan RS Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus setahunnya. Di Makassar terdapat 25 kasus, Denpasar ada 15 kasus, dan Padang sebanyak 11 kasus.
E. Terapi
Terapi diberikan sesuai dengan kondisi penyakitnya. Diagnosis dapat dilakukan dengan biopsi nasofaring lewat anestesi lokal dan alat endoskop dari rongga hidung. Umumnya pengobatan untuk kanker nasofaring adalah radioterapi. Namun, bila kankernya sudah menyebar ke organ lain, terapi radiasi yang diberikan terbatas. Maka, di sini perlu dikombinasikan dengan kemoterapi. Kemoterapi diberikan untuk menghambat penyebaran kanker ke kelenjar getah bening leher dan kasus lainnya.
Biasanya pengobatan pada stadium I dan II dilakukan dengan radiasi (stadium II dikombinasikan kemoterapi). Sedangkan, pada stadium III dan IV pasien harus menjalani kemoterapi. Berdasarkan angka ketahanan hidup (dalam jangka waktu 5 tahun) untuk stadium I-II adalah 76 persen. Untuk stadium lanjut kurang dari 40 persen.
Penelitian yang dilakukan Soetjipto pada 1989 di RSCM mendapatkan, sebanyak 50 persen penderita kanker nasofaring stadium lanjut meninggal dalam tahun pertama setelah radiasi. Sementara itu, penelitian Soesworo pada 1990 di tempat yang sama menunjukkan hasil pengobatan radiasi pada kanker ini selama satu tahun. Yaitu, angka ketahanan hidup untuk stadium I sebesar 100 persen, stadium II sebesar 86,73 persen, stadium III sebesar 71,67 persen, dan stadium IV sebsar 41,60 persen.
Meski kanker nasofaring lebih banyak disebabkan virus, menurut Budianto, pemberian terapi antiviral (antivirus) memberikan hasil yang tidak memuaskan. Jadi, kemoterapi tak perlu dicampur dengan penggunaan antiviral. Makanan terus diberikan untuk mempertahankan kondisi dan meningkatkan imunitas. Selain pengobatan tadi, saat ini terapi sering menggunakan Cisplatin dan 5 Fluorouracil (FU) yang khusus untuk antikanker nasofaring. Pemberiannya dilakukan sebanyak enam seri tiap tiga minggu. Setiap satu seri diikuti dengan pemeriksaan dan evaluasi. ''Terapi ini memiliki efek samping minimal.Terapi tersebut kini dipakai hampir diseluruh dunia untuk kanker nasofaring,'' kata Budianto.
BAB II
KANKER LARING
Kanker Laring adalah keganasan pada pita suara, kotak suara (laring) atau daerah lainnya di tenggorokan. Kanker laring lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita dengan sekitar 12.300 kasus baru terdiagnosis setiap tahunnya di Amerika Serikat. Tanda dan gejala umum saat didiagnosis adalah nyeri atau sakit tenggorokan, nyeri saat menelan, nyeri menyebar ke telinga, perubahan kwalitas suara atau pembesaran nodus limfa. Prognosis untuk kanker-kanker yang kecil tanpa penyebaran pada nodus limfa adalah sangat baik dengan rata-rata kesembuhansejitar 75 – 95 %. Lesi lanjut langsung terutama dengan keterlibatan nodus limfa secara klinis dapat dikonrol dengan sangat buruk dengan pembedahan , terapi Radiasi atau kombiansi dari modalitas pengobatab yang ada. Mestastase jauh umum juga dengan kontrol lokal dari penyakit tersebut. Kemampuan bertahan hidup saat ini sekitar 50 – 80 %. Insiden tumor multi primer adalah 5 – 10 %. Kanker permukaan kecil dengan cukup berhasil ditangani dengan terapi Radiasi atau pembedahan meliputi pembedahan eksisi laser. Kanker laring lanjut, dengan fiksasi laring atau terkenannya nodus limfa sering kali ditangani dengan kombinasi pembedahan dan terapi radiasi. Karena rendahnya rata-rata kesembuhan dari lesi lanjut, penelitian klinik yang mengeksploritasi Kemoterapi, terapi radiasi, terapi sensitiser, atau radioterapi partikel-partikel batang harus dipertimbangkan. Tinjauan literatur sekarang ini menyatakan bahwa panjangnya waktu pemberian Radioterapi menghasilkan kontrol yang buruk dan harus dihindari. Begitu juga, bagi pasien yang merokok selama terapi radiasi tampaknya mempunyai respon yang rata – rata yang lebih rendah dan kemampuan bertahan hidup yang bertahan singkat daripada orang yang tidak merokok. Karena itu pasien harus diberikan konseling untuk berhenti merokok sebelum terapi dimulai.
A PENYEBAB
Kanker laring lebih banyak ditemukan pada pria dan berhubungan dengan rokok serta pemakaian alkohol.
B. GEJALA
Kanker laring biasanya berasal dari pita suara, menyebabkan suara serak.
Seseorang yang mengalami serak selama lebih dari 2 minggu sebaiknya segera memeriksakan diri. Kanker bagian laring lainnya menyebabkan nyeri dan kesulitan menelan. Kadang sebuah benjolan di leher yang merupakan penyebaran kanker ke kelenjar getah bening, muncul terlebih dulu sebelum gejala lainnya timbul.
Gejala lainnya yang mungkin terjadi adalah:
Nyeri tenggorokan
Nyeri leher
Penurunan berat badan
Batuk
Batuk berdarah
Bunyi pernafasan yang abnormal
C. DIAGNOSA
Untuk menegakkan diagnosis dilakukan pemeriksan laringoskop dan biopsi. CT scan dan MRI kepala atau leher juga bisa menunjukkan adanya kanker laring.
D. PENGOBATAN
Pengobatan tergantung kepada lokasi kanker di dalam laring.
Kanker stadium awal diatasi dengan pembedahan atau terapi penyinaran. Jika menyerang pita suara, lebih sering dilakukan terapi penyinaran karena bisa mempertahankan suara yang normal. Kanker stadium lanjut biasanya diatasi dengan pembedahan, yang bisa meliputi pengangkatan seluruh bagian laring (laringektomi total atau parsial), diikuti dengan terapi penyinaran. Pengangkatan seluruh pita suara menyebabkan penderita tidak memiliki suara.
Suara yang baru dibuat dengan salah satu dari cara berikut:
1. Esophageal speech, penderita diajari untuk membawa udara ke dalam kerongkongan ketika bernafas dan secara perlahan menghembuskannya untuk menghasilkan suara.
2. Fistula trakeoesofageal, merupakan katup satu arah yang dimasukkan diantara trakea dan kerongkongan. Katup ini mendorong udara ke dalam kerongkongan ketika penderita bernafas, sehingga menghasilkan suara. Jika katup mengalami kelainan fungsi, cairan dan makanan bisa secara tidak sengaja masuk ke dalam trakea.
3. Elektrolaring adalah suatu alat yang bertindak sebagai sumber suara dan dipasang di leher.
Suara yang dihasilkan oleh ketiga cara tersebut dirubah menjadi percakapan dengan menggunakan mulut, hidung, gigi, lidah dan bibir. Suara yang dihasilkan lebih lemah dibandingkan suara normal.
E. PENCEGAHAN
Kurangi atau hindari rokok dan alkohol.
DAFTAR PUSTAKA
1. Krause CJ. Presidential address, head and neck. In: Fee, Goepert, John,
editors. American Society for Head and Neck Surgery; 1990.p.1-3
2. Rodriguez-Monge EJ, Shin DM, Lippman SM. A comprehensive review
head and neck cancer. Medical Oncology 1997
3. Soegeng SM, Willy S, Dyah F. Aspek patologi tumor THT-Kepala.
Perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan tumor ganas THT-KL. In: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan. Surabaya:
FK UNAIR; 2002.p.8-36
4. Forastiere A, Koch W, Trotti A, et al. Head and Neck Cancer. NEJM 2001;
345:1890-900
5. Kuhuwael FG, Didit S. Aspek klinis karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Umum Dadi dan Rumah Sakit Umum Dr Wahidin tahun 1990-1999. Pertemuan Ilmiah Berkala XV. Fakultas Kedokteran UNHAS; 2001
6. Masrin M. Keganasan dibidang telinga hidung tenggorok. In: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok FKUI. 4th ed; 2000.
p.135-41
7. Masrin M. Keganasan dibidang telinga hidung tenggorok. In: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok FKUI. 4th ed; 2000.
p.135-41.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar