BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Pada bab ini menguraikan hasil dan pembahasannya dengan menentukan frekuensi dan dipresentasikan ke dalam tabel, kemudian disimpulkan / interpretasikan. Variable yang diteliti adalah pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi tetanus toxoid di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi dengan sub variable yaitu pengertian imunisasi tetanus toxoid, manfaat imunisasi tetanus toxoid, periode waktu pemberian imunisasi tetanus toxoid, efek samping imunisasi tetanus toxoid, tempat mendapatkan pelayanan imunisasi tetanus toxoid. Hasil penelitian dan pembahasannya disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi sebagai berikut :
1. Karakteristik Responden
a. Karakteristik responden menurut umur.
Karakteristik responden berdasarkan umur di dapatkan responden termuda berumur 16 tahun dan tertua berumur 40 tahun dan rata-rata berumur 25 tahun. Hasil penelitian yang di dapat dari data responden berdasarkan karakteristik umur disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi sebagai berikut :
Tabel 4. 1 Distribusi frekuensi ibu hamil yang mengikuti imunisasi tetanus toxoid di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi menurut umur.
No Umur Frekuensi %
1.
2.
3.
4.
5.
6. 16 – 20
21 – 25
26 – 30
31 – 35
36 – 40
≥ 40 11
35
22
9
8
4 12,3
39,3
24,7
10,2
9,1
4,4
Jumlah 89 100
Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar responden yaitu (39,3%) berumur 21 – 25 tahun, (24,7%) berumur 26 – 30 tahun dan (12,3%) berumur 16 – 20 tahun. Sebagian kecil dari responden yaitu (10,2%) berumur 31 – 35 tahun, (9,1%) berumur 36 – 40 tahun dan (4,4%) berumur ≥ 40 tahun.
b. Karakteristik menurut pendidikan.
Karakteristik responden menurut pendidikan ini dikelompokan dalam tingkat pendidikan. Pendidikan yang paling tinggi adalah DI dan yang terendah adalah SD. Yang dapat dilihat pada tabel berikut
Tabel 4. 2 Distribusi Frekuensi Ibu Hamil yang mengikuti imunisasi tetanus toxoid di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi menurut pendidikan.
No Pendidikan Frekuensi %
1.
2.
3.
4. SD
SMP
SMU
DI 39
30
19
1 43,8
33,7
21,4
1,1
Jumlah 89 100
Berdasarkan tabel diatas di dapat bahwa sebagian besar responden yaitu (43,8%) responden mempunyai pendidikan SD, (33,7%) responden mempunyai pendidikan SMP dan sebagian kecil responden yaitu (21,4%) mempunyai pendidikan SMU, (1,1%) mempunyai pendidikan DI.
c. Karakteristik menurut pekerjaan.
Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan, di dapat hasil bahwa pekerjaan yang paling banyak adalah ibu rumah tangga dan yang paling sedikit adalah pegawai negeri sipil. Hasil penelitian yang di dapat data responden berdasarkan karakteristik menurut pekerjaan dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 4. 3 Distribusi frekuensi ibu hamil yang mengikuti imunisasi tetanus toxoid di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi menurut pekerjaan.
No Pekerjaan Frekuensi %
1.
2.
3. Ibu Rumah Tangga
Pedagang
PNS 84
4
1 94,4
4,5
1,1
Jumlah 89 100
Tabel diatas menunjukan bahwa sebagian besar responden yaitu (94,4%) mempunyai pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, (4,5%) mempunyai pekerjaan sebagai pedagang dan sebagian kecil responden yaitu (1,1%) mempunyai pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil.
2. Distribusi Pengetahuan Responden
Hasil penelitian mengenai pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi tetanus toxoid di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi. Variable yang diteliti adalah pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi tetanus toxoid di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi dengan sub variable yaitu pengertian imunisasi tetanus toxoid, manfaat imunisasi tetanus toxoid, periode waktu pemberian imunisasi tetanus toxoid, efek samping imunisasi tetanus toxoid, tempat mendapatkan pelayanan imunisasi tetanus toxoid. Hasil penelitian dan pembahasannya akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi sebagai berikut :
a. Distribusi pengetahuan ibu hamil tentang pengertian imunisasi tetanus toxoid.
Berdasarkan hasil jawaban responden terhadap kuesioner nomor 1 sampai dengan nomor 3, maka diperoleh hasil seperti pada tabel distribusi frekuensi berikut ini :
Tabel 4.4 Distribusi frekuensi pengetahuan ibu hamil tentang pengertian imunisasi tetanus toxoid.
No Kategori
Pengetahuan Frekuensi %
1.
2.
3. Baik
Cukup
Kurang 7
77
5 7,86
86,51
5,61
Jumlah 89 100
Tabel diatas dapat diketahui bahwa pengetahuan ibu hamil tentang pengertian imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (86,51%) memiliki pengetahuan kategori yang cukup dan sebagian kecil responden yaitu (7,86%) memiliki pengetahuan kategori yang baik, (5,61%) memiliki pengetahuan yang kurang.
b. Distribusi pengetahuan ibu hamil tentang manfaat imunisasi tetanus toxoid.
Berdasarkan hasil jawaban responden terhadap kuesioner nomor 4 sampai dengan nomor 5, maka diperoleh hasil seperti pada tabel distribusi frekuensi berikut ini :
Tabel 4.5 Distribusi frekuensi pengetahuan ibu hamil tentang manfaat imunisasi tetanus toxoid.
No Kategori
Pengetahuan Frekuensi %
1.
2.
3. Baik
Cukup
Kurang 81
0
8 91,01
0
8,98
Jumlah 89 100
Tabel diatas dapat diketahui bahwa pengetahuan ibu hamil tentang manfaat imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (91,01%) memiliki kategori pengetahuan yang baik dan sebagian kecil yaitu (8,98%) memiliki pengetahuan kurang.
c. Distribusi pengetahuan ibu hamil tentang periode waktu mendapatkan imunisasi tetanus toxoid.
Berdasarkan hasil jawaban responden terhadap kuesioner nomor 6 sampai dengan nomor 7, maka diperoleh hasil seperti pada tabel distribusi frekuensi berikut ini :
Tabel 4.6 Distribusi frekuensi pengetahuan ibu hamil tentang periode waktu imunisasi tetanus toxoid.
No Kategori
Pengetahuan Frekuensi %
1.
2.
3. Baik
Cukup
Kurang 9
0
80 10,11
0
89,88
Jumlah 89 100
Tabel diatas dapat diketahui bahwa pengetahuan ibu hamil tentang periode waktu mendapatkan imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (89,88%) memiliki pengetahuan kurang dan sebagian kecil adalah (10,11%) memiliki pengetahuan baik.
d. Distribusi pengetahuan ibu hamil tentang efek samping imunisasi tetanus toxoid.
Berdasarkan hasil jawaban responden terhadap kuesioner nomor 8, maka diperoleh hasil seperti pada tabel distribusi frekuensi berikut ini :
Tabel 4.7 Distribusi frekuensi pengetahuan ibu hamil tentang efek samping imunisasi tetanus toxoid.
No Kategori
Pengetahuan Frekuensi %
1.
2.
3. Baik
Cukup
Kurang 34
0
55 32,2
0
61,79
Jumlah 89 100
Tabel diatas dapat diketahui bahwa pengetahuan ibu hamil tentang efek samping dari imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (61,79%) memiliki pengetahuan yang kurang dan sebagian kecil adalah (32,2%) memiliki pengetahuan yang baik.
e. Distribusi pengetahuan ibu hamil tentang cara mendapatkan imunisasi tetanus toxoid.
Berdasarkan hasil jawaban responden terhadap kuesioner nomor 9 sampai dengan nomor 10, maka diperoleh hasil seperti pada tabel distribusi frekuensi berikut ini :
Tabel 4.8 Distribusi frekuensi pengetahuan ibu hamil tentang cara mendapatkan imunisasi tetanus toxoid.
No Kategori
Pengetahuan Frekuensi %
1.
2.
3. Baik
Cukup
Kurang 84
0
5 94,38
0
5,61
Jumlah 89 100
Tabel diatas dapat diketahui bahwa pengetahuan ibu hamil tentang cara mendapatkan imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (94,38%) memiliki pengetahuan baik dan sebagian kecil adalah (5,61%) memiliki pengetahuan kurang.
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian tentang pengetahuan ibu hamil terhadap imunisasi tetanus toxoid, maka di bawah ini akan dibahas pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi tetanus toxoid di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi – Cirebon.
Menurut Notoatmodjo (2003 : 121), mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui panca indera penglihatan dan pendengaran.
1. Pengetahuan ibu hamil tentang pengertian imunisasi tetanus toxoid.
Pengetahuan ibu hamil tentang pengertian imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (86,51%) memiliki pengetahuan kategori yang cukup dan sebagian kecil responden yaitu (7,86%) memiliki pengetahuan kategori yang baik, (5,61%) memiliki pengetahuan yang kurang. Menurut teori seharusnya responden bisa menjawab dengan benar semua kuesioner yang mengenai pengertian dari imunisasi tetanus toxoid akan tetapi kenyataannya masih ada sejumlah responden memiliki pengetahuan dalam kategori yang kurang tentang pengertian imunisasi tetanus toxoid.
Hal ini dikarenakan masih terdapat responden sangat minim yang melatarbelakangi oleh pendidikan yang masih rendah dan informasi yang diterima masih kurang mengenai pengertian imunisasi tetanus toxoid. Maka dari itu masih perlu diadakannya pembinaan melalui penyuluhan kesehatan yang merata oleh tim kesehatan.
2. Pengetahuan ibu hamil tentang manfaat imunisasi tetanus toxoid.
Pengetahuan ibu hamil tentang manfaat imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (91,01%) memiliki kategori pengetahuan yang baik dan sebagian kecil yaitu (8,98%) memiliki pengetahuan kurang. Menurut teori seharusnya responden bisa menjawab dengan benar semua kuesioner yang mengenai manfaat dari imunisasi tetanus toxoid akan tetapi kenyataannya masih ada sejumlah responden memiliki pengetahuan dalam kategori yang kurang dalam menjawab kuesioner.
Disini kita memperoleh hasil bahwa pengetahuan ibu hamil tentang manfaat imunisasi tetanus toxoid sudah baik dan agar selanjutnya dapat dijadikan motivasi bagi ibu hamil untuk lebih mau berkembang kearah yang lebih baik lagi.
3. Pengetahuan ibu hamil tentang periode waktu mendapatkan imunisasi tetanus toxoid.
Pengetahuan ibu hamil tentang periode waktu mendapatkan imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (89,88%) memiliki pengetahuan kurang dan sebagian kecil adalah (10,11%) memiliki pengetahuan baik. Dengan mengetahui dari awal tentang periode waktu mendapatkan imunisasi tetanus toxoid diharapkan bisa segera mengurangi rentanitas atau dapat mencegah penyakit tetanus.
Kurangnya pengetahuan responden didukung oleh karakteristik responden yang kurang dari setengah yaitu (43,8%) responden mempunyai pendidikan SD, dimana untuk mengetahui periode waktu mendapatkan imunisasi tetanus toxoid memerlukan tingkat pemahaman yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa dnegan latar belakang pendidikan yang rendah mempunyai pengetahuan dan tingkat pemahaman yang terbatas. (Notoatmodjo, 2003).
4. Pengetahuan ibu hamil tentang efek samping dari imunisasi tetanus toxoid.
Pengetahuan ibu hamil tentang efek samping imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (61,79%) memiliki pengetahuan yang kurang dan sebagian kecil adalah (32,2%) memiliki pengetahuan yang baik.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa ibu hamil masih mempunyai pengetahuan yang kurang tentang efek samping imunisasi tetanus toxoid, dikarenakan masih banyak responden yang tingkat pendidikannya masih rendah dan ketidakaktifan ibu hamil untuk mengetahui efek samping tentang imunisasi tetanus toxoid melalui media baik cetak maupun elektronik dan melalui penyuluhan yang dilaksanakan oleh pihak Puskesmas Kaliwedi.
5. Pengetahuan ibu hamil tentang cara mendapatkan pelayanan Imunisasi tetanus toxoid.
Pengetahuan ibu hamil tentang cara mendapatkan imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (94,38%) memiliki pengetahuan baik dan sebagian kecil adalah (5,61%) memiliki pengetahuan kurang.
Disini dapat diketahui bahwa pengetahuan ibu hamil keseluruhan tentang penanganan penyakit tetanus toxoid sudah baik, hanya ada 5,61% responden yang berpengetahuan kurang. Walaupun demikian petugas kesehatan khususnya selalu memberikan pendidikan kesehatan atau penyuluhan kesehatan agar masyarakat lebih paham lagi khususnya ibu hamil.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi tetanus toxoid meliputi sebagai berikut : pengetahuan ibu hamil tentang pengertian imunisasi tetanus toxoid, manfaat imunisasi tetanus toxoid, periode waktu mendapatkan imunisasi tetanus toxoid, efek samping dan cara mendapatkan imunisasi tetanus toxoid di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengetahuan ibu hamil tentang pengertian imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (86,51%) dalam kategori yang cukup.
2. Pengetahuan ibu hamil tentang manfaat imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (91,01%) dalam kategori yang baik.
3. Pengetahuan ibu hamil tentang periode waktu mendapatkan imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (89,88%) dalam kategori memiliki pengetahuan yang kurang.
4. Pengetahuan ibu hamil tentang efek samping imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (61,79%) dalam kategori memiliki pengetahuan yang kurang.
5. Pengetahuan ibu hamil tentang cara mendapatkan imunisasi tetanus toxoid, sebagian besar responden yaitu (94,38%) dalam kategori memiliki pengetahuan yang baik.
B. Saran
1. Bagi Perawat
Menurut hasil penelitian dapat diketahui bahwa masih banyaknya responden yang menurut kategori memiliki pengetahuan kurang tentang periode waktu mendapatkan dan efek samping imunisasi tetanus toxoid. Maka masih perlu digalakannya lagi penyuluhan kesehatan tentang imunisasi tetanus toxoid sehingga menurut teori bisa dikatakan mencapai target dari yang sudah ditargetkan.
2. Bagi Puskesmas
Puskesmas Kaliwedi diharapkan lebih dapat lagi untuk menyusun strategi penyuluhan baik perorangan maupun kelompok disetiap kesempatan mengenai imunisasi tetanus toxoid.
3. Bagi Ibu Hamil
Agar dapat secara pro-aktif untuk mencari informasi tentang imunisasi tetanus toxoid baik melalui media cetak, media elektronik ataupun bertanya secara langsung kepada petugas kesehatan.
Rabu, Juli 07, 2010
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU HAMIL TENTANG IMUNISASI TETANUS TOXOID DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KALIWEDI KABUPATEN CIREBON
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada era modern sekarang ini, di dalam dunia kesehatan peran pelayanan kesehatan tentunya sangatlah penting. Salah satu peran penting seorang pelayan kesehatan adalah penanggulangan penyakit menular, Seperti diketahui penyakit menular disebabkan oleh infeksi berbagai organisme maupun mikroorganisme di antaranya bakteri dan virus. Contoh penyakit menular yang disebabkan infeksi bakteri misalnya: difteri, pertusis, tuberkulosis dan tetanus sedangkan yang disebabkan oleh virus misalnya hepatitis, polio, dan campak.
Penyakit-penyakit di atas sebetulnya sudah dapat dicegah melalui imunisasi baik imunisasi dasar saat bayi 0-11 bulan maupun imunisasi lanjutan saat anak usia sekolah, ada pula imunisasi yang diberikan pada ibu hamil dan calon pengantin wanita yaitu imunisasi tetanus toxoid. Imunisasi sendiri sebetulnya sudah berlangsung lama, misalnya menurut hikayat Raja Pontus melindungi dirinya dari keracunan makanan dengan cara minum darah itik, sedangkan penggunaan hati anjing gila untuk pengobatan rabies menjadi basis pendekatan pembuatan vaksin rabies. Pembuatan vaksin dapat dikatakan dimulai tahun 1877 oleh Pasteur menggunakan kuman hidup yang dilemahkan yaitu untuk vaksinasi cowpox dan smallpox; pada tahun 1881 mulai dibuat vaksin anthrax dan tahun 1885 dimulai pembuatan vaksin rabies.
Sejarah imunisasi di Indonesia dimulai pada tahun 1956 dengan imunisasi cacar; dengan selang waktu yang cukup jauh yaitu pada tahun 1973 mulai dilakukan imunisasi BCG untuk tuberkulosis, disusul Imunisasi tetanus toxoid pada ibu hamil pada tahun 1974. Imunisasi DPT (difteri, pertusis, tetanus) pada bayi mulai diadakan pada tahun 1976. Pada tahun 1977 WHO mulai menetapkan program imunisasi sebagai upaya global dengan EPI (Expanded Program on Immunization) dan pada tahun 1981 mulai dilakukan imunisasi polio, tahun 1982 imunisasi campak mulai diberikan, dan tahun 1997 imunisasi hepatitis mulai dilaksanakan.
Adapun kegiatan imunisasi yang rutin diadakan adalah :
1. Imunisasi dasar pada bayi umur 0-11 bulan meliputi : BCG (1 kali pemberian), DPT (3 kali), Polio (4 kali), Hepatitis B (3 kali), dan Campak (1 kali).
2. Imunisasi lanjutan pada anak sekolah yaitu imunisasi DT (1 kali) dan TT (2 kali).
3. Imunisasi lanjutan pada ibu hamil dan calon pengantin wanita ialah TT 5 kali pemberian.
Penyakit tetanus akibat infeksi bakteri anaerob Clostridium Tetani di tempat luka dan menghasilkan Eksotoksin yang akan menyerang otot sehingga akan terjadi spasmus (kejang) otot. Kuman ini terdapat di usus hewan sehingga penularan terjadi karena kontak daerah luka dengan feses hewan yang mengandung kuman tersebut. Masa inkubasi antara 3 -21 hari kadang-kadang antara 1 hari sampai beberapa bulan. Penyakit ini dapat menyerang bayi baru lahir (tetanus neonatorum) yang biasanya akibat pertolongan persalinan yang kurang memperhatikan prinsip-prinsip kesehatan. Penyakit ini merupakan masalah kesehatan serius di negara berkembang : pemberian imunisasi toxoid tetanus pada calon pengantin wanita dan pada ibu hamil diharapkan dapat menurunkan kasus ini. Di Indonesia ada kebijakan MNTE (Maternal Neonatal Tetanus Elimination) untuk akselerasi pencapaian imunisasi WUS (wanita usia subur) dalam mengatasi penyakit ini melalui pendekatan golongan resiko tinggi yang diharapkan akan meluas dan memberi efek positif melalui kerja sama terpadu lintas program dan kerjasama antara para profesional, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan swasta.
Berdasarkan data yang diperoleh dari bagian rekamedik Puskesmas Kaliwedi Kabupaten Cirebon yang dilakukan dari tanggal 01 Januari – 31 Desember 2009. Cakupan program imunisasi tetanus toxoid di Puskesmas Kaliwedi dengan jumlah ibu hamil sebanyak 834 orang dan ibu hamil yang mengikuti program imunisasi TT1 sebanyak 748 ibu hamil sedangkan yang mengikuti program imunisasi TT2 sebanyak 757 ibu hamil sehingga dapat dilihat prosentasenya dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 1.1 Cakupan Program Imunisasi Tetanus Toxoid di Puskesmas Kaliwedi Kabupaten Cirebon dari periode Januari – Desember 2009
Jenis
Imunisasi Target Cakupan Kesenjangan
TT 1 100% 89,6% 10,4 %
TT 2 100% 90,7% 9,3 %
Sumber : Rekamedik Puskesmas Kaliwedi
Menurut data di atas dari cakupan program imunisasi tetanus toxoid di wilayah Puskesmas Kaliwedi dengan jumlah ibu hamil sebanyak 834 orang dan ibu hamil yang mengikuti program imunisasi TT1 sebanyak 748 ibu hamil sedangkan yang mengikuti program imunisasi TT2 sebanyak 757 ibu hamil. Jika di prosentasekan dalam prosentase dari target yang telah direncanakan sebesar 100% maka masih terdapat kesenjangan pada imunisasi TT1 sebesar 10,4% dan imunisasi TT2 sebesar 9,3% dikarenakan kurangnya pengetahuan ibu hamil atau wanita usia subur tentang pentingnya imunisasi tetanus toxoid sehingga masih rentannya ibu atau bayi yang baru lahir terkena penyakit tetanus toxoid.
Dari hasil studi pendahuluan oleh peneliti bahwa ibu hamil berjumlah 10 orang, 4 orang diantaranya mengetahui pengertian dan manfaat imunisasi tetanus toxoid. Sedangkan 6 orang lainnya sama sekali tidak mengetahui tentang imunisasi tetanus toxoid. Sehingga dapat diambil suatu kesimpulan sementara adalah masih sebagian besar ibu-ibu hamil belum mengetahui tentang imunisasi tetanus toxoid.
Oleh karena itu berdasarkan permasalahan di atas penulis dalam hal ini tertarik mengambil judul “ Gambaran Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Imunisasi Tetanus Toxoid “.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas dapat ditarik rumusan masalah yaitu bagaimana gambaran pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi tetanus toxoid.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah supaya ibu-ibu yang sedang hamil dapat mengetahui dan memahami tentang imunisasi tetanus toxoid.
2. Tujuan Khusus
a. Ibu-ibu hamil dapat mengetahui dan memahami tentang pengertian imunisasi tetanus toxoid.
b. Ibu-ibu hamil dapat memahami tentang pentingnya manfaat imunisasi tetanus toxoid.
c. Ibu-ibu hamil dapat mengetahui tentang periode waktu mendapatkan imunisasi tetanus toxoid.
d. Ibu-ibu hamil dapat memahami tentang efek samping dari Imunisasi tetanus toxoid.
e. Ibu-ibu hamil dapat mengetahui cara mendapatkan pelayanan Imunisasi tetanus toxoid.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan bagi institusi pendidikan sebagai informasi yang dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut, terutama berkaitan dengan tingkat pengetahuan ibu terhadap imunisasi tetanus toxoid.
2. Bagi Perawat
Dengan penelitian ini diharapkan perawat dapat mengetahui pengetahuan ibu hamil atau wanita usia subur tentang pentingnya imunisasi tetanus toxoid sehingga mampu melakukan intervensi dengan memberikan penyuluhan tentang pentingnya imunisasi tetanus toxoid.
3. Bagi Puskesmas
Sebagai informasi dan solusi untuk mengatasi adanya keterkaitan antara pengetahuan ibu hamil atau wanita usia subur tentang pentingnya pemberian imunisasi tetanus toxoid, sehingga diharapkan dapat meningkatkan cakupan kunjungan imunisasi tetanus toxoid di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi Kabupaten Cirebon.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
1. Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2003 : 96) dari segi biologis perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas orgnisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Sehingga yang dimaksud perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, menulis, membaca, menangis, kuliah dan sebagainya.
2. Pengertian Pengetahuan
Notoatmodjo (2003 : 121) mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui panca indera penglihatan dan pendengaran.
(Suparlan, 2004 : 83) pengetahuan berasal dari akal pikiran akan meningkatkan kepercayaan serta memiliki perkiraan dan pendapat, yang boleh jadi merupakan kepastian. Pengetahuan semacam ini diperoleh melalui jalan pendidikan baik formal maupun informal, dimana pengetahuan akan berpengaruh terhadap kesehatan.
Sedangkan menurut Nursalam (2001, hlm 23) pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setiap orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
a. Umur
Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih dewasa akan lebih di percaya dari yang belum cukup tinggi kedewasannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwa.
b. Pendidikan
Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin mudah menentukan informasi, makin banyak pengetahuan sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan.
c. Pengalaman
Individu sebagai orang yang menerima pengalaman, orang yang melakukan tangggapan atau penghayatan biasanya tidak melepaskan pengalaman yang sedang dialaminya.
d. Pekerjaan
Ibu yang bekerja disektor formal memiliki akses yang lebih baik, terhadap berbagai informasi, termasuk kesehatan. (Depkes RI, 1999, hlm 6).
e. Inteligensi
Inteligensi pada prinsipnya mempengaruhi kemampuan penyesuaian diri cara-cara pengambilan keputusan (latipon, 2001, hlm 44).
4. Pengetahuan yang tercakup dalam kognitif mempunyai enam tingkatan sebagai berikut :
a. Tahu (know)
Tahu artinya mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya termasuk dalam pengetahuan adalah mengingat kembali apa yang telah dipelajari atau yang telah diterima.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang suatu objek yang diketahui, dan menginterprestasikan materi tersebut.
c. Aplikasi (application)
Yaitu suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang dipelajari pada suatu kondisi yang sebenarnya.
d. Analisis (analisys)
Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih didalam struktur organisasi, dan masih berkaitan satu sama lain.
e. Sintesis (syntesis)
Kemampuan untuk meletakkan / menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu kesuluruhan yang baru / kemampuan merumuskan formulasi baru dari yang sudah ada.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi / penilaian terhadap suatu materi atau objek, penilaian didasarkan pada kriteria yang telah ditentukan.
5. Pengukuran Tingkat Pengetahuan
Pengukuran kemampuan dapat diketahui dengan cara orang yang bersangkutan mengungkapkan apa-apa yang diketahuinya dalam bentuk bukti atau jawaban, baik lisan maupun tulisan, bukti atau jawaban tersebut merupakan suatu reaksi dari satu stimulus yang dapat berupa pertanyaan baik lisan maupun tulisan.
6. Ibu (pendidikan Ibu)
Gadwel mengungkapkan teori bagaimana pendidikan ibu mempengaruhi tingkat kesehatan keluarga (Kartono Muhammad, 1992, hlm 38) yaitu :
a. Pendidikan mengurangi sifat fatalistik (pasrah kepada masalah ketika anak sakit).
b. Pendidikan ibu meningkatkan kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan dan sarana kesehatan yang ada (Puskesmas, Dokter, Rumah Sakit, dll) untuk menyelamatkan anaknya yang sakit.
c. Pendidikan mengubah perkembangan dalam menjaga kesehatan keluarga dari sifat yang tradisional yang mengutamakan pada kepentingan suami atau mertua kepada sikap yang sudah lebih seimbang terhadap kepentingan anak-anaknya.
7. Arti Ibu
Praktisi hukum yang juga Presiden LSM perjuangan hukum politik (PHS) HMK Aldian Pinem, SH. MH memandang sosok ibu sebagai perempuan yang harus dihormati dan dijaga hatinya jangan sampai anak menyakitinya dengan alasan apapun. Tidak dibenarkan untuk menciptakan suatu perbuatan yang dapat menggores hati ibunya. Sedangkan Ibu hamil adalah ibu yang mengandung mulai trimester I sampai dengan trimester III (Dinkes Jateng, 2005).
8. Konteks umum pengertian ibu ada tiga golongan :
a. Ibu sebagai orang yang telah melahirkan
b. Sebagai orang yang berkarya / berkarir
c. Sebagai seorang istri
Dalam konteks ketiga golongan ini sering terjadi penerapan tentang kodrat sosok bergeser katanya menurut ia, pergeseran tersebut akibat beberapa faktor yakni karena timbulnya asa emansipasi sosial budaya dan spiritual agama.
B. Tinjauan Teoritis
1. Pengertian Imunisasi Tetanus Toxoid.
Imunisasi adalah antigen untuk memicu imunitas (Cristine Hancock, 1999 : 226). Imunisasi adalah suatu upaya yang dilakukan dengan cara memasukkan kuman yang dilemahkan (vaksin ke dalam tubuh dengan tujuan sebagai tameng terhadap virus yang masuk sehingga akan menciptakan kekebalan, diberikan kepada balita atau ibu hamil untuk mencegah penyakit PD3I (Penyakit Dapat Dicegah Dengan Imunisasi). Imunisasi atau vaksinasi merupakan prinsip-prinsip imunolog yang paling dan terkenal berhasil terhadap kesehatan manusia.
Vaksin adalah antigen yaitu dapat berupa bibit penyakit yang sudah dilumpuhkan atau dimatikan (bakteri, virus atau riketsia), dapat berupa tiroid dan rekayasa genetika (rekombinasi) (Depkes RI, 2004). Sasaran imunisasi adalah termasuk ibu hamil dan bayi (berusia kurang 1 bulan). Vaksin tetanus yaitu toksin kuman tetanus yang dilemahkan dan kemudian dimurnikan (Setiawan dkk, 2006, hlm 63).
Penyakit tetanus adalah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi bakteri anaerob Clostridium Tetani di tempat luka dan menghasilkan Eksotoksin yang akan menyerang otot sehingga akan terjadi spasmus (kejang) otot (http://www.kalbefarma.com/tetanustoxoid/cdk.html). Imunisasi tetanus toksoid adalah proses untuk membangun kekebalan sebagai upaya pencegahan terhadap infeki tetanus (Idanati, 2005 : 61).
2. Manfaat Pemberian Imunisasi Tetanus Toxoid.
a. Melindungi bayinya yang baru lahir dari tetanus neorotum (BKKBN, 2005 : 5). Tetanus Neorotum adalah penyakit tetanus yang sering terjadi pada neonatus (bayi berusia kurang dari 1 bulan) yang disebabkan oleh Clostridium tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun) dan menyerang system syaraf pusat (Syaifuddin dkk, 2001 : 78).
b. Melindungi ibu terhadap kemungkinan tetanus apabila terluka (Depkes RI, 2000 : 12).
Kedua manfaat tersebut adalah cara untuk mencapai salah satu tujuan dari program imunisasi secara nasional yaitu eliminasi tetanus maternal dan tetanus neonarotum (Depkes RI, 2004 : 11).
3. Umur kehamilan untuk mendapatkan imunisasi TT dan interval pemberian vaksin.
Imunisasi TT sebaiknya diberikan sebelum kehamilan 8 bulan untuk mendapatkan imunisasi TT lengkap (BKKBN, 2005 : 21). TT1 dapat diberikan sejak diketahui positif hamil dimana biasanya pada kunjungan pertama ibu hamil ke sarana kesehatan (Depkes RI, 2000 : 10). Sedangkan menurut Depkes RI (2000 : 12) pemberian (interval) imunisasi TT1 dengan TT2 adalah minimal 4 minggu.
Kekebalan terhadap tetanus hanya dapat diperoleh melalui imunisasi TT. Ibu hamil yang mendapatkan imunisasi TT dalam tubuhnya akan membentuk antibodi tetanus. Seperti difteri, antibodi tetanus termasuk dalam golongan Ig G yang mudah melewati sawar plasenta, masuk dan menyebar melalui aliran darah janin ke seluruh tubuh janin, yang akan mencegah terjadinya tetanus neonatorum.
Imunisasi TT pada ibu hamil diberikan 2 kali (2 dosis). Jarak pemberian TT pertama dan kedua, serta jarak antara TT kedua dengan saat kelahiran, sangat menentukan kadar antibodi tetanus dalam darah bayi. Semakin lama interval antara pemberian TT pertama dan kedua serta antara TT kedua dengan kelahiran bayi maka kadar antibodi tetanus dalam darah bayi akan semakin tinggi, karena interval yang panjang akan mempertinggi respon imunologik dan diperoleh cukup waktu untuk menyeberangkan antibodi tetanus dalam jumlah yan cukup dari tubuh ibu hamil ke tubuh bayinya.
Imunisasi tetanus toxoid mempunyai antigen yang juga aman untuk ibu hamil dan tidak ada bahaya bagi janin apabila ibu hamil mendapatkan imunisasi TT . Pada ibu hamil yang mendapatkan imunisasi TT tidak didapatkan perbedaan resiko cacat bawaan ataupun abortus dengan mereka yang tidak mendapatkan imunisasi .
Tabel 2.1
Pemberian Imunisasi TT dan Lamanya Perlindungan
Dosis Saat Pemberian Perlindungan
(%) Lama Perlindungan
TT1
TT2
TT3
TT4
TT5 Pada kunjungan pertama atau sedini mungkin pada kehamilan
Minimal 4 minggu setelah TT1
Minimal 6 bulan setelah TT2 atau selama kehamilan berikutnya
Minimal setahun setelah TT3 atau selama kehamilan berikutnya
Minimal setahun setelah TT4 atau selama kehamilan berikutnya 0
80 %
95%
99%
99% Tidak ada
3 Tahun
5 Tahun
10 Tahun
Selama usia subur
(Sumber : http://www.kalbefarma.com/cdk/imunisasi/tetanustoxoid.html)
4. Efek samping Imunisasi TT dan tempat pelayanan untuk mendapatkan imunisasi TT.
Biasanya hanya gejala-gejala ringan seperti nyeri, kemerahan dan pembengkakan pada tempat suntik (Depkes RI, 2000 : 8). Sedangkan menurut Saifuddin dkk (2001 : 13) imunisasi tetanus toxoid mempunyai antigen yang juga aman untuk wanita hamil dan tidak ada bahaya bagi janin apabila ibu hamil mendapatkan imunisasi TT.
Menurut Depkes RI (2004 : 6) ibu hamil mendapatkan imunisasi TT di tempat-tempat pelayanan milik pemerintah seperti : Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Rumah Sakit, Rumah Bersalin, Polindes, Posyandu, Rumah Sakit Swasta, Dokter Praktik, Bidan Praktik.
5. Imunisasi Pasif
Imunisasi pasif perlu diberikan pada kondisi-kondisi tertentu. Pada difteria atau tetanus, toksin dalam sirkulasi perlu dinetralisasi dengan antibodi terhadap tokin tersebut. Antibodi dari luar perlu diberikan bila penderita belum pernah diimunisasi sehingga tidak dapat diharapkan timbul respons sekunder terhadap toksin ini. Antibodi diberikan pada kasus-kasus gas gangrene, botulism, gigitan ular atau kalajengking berbisa, dan rabies. Antibodi juga diberikan pada penderita varisela-zoster dengan imunodefisiensi, pascapajanan terhadap hepatitis B, misalnya neonatus, dan sebagainya.
Antibodi ini biasanya dibuat di dalam kuda, tetapi kadang-kadang juga bisa diperoleh dari penderita yang baru sembuh. Kumpulan imunoglobin manusia yang mengandung cukup antibodi terhadap infeksi-infeksi yang umum didapat dengan dosis 100-400 mg IgG dapat melindungi penderita hipogamaglobulinemia selama sebulan. Lebih dari 1000 donor digunakan untuk setiap kumpulan (pool). Serum yang digunakan harus diskrin terhadap HIV (human immunodeficiency virus), virus hepatitis B, dan C. di masa mendatang, penggunaan antibodi monoclonal yang dihasilkan melalui kultur Sel atau rekayasa protein mungkin dapat menggantikan metode tradisional ini.
6. Antigen Yang Digunakan Sebagai Vaksin
Tipe antigen yang digunakan pada vaksin bergantung pada berbagai faktor. Pada umumnya, makin banyak antigen mikroba yang dipertahankan dalam vaksin makin baik. Organisme cenderung lebih efektif organisme mati, kecuali pada penyakit yang disebabkan oleh toksin, yang mana antigen cukup dibuat dari toksin saja. Antigen mikroba juga dapat diekspresikan pada sel lain yang berfungsi sebagai vektor.
a. Toksoid Merupakan Vaksin Bakteri yang paling berhasil.
Yang paling berhasil dari semua vaksin bakteri adalah vaksin tetanus dan difteri. Vaksin ini dibuat dari Eksotosin yng dinonaktifkan. Prinsip pembuatannya dapat diterapkan untuk beberapa infeksi yang lain.
Vaksin yang didasarkan pada toksin adalah sebagai berikut :
1) Toksoid difteri yang dinonaktifkan dengan formalin dan sering diberikan secara kombinasi dalam alum-precipited.
2) Toksoid tetanus yang dinonaktifkan dengan formalin dan sering diberikan secara kombinasi dalam alum-precipited.
3) Toksin subunit B dari Vibrio cholerea, kadang-kadang dikombinasikan dengan organisme utuh yang mati.
4) Toksoid Clostridium perfringens, yang dinonaktifkan dengan formalin untuk anak kambing baru lahir (belum ada manusia).
b. Toksoid Tetanus Dapat Digunakan Sebagai “ Pembawa (Carier) “ untuk vaksin lain.
Toksoid tetanus ternyata mempunyai peran lain yang berguna, yaitu sebagai “ pembawa “ vaksin peptide kecil yang kalau sendirin tidak imunogenik. Cara ini dapat dilakukan karena kebanyakan orang telah divaksinasi terhadap tetanus sehingga mempunyai sel T memori yang mengenali toksin.
Tabel 2.2
Preparat antigenic yang digunakan sebagai vaksin
Jenis Antigen Contoh Vaksin
Organisme Hidup Alamiah Vaksin untuk cacar
Dilemahkan Vaksin polio oral (Sabin), campak, parotitis, rubella, demam kuning 17D, varisela-zoster (human herpes virus 3), BCG (untuk tuberkolosis).
Organisme utuh Virus Polio (Salk), rabies, influenza, hepatitis A, tifus (bukan demam tifoid)
Bakteri Pertusis, demam tifoid, kolera, pes.
Fragmen subseluler Kapsul polisakarida Pneumokokus, meningokokus, Haemophilus influenza
Antigen permukaan Hepatitis B
Toksoid Tetanus difteria
Berbasis rekombinasi DNA Ekspresi klon gen Hepatitis B (dari ragi)
7. Vaksin
a. Efektifitas Vaksin.
Vaksin yang akan digunakan harus betul-betul efektif. Efektivitas semua vaksin ditinjau kembali secara terus-menerus. Banyak faktor yang mempengaruhi efektivitas vaksin. Vaksin yang efektif harus memiliki hal-hal seperti :
1) Merangsang timbulnya imunitas yang tepat : antibodi untuk toksin dan organisme ekstraseluler seperti Streptococcus pneumonie ; imunitas seluler untuk organisme intraseluler seperti basil tuberkolosis. Bila jenis infeksi tidak jelas, seperti pada malaria, lebih sulit pula dibuat vaksin yang efektif utnuk penyakit tersebut.
2) Stabil dalam penyimpanan : hal ini sangat penting untuk vaksin hidup yang biasanya perlu disimpan di tempat dingin, atau memerlukan rantai pendingin (cold chain) yang sempurna dari pabrik ke klinik. Hal ini tidak selalu mudah dicapai.
3) Mempunyai imunogenetas yang cukup : imunogenitas vaksin bahan mati sering perlu dinaikkan dengan ajuvan.
b. Keamanan Vaksin.
Keamanan vaksin sangat penting untuk diperhatikn karena vaksin diberikan kepada orang yang tidak sakit. Beberapa komplikasi yang serius dapat berasal dari vaksin atau dari pasien. Vaksin dapat terkontaminasi oleh protein atau toksin yang tidak diinginkan atau bahkan oleh virus hidup. Vaksin bahan mati belum betul-betul mati atau vaksin mikroba hidup yang dilemahkan dapat hidup kembali ke tipe liarnya. Pasien dapat hipersensitif terhadap protein kontaminan, zat pembawa, dan sebagainya. Sistem imun pasien dapat terganggu (immunocompromised) sehingga vaksin hidup merupakan kontradikasi.
1) Interval pemberian vaksin yang sama.
Beberapa vaksin (DPT, DT, Polio, TT, dan Hepatitis B) harus diberikan lebih dari satu dosis untuk mendapatkan respons antibodi yang adekuat. Harus dihindari pemberian vaksin yang sama dengan interval kurang dari 4 minggu karena akan mengurangi respons antibodi. Memperpanjang interval pemberian dapat meningkatkan respons antibodi, tetapi lebih penting untuk segera menyelesaikan imunisasi dasar bagi anak segera terlindungi dari penyakit daripada berusaha mendapatkan respons imun yang maksimal.
Interval pemberian yang lebih panjang daripada yang disarankan tidak akan mengurangi kadar antibodi akhir. Oleh karena itu, bila anak terlambat datang untuk imunisasi berikutnya, segera berikan imunisasi tersebut pada kesempatan pertama kontak dengan petugas kesehatan kemudian lanjutkan imunisasi berikutnya seperti biasa, tidak diperlukan dosis tambahan.
2) Pemberian lebih dari satu macam vaksin secara bersamaan.
Untuk mengurangi jumlah kontak yang diperlukan dalam menyelesaikan seluruh seri imunisasi, beberapa vaksin dapat diberikan bersamaan dalam satu kali kunjungan. Semua antigen EPI (Expended Programme on Imunization) aman dan efektif untuk diberikan bersamaan. Dalam satu kunjungan anak bisa mendapatkan beberapa jenis imunisasi yang disuntikan pada tempat yang berbeda. Misalnya, anak berumur 1 tahun yang belum pernah diimunisasi bisa sekaligus mendapatkan imunisasi BCG, Campak, dosis pertama vaksin DPT dan Polio serta Hepatitis B. namun, vaksin-vaksin tersebut tidak boleh dicampur dalam satu spuit karena dapat menurunkan efektivitas masing-masing vaksin. Bila tidak diberikan pada hari yang sama, vaksin hidup harus diberikan dengan jarak minimum 4 minggu (misalnya vaksin campak dan polio) untuk menghindari terjadinya entereferensi efek.
c. Keberhasilan Vaksin.
Vaksin yang telah digunakan secara luas ternyata mempunyai angka keberhasilan yang sangat bervariasi. Imunisasi cacar telah berhasil mengeradikasi penyakit cacar di dunia. Vaksin polio, campak, parotitis, dan rubella juga menunjukkan keberhasilan yang sangat menakjubkan sehingga keempat penyakit tersebut diharapkan dapat dieradikasi dari muka bumi pada awal abad ke-21 ini. Namun, agak sulit mengharapkan eradikasi beberapa penyakit karena beberapa alasan berikut ini :
1) Status pengidap (carier state) : eradikasi hepatitis B tidak akan mudah karena memerlukan pemutusan rantai pengidap, terutama di Asia, tempat hepatitis B banyak ditransmisikan secara vertical (dari ibu ke bayi).
2) Efektivitas suboptimal : efektivitas BCG sangat bervariasi, terutama karena peningkatan insidens tuberkolosis akibat peningkatan jumlah penderita AIDS (Acquired Imummunodeficiency Syndrome) akhir-akhir ini. Efektivitas imunisasi pertusis hanya sekitar 70%.
3) Efek samping : vaksin pertusis dicurigai mempunyai efek samping sehingga mengurangi kesedian masyarakat untuk divaksinasi.
4) Bentuk-bentuk kehidupan di alam bebas dan hospes binatang : basil tetanus dapat hidup untuk waktu yang cukup lama di alam bebas karena bakteri tersebut membentuk spora. Demam kuning juga akan sulit diberantas arena mempunyai hospes binatang sebagai reservoir.
8. Pengaruh Imunisasi pada Epidemiologi Penyakit
Pengaruh imunisasi pada epidemiologi penyakit dipengaruhi oleh apakah (1) vaksin dapat melindungi manusia dari infeksi, ataukah (2) vaksin hanya mampu mengurangi beratnya penyakit tanpa dapat sepenuhnya melindungi dari penyakit.
Vaksin yang hanya perlu dapat mengurangi beratnya penyakti, seperti vaksin pertusis dan BCG, atau menghambat munculnya gejala penyakit, seperti toksodi tetanus, tidak dapat menimbulkan imunitas komunitas (hard immunity). Hard immunity menyangkut efek tidak langsung vaksin, yaitu apabila sebagian besar komunitas diimunisasi, transmisi agen infeksi akan berkurang sehingga menurunkan resiko terpejannya individu (termasuk orang yang tidak diimunisasi) pada agen infeksi.
Vaksin yang dapat melindungi dari infeksi, seperti vaksin, campak, rubella, parotitis, dan poliomyelitis, mempunyai dua efek penting pada epidemilogi penyakit. Kedua efek tersebut berhubungan dengan hard immunity yang ditimbulkannya.
a. Imunisasi mengubah distribusi relative umur kasus dan terjadi pergeseran ke umur yang lebih tua.
b. Cenderung terjadi wabah setelah beberapatahun bebas penyakit.
C. Kerangka Penelitian
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau fenomena yang sedang dihadapi pada situasi sekarang (Arikunto, 1999).
Menurut Notoatmojo (2002), penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian yang dilakukan untuk membuat gambaran atau deskriftif tentang suatu keadaan secara objektif. Dalam hal ini peneliti ingin memperoleh gambaran pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi tetanus toxoid di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi Kabupaten Cirebon.
B. Populasi dan Sampling
1. Populasi
Menurut Sugiyono (2007:55) “Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari”. Dalam Penelitian ini populasinya adalah seluruh ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi Kabupaten Cirebon.
Berdasarkan dari bagian rekamedik Pukesmas Kaliwedi Kabupaten Cirebon dari bulan Januari sampai dengan Desember 2009 ibu hamil saat ini tercatat adalah 834 orang jadi populasinya menjadi sebanyak 834 orang.
1. Sampel
Sampel menurut Sugiyono (2006 : 56) adalah “sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.”. Sedangkan Sampel yang dipilih dalam penelitian ini menggunakan probability sampling yaitu setiap subyek dalam populasi mempunyai kesempatan untuk terpilih atau tidak terpilih sebagai sampel (Nursalam, 2003).
Dibulatkan menjadi 89 orang sebagai sampel
Keterangan :
n = Besarnya Sampel
N = Besarnya Populasi
d = Presisi atau Tingkat Kepercayaan (0,1)
(Nursalam, 2003)
Pada penelitian ini menggunakan Simple Random Sampling. Pemilihan sampel dilakukan dengan cara acak dengan dadu atau dengan menulis nama dikertas lalu diambil secara acak. Besarnya populasi yang diambil adalah 834 orang dengan derajat kepercayaan atau ketetapan adalah 0,1. Maka setelah dilakukan perhitungan batas minimum sampel yang diperlukan dalam penelitian adalah 89 orang.
C. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi Kabupaten Cirebon.
D. Waktu Penelitian
Peneltian mengenai gambaran pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi tetanus toxoid di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi, yang akan dilaksanakan dalam bulan April 2010.
Selama melakukan penelitian ini peneliti telah menggunakan objek berupa responden yang akan dijadikan bahan penelitian.
E. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah berupa test (daftar soal) agar hasil dalam penelitian ini valid dan realiabel maka perlu dilakukan uji coba.
F. Cara Pengumpulan Data
Alat yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan kuesioner yang berstruktur dimana dalam setiap nomor pertanyaan diberikan kemungkinan jawaban untuk dipilih sesuai dengan pendapatnya paling tepat dan benar kuesioner dibagikan berisi 15 pertanyaan tertutup dengan jawaban pilihan ganda.
G. Cara Pengolahan Data
Data yang diperoleh merupakan data yang mentah atau data belum jadi sehingga belum memberikan gambaran yang diharapkan. Oleh karena itu perlu diolah untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, selanjutnya dilakukan pengolahan data :
1. Menyeleksi data (editing), langkah ini dimaksudkan untuk pemilihan data yang akurat dan representative yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.
2. Mengelompokkan data (coding).
3. Tabulasi data (entry data), yaitu data yang dikelompokkan akan disusun dalam tabel sehingga data yang belum jadi bisa dianalisa.
H. Rencana Analisa Data
Data yang terkumpul, diolah secara manual, yaitu dilakukan validasi (mengontrol kebenaran dalam mengisi kuesioner) editing (memilih dan memilah), mengelompokkan kemudian melakukan koding berdasarkan variable yang diteliti setelah itu dilakukan tabulasi data, yaitu mengelompokkan data menggunakan tabel distribusi frekuensi yang dihitung dengan prosentase.
Untuk mengetahui prosentase tingkat pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi tetanus toxoid, pengolahan data dilakukan dengan cara menghitung data yang ada dengan menggunakan rumus prosentase sebagai berikut :
Keterangan :
P = Prosentase
f = Frekuensi jawaban benar
n = Jumlah pertanyaan
I. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan ijin kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon dan Kepala Puskesmas Kaliwedi Kabupaten Cirebon untuk mendapatkan persetujuan dalam melakukan penelitian di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi Kabupaten Cirebon. Kemudian angket penelitian dikirimkan kepada responden yang diteiti dengan menekankan pada masalah etika yang meliputi :
1. Informed Concent
Lembar persetujuan penelitian diberikan kepada responden. Tujuannya adalah responden mengetahui maksud dan tujuan penelitian serta dampak yang diteliti selama pengumpulan data. Jika responden bersedia diteliti, maka harus menandatangani dilembar persetujuan, jika menolak untuk diteliti, maka peneliti tidak akan memaksa dan menghormati haknya.
2. Anonimity
Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak akan mencantumkan nama responden. Lembar tersebut hanya diberikan nomer kode tertentu.
3. Confidentiality
Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden dijamin oleh peneliti.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada era modern sekarang ini, di dalam dunia kesehatan peran pelayanan kesehatan tentunya sangatlah penting. Salah satu peran penting seorang pelayan kesehatan adalah penanggulangan penyakit menular, Seperti diketahui penyakit menular disebabkan oleh infeksi berbagai organisme maupun mikroorganisme di antaranya bakteri dan virus. Contoh penyakit menular yang disebabkan infeksi bakteri misalnya: difteri, pertusis, tuberkulosis dan tetanus sedangkan yang disebabkan oleh virus misalnya hepatitis, polio, dan campak.
Penyakit-penyakit di atas sebetulnya sudah dapat dicegah melalui imunisasi baik imunisasi dasar saat bayi 0-11 bulan maupun imunisasi lanjutan saat anak usia sekolah, ada pula imunisasi yang diberikan pada ibu hamil dan calon pengantin wanita yaitu imunisasi tetanus toxoid. Imunisasi sendiri sebetulnya sudah berlangsung lama, misalnya menurut hikayat Raja Pontus melindungi dirinya dari keracunan makanan dengan cara minum darah itik, sedangkan penggunaan hati anjing gila untuk pengobatan rabies menjadi basis pendekatan pembuatan vaksin rabies. Pembuatan vaksin dapat dikatakan dimulai tahun 1877 oleh Pasteur menggunakan kuman hidup yang dilemahkan yaitu untuk vaksinasi cowpox dan smallpox; pada tahun 1881 mulai dibuat vaksin anthrax dan tahun 1885 dimulai pembuatan vaksin rabies.
Sejarah imunisasi di Indonesia dimulai pada tahun 1956 dengan imunisasi cacar; dengan selang waktu yang cukup jauh yaitu pada tahun 1973 mulai dilakukan imunisasi BCG untuk tuberkulosis, disusul Imunisasi tetanus toxoid pada ibu hamil pada tahun 1974. Imunisasi DPT (difteri, pertusis, tetanus) pada bayi mulai diadakan pada tahun 1976. Pada tahun 1977 WHO mulai menetapkan program imunisasi sebagai upaya global dengan EPI (Expanded Program on Immunization) dan pada tahun 1981 mulai dilakukan imunisasi polio, tahun 1982 imunisasi campak mulai diberikan, dan tahun 1997 imunisasi hepatitis mulai dilaksanakan.
Adapun kegiatan imunisasi yang rutin diadakan adalah :
1. Imunisasi dasar pada bayi umur 0-11 bulan meliputi : BCG (1 kali pemberian), DPT (3 kali), Polio (4 kali), Hepatitis B (3 kali), dan Campak (1 kali).
2. Imunisasi lanjutan pada anak sekolah yaitu imunisasi DT (1 kali) dan TT (2 kali).
3. Imunisasi lanjutan pada ibu hamil dan calon pengantin wanita ialah TT 5 kali pemberian.
Penyakit tetanus akibat infeksi bakteri anaerob Clostridium Tetani di tempat luka dan menghasilkan Eksotoksin yang akan menyerang otot sehingga akan terjadi spasmus (kejang) otot. Kuman ini terdapat di usus hewan sehingga penularan terjadi karena kontak daerah luka dengan feses hewan yang mengandung kuman tersebut. Masa inkubasi antara 3 -21 hari kadang-kadang antara 1 hari sampai beberapa bulan. Penyakit ini dapat menyerang bayi baru lahir (tetanus neonatorum) yang biasanya akibat pertolongan persalinan yang kurang memperhatikan prinsip-prinsip kesehatan. Penyakit ini merupakan masalah kesehatan serius di negara berkembang : pemberian imunisasi toxoid tetanus pada calon pengantin wanita dan pada ibu hamil diharapkan dapat menurunkan kasus ini. Di Indonesia ada kebijakan MNTE (Maternal Neonatal Tetanus Elimination) untuk akselerasi pencapaian imunisasi WUS (wanita usia subur) dalam mengatasi penyakit ini melalui pendekatan golongan resiko tinggi yang diharapkan akan meluas dan memberi efek positif melalui kerja sama terpadu lintas program dan kerjasama antara para profesional, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan swasta.
Berdasarkan data yang diperoleh dari bagian rekamedik Puskesmas Kaliwedi Kabupaten Cirebon yang dilakukan dari tanggal 01 Januari – 31 Desember 2009. Cakupan program imunisasi tetanus toxoid di Puskesmas Kaliwedi dengan jumlah ibu hamil sebanyak 834 orang dan ibu hamil yang mengikuti program imunisasi TT1 sebanyak 748 ibu hamil sedangkan yang mengikuti program imunisasi TT2 sebanyak 757 ibu hamil sehingga dapat dilihat prosentasenya dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 1.1 Cakupan Program Imunisasi Tetanus Toxoid di Puskesmas Kaliwedi Kabupaten Cirebon dari periode Januari – Desember 2009
Jenis
Imunisasi Target Cakupan Kesenjangan
TT 1 100% 89,6% 10,4 %
TT 2 100% 90,7% 9,3 %
Sumber : Rekamedik Puskesmas Kaliwedi
Menurut data di atas dari cakupan program imunisasi tetanus toxoid di wilayah Puskesmas Kaliwedi dengan jumlah ibu hamil sebanyak 834 orang dan ibu hamil yang mengikuti program imunisasi TT1 sebanyak 748 ibu hamil sedangkan yang mengikuti program imunisasi TT2 sebanyak 757 ibu hamil. Jika di prosentasekan dalam prosentase dari target yang telah direncanakan sebesar 100% maka masih terdapat kesenjangan pada imunisasi TT1 sebesar 10,4% dan imunisasi TT2 sebesar 9,3% dikarenakan kurangnya pengetahuan ibu hamil atau wanita usia subur tentang pentingnya imunisasi tetanus toxoid sehingga masih rentannya ibu atau bayi yang baru lahir terkena penyakit tetanus toxoid.
Dari hasil studi pendahuluan oleh peneliti bahwa ibu hamil berjumlah 10 orang, 4 orang diantaranya mengetahui pengertian dan manfaat imunisasi tetanus toxoid. Sedangkan 6 orang lainnya sama sekali tidak mengetahui tentang imunisasi tetanus toxoid. Sehingga dapat diambil suatu kesimpulan sementara adalah masih sebagian besar ibu-ibu hamil belum mengetahui tentang imunisasi tetanus toxoid.
Oleh karena itu berdasarkan permasalahan di atas penulis dalam hal ini tertarik mengambil judul “ Gambaran Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Imunisasi Tetanus Toxoid “.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas dapat ditarik rumusan masalah yaitu bagaimana gambaran pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi tetanus toxoid.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah supaya ibu-ibu yang sedang hamil dapat mengetahui dan memahami tentang imunisasi tetanus toxoid.
2. Tujuan Khusus
a. Ibu-ibu hamil dapat mengetahui dan memahami tentang pengertian imunisasi tetanus toxoid.
b. Ibu-ibu hamil dapat memahami tentang pentingnya manfaat imunisasi tetanus toxoid.
c. Ibu-ibu hamil dapat mengetahui tentang periode waktu mendapatkan imunisasi tetanus toxoid.
d. Ibu-ibu hamil dapat memahami tentang efek samping dari Imunisasi tetanus toxoid.
e. Ibu-ibu hamil dapat mengetahui cara mendapatkan pelayanan Imunisasi tetanus toxoid.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan bagi institusi pendidikan sebagai informasi yang dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut, terutama berkaitan dengan tingkat pengetahuan ibu terhadap imunisasi tetanus toxoid.
2. Bagi Perawat
Dengan penelitian ini diharapkan perawat dapat mengetahui pengetahuan ibu hamil atau wanita usia subur tentang pentingnya imunisasi tetanus toxoid sehingga mampu melakukan intervensi dengan memberikan penyuluhan tentang pentingnya imunisasi tetanus toxoid.
3. Bagi Puskesmas
Sebagai informasi dan solusi untuk mengatasi adanya keterkaitan antara pengetahuan ibu hamil atau wanita usia subur tentang pentingnya pemberian imunisasi tetanus toxoid, sehingga diharapkan dapat meningkatkan cakupan kunjungan imunisasi tetanus toxoid di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi Kabupaten Cirebon.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
1. Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2003 : 96) dari segi biologis perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas orgnisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Sehingga yang dimaksud perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, menulis, membaca, menangis, kuliah dan sebagainya.
2. Pengertian Pengetahuan
Notoatmodjo (2003 : 121) mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui panca indera penglihatan dan pendengaran.
(Suparlan, 2004 : 83) pengetahuan berasal dari akal pikiran akan meningkatkan kepercayaan serta memiliki perkiraan dan pendapat, yang boleh jadi merupakan kepastian. Pengetahuan semacam ini diperoleh melalui jalan pendidikan baik formal maupun informal, dimana pengetahuan akan berpengaruh terhadap kesehatan.
Sedangkan menurut Nursalam (2001, hlm 23) pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setiap orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
a. Umur
Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih dewasa akan lebih di percaya dari yang belum cukup tinggi kedewasannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwa.
b. Pendidikan
Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin mudah menentukan informasi, makin banyak pengetahuan sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan.
c. Pengalaman
Individu sebagai orang yang menerima pengalaman, orang yang melakukan tangggapan atau penghayatan biasanya tidak melepaskan pengalaman yang sedang dialaminya.
d. Pekerjaan
Ibu yang bekerja disektor formal memiliki akses yang lebih baik, terhadap berbagai informasi, termasuk kesehatan. (Depkes RI, 1999, hlm 6).
e. Inteligensi
Inteligensi pada prinsipnya mempengaruhi kemampuan penyesuaian diri cara-cara pengambilan keputusan (latipon, 2001, hlm 44).
4. Pengetahuan yang tercakup dalam kognitif mempunyai enam tingkatan sebagai berikut :
a. Tahu (know)
Tahu artinya mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya termasuk dalam pengetahuan adalah mengingat kembali apa yang telah dipelajari atau yang telah diterima.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang suatu objek yang diketahui, dan menginterprestasikan materi tersebut.
c. Aplikasi (application)
Yaitu suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang dipelajari pada suatu kondisi yang sebenarnya.
d. Analisis (analisys)
Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih didalam struktur organisasi, dan masih berkaitan satu sama lain.
e. Sintesis (syntesis)
Kemampuan untuk meletakkan / menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu kesuluruhan yang baru / kemampuan merumuskan formulasi baru dari yang sudah ada.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi / penilaian terhadap suatu materi atau objek, penilaian didasarkan pada kriteria yang telah ditentukan.
5. Pengukuran Tingkat Pengetahuan
Pengukuran kemampuan dapat diketahui dengan cara orang yang bersangkutan mengungkapkan apa-apa yang diketahuinya dalam bentuk bukti atau jawaban, baik lisan maupun tulisan, bukti atau jawaban tersebut merupakan suatu reaksi dari satu stimulus yang dapat berupa pertanyaan baik lisan maupun tulisan.
6. Ibu (pendidikan Ibu)
Gadwel mengungkapkan teori bagaimana pendidikan ibu mempengaruhi tingkat kesehatan keluarga (Kartono Muhammad, 1992, hlm 38) yaitu :
a. Pendidikan mengurangi sifat fatalistik (pasrah kepada masalah ketika anak sakit).
b. Pendidikan ibu meningkatkan kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan dan sarana kesehatan yang ada (Puskesmas, Dokter, Rumah Sakit, dll) untuk menyelamatkan anaknya yang sakit.
c. Pendidikan mengubah perkembangan dalam menjaga kesehatan keluarga dari sifat yang tradisional yang mengutamakan pada kepentingan suami atau mertua kepada sikap yang sudah lebih seimbang terhadap kepentingan anak-anaknya.
7. Arti Ibu
Praktisi hukum yang juga Presiden LSM perjuangan hukum politik (PHS) HMK Aldian Pinem, SH. MH memandang sosok ibu sebagai perempuan yang harus dihormati dan dijaga hatinya jangan sampai anak menyakitinya dengan alasan apapun. Tidak dibenarkan untuk menciptakan suatu perbuatan yang dapat menggores hati ibunya. Sedangkan Ibu hamil adalah ibu yang mengandung mulai trimester I sampai dengan trimester III (Dinkes Jateng, 2005).
8. Konteks umum pengertian ibu ada tiga golongan :
a. Ibu sebagai orang yang telah melahirkan
b. Sebagai orang yang berkarya / berkarir
c. Sebagai seorang istri
Dalam konteks ketiga golongan ini sering terjadi penerapan tentang kodrat sosok bergeser katanya menurut ia, pergeseran tersebut akibat beberapa faktor yakni karena timbulnya asa emansipasi sosial budaya dan spiritual agama.
B. Tinjauan Teoritis
1. Pengertian Imunisasi Tetanus Toxoid.
Imunisasi adalah antigen untuk memicu imunitas (Cristine Hancock, 1999 : 226). Imunisasi adalah suatu upaya yang dilakukan dengan cara memasukkan kuman yang dilemahkan (vaksin ke dalam tubuh dengan tujuan sebagai tameng terhadap virus yang masuk sehingga akan menciptakan kekebalan, diberikan kepada balita atau ibu hamil untuk mencegah penyakit PD3I (Penyakit Dapat Dicegah Dengan Imunisasi). Imunisasi atau vaksinasi merupakan prinsip-prinsip imunolog yang paling dan terkenal berhasil terhadap kesehatan manusia.
Vaksin adalah antigen yaitu dapat berupa bibit penyakit yang sudah dilumpuhkan atau dimatikan (bakteri, virus atau riketsia), dapat berupa tiroid dan rekayasa genetika (rekombinasi) (Depkes RI, 2004). Sasaran imunisasi adalah termasuk ibu hamil dan bayi (berusia kurang 1 bulan). Vaksin tetanus yaitu toksin kuman tetanus yang dilemahkan dan kemudian dimurnikan (Setiawan dkk, 2006, hlm 63).
Penyakit tetanus adalah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi bakteri anaerob Clostridium Tetani di tempat luka dan menghasilkan Eksotoksin yang akan menyerang otot sehingga akan terjadi spasmus (kejang) otot (http://www.kalbefarma.com/tetanustoxoid/cdk.html). Imunisasi tetanus toksoid adalah proses untuk membangun kekebalan sebagai upaya pencegahan terhadap infeki tetanus (Idanati, 2005 : 61).
2. Manfaat Pemberian Imunisasi Tetanus Toxoid.
a. Melindungi bayinya yang baru lahir dari tetanus neorotum (BKKBN, 2005 : 5). Tetanus Neorotum adalah penyakit tetanus yang sering terjadi pada neonatus (bayi berusia kurang dari 1 bulan) yang disebabkan oleh Clostridium tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun) dan menyerang system syaraf pusat (Syaifuddin dkk, 2001 : 78).
b. Melindungi ibu terhadap kemungkinan tetanus apabila terluka (Depkes RI, 2000 : 12).
Kedua manfaat tersebut adalah cara untuk mencapai salah satu tujuan dari program imunisasi secara nasional yaitu eliminasi tetanus maternal dan tetanus neonarotum (Depkes RI, 2004 : 11).
3. Umur kehamilan untuk mendapatkan imunisasi TT dan interval pemberian vaksin.
Imunisasi TT sebaiknya diberikan sebelum kehamilan 8 bulan untuk mendapatkan imunisasi TT lengkap (BKKBN, 2005 : 21). TT1 dapat diberikan sejak diketahui positif hamil dimana biasanya pada kunjungan pertama ibu hamil ke sarana kesehatan (Depkes RI, 2000 : 10). Sedangkan menurut Depkes RI (2000 : 12) pemberian (interval) imunisasi TT1 dengan TT2 adalah minimal 4 minggu.
Kekebalan terhadap tetanus hanya dapat diperoleh melalui imunisasi TT. Ibu hamil yang mendapatkan imunisasi TT dalam tubuhnya akan membentuk antibodi tetanus. Seperti difteri, antibodi tetanus termasuk dalam golongan Ig G yang mudah melewati sawar plasenta, masuk dan menyebar melalui aliran darah janin ke seluruh tubuh janin, yang akan mencegah terjadinya tetanus neonatorum.
Imunisasi TT pada ibu hamil diberikan 2 kali (2 dosis). Jarak pemberian TT pertama dan kedua, serta jarak antara TT kedua dengan saat kelahiran, sangat menentukan kadar antibodi tetanus dalam darah bayi. Semakin lama interval antara pemberian TT pertama dan kedua serta antara TT kedua dengan kelahiran bayi maka kadar antibodi tetanus dalam darah bayi akan semakin tinggi, karena interval yang panjang akan mempertinggi respon imunologik dan diperoleh cukup waktu untuk menyeberangkan antibodi tetanus dalam jumlah yan cukup dari tubuh ibu hamil ke tubuh bayinya.
Imunisasi tetanus toxoid mempunyai antigen yang juga aman untuk ibu hamil dan tidak ada bahaya bagi janin apabila ibu hamil mendapatkan imunisasi TT . Pada ibu hamil yang mendapatkan imunisasi TT tidak didapatkan perbedaan resiko cacat bawaan ataupun abortus dengan mereka yang tidak mendapatkan imunisasi .
Tabel 2.1
Pemberian Imunisasi TT dan Lamanya Perlindungan
Dosis Saat Pemberian Perlindungan
(%) Lama Perlindungan
TT1
TT2
TT3
TT4
TT5 Pada kunjungan pertama atau sedini mungkin pada kehamilan
Minimal 4 minggu setelah TT1
Minimal 6 bulan setelah TT2 atau selama kehamilan berikutnya
Minimal setahun setelah TT3 atau selama kehamilan berikutnya
Minimal setahun setelah TT4 atau selama kehamilan berikutnya 0
80 %
95%
99%
99% Tidak ada
3 Tahun
5 Tahun
10 Tahun
Selama usia subur
(Sumber : http://www.kalbefarma.com/cdk/imunisasi/tetanustoxoid.html)
4. Efek samping Imunisasi TT dan tempat pelayanan untuk mendapatkan imunisasi TT.
Biasanya hanya gejala-gejala ringan seperti nyeri, kemerahan dan pembengkakan pada tempat suntik (Depkes RI, 2000 : 8). Sedangkan menurut Saifuddin dkk (2001 : 13) imunisasi tetanus toxoid mempunyai antigen yang juga aman untuk wanita hamil dan tidak ada bahaya bagi janin apabila ibu hamil mendapatkan imunisasi TT.
Menurut Depkes RI (2004 : 6) ibu hamil mendapatkan imunisasi TT di tempat-tempat pelayanan milik pemerintah seperti : Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Rumah Sakit, Rumah Bersalin, Polindes, Posyandu, Rumah Sakit Swasta, Dokter Praktik, Bidan Praktik.
5. Imunisasi Pasif
Imunisasi pasif perlu diberikan pada kondisi-kondisi tertentu. Pada difteria atau tetanus, toksin dalam sirkulasi perlu dinetralisasi dengan antibodi terhadap tokin tersebut. Antibodi dari luar perlu diberikan bila penderita belum pernah diimunisasi sehingga tidak dapat diharapkan timbul respons sekunder terhadap toksin ini. Antibodi diberikan pada kasus-kasus gas gangrene, botulism, gigitan ular atau kalajengking berbisa, dan rabies. Antibodi juga diberikan pada penderita varisela-zoster dengan imunodefisiensi, pascapajanan terhadap hepatitis B, misalnya neonatus, dan sebagainya.
Antibodi ini biasanya dibuat di dalam kuda, tetapi kadang-kadang juga bisa diperoleh dari penderita yang baru sembuh. Kumpulan imunoglobin manusia yang mengandung cukup antibodi terhadap infeksi-infeksi yang umum didapat dengan dosis 100-400 mg IgG dapat melindungi penderita hipogamaglobulinemia selama sebulan. Lebih dari 1000 donor digunakan untuk setiap kumpulan (pool). Serum yang digunakan harus diskrin terhadap HIV (human immunodeficiency virus), virus hepatitis B, dan C. di masa mendatang, penggunaan antibodi monoclonal yang dihasilkan melalui kultur Sel atau rekayasa protein mungkin dapat menggantikan metode tradisional ini.
6. Antigen Yang Digunakan Sebagai Vaksin
Tipe antigen yang digunakan pada vaksin bergantung pada berbagai faktor. Pada umumnya, makin banyak antigen mikroba yang dipertahankan dalam vaksin makin baik. Organisme cenderung lebih efektif organisme mati, kecuali pada penyakit yang disebabkan oleh toksin, yang mana antigen cukup dibuat dari toksin saja. Antigen mikroba juga dapat diekspresikan pada sel lain yang berfungsi sebagai vektor.
a. Toksoid Merupakan Vaksin Bakteri yang paling berhasil.
Yang paling berhasil dari semua vaksin bakteri adalah vaksin tetanus dan difteri. Vaksin ini dibuat dari Eksotosin yng dinonaktifkan. Prinsip pembuatannya dapat diterapkan untuk beberapa infeksi yang lain.
Vaksin yang didasarkan pada toksin adalah sebagai berikut :
1) Toksoid difteri yang dinonaktifkan dengan formalin dan sering diberikan secara kombinasi dalam alum-precipited.
2) Toksoid tetanus yang dinonaktifkan dengan formalin dan sering diberikan secara kombinasi dalam alum-precipited.
3) Toksin subunit B dari Vibrio cholerea, kadang-kadang dikombinasikan dengan organisme utuh yang mati.
4) Toksoid Clostridium perfringens, yang dinonaktifkan dengan formalin untuk anak kambing baru lahir (belum ada manusia).
b. Toksoid Tetanus Dapat Digunakan Sebagai “ Pembawa (Carier) “ untuk vaksin lain.
Toksoid tetanus ternyata mempunyai peran lain yang berguna, yaitu sebagai “ pembawa “ vaksin peptide kecil yang kalau sendirin tidak imunogenik. Cara ini dapat dilakukan karena kebanyakan orang telah divaksinasi terhadap tetanus sehingga mempunyai sel T memori yang mengenali toksin.
Tabel 2.2
Preparat antigenic yang digunakan sebagai vaksin
Jenis Antigen Contoh Vaksin
Organisme Hidup Alamiah Vaksin untuk cacar
Dilemahkan Vaksin polio oral (Sabin), campak, parotitis, rubella, demam kuning 17D, varisela-zoster (human herpes virus 3), BCG (untuk tuberkolosis).
Organisme utuh Virus Polio (Salk), rabies, influenza, hepatitis A, tifus (bukan demam tifoid)
Bakteri Pertusis, demam tifoid, kolera, pes.
Fragmen subseluler Kapsul polisakarida Pneumokokus, meningokokus, Haemophilus influenza
Antigen permukaan Hepatitis B
Toksoid Tetanus difteria
Berbasis rekombinasi DNA Ekspresi klon gen Hepatitis B (dari ragi)
7. Vaksin
a. Efektifitas Vaksin.
Vaksin yang akan digunakan harus betul-betul efektif. Efektivitas semua vaksin ditinjau kembali secara terus-menerus. Banyak faktor yang mempengaruhi efektivitas vaksin. Vaksin yang efektif harus memiliki hal-hal seperti :
1) Merangsang timbulnya imunitas yang tepat : antibodi untuk toksin dan organisme ekstraseluler seperti Streptococcus pneumonie ; imunitas seluler untuk organisme intraseluler seperti basil tuberkolosis. Bila jenis infeksi tidak jelas, seperti pada malaria, lebih sulit pula dibuat vaksin yang efektif utnuk penyakit tersebut.
2) Stabil dalam penyimpanan : hal ini sangat penting untuk vaksin hidup yang biasanya perlu disimpan di tempat dingin, atau memerlukan rantai pendingin (cold chain) yang sempurna dari pabrik ke klinik. Hal ini tidak selalu mudah dicapai.
3) Mempunyai imunogenetas yang cukup : imunogenitas vaksin bahan mati sering perlu dinaikkan dengan ajuvan.
b. Keamanan Vaksin.
Keamanan vaksin sangat penting untuk diperhatikn karena vaksin diberikan kepada orang yang tidak sakit. Beberapa komplikasi yang serius dapat berasal dari vaksin atau dari pasien. Vaksin dapat terkontaminasi oleh protein atau toksin yang tidak diinginkan atau bahkan oleh virus hidup. Vaksin bahan mati belum betul-betul mati atau vaksin mikroba hidup yang dilemahkan dapat hidup kembali ke tipe liarnya. Pasien dapat hipersensitif terhadap protein kontaminan, zat pembawa, dan sebagainya. Sistem imun pasien dapat terganggu (immunocompromised) sehingga vaksin hidup merupakan kontradikasi.
1) Interval pemberian vaksin yang sama.
Beberapa vaksin (DPT, DT, Polio, TT, dan Hepatitis B) harus diberikan lebih dari satu dosis untuk mendapatkan respons antibodi yang adekuat. Harus dihindari pemberian vaksin yang sama dengan interval kurang dari 4 minggu karena akan mengurangi respons antibodi. Memperpanjang interval pemberian dapat meningkatkan respons antibodi, tetapi lebih penting untuk segera menyelesaikan imunisasi dasar bagi anak segera terlindungi dari penyakit daripada berusaha mendapatkan respons imun yang maksimal.
Interval pemberian yang lebih panjang daripada yang disarankan tidak akan mengurangi kadar antibodi akhir. Oleh karena itu, bila anak terlambat datang untuk imunisasi berikutnya, segera berikan imunisasi tersebut pada kesempatan pertama kontak dengan petugas kesehatan kemudian lanjutkan imunisasi berikutnya seperti biasa, tidak diperlukan dosis tambahan.
2) Pemberian lebih dari satu macam vaksin secara bersamaan.
Untuk mengurangi jumlah kontak yang diperlukan dalam menyelesaikan seluruh seri imunisasi, beberapa vaksin dapat diberikan bersamaan dalam satu kali kunjungan. Semua antigen EPI (Expended Programme on Imunization) aman dan efektif untuk diberikan bersamaan. Dalam satu kunjungan anak bisa mendapatkan beberapa jenis imunisasi yang disuntikan pada tempat yang berbeda. Misalnya, anak berumur 1 tahun yang belum pernah diimunisasi bisa sekaligus mendapatkan imunisasi BCG, Campak, dosis pertama vaksin DPT dan Polio serta Hepatitis B. namun, vaksin-vaksin tersebut tidak boleh dicampur dalam satu spuit karena dapat menurunkan efektivitas masing-masing vaksin. Bila tidak diberikan pada hari yang sama, vaksin hidup harus diberikan dengan jarak minimum 4 minggu (misalnya vaksin campak dan polio) untuk menghindari terjadinya entereferensi efek.
c. Keberhasilan Vaksin.
Vaksin yang telah digunakan secara luas ternyata mempunyai angka keberhasilan yang sangat bervariasi. Imunisasi cacar telah berhasil mengeradikasi penyakit cacar di dunia. Vaksin polio, campak, parotitis, dan rubella juga menunjukkan keberhasilan yang sangat menakjubkan sehingga keempat penyakit tersebut diharapkan dapat dieradikasi dari muka bumi pada awal abad ke-21 ini. Namun, agak sulit mengharapkan eradikasi beberapa penyakit karena beberapa alasan berikut ini :
1) Status pengidap (carier state) : eradikasi hepatitis B tidak akan mudah karena memerlukan pemutusan rantai pengidap, terutama di Asia, tempat hepatitis B banyak ditransmisikan secara vertical (dari ibu ke bayi).
2) Efektivitas suboptimal : efektivitas BCG sangat bervariasi, terutama karena peningkatan insidens tuberkolosis akibat peningkatan jumlah penderita AIDS (Acquired Imummunodeficiency Syndrome) akhir-akhir ini. Efektivitas imunisasi pertusis hanya sekitar 70%.
3) Efek samping : vaksin pertusis dicurigai mempunyai efek samping sehingga mengurangi kesedian masyarakat untuk divaksinasi.
4) Bentuk-bentuk kehidupan di alam bebas dan hospes binatang : basil tetanus dapat hidup untuk waktu yang cukup lama di alam bebas karena bakteri tersebut membentuk spora. Demam kuning juga akan sulit diberantas arena mempunyai hospes binatang sebagai reservoir.
8. Pengaruh Imunisasi pada Epidemiologi Penyakit
Pengaruh imunisasi pada epidemiologi penyakit dipengaruhi oleh apakah (1) vaksin dapat melindungi manusia dari infeksi, ataukah (2) vaksin hanya mampu mengurangi beratnya penyakit tanpa dapat sepenuhnya melindungi dari penyakit.
Vaksin yang hanya perlu dapat mengurangi beratnya penyakti, seperti vaksin pertusis dan BCG, atau menghambat munculnya gejala penyakit, seperti toksodi tetanus, tidak dapat menimbulkan imunitas komunitas (hard immunity). Hard immunity menyangkut efek tidak langsung vaksin, yaitu apabila sebagian besar komunitas diimunisasi, transmisi agen infeksi akan berkurang sehingga menurunkan resiko terpejannya individu (termasuk orang yang tidak diimunisasi) pada agen infeksi.
Vaksin yang dapat melindungi dari infeksi, seperti vaksin, campak, rubella, parotitis, dan poliomyelitis, mempunyai dua efek penting pada epidemilogi penyakit. Kedua efek tersebut berhubungan dengan hard immunity yang ditimbulkannya.
a. Imunisasi mengubah distribusi relative umur kasus dan terjadi pergeseran ke umur yang lebih tua.
b. Cenderung terjadi wabah setelah beberapatahun bebas penyakit.
C. Kerangka Penelitian
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau fenomena yang sedang dihadapi pada situasi sekarang (Arikunto, 1999).
Menurut Notoatmojo (2002), penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian yang dilakukan untuk membuat gambaran atau deskriftif tentang suatu keadaan secara objektif. Dalam hal ini peneliti ingin memperoleh gambaran pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi tetanus toxoid di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi Kabupaten Cirebon.
B. Populasi dan Sampling
1. Populasi
Menurut Sugiyono (2007:55) “Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari”. Dalam Penelitian ini populasinya adalah seluruh ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi Kabupaten Cirebon.
Berdasarkan dari bagian rekamedik Pukesmas Kaliwedi Kabupaten Cirebon dari bulan Januari sampai dengan Desember 2009 ibu hamil saat ini tercatat adalah 834 orang jadi populasinya menjadi sebanyak 834 orang.
1. Sampel
Sampel menurut Sugiyono (2006 : 56) adalah “sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.”. Sedangkan Sampel yang dipilih dalam penelitian ini menggunakan probability sampling yaitu setiap subyek dalam populasi mempunyai kesempatan untuk terpilih atau tidak terpilih sebagai sampel (Nursalam, 2003).
Dibulatkan menjadi 89 orang sebagai sampel
Keterangan :
n = Besarnya Sampel
N = Besarnya Populasi
d = Presisi atau Tingkat Kepercayaan (0,1)
(Nursalam, 2003)
Pada penelitian ini menggunakan Simple Random Sampling. Pemilihan sampel dilakukan dengan cara acak dengan dadu atau dengan menulis nama dikertas lalu diambil secara acak. Besarnya populasi yang diambil adalah 834 orang dengan derajat kepercayaan atau ketetapan adalah 0,1. Maka setelah dilakukan perhitungan batas minimum sampel yang diperlukan dalam penelitian adalah 89 orang.
C. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi Kabupaten Cirebon.
D. Waktu Penelitian
Peneltian mengenai gambaran pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi tetanus toxoid di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi, yang akan dilaksanakan dalam bulan April 2010.
Selama melakukan penelitian ini peneliti telah menggunakan objek berupa responden yang akan dijadikan bahan penelitian.
E. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah berupa test (daftar soal) agar hasil dalam penelitian ini valid dan realiabel maka perlu dilakukan uji coba.
F. Cara Pengumpulan Data
Alat yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan kuesioner yang berstruktur dimana dalam setiap nomor pertanyaan diberikan kemungkinan jawaban untuk dipilih sesuai dengan pendapatnya paling tepat dan benar kuesioner dibagikan berisi 15 pertanyaan tertutup dengan jawaban pilihan ganda.
G. Cara Pengolahan Data
Data yang diperoleh merupakan data yang mentah atau data belum jadi sehingga belum memberikan gambaran yang diharapkan. Oleh karena itu perlu diolah untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, selanjutnya dilakukan pengolahan data :
1. Menyeleksi data (editing), langkah ini dimaksudkan untuk pemilihan data yang akurat dan representative yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.
2. Mengelompokkan data (coding).
3. Tabulasi data (entry data), yaitu data yang dikelompokkan akan disusun dalam tabel sehingga data yang belum jadi bisa dianalisa.
H. Rencana Analisa Data
Data yang terkumpul, diolah secara manual, yaitu dilakukan validasi (mengontrol kebenaran dalam mengisi kuesioner) editing (memilih dan memilah), mengelompokkan kemudian melakukan koding berdasarkan variable yang diteliti setelah itu dilakukan tabulasi data, yaitu mengelompokkan data menggunakan tabel distribusi frekuensi yang dihitung dengan prosentase.
Untuk mengetahui prosentase tingkat pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi tetanus toxoid, pengolahan data dilakukan dengan cara menghitung data yang ada dengan menggunakan rumus prosentase sebagai berikut :
Keterangan :
P = Prosentase
f = Frekuensi jawaban benar
n = Jumlah pertanyaan
I. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan ijin kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon dan Kepala Puskesmas Kaliwedi Kabupaten Cirebon untuk mendapatkan persetujuan dalam melakukan penelitian di wilayah kerja Puskesmas Kaliwedi Kabupaten Cirebon. Kemudian angket penelitian dikirimkan kepada responden yang diteiti dengan menekankan pada masalah etika yang meliputi :
1. Informed Concent
Lembar persetujuan penelitian diberikan kepada responden. Tujuannya adalah responden mengetahui maksud dan tujuan penelitian serta dampak yang diteliti selama pengumpulan data. Jika responden bersedia diteliti, maka harus menandatangani dilembar persetujuan, jika menolak untuk diteliti, maka peneliti tidak akan memaksa dan menghormati haknya.
2. Anonimity
Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak akan mencantumkan nama responden. Lembar tersebut hanya diberikan nomer kode tertentu.
3. Confidentiality
Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden dijamin oleh peneliti.
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU HAMIL TENTANG IMUNISASI TETANUS TOXOID DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KALIWEDI KABUPATEN CIREBON
untuk mendapatkan na please klik to link http://www.4shared.com/KTIibuhamiltentangtetanus/html................!!!!!!trus download sendiri ya gan.....!!!!!
Selasa, Juli 06, 2010
FARMAKOTERAPI SKIZOFRENIA
PENDAHULUAN
Skizofrenia merupakan bentuk gangguan jiwa psikosis fungsional paling berat, dan lazim yang menimbulkan disorganisasi personalitas yang terbesar. Dalam kasus berat, pasien tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini secara bertahap akan menuju kea rah kronisitas, tetapi sekali-kali bisa menimbulkan serangan. Jarang bisa terjadi pemulihan sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya berakhir dengan personalitas yang rusak. Keadaan ini pertama kali digambarkan oleh Kraepelin pada tahun 1896 berdasarkan gejala dan riwayat alamiahnya. Kraepelin menakannya dementia prekoks. Pada tahun 1911, Bleuler menciptakan nama skizofrenia untuk menandai putusnya fungsi psikis, yang menentukan sifat penyakit ini. Secara garis besar skizofrenia dapat digolongkan kepada beberapa tipe yaitu, skizofrenia paranoid, skizofrenia hebefrenik, skizofrenia katatonik, skizofrenia tak terinci, depresi pasca skizofrenia, skizofrenia residual, skizofrenia simpleks, skizofrenia yang lain-lain dan skizofrenia yang tak tergolongkan.
Unsur patogenesis skizofrenia belum dapat diketahui . Dugaan adanya unsur genetik telah dianggap sebagai kondisi yang melatarbelakangi gangguan psikosis, sebagian besar karena hasil penelitian yang distimulasi oleh ditemukannya obat-obat antipsikosis. Pada tingkat tertentu, asumsi ini banyak didukung dengan ditemukannya kasus- kasus skizofrenia yang disebabkan oleh keturunan. Pembuktian yang actual tentang adanya keterkaitan kromosom dengan menggunakan teknik genetik molekuler sulit dilakukan secara psati, baik karena kejadian yang spesifik tidak dapat disamakan maupun karena adanya banyak gen yang terlibat di dalamnya.
HIPOTESIS DOPAMINE
Hipotesis dopamine pada skizofrenia adalah yang paling berkembag dari berbagai hipotesis, dan merupakan dasar dari banyak terapi obat yang rasional. Beberapa bukti yang terkait menunjukkan bahwa aktifitas dopaminergik yang berlebihan dapat mempengaruhi penyakit tersebut : (1) kebanyakan obat-obat antipsikosis menyakat reseptor D2 pascasinaps di dalam sistem saraf pusat, terutama disistem mesolimbik frontal; (2) obat-obat yang meningkatkan aktifitas dopaminergik, seperti levodopa (suatu precursor), amphetamine (perilis dopamine), atau apomorphine (suatu agonis reseptor dopamine langsung), baik yang dapat mengakibatkan skizofrenia atau psikosis pada beberapa pasien; (3) densitas reseptor dopamine telah terbukti, postmortem, meningkat diotak pasien skizofrenia yang belum pernah dirawat dengan obat-obat antipsikosis; (4) positron emission tomography (PET) menunjukkan peningkatan densitas reseptor dopamine pada pasien skizofrenia yang dirawat atau yang tidak dirawat, saat dibandingkan dengan hasil pemeriksaan PET pada orang yang tidak menderita skizofrenia; dan (5) perawatan yang berhasil pada pasien skizofrenia telah terbukti mengubah jumlah homovanilic acid (HVA), suatu metabolit dopamine, di cairan serebrospinal, plasma, dan urine.
Bagaimanapun juga, hipotesis dopamine ini masih jauh dari sempurna. Apabila, ketidaknormalan fisiologis dopamine sepenuhnya mempengaruhi patogenesis skizofrenia, obat-obat antipsikosis akan lebih bermanfaat dalam pengobatan pasien- tetapi obat-obat tersebut tidak begitu efektif bagi kebanyakan pasien dan tidak efektif sama sekali bagi beberapa pasien. Bahkan, antagonis reseptor NMDA seperti phencyclidine pada saat diberikan kepada orang-orang yang non-psikosis, dapat menimbulkan gejala-gejala “mirip skizofrenia” daripada agonis dopamine. Adanya pengklonaan (cloning) terbaru dan karakteristik tipe multiple reseptor dopamine memungkinkan diadakannya uji langsung terhadap hipotesis dopamine yaitu mengembangkan obat-obat yang selektif terhadap tiap-tiap tipe reseptor. Antipsikosis tradisional dapat mengikat D2 50 kali lebih kuat daripada reseptor D1 atau D3. sampai sekarang, usaha utama pengembangan obat adalah untuk menemukan obat yang lebih poten dan lebih selektif dalam menyakat reseptor D2. ¬Fakta yang menunjukkan bahwa beberapa obat antipsikosis mempunyai dampak lebih sedikit terhadap reseptor D2 dan belum efekti dalam terapi untuk skizofrenia, perhatian dialihkan ke peranan reseptor dopamine yang lain dan kepada reseptor non-dopamine khusunya subtype reseptor serotonin yang dapat memediasi efek-efek sinergistik atau melindungi dari konsekuensi ekstrapiramidal dari antagonisme D2. Sebagai hasil pertimbangan ini, arah penelitian telah berubah ke focus yang lebih besar tentang komponen yang mungkin aktif bekerja pada beberapa sistem reseptor-transmitter. Harapan yang terbesar yaitu untuk menghasilkan obat-obatan dengan tingkat efisiensi yang lebih tinggi dan sedikit menimbulkan efek yang tak diinginkan, khususnya toksisitas ekstrapiramidal.
FARMAKOLOGI DASAR OBAT-OBAT ANTIPSIKOSIS
Tipe Kimia
Sejumlah struktur kimia telah banyak dikaitkan dengan sifat-sifat obat antipsikosis. Obat-obatan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi beberapa grup.
A. Derivat Phenothiazine : Ketiga subfamili phenothiazine yang terutama berdasarkan paqda rantai samping molekul, dahulu merupakan antipsikosis yang paling banyak digunakan. Derivat alifatik (misalnya chlorpromazine) dan turunan piperidine (misalnya thioridazine ) merupakan obat-obat yang paling rendah potensinya. Derivate piperazine sangat poten pada kesadaran dan efektif pada dosis rendah. Derivat piperazine juga sedikit efektif pada efek farmakologis mereka.
B. Derivat Thioxantene : Kelompok obat ini terutamanya diwakili oleh thiothixene. Pada umumnya, campuran ini lebih kecil potensinya dibandingkan dengan analog phenothoazine-nya.
C. Derivat Butyrophenon : kelompok ini, dimana haloperidol paling banyak digunakan, mempunyai struktur yang sangat berbeda dari kedua kelompok pertama. Diphenylbutylpiperidine adalah senyawa yang paling erat kaitannya. Obat-obat ini cenderung lebih poten dan memiliki sedikit efek otonomis.
D. Struktur lainnya: Obat-obat terbaru, Antipsikosis Generasi II yang tidak semuanya tersedia di Amerika Serikat, memiliki beragam struktur dan mencakup pimozide, molindone, loxapine, clozapine, olanzapine, quetiapine, sertindole, dan zaiprasidone
A. Absorpsi dan Distribusi : Kebanyakan obat antipsikosis dapat diabsorpsi namun tidak sepenuhnya terabsorpsi. Terlebih lagi, banyak dari obat-obat ini mengalami metabolisme lintas pertama yang signifikan. Karena itu, dosis oral chlorpromazine dan thioridazine memiliki availibilitas sistemik 25% - 35% sedangkan haloperidol, yang paling sedikit dimetabolisme tubuh mempunyai availibilitas sekitar 65%.
Kebanyakan antipsikosis mempunyai sifat kelarutan lipid tinggi dan ikatan protein tinggi (92%-99%). Mereka mempunyai volume distribusi yang besar (biasanya >7 L/kG). Mungkin oleh karena obat-obatan tersebut cenderung tersebar dibagian-bagian lipid tubuh dan memiliki afinitas yang amat tinggi pada reseptor neurotransmitter tertentu pada sistem saraf pusat, obat-obat tersebut umumnya mempunyai masa kerja klinis yang lebih lama daripada yang diperkirakan dari waktu plasmanya. Metabolit chlorpromazine dapat dieksresi di dalam urine beberapa minggu sesudah pemberian dosis terakhir pada penggunaan kronis. Selain itu, kekambuhan tidak akan terjadi sampai enam minggu atau lebih setelah berhentinya pemberian obat-obat antipsikosis.
B. Metabolisme : Kebanyakan antipsikosis dimetabolisme hampir lengkap melalui serangkaian proses. Meskipun beberapa metabolit tetap aktif, misalnya 7-hydroxichlorpromazine dan haloperidol yang tereduksi, mereka kurang dianggap penting tehadap daya kerja obat-obat ini. Satu-satunya pengecualian adalah mesoriadzine, metabolite thioriadzine yang utama, yang lebih poten dari komponen aslinya dan lebih banyak menimbulkan efek. Komponen ini telah banyak dijual sebagi unsure terpisah.
C. Eksresi : Sedikit sekali dari obat ini yang dieksresikan tanpa ada perubahan, karena obat-obat tersebut hampir sepenuhnya dimetabolisme menjadi substansi yang lebih polar. Waktu eliminasinya beragam, dari 10 sampai 24 jam
Efek-efek Farmakologis
Obat-obat antipsikosis phenothiazine yang pertama, dengan chlorpromazine sebagai prototipenya, terbukti memiliki serangkaian efek-efek sistem saraf pusat, otonom, dan endokrin yang beragam. Aksi ini diakibatkan oleh efek penyekatan yang kuat pada sistem reseptor. Reseptor tersebut termasuk dopamine dan adrenoreseptor-alpha, muskarinik, histamine H1,dan serotonin (5-HT2). Dari reseptor-reseptor ini, efek reseptor dopamine segera menjadi focus utama minat penelitian
A. Sistem Dopaminergik : Sampai tahun 1959, dopamine belum dianggap sebagi neurotransmitter didalam sistem saraf pusat melainkan sebagai precursor norepinephrin. Lima sistem atau alur penting dopaminergik telah diketahui pada otak. Sistem pertama yang paling terkait dengan perilaku adalah mesolimbi-meokortikal, yang berawal dari badan-badan sel dekat substantia nigra menuju sistem limbic dan neokorteks. Sistem yang kedua alur nigrostriatal –terdiri dari neuron-neuron yang berawal dari substantia nigra ke nucleus kaudatus dan putamen; yang berperan dalam koordinasi pergerakan dibawah kesadaran. Sistem ketiga –sistem tuberoinfundibuler- menghubungkan nukelus arkuatus dan neuron preifentrikuler ke hipotalamus dan pituitary posterior. Dopamine yang dirilis oleh neuron-neuron ini secara fisiologis menghambat sekresi prolactin. Sistem dopaminergik keempat- alur medulari-periventrikuler- terdiri dari neuron-neuron di nucleus dari vagus yang proyeksi tidak diterangkan dengan jelas. Sistem ini mungkin berperan dalam perilaku makan. Sistem kelima –alur insertohipotalamus- membentuk hubungan didalam hipotalamus dan dengan nucleus septum lateralis. Fungsinya belum diketahui.
B. Reseptor Dopamine dan Efeknya : Saat ini, lima reseptor dopamine yang berbeda telah dijabarkan, terdiri dari dua famili yang terpisah, yaitu kelompok reseptor mirip D1 dan mirip D2. Reseptor D1 ditandai dengan sebuah gen pada kromosom 5, peningkatan cAMP dengan mengaktifkan adenylyl cyclase, dan berlokasi terutama diputamen, nukelus accumben, dan tuberkel olfaktorius. Anggota kedua dari famili ini, D2,yang ditandai oleh sebuah gen pada kromosom 4, juga meningkatkan cAMP, dan ditemukan di hipokampus dan hipotalamus. Potensi terapeutik obat-obat antipsikosis tidak berkaitan dengan afinitasnya dalam mengikat D1. Reseptor D2, yang ditandai dengan kromosom 11, diperkirakan dapat menurunkan cAMP (dengan menghambat adenylyl cyclase) dan menyakat kanal kalsium. Reseptor tersebut ditemukan, baik pada pra- maupun pascasinaps neuron-neuron di putamen kaudatus, nucleus accumben, dan tuberkel olfaktorius. Anggota kedua dari famili ini, reseptor D3, yang ditandai oleh sebuah gen pada kromosom 11, diperkirakan dapat juga menurunkan cAMP, dan berlokasi di korteks frontalis, medulla, dan otak tengah. Reseptor D4, anggota terbaru famili “mirip D2” juga menurunkan cAMP. Semua reseptor dopamine mempunyai domain tujuh-transmembran dan terhubung dengan protein G.Aktifasi reseptor D2 oleh sejumlah agonis langsung dan tak langsung (misalnya levodopa amphetamine, apomorphin) enyebabkan meningkatnya aktifitas motorik dan perilaku stereotipe pada tikus, model percobaan yang telah banyak digunakan untuk skreening obat antipsikosis. Saat diberikan pada manusia, obat yang sama akan mengakibatkan skizofrenia. Obat-obat antipsikosis tersebut menyatakan reseptor D2 secara stereoselektif, pada sebagian lokasi, dan afinitas ikatannya sangat kuat, ini mempunyai korelasidengan potensi klinis antipsikosis dan ekstrapiramidal, suatu observasi memancing banyaknya studi mengenai ikatan reseptor.
Tidaklah mungkin untuk menunjukkan bahwa antagonis reseptor dopamine selain reseptor D2 mempunyai peranaan terhadap obat-obat antipsikosis. Antagonis reseptor D3 yang selektif masih belum tersedia. Sedangkan antagonis reseptor D1 yang spesifik telah dikembangkan, dan setidaknya hanya 1 yang terbukti gagal dalam percobaan klinis. Usaha-usaha untuk menemukan efek antagonisme D4 selama ini menemukan jalan buntu. Partisipasi glutamate, GABA, dan reseptor achetilcolin didalam patofisiologi skizofrenia juga telah dilaporkan. Obat- obat yang menjadi target didalam sistem glutamatergic dan colinergic baru merupakan awal untuk dievaluasi didalam skizofrenia
C. Perbedaan diantara obat-obat antipsikosis.
Walaupun semua obat antipsikosis efektif menyakat reseptor D2, kekuatan penyakatan yang berkaitan dengan daya kerja lain resdeptor tersebut berbeda pada masing-masing obat. Sejumlah eksperimen terhadap ikatan reseptor- ligan telah dilakukan untuk menemukan satu kerja reseptor yang dapat memprediksi efikasi obat-obat antipsikosis. Misalnya, studi invitro tentang ikatan menunukkan bahwa Chlorpromazine dan Thioridazine ternyata lebih efektif dalam menyakat α-1-adrenoseptor dari pada reseptor D2 . kedua unsur tersebut juga relatif kuat menyakat reseptor 5-HT2 . bagaimanapun juga, afinitas reseptor D1, sebagaimana diukur dengan penggantian ligan D1, selektif, SCH23390 relatif lemah. Obat-obat seperti perpenazine dan haluperidol bekerja lebih banyak pada reseptor D2; dan memeberikan efek terhadap 5-HT2 dan reseptor α-1, tetapi tak begitu berpengaruh terhadap reseptor D1. pimozide bekerja secara ekslusif pada resptor D2. clozapine antipsikosis atipikal, yang menujukkan perbedaan klinis yang jelas dari yang lainnya, lebih mengikat D4 , 5-HT2, α-1, dan reseptor histamine H1,daripada reseptor D2 dan D1. Risperidone hampir sama kuatnya dalam menyakat D2 dan reseptor 5-HT2. Obat yang baru-baru ini diperkenalkan, olanzapine, ternyata lebih poten sebagai antagonis reseptor 5-HT2, dengan potensi yang lebih sedikit dan hampir sama pada reseptor D1,D2,dan α-1. sedangkan serpindole lebih poten sebagai antagonis 5-HT2 dan relatif poten sebagai antagonis D2 dan α-1. Kesimpulan yang sederhana dari eksperimen tersebut :
Chlorpromazine α1 = 5-HT2 > D2 > D1
Haloperidol : D2 > D1 = D4 > α1 > 5-HT2
Dari penjelasan diatas, tampak bahwa pengikatan reseptor D1, tersebut plaing sedikit kemungkinannya untuk diprediksi manfaat klinisnya, tetapi afinitas reseptor lain yang paling sulit untuk diinterpretasi. Penelitian baru-baru ini dilakukan untuk mengetahui senyawa antipsikosis atipikal yang lebih selektif terhadap sistem mesolimbik ( untuk mengurangi efek-efeknya pada sistem ekstrapiramidal) atau memberi efek pada reseptor neurotransmitter pusat- seperti pada asetlkolin dan asam amino eksitatorik- yang masih belum diajukan sebagai target kerja obat-obat antipsikosis.
D. Efek-efek psikologis:
Kebanyakan obat-obat antipsikosis mengakibatkan efek subyektif dan tidak menyenangkan pada pasien non-psikosis; kombinasi rasa kantuk, lelah, dan efek otonom yang menimbulkan pengalaman tidak seperti yang dikaitkan dengan sedativa atau hipnotika yang lebih dikenal. Pasien non-psikosis juga akan mengalami gangguan performa sebagaimana ditunjukkan oleh tes-tes psikomotor dan psikometrik. Akan tetapi, pasien psikosis kemungkinan menunjukkan tingkatan dalam hal performa saat tingkat psikosisnya diturunkan.
E. Efek-efek neurofisiologis:
Obat-obat antipsikosis mengakibatkan pergeseran pola frekuensi elektroensefalografi, biasanya menurunkan frekuensi dan meningkatkan sinkronisasinya. Penurunan (hipersinkronisasi) tersebut fokal atau unilateral, yang dapat mengarah kepada interpretasi diagnosis yang salah. Perubahan perubahan amplitudo dan frekuensi yang diakibatkan oleh obat-obat psikotropika sudah jelas tampak dan dapat dihitung dengan teknik elektrofisiologis yang canggih
Perubahan ensefalografi yang berkaitan dengan obat-obat antipsikosis pertama kali tampak pada elektroda suportikal, dan mendukung asumsi kalau obat-obat tersebut bekerja lebih banyak pada daerah subkortikal. Hipersinkronisasi yang ditimbulkan oleh obat-obat ini dapat berakibat pada pengaktifan EEG pada pasien epilepsi, dan juga mengakibatkan kelumpuhan diwaktu-waktu tertentu pada pasien yang tidak pernah mengalami kelumpuhan sebelumnya.
F. Efek-Efek endokrin
Obat-obat antipsikosis menimbulkan efek-efek yang tidak diinginkan pada sistem reproduksi. Amenore –galaktore, tes kehamilan yang salah (false positif), dan peningkatan libido dilaporkan telah terjadi. Pada wanita, sedangkan pada pria penurunan libido dan ginekomasti. Beberapa dampak bersifat sekunder dala menyakat penghambatan tonik dopamine pada sekresi prolaktin; yang lainnya mungkin berhubungan kepada konfersi perifer androgen ke estrogen. Sedikit atau tidak ada peningkatan sama sekali pada produksi prolaktin sesudah pemberian sejumlah antipsikosis terbaru seperti : olanzapine, guethiapine, dan sertindole, bisa menjadi tanda berkurangnya antagonisme D2 wsehingga mengurangi resiko disfungsi sistem ekstrapiramidal dan diskinesia tardiff, serta disfungsi endokrin.
G. Efek-efek kardiovaskuler
Hipotensi orthostatik dan denyut nadi tinggi seringkli ditimbulkan oleh peggunaan phenothiazine(potensi rendah)kemudian ” dosis tinggi”. Tekanan arteri rata-rata, resistensi perifer, dan volume sekuncup menurun, dan denyut nadi meningkat. Efek-efek ii dapat diprediksi dari daya kerja otonom obat-obat ini. ECG yang abnormal telah dicatat, khususnya dengan Thioridazine. Perubahan perubahan tersebut mencakup perpanjangan interval QT dan konfigurasi abnormal dari unsur ST dan gelombang T. Gelombang tersebut melingkar, mendatar, atau tidak rata. Perubahan ini dapat dibalik dengan hanya menghentikan obat-obat terebut.
Diantara obat-obat antipsikosis terbaru, perpanjangan interval QT atau QTC- dengan peningkatan resiko aritmia yang berbahaya- sudah begitu mengkhawatirkan sen=hingga ssertindole merupakan obat pertama yang ditarik dari pasaran menunggu evaluasi selanjutnya. Sedangkan ziprasidone masih dipelajari lebih lanjut sebelum diambil keputusan yang final. Untuk mengesampingkan bermakna klinis QTc.
FARMAKOLOGI KLINIK OBAT-OBAT ANTIPSIKOSIS
A. Cara Penggunaan
Dalam memilih pertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat, contohnya chlorpromazine dan thiaridazine yang efek samping sedatifnya kuat terutama digunakan untuk sindrom psikosis dengan gejla dominan gaduh gelisah, hiperaktif, sulit tidur, kekacauan pikiran, perasaan, dan perilaku, dll.sedangkan trifluoperazine, fluphenazine,dan haloperidol yang memiliki efek sedative lemah digunakan untuk sindrom psikosis dengan gejala dominant apatis, menarik diri, perasaan tumpul, kehilangan minat dan inisiatif, hipoaktif, waham, halusinasi, dll.
Obat dimulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjurannya yaitu 1 atau 2mg.Dinaikkan dosisnya 2 sampai 3 hari sampai mencapai dosis efektif (Mulai timbul perbedaan gejala), beberapa kepustakaan mengatakan dosis per hari yang efektif antara 5-20 mg. Evaluasi dilakukan tiap 2 minggu dan bila perlu dosis dinaikkan, sampai mencapai dosis optimal. Dosis ini dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) kemudian diturunkan setiap 2 minggu sampai mencapai dosis pemeliharaan. Dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi masa bebas obat 1-2 hari /minggu ). Kemudian tappering off, dosis diturunkan tiap 2-4 minggu dan dihentikan. Pada anak-anak atau usia lanjut dosis haloperidol diturunkan dan dapat dimulai dengan 0,5 – 1,5 mg/ hari dengan pemberian 2 atau 3 kali perhari
Obat antipsikosis long acting (flufenazine decanoat, 25mg/mL atau haloperidol decanoat, 50mg/mL IM, untuk 2-4 minggu) sangat berguna pada pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif terhadap medikasi oral. Dosis dimulai dengan 0,5 mL setiap 2 minggu pada bulan pertama kemudian baru ditingkatkan 1mL setiap bulan.
Penggunaan chlorpromazine injeksi sering menimbulan hipotensi orthostatik bila terjadi atasi dengan injeksi noradrenalin (effortil, IM). Efek samping ini dapat dicegah dengan tidak langsung bangun setelah suntik atau tiduran selama 5-10 menit.
Haloperidol sering menimbulkan gejala ekstrapiramidal, maka diberikan tablet trihexylphenidine (artane ®) 3-4 x 2mg/hari atau sulfas athropin 0,5-0,75 mg IM.
B. Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan :
• Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
Onset efek sekunder (efek sampng) : sekitar 2-6 jam
• Waktu paruh : 12-14 jam (pemberian obat 1-2 x/hari).
• Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu kualitas hidup pasien.
Mulai dengan ”dosis awal” sesuai dengan ”dosis anjuran”, dinaikkan setiap 2-3 hari sampai mencapai ”dosis efektif”(mulai timbul peredaran sindrompsikosis) dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan ”dosis optimal” dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) diturunkan setiap 2 minggu ”dosis maintenance” dipertahankan 6 bulan – 2 tahun (diselingi ”drug holiday” 1-2 hari/minggu) Tappering off (dosis diturunkan setiap 2-4 minggu) Stop.
C. Lama pemberian
Untuk pasien dengan serangan sindrom psikosis yang “multi episode”, terapi pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun, pemberian yang cukup lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5-5 kali
Efek obat antipsikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah dosis terakhir. Masih mempunyai efek klinis. Sehingga tidak langsung menimbulkan kekambuhan setelah obat dihentikan, biasanya 1 bulan kemudian baru gejala psikosis kambuh kembali. Hal tersebut disebabkann metabolisme dan eksresi obat sangat lambat, metabolit-metabolit masih mempunyai efek antipsikosis.
Pada umumnya pemberian antipsikosiss sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 3 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk “psikosis reaktif singkat” penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya dalam gejala kurun waktu 2 minggu sampai 2 bulan. Obat antipsikosis tidak meimbulkan gejala lepas obatyang hebat walaupun diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil sekali.
Pada penghentian yang mendadak yang dapat timbul “ kolinergik rebound” : gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar, dll. Keadaan ini akan mereda dengan pemberian “ antikolinergic agent” (injeksi sulfas atropin 0,25mg IM), tablet trihexylphenidil (3x2mg/hari) oleh karena itu pada penggunaan bersama obat antipsikosis plus antiparkinson, bila sudah tiba waktu penghentian obat, obat antipsikosis dihentikan lebih dahulu, baru meyusul obat antiparkinson.
D. Pemakaian khusus
Thioridazine dosis kecil sering digunakan untuk pasien anak dengan hiperaktif, emosional labil, dan perilaku destruktif. Juga sering digunakan pada pasien usia lanjut dengan gangguan emosional (anxietas, depresi, agitasi) dengan dosis 20-200mg/hari. Hal ini disebabkan thioridazine lebih cenderung ke blokade reseptor dopamine disistem limbik daripada disistem ekstrapiramidal pada SSP (sebalinkya dari haluperidol)
Haluperidol dosis kecil untuk “Gilles de la tourette’s syndrome” sangat efektif. Gangguan ini biasanya timbul mulai antara umur 2-15 tahun. Terdapat gerakan-gerakn involunter, berulang, cepat, dan tanpa tujuan, yang melibatkan banyak kelompok otot (tics). Disertai tics fokal yang multipel (misalnya, suara klik, dengusan, batuk, menggeram, menyalak, atau kata-kata kotor/koprolalia). Pasien mampu menahan tics secara volunter selama beberapa menit sampai beberapa jam.
Sindrom neuroleptik maligna (SNM) merupakan kondisi yang mengancam kehidupan akibat reaksi idiosinkrasi terhadap obat antipsikosis (khususnya pada long acting) dimana resiko ini lebih besar ). Semua pasien yang diberikan obat antipsikosis mempunyai resiko untuk terjadinya SNM tetapi dengan kondisi dehidrasi, kelelahan, atau malnutrisi, resiko ini akan menjadi lebih tinggi.
Butir-butir diagnostik SNM :
a. Suhu badan >380C (hiperpireksia)
b. Terdapat sindrom ekstrapiramidal berat (rigidity)
c. Terdapat gejala disfungsi otonomik (incontinensia urine)
d. Perubahan status mental
e. Perubahan tingkat kesadaran
f. Gejala tersebut timbul dan berkembang dengan cepat.
Pengobatan :
a. Hentikan segera obat antipsikosis
b. Perawatan supportif
c. Obat dopamin agonis ( bromokriptin 7,5 – 60 mg/hari 3dd1, L-dopa 2 x 100 mg/hari atau amantadine 200 mg/hari)
Pada pasien usia lanjut atau dengan sindrom psikosis organik, obat antipsikosis diberikan dalam dosis kecil dan minimal efek samping otonomik (hipotensi orthostatik) dan sedasinya yaitu golongan ”high potency neuroleptic”, misalnya haloperidol, trifluoperazine, flufenazine, antipsikosis atipikal.
Penggunaan pada wanita hamil, beresiko tinggi anak yang dilahirkan penderita gangguan saraf ekstrapiramidal.
Skizofrenia merupakan bentuk gangguan jiwa psikosis fungsional paling berat, dan lazim yang menimbulkan disorganisasi personalitas yang terbesar. Dalam kasus berat, pasien tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini secara bertahap akan menuju kea rah kronisitas, tetapi sekali-kali bisa menimbulkan serangan. Jarang bisa terjadi pemulihan sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya berakhir dengan personalitas yang rusak. Keadaan ini pertama kali digambarkan oleh Kraepelin pada tahun 1896 berdasarkan gejala dan riwayat alamiahnya. Kraepelin menakannya dementia prekoks. Pada tahun 1911, Bleuler menciptakan nama skizofrenia untuk menandai putusnya fungsi psikis, yang menentukan sifat penyakit ini. Secara garis besar skizofrenia dapat digolongkan kepada beberapa tipe yaitu, skizofrenia paranoid, skizofrenia hebefrenik, skizofrenia katatonik, skizofrenia tak terinci, depresi pasca skizofrenia, skizofrenia residual, skizofrenia simpleks, skizofrenia yang lain-lain dan skizofrenia yang tak tergolongkan.
Unsur patogenesis skizofrenia belum dapat diketahui . Dugaan adanya unsur genetik telah dianggap sebagai kondisi yang melatarbelakangi gangguan psikosis, sebagian besar karena hasil penelitian yang distimulasi oleh ditemukannya obat-obat antipsikosis. Pada tingkat tertentu, asumsi ini banyak didukung dengan ditemukannya kasus- kasus skizofrenia yang disebabkan oleh keturunan. Pembuktian yang actual tentang adanya keterkaitan kromosom dengan menggunakan teknik genetik molekuler sulit dilakukan secara psati, baik karena kejadian yang spesifik tidak dapat disamakan maupun karena adanya banyak gen yang terlibat di dalamnya.
HIPOTESIS DOPAMINE
Hipotesis dopamine pada skizofrenia adalah yang paling berkembag dari berbagai hipotesis, dan merupakan dasar dari banyak terapi obat yang rasional. Beberapa bukti yang terkait menunjukkan bahwa aktifitas dopaminergik yang berlebihan dapat mempengaruhi penyakit tersebut : (1) kebanyakan obat-obat antipsikosis menyakat reseptor D2 pascasinaps di dalam sistem saraf pusat, terutama disistem mesolimbik frontal; (2) obat-obat yang meningkatkan aktifitas dopaminergik, seperti levodopa (suatu precursor), amphetamine (perilis dopamine), atau apomorphine (suatu agonis reseptor dopamine langsung), baik yang dapat mengakibatkan skizofrenia atau psikosis pada beberapa pasien; (3) densitas reseptor dopamine telah terbukti, postmortem, meningkat diotak pasien skizofrenia yang belum pernah dirawat dengan obat-obat antipsikosis; (4) positron emission tomography (PET) menunjukkan peningkatan densitas reseptor dopamine pada pasien skizofrenia yang dirawat atau yang tidak dirawat, saat dibandingkan dengan hasil pemeriksaan PET pada orang yang tidak menderita skizofrenia; dan (5) perawatan yang berhasil pada pasien skizofrenia telah terbukti mengubah jumlah homovanilic acid (HVA), suatu metabolit dopamine, di cairan serebrospinal, plasma, dan urine.
Bagaimanapun juga, hipotesis dopamine ini masih jauh dari sempurna. Apabila, ketidaknormalan fisiologis dopamine sepenuhnya mempengaruhi patogenesis skizofrenia, obat-obat antipsikosis akan lebih bermanfaat dalam pengobatan pasien- tetapi obat-obat tersebut tidak begitu efektif bagi kebanyakan pasien dan tidak efektif sama sekali bagi beberapa pasien. Bahkan, antagonis reseptor NMDA seperti phencyclidine pada saat diberikan kepada orang-orang yang non-psikosis, dapat menimbulkan gejala-gejala “mirip skizofrenia” daripada agonis dopamine. Adanya pengklonaan (cloning) terbaru dan karakteristik tipe multiple reseptor dopamine memungkinkan diadakannya uji langsung terhadap hipotesis dopamine yaitu mengembangkan obat-obat yang selektif terhadap tiap-tiap tipe reseptor. Antipsikosis tradisional dapat mengikat D2 50 kali lebih kuat daripada reseptor D1 atau D3. sampai sekarang, usaha utama pengembangan obat adalah untuk menemukan obat yang lebih poten dan lebih selektif dalam menyakat reseptor D2. ¬Fakta yang menunjukkan bahwa beberapa obat antipsikosis mempunyai dampak lebih sedikit terhadap reseptor D2 dan belum efekti dalam terapi untuk skizofrenia, perhatian dialihkan ke peranan reseptor dopamine yang lain dan kepada reseptor non-dopamine khusunya subtype reseptor serotonin yang dapat memediasi efek-efek sinergistik atau melindungi dari konsekuensi ekstrapiramidal dari antagonisme D2. Sebagai hasil pertimbangan ini, arah penelitian telah berubah ke focus yang lebih besar tentang komponen yang mungkin aktif bekerja pada beberapa sistem reseptor-transmitter. Harapan yang terbesar yaitu untuk menghasilkan obat-obatan dengan tingkat efisiensi yang lebih tinggi dan sedikit menimbulkan efek yang tak diinginkan, khususnya toksisitas ekstrapiramidal.
FARMAKOLOGI DASAR OBAT-OBAT ANTIPSIKOSIS
Tipe Kimia
Sejumlah struktur kimia telah banyak dikaitkan dengan sifat-sifat obat antipsikosis. Obat-obatan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi beberapa grup.
A. Derivat Phenothiazine : Ketiga subfamili phenothiazine yang terutama berdasarkan paqda rantai samping molekul, dahulu merupakan antipsikosis yang paling banyak digunakan. Derivat alifatik (misalnya chlorpromazine) dan turunan piperidine (misalnya thioridazine ) merupakan obat-obat yang paling rendah potensinya. Derivate piperazine sangat poten pada kesadaran dan efektif pada dosis rendah. Derivat piperazine juga sedikit efektif pada efek farmakologis mereka.
B. Derivat Thioxantene : Kelompok obat ini terutamanya diwakili oleh thiothixene. Pada umumnya, campuran ini lebih kecil potensinya dibandingkan dengan analog phenothoazine-nya.
C. Derivat Butyrophenon : kelompok ini, dimana haloperidol paling banyak digunakan, mempunyai struktur yang sangat berbeda dari kedua kelompok pertama. Diphenylbutylpiperidine adalah senyawa yang paling erat kaitannya. Obat-obat ini cenderung lebih poten dan memiliki sedikit efek otonomis.
D. Struktur lainnya: Obat-obat terbaru, Antipsikosis Generasi II yang tidak semuanya tersedia di Amerika Serikat, memiliki beragam struktur dan mencakup pimozide, molindone, loxapine, clozapine, olanzapine, quetiapine, sertindole, dan zaiprasidone
A. Absorpsi dan Distribusi : Kebanyakan obat antipsikosis dapat diabsorpsi namun tidak sepenuhnya terabsorpsi. Terlebih lagi, banyak dari obat-obat ini mengalami metabolisme lintas pertama yang signifikan. Karena itu, dosis oral chlorpromazine dan thioridazine memiliki availibilitas sistemik 25% - 35% sedangkan haloperidol, yang paling sedikit dimetabolisme tubuh mempunyai availibilitas sekitar 65%.
Kebanyakan antipsikosis mempunyai sifat kelarutan lipid tinggi dan ikatan protein tinggi (92%-99%). Mereka mempunyai volume distribusi yang besar (biasanya >7 L/kG). Mungkin oleh karena obat-obatan tersebut cenderung tersebar dibagian-bagian lipid tubuh dan memiliki afinitas yang amat tinggi pada reseptor neurotransmitter tertentu pada sistem saraf pusat, obat-obat tersebut umumnya mempunyai masa kerja klinis yang lebih lama daripada yang diperkirakan dari waktu plasmanya. Metabolit chlorpromazine dapat dieksresi di dalam urine beberapa minggu sesudah pemberian dosis terakhir pada penggunaan kronis. Selain itu, kekambuhan tidak akan terjadi sampai enam minggu atau lebih setelah berhentinya pemberian obat-obat antipsikosis.
B. Metabolisme : Kebanyakan antipsikosis dimetabolisme hampir lengkap melalui serangkaian proses. Meskipun beberapa metabolit tetap aktif, misalnya 7-hydroxichlorpromazine dan haloperidol yang tereduksi, mereka kurang dianggap penting tehadap daya kerja obat-obat ini. Satu-satunya pengecualian adalah mesoriadzine, metabolite thioriadzine yang utama, yang lebih poten dari komponen aslinya dan lebih banyak menimbulkan efek. Komponen ini telah banyak dijual sebagi unsure terpisah.
C. Eksresi : Sedikit sekali dari obat ini yang dieksresikan tanpa ada perubahan, karena obat-obat tersebut hampir sepenuhnya dimetabolisme menjadi substansi yang lebih polar. Waktu eliminasinya beragam, dari 10 sampai 24 jam
Efek-efek Farmakologis
Obat-obat antipsikosis phenothiazine yang pertama, dengan chlorpromazine sebagai prototipenya, terbukti memiliki serangkaian efek-efek sistem saraf pusat, otonom, dan endokrin yang beragam. Aksi ini diakibatkan oleh efek penyekatan yang kuat pada sistem reseptor. Reseptor tersebut termasuk dopamine dan adrenoreseptor-alpha, muskarinik, histamine H1,dan serotonin (5-HT2). Dari reseptor-reseptor ini, efek reseptor dopamine segera menjadi focus utama minat penelitian
A. Sistem Dopaminergik : Sampai tahun 1959, dopamine belum dianggap sebagi neurotransmitter didalam sistem saraf pusat melainkan sebagai precursor norepinephrin. Lima sistem atau alur penting dopaminergik telah diketahui pada otak. Sistem pertama yang paling terkait dengan perilaku adalah mesolimbi-meokortikal, yang berawal dari badan-badan sel dekat substantia nigra menuju sistem limbic dan neokorteks. Sistem yang kedua alur nigrostriatal –terdiri dari neuron-neuron yang berawal dari substantia nigra ke nucleus kaudatus dan putamen; yang berperan dalam koordinasi pergerakan dibawah kesadaran. Sistem ketiga –sistem tuberoinfundibuler- menghubungkan nukelus arkuatus dan neuron preifentrikuler ke hipotalamus dan pituitary posterior. Dopamine yang dirilis oleh neuron-neuron ini secara fisiologis menghambat sekresi prolactin. Sistem dopaminergik keempat- alur medulari-periventrikuler- terdiri dari neuron-neuron di nucleus dari vagus yang proyeksi tidak diterangkan dengan jelas. Sistem ini mungkin berperan dalam perilaku makan. Sistem kelima –alur insertohipotalamus- membentuk hubungan didalam hipotalamus dan dengan nucleus septum lateralis. Fungsinya belum diketahui.
B. Reseptor Dopamine dan Efeknya : Saat ini, lima reseptor dopamine yang berbeda telah dijabarkan, terdiri dari dua famili yang terpisah, yaitu kelompok reseptor mirip D1 dan mirip D2. Reseptor D1 ditandai dengan sebuah gen pada kromosom 5, peningkatan cAMP dengan mengaktifkan adenylyl cyclase, dan berlokasi terutama diputamen, nukelus accumben, dan tuberkel olfaktorius. Anggota kedua dari famili ini, D2,yang ditandai oleh sebuah gen pada kromosom 4, juga meningkatkan cAMP, dan ditemukan di hipokampus dan hipotalamus. Potensi terapeutik obat-obat antipsikosis tidak berkaitan dengan afinitasnya dalam mengikat D1. Reseptor D2, yang ditandai dengan kromosom 11, diperkirakan dapat menurunkan cAMP (dengan menghambat adenylyl cyclase) dan menyakat kanal kalsium. Reseptor tersebut ditemukan, baik pada pra- maupun pascasinaps neuron-neuron di putamen kaudatus, nucleus accumben, dan tuberkel olfaktorius. Anggota kedua dari famili ini, reseptor D3, yang ditandai oleh sebuah gen pada kromosom 11, diperkirakan dapat juga menurunkan cAMP, dan berlokasi di korteks frontalis, medulla, dan otak tengah. Reseptor D4, anggota terbaru famili “mirip D2” juga menurunkan cAMP. Semua reseptor dopamine mempunyai domain tujuh-transmembran dan terhubung dengan protein G.Aktifasi reseptor D2 oleh sejumlah agonis langsung dan tak langsung (misalnya levodopa amphetamine, apomorphin) enyebabkan meningkatnya aktifitas motorik dan perilaku stereotipe pada tikus, model percobaan yang telah banyak digunakan untuk skreening obat antipsikosis. Saat diberikan pada manusia, obat yang sama akan mengakibatkan skizofrenia. Obat-obat antipsikosis tersebut menyatakan reseptor D2 secara stereoselektif, pada sebagian lokasi, dan afinitas ikatannya sangat kuat, ini mempunyai korelasidengan potensi klinis antipsikosis dan ekstrapiramidal, suatu observasi memancing banyaknya studi mengenai ikatan reseptor.
Tidaklah mungkin untuk menunjukkan bahwa antagonis reseptor dopamine selain reseptor D2 mempunyai peranaan terhadap obat-obat antipsikosis. Antagonis reseptor D3 yang selektif masih belum tersedia. Sedangkan antagonis reseptor D1 yang spesifik telah dikembangkan, dan setidaknya hanya 1 yang terbukti gagal dalam percobaan klinis. Usaha-usaha untuk menemukan efek antagonisme D4 selama ini menemukan jalan buntu. Partisipasi glutamate, GABA, dan reseptor achetilcolin didalam patofisiologi skizofrenia juga telah dilaporkan. Obat- obat yang menjadi target didalam sistem glutamatergic dan colinergic baru merupakan awal untuk dievaluasi didalam skizofrenia
C. Perbedaan diantara obat-obat antipsikosis.
Walaupun semua obat antipsikosis efektif menyakat reseptor D2, kekuatan penyakatan yang berkaitan dengan daya kerja lain resdeptor tersebut berbeda pada masing-masing obat. Sejumlah eksperimen terhadap ikatan reseptor- ligan telah dilakukan untuk menemukan satu kerja reseptor yang dapat memprediksi efikasi obat-obat antipsikosis. Misalnya, studi invitro tentang ikatan menunukkan bahwa Chlorpromazine dan Thioridazine ternyata lebih efektif dalam menyakat α-1-adrenoseptor dari pada reseptor D2 . kedua unsur tersebut juga relatif kuat menyakat reseptor 5-HT2 . bagaimanapun juga, afinitas reseptor D1, sebagaimana diukur dengan penggantian ligan D1, selektif, SCH23390 relatif lemah. Obat-obat seperti perpenazine dan haluperidol bekerja lebih banyak pada reseptor D2; dan memeberikan efek terhadap 5-HT2 dan reseptor α-1, tetapi tak begitu berpengaruh terhadap reseptor D1. pimozide bekerja secara ekslusif pada resptor D2. clozapine antipsikosis atipikal, yang menujukkan perbedaan klinis yang jelas dari yang lainnya, lebih mengikat D4 , 5-HT2, α-1, dan reseptor histamine H1,daripada reseptor D2 dan D1. Risperidone hampir sama kuatnya dalam menyakat D2 dan reseptor 5-HT2. Obat yang baru-baru ini diperkenalkan, olanzapine, ternyata lebih poten sebagai antagonis reseptor 5-HT2, dengan potensi yang lebih sedikit dan hampir sama pada reseptor D1,D2,dan α-1. sedangkan serpindole lebih poten sebagai antagonis 5-HT2 dan relatif poten sebagai antagonis D2 dan α-1. Kesimpulan yang sederhana dari eksperimen tersebut :
Chlorpromazine α1 = 5-HT2 > D2 > D1
Haloperidol : D2 > D1 = D4 > α1 > 5-HT2
Dari penjelasan diatas, tampak bahwa pengikatan reseptor D1, tersebut plaing sedikit kemungkinannya untuk diprediksi manfaat klinisnya, tetapi afinitas reseptor lain yang paling sulit untuk diinterpretasi. Penelitian baru-baru ini dilakukan untuk mengetahui senyawa antipsikosis atipikal yang lebih selektif terhadap sistem mesolimbik ( untuk mengurangi efek-efeknya pada sistem ekstrapiramidal) atau memberi efek pada reseptor neurotransmitter pusat- seperti pada asetlkolin dan asam amino eksitatorik- yang masih belum diajukan sebagai target kerja obat-obat antipsikosis.
D. Efek-efek psikologis:
Kebanyakan obat-obat antipsikosis mengakibatkan efek subyektif dan tidak menyenangkan pada pasien non-psikosis; kombinasi rasa kantuk, lelah, dan efek otonom yang menimbulkan pengalaman tidak seperti yang dikaitkan dengan sedativa atau hipnotika yang lebih dikenal. Pasien non-psikosis juga akan mengalami gangguan performa sebagaimana ditunjukkan oleh tes-tes psikomotor dan psikometrik. Akan tetapi, pasien psikosis kemungkinan menunjukkan tingkatan dalam hal performa saat tingkat psikosisnya diturunkan.
E. Efek-efek neurofisiologis:
Obat-obat antipsikosis mengakibatkan pergeseran pola frekuensi elektroensefalografi, biasanya menurunkan frekuensi dan meningkatkan sinkronisasinya. Penurunan (hipersinkronisasi) tersebut fokal atau unilateral, yang dapat mengarah kepada interpretasi diagnosis yang salah. Perubahan perubahan amplitudo dan frekuensi yang diakibatkan oleh obat-obat psikotropika sudah jelas tampak dan dapat dihitung dengan teknik elektrofisiologis yang canggih
Perubahan ensefalografi yang berkaitan dengan obat-obat antipsikosis pertama kali tampak pada elektroda suportikal, dan mendukung asumsi kalau obat-obat tersebut bekerja lebih banyak pada daerah subkortikal. Hipersinkronisasi yang ditimbulkan oleh obat-obat ini dapat berakibat pada pengaktifan EEG pada pasien epilepsi, dan juga mengakibatkan kelumpuhan diwaktu-waktu tertentu pada pasien yang tidak pernah mengalami kelumpuhan sebelumnya.
F. Efek-Efek endokrin
Obat-obat antipsikosis menimbulkan efek-efek yang tidak diinginkan pada sistem reproduksi. Amenore –galaktore, tes kehamilan yang salah (false positif), dan peningkatan libido dilaporkan telah terjadi. Pada wanita, sedangkan pada pria penurunan libido dan ginekomasti. Beberapa dampak bersifat sekunder dala menyakat penghambatan tonik dopamine pada sekresi prolaktin; yang lainnya mungkin berhubungan kepada konfersi perifer androgen ke estrogen. Sedikit atau tidak ada peningkatan sama sekali pada produksi prolaktin sesudah pemberian sejumlah antipsikosis terbaru seperti : olanzapine, guethiapine, dan sertindole, bisa menjadi tanda berkurangnya antagonisme D2 wsehingga mengurangi resiko disfungsi sistem ekstrapiramidal dan diskinesia tardiff, serta disfungsi endokrin.
G. Efek-efek kardiovaskuler
Hipotensi orthostatik dan denyut nadi tinggi seringkli ditimbulkan oleh peggunaan phenothiazine(potensi rendah)kemudian ” dosis tinggi”. Tekanan arteri rata-rata, resistensi perifer, dan volume sekuncup menurun, dan denyut nadi meningkat. Efek-efek ii dapat diprediksi dari daya kerja otonom obat-obat ini. ECG yang abnormal telah dicatat, khususnya dengan Thioridazine. Perubahan perubahan tersebut mencakup perpanjangan interval QT dan konfigurasi abnormal dari unsur ST dan gelombang T. Gelombang tersebut melingkar, mendatar, atau tidak rata. Perubahan ini dapat dibalik dengan hanya menghentikan obat-obat terebut.
Diantara obat-obat antipsikosis terbaru, perpanjangan interval QT atau QTC- dengan peningkatan resiko aritmia yang berbahaya- sudah begitu mengkhawatirkan sen=hingga ssertindole merupakan obat pertama yang ditarik dari pasaran menunggu evaluasi selanjutnya. Sedangkan ziprasidone masih dipelajari lebih lanjut sebelum diambil keputusan yang final. Untuk mengesampingkan bermakna klinis QTc.
FARMAKOLOGI KLINIK OBAT-OBAT ANTIPSIKOSIS
A. Cara Penggunaan
Dalam memilih pertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat, contohnya chlorpromazine dan thiaridazine yang efek samping sedatifnya kuat terutama digunakan untuk sindrom psikosis dengan gejla dominan gaduh gelisah, hiperaktif, sulit tidur, kekacauan pikiran, perasaan, dan perilaku, dll.sedangkan trifluoperazine, fluphenazine,dan haloperidol yang memiliki efek sedative lemah digunakan untuk sindrom psikosis dengan gejala dominant apatis, menarik diri, perasaan tumpul, kehilangan minat dan inisiatif, hipoaktif, waham, halusinasi, dll.
Obat dimulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjurannya yaitu 1 atau 2mg.Dinaikkan dosisnya 2 sampai 3 hari sampai mencapai dosis efektif (Mulai timbul perbedaan gejala), beberapa kepustakaan mengatakan dosis per hari yang efektif antara 5-20 mg. Evaluasi dilakukan tiap 2 minggu dan bila perlu dosis dinaikkan, sampai mencapai dosis optimal. Dosis ini dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) kemudian diturunkan setiap 2 minggu sampai mencapai dosis pemeliharaan. Dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi masa bebas obat 1-2 hari /minggu ). Kemudian tappering off, dosis diturunkan tiap 2-4 minggu dan dihentikan. Pada anak-anak atau usia lanjut dosis haloperidol diturunkan dan dapat dimulai dengan 0,5 – 1,5 mg/ hari dengan pemberian 2 atau 3 kali perhari
Obat antipsikosis long acting (flufenazine decanoat, 25mg/mL atau haloperidol decanoat, 50mg/mL IM, untuk 2-4 minggu) sangat berguna pada pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif terhadap medikasi oral. Dosis dimulai dengan 0,5 mL setiap 2 minggu pada bulan pertama kemudian baru ditingkatkan 1mL setiap bulan.
Penggunaan chlorpromazine injeksi sering menimbulan hipotensi orthostatik bila terjadi atasi dengan injeksi noradrenalin (effortil, IM). Efek samping ini dapat dicegah dengan tidak langsung bangun setelah suntik atau tiduran selama 5-10 menit.
Haloperidol sering menimbulkan gejala ekstrapiramidal, maka diberikan tablet trihexylphenidine (artane ®) 3-4 x 2mg/hari atau sulfas athropin 0,5-0,75 mg IM.
B. Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan :
• Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
Onset efek sekunder (efek sampng) : sekitar 2-6 jam
• Waktu paruh : 12-14 jam (pemberian obat 1-2 x/hari).
• Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu kualitas hidup pasien.
Mulai dengan ”dosis awal” sesuai dengan ”dosis anjuran”, dinaikkan setiap 2-3 hari sampai mencapai ”dosis efektif”(mulai timbul peredaran sindrompsikosis) dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan ”dosis optimal” dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) diturunkan setiap 2 minggu ”dosis maintenance” dipertahankan 6 bulan – 2 tahun (diselingi ”drug holiday” 1-2 hari/minggu) Tappering off (dosis diturunkan setiap 2-4 minggu) Stop.
C. Lama pemberian
Untuk pasien dengan serangan sindrom psikosis yang “multi episode”, terapi pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun, pemberian yang cukup lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5-5 kali
Efek obat antipsikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah dosis terakhir. Masih mempunyai efek klinis. Sehingga tidak langsung menimbulkan kekambuhan setelah obat dihentikan, biasanya 1 bulan kemudian baru gejala psikosis kambuh kembali. Hal tersebut disebabkann metabolisme dan eksresi obat sangat lambat, metabolit-metabolit masih mempunyai efek antipsikosis.
Pada umumnya pemberian antipsikosiss sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 3 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk “psikosis reaktif singkat” penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya dalam gejala kurun waktu 2 minggu sampai 2 bulan. Obat antipsikosis tidak meimbulkan gejala lepas obatyang hebat walaupun diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil sekali.
Pada penghentian yang mendadak yang dapat timbul “ kolinergik rebound” : gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar, dll. Keadaan ini akan mereda dengan pemberian “ antikolinergic agent” (injeksi sulfas atropin 0,25mg IM), tablet trihexylphenidil (3x2mg/hari) oleh karena itu pada penggunaan bersama obat antipsikosis plus antiparkinson, bila sudah tiba waktu penghentian obat, obat antipsikosis dihentikan lebih dahulu, baru meyusul obat antiparkinson.
D. Pemakaian khusus
Thioridazine dosis kecil sering digunakan untuk pasien anak dengan hiperaktif, emosional labil, dan perilaku destruktif. Juga sering digunakan pada pasien usia lanjut dengan gangguan emosional (anxietas, depresi, agitasi) dengan dosis 20-200mg/hari. Hal ini disebabkan thioridazine lebih cenderung ke blokade reseptor dopamine disistem limbik daripada disistem ekstrapiramidal pada SSP (sebalinkya dari haluperidol)
Haluperidol dosis kecil untuk “Gilles de la tourette’s syndrome” sangat efektif. Gangguan ini biasanya timbul mulai antara umur 2-15 tahun. Terdapat gerakan-gerakn involunter, berulang, cepat, dan tanpa tujuan, yang melibatkan banyak kelompok otot (tics). Disertai tics fokal yang multipel (misalnya, suara klik, dengusan, batuk, menggeram, menyalak, atau kata-kata kotor/koprolalia). Pasien mampu menahan tics secara volunter selama beberapa menit sampai beberapa jam.
Sindrom neuroleptik maligna (SNM) merupakan kondisi yang mengancam kehidupan akibat reaksi idiosinkrasi terhadap obat antipsikosis (khususnya pada long acting) dimana resiko ini lebih besar ). Semua pasien yang diberikan obat antipsikosis mempunyai resiko untuk terjadinya SNM tetapi dengan kondisi dehidrasi, kelelahan, atau malnutrisi, resiko ini akan menjadi lebih tinggi.
Butir-butir diagnostik SNM :
a. Suhu badan >380C (hiperpireksia)
b. Terdapat sindrom ekstrapiramidal berat (rigidity)
c. Terdapat gejala disfungsi otonomik (incontinensia urine)
d. Perubahan status mental
e. Perubahan tingkat kesadaran
f. Gejala tersebut timbul dan berkembang dengan cepat.
Pengobatan :
a. Hentikan segera obat antipsikosis
b. Perawatan supportif
c. Obat dopamin agonis ( bromokriptin 7,5 – 60 mg/hari 3dd1, L-dopa 2 x 100 mg/hari atau amantadine 200 mg/hari)
Pada pasien usia lanjut atau dengan sindrom psikosis organik, obat antipsikosis diberikan dalam dosis kecil dan minimal efek samping otonomik (hipotensi orthostatik) dan sedasinya yaitu golongan ”high potency neuroleptic”, misalnya haloperidol, trifluoperazine, flufenazine, antipsikosis atipikal.
Penggunaan pada wanita hamil, beresiko tinggi anak yang dilahirkan penderita gangguan saraf ekstrapiramidal.
Askep DM tipe 2
Pendahuluan
Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit kronis yang membutuhkan perhatian medis jangka panjang untuk membatasi perkembangan komplikasinya yang merusak dan mengatasi komplikasi tersebut ketika terjadi. DM termasuk penyakit yang mahal, pada tahun 2002 di US, biaya perawatan kesehatan per kapita untuk orang DM mencapai 13.243 US$ sementara tanpa DM hanya 2560US$.
Artikel ini berfokus pada pemeriksaan dini dan penatalaksanaan komplikasi akut dan kronis pada DM di Unit Gawat Darurat (UGD) selain yang secara langsung berhubungan dengan hipoglikemia atau gangguan metabolik berat seperti ketoasidosis diabetikum dan hyperosmolar hyperglycemic state (HHS).
Patofisiologi
Ada 2 tiper mendasar pada DM yaitu tipe 1 dan tipe 2. DM tipe 1 dibahas lebih lanjut pada artikel yang terpisah.
DM Type 2 pernah sering disebut sebagai diabetes onset dewasa. Sekarang, karena meningkatnya insiden obesitas dan ketidakaktifan anak, DM tipe 2 dapat terjadi pada umur yang lebih muda. Walaupun DM tipe 2 sering kali mengenai seseorang diatas umur 40 tahun, bahkan telah didiagnosis pada anak berumur 2 tahun yang memiliki riwayat DM pada keluarga.
DM tipe 2 ditandai oleh adanya resitensi perifer insulin disertai dengan defek sekresi insulin dengan kerusakan yang bervariasi. Untuk menimbulkan DM tipe 2 kedua kerusakan tersebut harus terjadi: semua orang dengan obesitas mempunyai resistensi insulin, namun DM hanya terjadi pada yang tidak mampu meningkatkan produksi insulin oleh sel B. Dalam perkembangan dari toleransi glucosa yang normal menjadi toleransi glucosa abnormal, kadar glucosa postprandial yang pertama meningkat. Pada akhirnya, hiperglikemi puasa (terjadi pada saat tidak ada asupan makanan) terjadi karena inhibisi gluconeogenesis hepatik menurun
Sekitar 90% pasien yang mengidap DM tipe 2 adalah orang dengan obesitas. Karena pasien dengan DM tipe 2 mempertahankan kemampuan untuk mengsekresi insulin endogen, mereka yang mengkonsumsi insulin umumnya tidak terjadi DKA jika penggunaan insulin dihentikan. Sehingga mereka dikatakan membutuhkan insulin namun tidak bergantung lepada insulin. Lebih lanjut lagi, pasien dengan DM tipe 2 sering tidak membutuhkan pengobatan dengan obat antidiabetik oral atau insulin jika berat badan mereka turun atau berhenti makan.
Maturity-onset diabetes of the young (MODY/Diabetes onset remaja) adalah bentuk DM tipe 2 yang mengenai generasi yang lebih muda pada keluarga dengan riwayat DM. Umur yang biasanya terkena itu kurang dari 25 tahun. Ada beberapa tipe MODY. Faktor gen yang bertanggung jawab dapat dideteksi menggunakan pemeriksaan yang ada
Gestational diabetes mellitus (GDM) didefinisikan sebagai derajat apapun intoleransi glukosa dengan onset atau pertama kali diketahui pada masa kehamilan. GDM merupakan komplikasi yang ditemukan pada sekitar 4% dari seluruh kehamilan di US, walaupun jumlahnya bervariasi antara 1-14% tergantung dari populasi yang diteliti.GDM yang tidak ditangani dapat mengarah pada janin makrosomia, hypoglikemia, hypocalcemia, dan hyperbilirubinemia. Sebagai tambahan, ibu dengan GDM memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk persalinan Caesar dan hipertensi kronis. Untuk mendeteksi GDM, pemeriksaan toleransi glukosa 50 g dikerjakan pada umur kehamilan 24-28 minggu. Jika konsentrasi glukosa plasma pasien selama 1 jam lebih besar dari 140 mg/dL, pemeriksaan dilanjutkan dengan toleransi 3 jam glukosa 100 g.
Frekuensi
United States
Pada tahun 2005, seseorang dengan diabetes diperkirakan berjumlah 7% dari populasi US, atau sekitar 20.8 juta orang. Dari 20,8 juta orang ini, 14,6 juta diagnosis diabetes telah ditegakkan dan diabetes belum didiagnosis pada 6,2 juta lainnya. Sekitar 10% mengidap DM tipe 1, dan lainnya mengidap tipe 2. Sebagai tambahan, diperkirakan 54 juta orang terkena keadaan pre-diabetes. Pre-diabetes seperti didefinisikan oleh American Diabetes Association, adalah keadaan dimana kadar glukosa darah lebih dari normal namun tidak cukup tinggi untuk didiagnosis sebagai diabetes
Mortalitas/Morbiditas
Morbiditas dan mortalitas berkaitan dengan diabetes dihubungkan dengan komplikasi jangka pendek dan panjang. Komplikasi termasuk dibawah ini:
• Hipoglikemi and hyperglycemia
• Resiko infeksi meningkat
• Komplikasi microvascular (eg, retinopathy, nephropathy)
• Komplikasi neuropathic
• Komplikasi penyakit macrovascular (eg, coronary artery disease, stroke)
Diabetes adalah penyebab utama terjadinya kebutaan pada orang dewasa umur 20-74 tahun, dan juga merupakan penyebab terbanyak dari amputasi ekstremitas bawah nontraumatik dan penyakit ginjal tahap akhir (ESRD/End Stage Renal Disease)
Jenis Kelamin
Insiden biasanya sama pada perempuan dan laki-laki pada seluruh populasi.
Umur
• DM tipe 2 menjadi lebih sering terjadi karena usia orang lebih panjang dan prevalensi dari DM meningkat seiring peningkatan umur.
• Sekarang juga lebih sering ditemukan pada orang dengan umur muda berkaitan dengan peningkatan prevalensi dari obesitas masa kecil.
• Walaupun DM tipe 2 masih lebih sering terjadi pada dewaas umur 40 keatas, insiden penyakit ini lebih cenderung meningkat lebih cepat pada remaja dan dewasa muda daripada kelompok umur lainnya.
KLINIS
Riwayat
Menentukan secara tepat apakah pasien mengidap tipe 1 atau tipe 2 penting karena pasien tipe 1 sangat bergantung pada penggunaan rutin insulin exogen dan karbohidrat untuk dapat bertahan hidup. Pasien dengan DM tipe 2 dapat tidak membutuhkan penanganan hyperglycemia selama masa puasa atau penurunan intake oral. Pasien dengan Diabetes yang terkontrol dengan diet atau agen antidiabetik jelas merupakan DM tipe 2. Pasien kurus dengan diabetes sejak kecil, yang selalu bergantung pada pembrian insulin, atau dengan riwayat DKA hampir pasti mengidap DM tipe 1.
Membedakan tipe diabetes dapat sulit (1) pasien yang ditangani dengan insulin dan muda namun secara klinis sepertinya mengidap DM tipe 2 dan (2) pasien tua dengan diabetes late onset namun mengkonsumsi insulin dan sepertinya mempunyai karakteristik yang sama dengan DM tipe 1. (Kelompok yang terakhir sekarang dikatakan mempunyai latent autoimmune diabetes of the adult [LADA/ Diabetes Autoimun Laten pada Dewasa]). JIka meragukan, pasien diatasi dengan insulin dan kadar glukosanya diawasi secara ketat. Beberapa remaja atau dewasa muda, kebanyakan dengan ras Hispanik atau African American, yang memperlihatkan gejala klasik DKA, pada akhirnya sering kali ditemukan terkena DM tipe 2.
Banyak pasien dengan DM tipe 2 muncul dengan asimptomatis, dan penyakit mereka tidak didiagnosis selama bertahun-tahun. Penelitian mengatakan bahwa pasien yang baru ditemukan dengan DM tipe 2 telah terkena DM paling tidak selama 4-7 tahun sebelum didiagnosis. Diantara pasien dengan DM tipe 2, 25% mempunyai retinopathy, 9% neuropathy dan 8% nephropathy pada waktu pertama kali didiagnosis
Pre-diabetes sering terjadi sebelum munculnya DM tipe 2. Prediabetes didefinisikan dengan kadar GDP 100-125 mg/dL atau oral glucose tolerance test (OGTT) dengan kadar 140-200 mg/dL. Pasien prediabetes mempunyai peningkatan resiko terkena penyakit makrovaskuler sama halnya dengan resikonya terkena diabetes
Prediabetes dengan sindrom metabolik sering membingungkan (biasa juga disebut dengan sindrom X atau sindrom resistensi insulin). Sindrom metabolik (diperkirakan terjadi akibat resistensi insulin) dapat terjadi pada pasien dengan kadar toleransi glukosa yang normal, prediabetes, atau diabetes. Sindrom metabolik ditandai dengan adanya obesitas sentral kemudia oleh dyslipidemia. Hipertensi merupakan tanda yang umum. Pada akhirnya, secara klinis resistensi insulin yang jelas terjadi. Sayangnya, resistensi insulin tidak diukur secara klinis, kecuali pada penelitian. Peningkatan kadar GDP merupakan indikasi pertama adanya resistensi insulin, namun kadar insulin puasa biasanya sudah lama meningkat sebelum hal ini berlangsung. Pengukuran kadar insulin puasa tidak direkomendasikan untuk diagnosis resistensi insulin. Suatu usaha untuk membuat standardisasi pemeriksaan insulin sedang dikerjakan dan nantinya dapat digunakan untuk menilai kadar insulin puasa untuk dapat mendiagnosis resistensi insulin di masa depan.
Selama anamneses, cari informasi tentang tipe dan durasi terjadinya diabetes pada pasien dan tentang perawatan/pengobatan yang telah diterima pasien untuk penyakitnya
1. Tipe dan estimasi durasi diabetes : Informasi ini membantu untuk menentukan apakah pasien bergantung pada insulin. Diagnosis berdasarkan riwayat penyakit, terapi, dan penilian klinis, seperti telah dijelaskan diatas.
2. erawatan Diabetes: Cari tahu tentang penanganan terkini untuk diabetes pada pasien dan tentang kadar gula darahnya berdasarkan dari pengukuran sendiri atau pengukuran A1C (A1C, merupakan indikator jangka panjang dalam pengendalian glukosa).
Anamnesis riwayat diabetes sebaiknya dapat mengenai pertanyaan dibawah ini:
1. Apakah diabetes pada pasien dikontrol dengan baik (dengan kadar gula darah mendekati normal)? Pasien dengan kadar gula darah yang tidak terkontrol dengan baik sembuh lebih lama dan dengan meingkatnya resiko infeksi dan komplikasi lainnya.
2. Apakah pasien pernah mengalami keadaan reaksi hipoglikemik yang berat? Jika pasien pernah mempunyai episode hipoglikemia berat, maka ia mempunyai resiko untuk kehilangan kesadaran, karenanya kemungkinan ini harus dapat diperoleh
3. Apakah pasien pernah memiliki neuropathy perifer
4. Apakah pasien memiliki luka yang tidak dirasakan pada kaki atau luka yang membutuhkan penanganan?
5. Apakah pasien mengalami diabetic nephropathy sehingga mengubah penggunaan obat-obatan atau material kontras rasiography?
6. Apakah pasien pernah mempunyai penyakit macrovascular, seperti penyakit jantung koroner, yang sebaiknya dipertimbangkan dalam keadaan gawat darurat.
Jika keadaannya terkontrol, maka akan bertambah pertanyaan yang harus dijawab
• Perawatan Diabetes
o Bagaimana diet pada pasien?Apakah dia menggunakan agen antidiabetik oral, insulin, atau keduanya? Jika ya, berapa dosis dan frekuensi dari pengobatan tersebut?
o Apakah pasien memonitor sendiri kadar glukosa darahnya? Jika ya, seberapa sering dan berapa rata-rata nilainya tiap kali diperiksa?
o Kapan kadar A1C pasien diukur? Berapa besar nilainya?
o Apakah pasien dapat menyesuaikan terhadap diet tertentu atau olahraga secara teratur?
• Hyperglycemia: Tanyakan tentang polyuria, polydipsia, nocturia, berat badan menurun, dan kelemahan.
• Hipoglikemi
o Pernahkah pasien mengalami episode hipoglikemi?Apakah episode ini diketahui?Apakah episode ini ringan atau berat?
o Kapan dan seberapa sering episode ini terjadi? Bagaimana cara pasien menanganinya?
o Apakah pasien memiliki kesadaran akan munculnya hipoglikemia (mis, apakah pasien kurang mendapatkan tanda adrenergic hipoglikemia)? Ketidaksadaran akan Hipoglikemi mengindikasikan resiko peningkatan episode dari hipoglikemia.
• Komplikasi microvascular
o Retinopathy: Kapan terakhir kali pemeriksaan mata pada pasien dilakukan? Apakah ada penurunan pada penglihatan?
o Nephropathy: Apakah pasien telah mengetahui dirinya terkena penyakit ginjal atau tidak?Bagaimana hasil dan tanggal pengukuran protein urin dan kadan kreatinin serum terakhir?Jika protein pada urin belum ditelusuri, pernahkah rasio microalbumin-kreatinin dinilai setahun terakhir ini?
• Neuropathy: Apakah pasien mempunyai riwayat dari neuropathy atau gejala neuropati perifer atau neuropati otonom (termasuk impotensi pada pasien laki-laki)?
• Komplikasi macrovascular
o Hipertensi: Apakah pasien memiliki hipertensi ? (didefinisikan dengan TD >130/80 mm Hg)? Apa pengobatan yang diberikan?
o PJK: Apakah pasien memiliki PJK? Adakah riwayat PJK pada keluarga?
o Penyakit vaskuler perifer: Apakah pasien memiliki gejala kram-kram atau riwayat bypass vaskuler
o Penyakit Cerebrovascular: Pernahkah pasien terkena stroke atau transient ischemic attack?
o Hyperlipidemia: Berapaa kadar lipid terakhir dari pasien? Apakah pasien mengkonsumsi obat-obat penurun lemak?
• Kaki diabetic: Apakah pasien memiliki riwayat luka pada kaki atau pernah diamputasi? Apakah ada ulkus pada kaki pada pemeriksaan sekarang?
• Infeksi: Apakah infeksi berulang menjadi suatu masalah?dimana tempat infeksinya?
Pemeriksaan Fisis
Fokus pemeriksaan pada diabetes adalah pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan funduskopi, pemeriksaan vaskuler dan neurologic ringkas, dan penilaian pada ekstremitas bawah. Sistem organ lainnya sebaiknya diperiksa sesuai indikasi pada keadaan klinis tertentu pada pasien.
• Penilaian tanda vital
o Apakah pasien hipertensi atau hipotensi? Tanda vital Orthostatic dapat berguna untuk menilai status volume dan dapat menjelaskan adanya neuropati otonom.
o Jika frekuensi dan pola napas menjelaskan respirasi Kussmaul, DKA harus dipertimbangkan secepatnya dan pemeriksaan penunjang yang tepat harus dilakukan.
• Pemeriksaan funduskopi
o Pemeriksaan funduskopi sebaiknya melihat retina dengan teliti, termasuk papil dan macula.
o Jika perdarahan atau exudat terlihat, pasien sebaiknya dirujuk ke dokter mata secepatnya.Pemeriksa yang bukan ahli mata cenderung menganggap remeh retinopathy yang berat, terutama jika pupil pasien tidak berdilatasi.
• Pemeriksaan tungkai
o Nadi dorsalis pedis dan posterior tibialis sebaiknya diraba dan ada tidaknya perlu diketahui. Ini penting pada pasien yang memiliki infeksi pada kaki karena aliran darah pada tungkai yang jelek dapat memperpanjang penyembuhan dan meningkatkan resiko amputasi.
o Menilai neuropathy sensorik pada tungkai berguna pada pasien dengan ulkus pada kaki karena adanya penurunan sensasi membatasi kemampuan pasien untuk melindungi kaki dan engkel. Ini dapat dinilai dengan pemeriksaan refleks, sensasi posisi dan vibrasi
o Jika neuropathy perifer ditemukan, pasien sebaiknya dibuat menjadi sadar bahwa perawatan kaki (temasuk pemeriksaan kaki harian) sangat penting untuk mencegah perluasan ulkus kaki dan amputasi tungkai bawah.
Penyebab
Faktor resiko utama terjadinya DM tipe 2 adalah sebagi berikut :
• Umur – Umur diatas 45 tahun (walaupun seperti tercatat diatas DM tipe 2 juga meningkat frekuensinya pada seseorang berusia muda)
• Obesitas – Berat badan lebih dari 120% berat badan ideal
• Riwayat DM tipe 2 pada keluarga terdekat (mis, orang tua atau saudara)
• Riwayat adanya glukosa darah terganggu atau glukosa darah puasa terganggu
• Hipertensi (>140/90 mm Hg) atau dislipidemia ( kadar high-density lipoprotein [HDL] <40 style=""> >150 mg/dL)
• Riwayat GDM atau melahirkan bayi dengan berat >4kg
• Polycystic ovarian syndrome (yang menyebabkan resistensi insulin)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
• Tes glukosa strip cocok dilakukan untuk penegakkan diagnosis di UGD pada pasien yang terlihat mengidap DM. Seluruh pemeriksaan laboratorium lainnya disesuaikan dengan keadaan klinis masing-masing pasien.
• Pada pasien dengan gejala diabetes tidak terkendali (misal, polyuria, polydipsia, nocturia, fatigue, berat badan menurun) ditambah dengan kadar GDS >200 mg/dL, diagnosis diabetes dapat ditegakkan.
• Pada pasien asimptomatik dengan kadar GDS >140 mg/dL, pengukuran konsentrasi gula darah puasa (GDP) sebaiknya dilakukan. Tes toleransi glukosa oral tidak lagi direkomendasikan untuk pemeriksaan rutin dalam menegakkan diagnosis diabetes.]
o Kadar GDP >126 mg/dL pada 2 pemeriksaan dalam waktu yang berbeda dapat menegakkan diagnosis
o Kadar GDP 100-125 mg/dL dikatakan sebagai sebagai glukosa darah terganggu.
o Kadar GDP <100>
• Kadar C-peptide puasa >1 ng/dL pada pasien yang telah mengidap diabetes lebih dari 1-2 tahun dapat ditegakkan diagnosis DM tipe 2 (mis, residu fungsi beta-cell ).
• Autoantibodi dapat berguna dalam membedakan antara tipe 1 dan tipe 2.
o Islet-cell autoantibodies (IA2) ditemukan pada anak dengan onset baru DM tipe 1 namun tidak ditemukan pada DM tipe 2. Antibodi ini ditemukan positif sampai sekitar 6 bulan setelah diagnosis.
o Antibodi Anti-GAD65 ditemukan 80% pada pasien dewasa dengan DM tipe 1 onset baru (diketahui sebagai latent autoimmune diabetes of the adult [LADA]). Antibodi ini akan tetap positif seumur hidup..
PENATALAKSANAAN
Departement Gawat Darurat
Perawatan pada UGD pasien dengan DM tipe 2 membutuhkan perhatian pada kontrol glikemik pada pasien dan komplikasi diabetes yang kemungkinan pasien miliki.
• Diabetes onset baru
o Kebanyakan pasien diabetes mengidap DM tipe 2 dan kebanyakan tidak ada gejala pada saat diagnosis. Penatalaksaan dini pada pasien yaitu dengan terapi penyesuaian nutrisi (medical nutrition therapy/MNT) ditambah dengan pemberian metformin. Maka dari itu, jika pasien asimptomatis secara tidak sengaja diketahui mempunyai kadar gula darah meningkat pada diagnosis UGD, dokter pasien dapat melakukan tindak lanjut. Pasien dengan gejala yang ringan dari diabetes yang tidak terkontrol atau tidak terdiagnosis biasanya dapat diterapi rawat jalan.
o Penatalaksanaan yang tepat untuk pasien bergejala jelas dengan DM tipe 2 yang baru ditemukan dan dengan kadar glukosa lebih dari 400 mg/dL masih belum jelas. Jika follow-up teliti dapat dilakukan, dosis maksimum agen sulfonylurea dapat dimulai dan mereka dapat dirawat jalan. Pasien biasanya merasa lebih baik dalam 1-2 hari, dan dalam seminggu, kadar glukosa darah mereka semakin rendah. Dosis sulfonylurea dapat ditappering off dan dilanjutkan dengan MNT dan metformin; pada beberapa orang diabetes dapat dikendalikan dengan diet saja. Pasien yang tidak dapat minum dengan jumlah cairan yang adekuat, atau mereka dengan keadaan medis serius sebelumnya (mis, myocardial infarction [MI], infeksi sistemik), dan mereka dengan follow up yang diragukan, sebaiknya diopname untuk memulai terapi. Jalan lainnya, terapi insulin dapat dimulai dan disesuaikan pada keadaan rawat inap atau rawat jalan.
• Abnormalitas yang diakibatkan hiperglikemia
o Hyperglikemia akut, walaupun tidak berkaitan dengan DKA atau hyperglycemic hyperosmolar nonketotic syndrome (HNKS), tetap berbahaya karena beberapa alas an. Jika kadar gula darah melebihi dari ambang batas ginjal untuk glukosa, diuresis osmotic terjadi dan akan disertai dengan hilangnya glukosa, elektrolit, dan air. Hiperglikemia mengganggu fungsi leukosit melalui berbagai mekanisme. Pasien dengan diabetes mempunyai peningkatan jumlah infeksi pada luka dan hiperglikemia dapat memperlambat penyembuhan luka.
o Pada pasien yang diketahui dengan DM tipe 2 yang tidak terkontrol, tidak ada kadar glukosa darah yang mutlak untuk memulangkan pasien dari rumah sakit atau penghentian insulin di UGD. Jika pasien mempelihatkan gejala yang berat atau jika penyebab hiperglikemia tidak dapat ditangani di UGD, pasien sangat dianjurkan untuk diopname. Secara umum, menurunkan kadar gula darah pasien pada UGD tidak mengatasi penyebab utama dan mempunyai efek jangka pendek saja. Sehingga, perencanaan untuk menurunkan dan mengawasi kadar gula darah pasien dibutuhkan. Cukupnya tindak lanjut pada pasien sangat penting. Apakah pemberian insulin di UGD tidak berkonsekuensi besar dan dapat diputuskan tergantung keadaan klinis masing-masing pasien
• Hiperglikemia pada penyakit lainnya dan pasien bedah
o Hiperglikemia pada penyakit lainnya dan pasien bedah disebabkan oleh peningkatan resistensi insulin. Hiperglikemia dapat terjadi, bahkan pada pasien tanpa DM, karena adanya resistensi insulin yang dipicu stress ditambah dengan pemakaian cairan intravena yang mengandung dextrose. Peningkatan kadar glukagon, catecholamine, cortisol, dan hormon gonad menghambat efek insulin, dan efek alpha-adrenergik akibat meningkatnya kadar catecholamine menghambat sekresi insulin. Akibat kurangnya glukosa pada jaringan, tubuh menyesuaikan diri dengan melakukan peningkatan glukoneogenesis pada hepar sehingga akan memperparah peningkatan glukosa pada vaskuler..
o Banyak bukti yang memperlihatkan keuntungan dari penanganan hiperglikemia pada pasien dengan penyakit berat dengan atau tanpa DM. Pada pasien ICU, sebelum dan sesudah tindakan coronary artery bypass grafting (CABG), dan pada pasien Infark Myocard, morbiditas dan mortalitas kelompok ini menurun setelah pemberian infuse glucose-insulin-potassium infusion (GIK infusion) yang dirancang untuk menjaga kadar glukosa dalam angka normal. Banyak rumah sakit yang telah mengimplementasikan protokol GIK-infusion pada pasien ICU, ICU pasca operasi, dan CCU (Critical Care Unit)
o Regimen penatalaksanaan harus dapat disesuaikan untuk pasien yang tidak membutuhkan perawatan ICU untuk mengkompensasi penurunan intake kalori dan peningkatan stress fisiologik. Kadar glukosa darah antara 100-150 mg/dL sebaiknya dijaga pada pasien bedah/nonbedah yang disertai DM karena alasan berikut ini :
Untuk mencegah abnormaltas elektrolit dan penurunan cairan akibat diuresis osmotik
Untuk mencegah gangguan fungsi leukosit yang terjadi jika kadar glukosa darah meningkat
Untuk mencegah gangguan pada proses penyembuhan luka yang terjadi jika kadar glukosa darah meningkat.
o Penyakit cardiovascular (CVD/Cardiovasculer Diseases) atau disfungis ginjal meningkatkan morbiditas dan mortalitas operasi pada pasien dengan atau tanpa DM, neuropati otonom akibat diabetes meningkatkan resiko instabilitas kardiovaskuler. Dokter UGD yang menerima pasien dengan DM yang membutuhkan operasi sito harus memberitahu secara detail tentang keadaan pasien pada dokter bedah dan dokter anastesi dan melakukan pemeriksaan penunjang lengkap untuk mencegah operasi yang memakan waktu lama.
• Infeksi secara umum
o Infeksi menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi pada pasien diabetes. Infeksi dapat memicu kerusakan metabolisme dan kemudian gangguan metabolisme juga dapat meningkatkan kemungkinan tejadinya infeksi.
o Beberapa infeksi, seperti malignant otitis externa, rhinocerebral mucormycosis, dan emphysematous pyelonephritis terjadi kebanyakan hanay pada pasien dengan diabetes. Infeksi seperti staphylococcal sepsis terjadi lebih sering dan menyebabkan mortalitas yang lebih besar pada pasien DM daripada penyakit lainnya.
o Hiperglikemia dan asidemia menimbulkan gangguan pada immunitas humoral dan fungsi leukosit dan limfosit polimorfonuklear. Namun sebagian kerusakan (tidak keseluruhan) dapat diatasi jika pH dan kadar glukosa darah kembali ke angka normal. Walaupun kadar pasti dimana fungsi lekosit terganggu tidak ditentukan, bukti invitro mengatakan bahwa kadar glukosa diatas 200 mg/dL dapat mengganggu fungsi leukositik
o Pasien yang telah menderita diabetes dalam jangka waktu yang panjang cenderung memiliki komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler akibat buruknya perfusi jaringan dan peningkatan resiko infeksi. Kemampuan kulit sebagai barier infeksi dapat berkurang akibat hilangnya sensasi pada neuropati diabetic yang akan menyebabkan luka yang tidak disadari.
• Infeksi pada telinga, hidung, tenggorokan
o 2 jenis infeksi pada kepala dan leher yang berkaitan dengan meningkatnya mortalitas dan morbiditas adalah malignant otitis externa dan rhinocerebral mucormycosis; Kebanyakan penyakit ini terjadi hanya pada pasien diabetes.
o Pada dasarnya otitis externa malignant atau necrotizing terjadi pada pasien dengan diabetes yang berumur lebih tua dari 35 tahun dan kebanyakan selalu disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa.
Infeksi mula-mula terjadi pada kanalis auditorius external dan menyebar ke jaringan lunak, kartilago, dan tulang sekitar. Khasnya, pasien datang dengan nyeri telinga berat dan otorrhea. Walaupun mereka sering telah mempunyai otitis eksterna sebelumnya, perkembangan menjadi penyakit yang infasif biasanya terjadi dengan cepat.
Pemeriksaan kanalis auditorius biasanya memperlihatkan jaringan granulasi, namun penyebaran infeksi ke pinna, jaringan preauricular, dan mastoid membuat diagnosis menjadi jelas. Keterlibatan nervus kranialis, biasanya nervus facialis, biasa terjadi; dapat terjadi kematian jika infeksi meluas sampai ke menings.
CT scan dapat menilai perluasan dari penyakit ini.
Konsultasi bedah harus dilakukan pada malignant otitis media karena debridement selalu menjadi bagian utama dalam penanganan. Antibiotik antipseudomonal intravena sebaiknya segera dimulai pada pasien dengan otitis yang infasif. Pasien dengan diabetes disertai otitis eksterna berat namun tidak ditemukan tanfa adanya penyakit infasif dapat diatasi dengan ciprofloxacin oral dan tetes telinga, keduanya memerlukan pengawasan yang seksama.
o Mucormycosis pada dasarnya merujuk pada infeksi yang disebabkan oleh beragam jenis jamur. Penyakit invasif terjadi pada pasien dengan diabetes yang tak terkontrol, terutama pada DKA. Organisme berkolonisasi pada hidung dan sinus paranasales, menyebar ke jaringan sekitar dengan cara menginvasi pembuluh darah kemudian akan menyebabkan nekrosis jaringan lunak dan erosi tulang
Pasien biasanya dating dengan nyeri periorbital atau perinasalis, pembengkakan, dan indurasi. Epistaksis dapat terjadi. Keterlibatan orbita, berupa pembengkakan palpebra, adanya proptosis dan diplopia biasanya didapatkan.
Infeksi dapat menyebar hingga kedaerah cranial melalui cribriform plate, dan dapat mengakibatkan abses serebral, cavernous sinus thrombosis, atau thrombosis arteri karotis interna.
Penanganan termasuk engendalikan hiperglikemia dan asidemia, pemberian amphotericin B intravena, dan debridement sesegara mungkin. Sebelum diagnosis ditegakkan, terapi antibiotik antistaphylococcal cocok diberikan
• Infeksi traktus urinarius
o Pasien dengan diabetes mengalami peningkatan resiko cystitis dan lebih penting lagi, infeksi saluran kemih bagian atas yang berat. Infeksi bakteri intrarenal sebaiknya dipertimbangkan dalam differensial diagnosis pada pasien dengan diabetes yang dating dengan nyeri pinggul atau perut.
o Penanganan cystitis pada dasarnya sama saja dengan penanganan cystisis pasien tanpa diabetes, namun jangka waktu terapi yang lebih lama dianjurkan. Seseorang dengan kandung kemih neurogenik akibat diabetic neuropathy tidak dapat mengosongkan kandung kemihnya dengan baik, pasien seperti ini membutuhkan rujukan kepada urolog. Antibiotic sulfonamide dapat menyebabkan hipoglikemia pada pasien yang mengkonsumsi sulfonylurea dengan cara melepaskan sulfonylurea dari titik tangkapnya dan akan meningkatkan efek hipoglikemik dari zat ini.
o Penanganan pyelonephritis pada pasien diabetes tidak berbeda dengan yang lainnya, namun cenderung lebih sering harus diopname. Dikarenakan pertama, pyelonephritis membuat kontrol diabetes menjadi lebih sulit akibat resistensi insulin, kemudian, mual dapat membatasi kemampuan pasien untuk menjaga hidrasi normal. Hiperglikemia, lebih lanjutnya, dapat menurunkan respon imun. Kedua, pasien dengan diabetes lebih sering mendapatkan komplikasi pyelonephritis (misal, abses renal, emphysematous pyelonephritis, renal papillary necrosis, gram-negative sepsis). dibandingkan dengan orang tanpa DM.
o Lebih dari 70% kasus emphysematous pyelonephritis terjadi pada pasien dengan diabetes. Emphysematous pyelonephritis merupakan infeksi renal necrotizing yang jarang terjadi, disebabkan oleh Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, atau organisme lain yang dapat mengfermentasikan glukosa menjadi karbon dioksida. Gejala biasanya mirip dengan pyelonephritis tanpa komplikasi dan diagnosis ditegakkan dengan cara melihat adanya gas di ginjal pada foto polos atau USG. Operasi diindikasikan jika diagnosis telah ditegakkan.
• Infeksi kulit dan jaringan lunak
o Neuropati sensorik , atherosclerotic vascular disease, dan hyperglycemia, semuanya dapat menyebabkan pasien diabetes terkena infeksi kulit dan jaringan lunak. Ini dapat mengenai permukaan kulit dimana saja namun pada umumnya terjadi pada kaki
o Kadar glukosa darah lebih dari 250 mg/dL meningkatkan resiko infeksi jaringan lunak secara bermakna
o Cellulitis; lymphangitis; dan, paling buruknya, staphylococcal sepsis dapat menjadi komplikasi bahkan pada luka sekecil apapun. Luka minor dan selulitis biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau hemolytic streptococci. Penanganan dengan penicillinase-resistant synthetic penicillin atau generasi pertama cephalosporin terbukti efektif untuk penanganan infeksi minor pada pasien rawat jalan, namun meningkatnya prevalensi community-acquired methicillin-resistant Staphylococcus aureus (CA-MRSA) sekarang harus dipertimbangkan jika memilih antibiotik. Pasein dengan diabetes sepertinya tidak memiliki prevalensi CA-MRSA yang lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa diabetes
o Penanganan infeksi minor pada pasien rawat jalan cocok untuk pasien yang memonitor kadar glukosa darahnya dan mempunyai akses untuk follow up ruitn.
• Osteomyelitis
o Penyebaran berkelanjutan dari infeksi polymicrobial dari ulkus kulit ke jaringan tulang sekitar umum terjadi pada pasien diabetes
o Pada suatu penelitian, osteomyelitis ditemukan pada 68% pasien kaki diabetik dan pemeriksaan fisis dan x-ray polos tidak membantu menegakkan diagnosis pada sebagian besar kasus. Disayangkan, modalitas diagnosa ini satu-satunya yang sering tersedia pada UGD, dan diagnosis menjadi hanya dicurigai namun tidak dapat ditegakkan. MRI, jika tersedia pada UGD, mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik dalam mendiagnosis osteomyelitis.
o Jika osteomyelitis terlihat pada x-ray polos atau pemeriksaan fisis (misal, jika luka cukup dalam untuk menjalar ke tendon atau tulang), Pasien sebaiknya diberikan antibiotic intravena. Jika osteomyelitis dicurigai namun infeksi jaringan lunak atau gangguan metabolis tidak mengindikasikan rawat inap, pasien dapat dipulangkan untuk rawat jalan.
• Infeksi lainnya
o Walaupun cholecystitis mungkin sering pada pasien diabetes daripada populasi umum, infeksi fulminan berat, terutama organisme penghasil gas sering ditemukan. Manifestasi klinis dini dari cholecystitis emphysematous biasanya sulit dibedakan dari cholecystitis pada umumnya. Diagnosis ditegakkan dengan menemukan udara pada lumen, dinding atau jaringan sekitar dari kantung empedu. Walaupun pembedahan segera dikerjakan, jumlah mortalitas tetap tinggi.
o Insiden infeksi staphylococcal dan K pneumoniae lebih tinggi pada pasien dengan diabetes dibandingkan tanpa diabetes.
o Diabetes merupakan faktor resiko dari reaktivasi tuberculosis.
o Infeksi cryptococcal dan coccidioidomycoses lebih virulen pada pasien dengan diabetes dibandingkan dengan orang lain
• Komplikasi ophthalmologic
o Diabetes dapat mempengaruhi lensa, vitreous, dan retina menyebabkan gejala penglihatan yang dapat membuat pasien masuk UGD. Penglihatan kabur dapat berkembang cepat karena perubahan bentuk lensa mengikuti perubahan konsentrasi glukosa darah. Efek ini disebabkan oleh aliran air osmotik ke dalam dan keluar dari lensa, biasanya terjadi jika hyperglycemia terjadi, namun dapat juga terlihat jika kadar glukosa menurun secara drastis. Pada kedua kasus, penyembuhan ke tahap ketajaman penglihatan sebelumnya, memerlukan waktu hingga satu bulan, dan beberapa pasien hampir sama sekali tidak mampu membaca tulisan kecil.
o Patients dengan diabetes juga cenderung terkena katarak senilis dibandingkan pasien tanpa diabetes walaupun ini tidak berhubungan dengan derajat pengendalian glukosa.
o Apakah pasien terkena retinopathy diabetic atau tidak bergantung dari durasi diabetes mereka dan dari pengendalian kadar glukosa. Karena diagnosis DM tipe 2 biasanya terlambat, 20% dari pasien ini telah mempunyai derajat retinopathy yang berbeda-beda pada saat diagnosis DM tipe 2. Berikut ini adalah 5 tahap dari perkembangan retinopathy diabetes.
1. Dilatasi vena retina dan pembentukan microaneurisma pada kapiler retina.
2. Peningkatan permeabilitas vaskuler
3. Oklusi vaskuler dan iskemia retina
4. Proliferasi dari pembuluh darah baru pada permukaan retina
5. Perdarahan dan kontraksi dari proliferasi fibrovaskuler pada vitreous
o 2 tahap pertama diketahui sebagai retinopati nonproliferative retinopathy.
Mulanya, venula retina berdilatasi kemudian microaneurisma berkembang (titik merah kecil pada retina yang tidak menyebabkan gangguan penglihatan).
Jika microaneurysms atau kapiler retinal menjadi semakin permeabel, dan eksudat keras muncul, menandakan adanya kebocoran plasma. Ruptur kapiler intraretinal menyebabkan pendarahan. Jika kapiler superficial mengalami ruptur, dapat terlihat perdarahan berbentuk kobaran api ( flame-shaped hemorrhage)
Exudate keras biasanya ditemukan pada sebagian atau seluruh bagian cincin (pola circinasi) dimana biasanya termasuk microaneurisma multipl. Cincin ini biasanya tanda dari area retina edematous.
Pasien dapat tidak menyadari perubahan ketajaman mata kecuali macula centralis terlibat. Edema macular dapat menyebabkan hilangnya penglihatan; maka dari itu, semua pasien yang dicurigai edema macular harus dirujuk ke spesialis penyakit mata untuk pemeriksaan lebih lanjut dan terapi laser. Terapi laser efektif dalam menurunkan edema macular dan mengembalikan ketajaman penglihatan namun kurang efektif untuk mengembalikan penglihatan yang sudah hilang.
o Retinopati diabetes preproliferative dan proliferative merupakan stadium berikutnya dalam perkembangan penyakit ini. Cotton-wool spots dapat terlihat pada retinopathy preproliferative. Dapat terlihat microinfark pada retina disebabkan oleh oklusi kapiler dan terlihat sebagai bercak berwarna abu-abu keputihan dengan batas tidak tegas.
o Retinopathy proliferative ditandai dengan neovaskularisasi atau perkembangan jaringan pembuluh darah baru yang mudah pecah yang dapat terlihat pada saraf optic atau sepanjang jalur pembuluh darah utama. Pembuluh darah mengalami siklus proliferasi dan regresi. Selama proliferasi, adhesi fibrous terjadi pada pembuluh darah dan vitreous. Kontraksi berkesinambungan akibat adesi dapat menyebabkan traksi pada retina dan detachment retina. Kontraksi juga memecahkan pembuluh darah baru, dimana pendarahan memasuki vitreous. Pasien hanya akan menyadari adanya perdarahan kecil yang terlihat sebagai floater (objek kecil transparan yang terlihat bergerak mengikuti pandangan) walaupun perdarahan berat dapat menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan yang berarti.
o Pasien dengan retinopati preproliferative atau proliferative harus segera dilakukan pemeriksaan ophthalmologis karena terapi laser dapat efektif pada keadaan seperti ini, terutama sebelum perdarahan terjadi. Pasien dengan perdarahan retina harus dianjurkan untuk mengurangi aktifitas mereka dan menjaga kepala tetap tegak (walaupun sedang tidur) sehingga darah mengalir ke bagian inferior retina dan meminimalisir kerusakan penglihatan sentral.
o Pasien dengan retinopati diabetic proliferative mempunyai rpeningkatan resiko terjadinya perdarahan retina jika mendapatkan terapi thrombolitik, sehingga, pada keadaan ini merupakan kontraindikasi relatif untuk menggunakan agen thrombolitik
• Nephropathy
o Pasien dengan DM tipe 2 merupakan pasien diabetes terbanyak yang mengidap ESRD (End Stage Renal Disease/Penyakit Ginjal tahap akhir). Semua pasien diabetes harus dicurigai mempunyai potensi untuk gangguan ginjal kecuali jika tidak terbukti. Sehingga, penanganan ekstra dilakukan jika menggunakan agen nephrotoksik pada semua pasien diabetes..
o Pemakaian zat kontras dapat memicu gagal ginjal akut pada pasien yang telah memiliki nephropaty diabetk. Perhatian lebih dilakukan pada pemeriksaan radiologist dengan kontras jika kadar kreatinin pasien diabetes lebih besar dari 2 mg/dL; pemeriksaan ini harus mutlak dihindari jika kadar kreatinin mencapai lebih dari 3mg/dL. Walaupun kebanyakan dapat sembuh dalam 10 hari, beberapa yang lain terkena gagal ginjal irreversible. Pasien diabetes yang harus melakukan pemeriksaan ini sebaiknya minum banyak sebelum, selama, dan setelah pemeriksaan dan setelah pemeriksaan, fungsi ginjal harus diawasi secara hati-hati. Solusi yang lebih baik yaitu dengan menggunakan modalitas alternative yang tidak memerlukan media kontras (misal, sonography, CT noncontras, atau MRI).
o Obat yang berpotensi nephrotoxic sebaiknya dihindari jika memungkinkan. Obat yang dieksresi melalui ginjal atau obat berpotensi nephrotoksik sebaiknya diberikan dalam dosis rendah menyesuaikan dengan kadar kreatinin pasien.
o Karena peningkatan tekanan darah kronis berkontribusi dalam penurunan fungsi ginjal, maka pasien hipertensi yang terkena diabetes harus diberikan penanganan tekanan darah tinggi jangka panjang. Jika terapi antihipertensi dimulai pada UGD, Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor atau angiotensin receptor blocker (ARB) dianjurkan karena agen ini menurunkan proteinuria dan kurang merusak fungsi ginjal selain dari efeknya pada tekanan darah. ACE inhibitor dan ARBs cenderung meningkatkan kadar potassium serum sehingga digunakan dengan perhatian lebih pada pasien dengan insufisiensi renalis atau peningkatan kadar potassium serum.
• Neuropati
o Dari banyak tipe neuropati diabetic perifer dan otonom, polineuropati sensorimotor simetris merupakan yang paling sering (distribusi “glove and stocking”). Selain menyebabkan nyeri pada stadium awal, tipe neuropati ini berakhir dengan hilangnya sensasi perifer. Kombinasi antara penurunan sensasi dan insufisiensi arterial perifer biasanya menyebabkan ulkus di kaki dan akhirnya diamputasi.
o Onset mononeuropati akut pada diabetes termasuk mononeuropati cranial, mononeuropati multiplex, lesi fokal pada plexus brachial atau lumbosacral, dan radiculopati. Pada neuropati cranial, nervus cranial II (oculomotoris) merupakan yang paling sering terkena, diikuti oleh nervus cranial VI (abdusen) dan nervus cranial IV (trochlearis). Pasien biasanya datang dengan diplopia dan nyeri mata.
o Pertimbangan akan penyebab nondiabetes dari nervus cranial palsy penting karena 42% kasus disebabkan oleh penyebab selain diabetes. Sehingga, pemeriksaan juga disertai dengan CT kontras atau non-kontras atau yang lebih baik, MRI. Konsul kepada spesialis saraf direkomendasikan. Mononeuropati nervus kranialis akut biasanya sembuh dalam 2-9 bulan. Trombosis atau iskemia akut pada pembuluh darah yang menyuplai struktur terkait dicurigai merupakan penyebab dari neuropati ini.
o Disfungsi otonom dapat melibatkan bagian manapun dari rantai simpatik atau parasimpatik dan menghasilkan manifestasi yang beragam. Pasien biasanya masuk ke UGD dengan gastroparesis diabetik dan muntah, diare berat, disfungsi saluran kemih, dan retensi urin atau hipotensi orthostatic simpatis.
Penanganan gastroparesis adalah simptomatis dan gejala cenderung hilang timbul. Pasien dengan gastroparesis dapat diatasi dengan metoclopramide atau eritromisin. Sebelum terapi ini dimulai, derajat dehidrasi dan keseimbangan metabolik harus dinilai, dan kemungkinan penyebab muntah lain harus disingkirkan
Mengembalikan fungsi saraf yang rusak yang telah terkena neuropati otonom biasanya sulit dan membuat dokter dan pasien frustasi..
• Penyakit Kaki Diabetik
o Sekitar 50-70% kasus amputasi tungkai nontraumatik terjadi pada pasien diabetes. Daya sensorik kaki yang menurun disertai dengan perfusi darah yang buruk merupakan faktor resiko untuk terjadinya ulkus akibat nekrosis tekanan dan trauma minor yang tidak disadari. Luka ini dapat berkembang menjadi selulitis, osteomyelitis, atau gangrene nonclostridial, dan berakhir pada amputasi.
o Pasien diabetes yang datang dengan luka, ulkus, atau infeksi pada kaki sebaiknya ditangani secara intensif. Sebagai tambahan, penggunaan antibiotik, menghindari trauma berikutnya sangat penting. Ini dapt dicapai dengan immobilisasi dengan boot dan/atau menggunakan kursi roda, atau istirahat penuh. Pasien sebaiknya ditangani oleh podiatric atau orthopaedist yang berpengalaman dalam menangani penyakit kaki diabetic. Jika tulang atau tendon terlihat, osteomyelitis didapatkan, maka rawat inap dibutuhkan untuk antibiotic intravena. Banyak pasien yang memerlukan pemeriksaan vaskuler untuk penanganan lokal ulkus karena prosedur revaskularisasi memerlukan aliran darah yang adekuat untuk penyembuhan luka.
o Karena menyembuhkan ulkus dan infeksi sulit dlakukan, maka pencegahannya sangat penting. Pada suatu klinik, jumlah amputasi dapat dikurangi hingga setengahnya setelah pasien diabetes diminta untuk memperlihatkan kakinya. Dokter UGD dapat melakukan ini dengan secara teliti memperhatikan kaki dari tiap pasien dan dengan mengajari mereka tentang pentingnya perawatan kaki. Pasien dengan neuropati sensorik distal, denyut perifer menurn, onychomycosis sedang-berat, atau kulit pecah pecah sebaiknya dirujuk ke podiatris..
• Penyakit makrovaskuler
o Penyakit ini merupakan penyebab utama kematian pada diabetes, menyebabkan 75% kematian pada kelompok ini namun hanya sekitar 35% kematian pada pasien tanpa diabetes. Diabetes meningkatkan resiko Infark myokard 2 kali pada laki-laki dan 4 kali pada perempuan. Resiko stroke pada pasien diabetes 2 kali lipat lebih besar dibandingkan pasien tanpa diabetes, dan resko terkena penyakit vaskuler perifer yaitu 4 kali lebih besar. Perbedaan yang tidak disadari pada patofisiologi atherosclerosis pada pasien diabetes mengakibatkan perkembangan yang cepat dan keadaan yang lebih malignan. Sehingga, abnormalitas lipid harus ditangani secara agresif untuk menekan resiko dari atherosclerosis. Penelitian mengatakan bahwa terapi statin sebaiknya diberikan pada pasien diabetes tipe 2 untuk menekan kadar lemak, sehingga mengurangi resiko cerebrovaskular disease
o Hipertensi yang juga meningkatkan resiko atherosclerosis juga dua kali lebih banyak pada pasien diabetes disbanding pasien tanpa diabetes. Pada pasien diabetes, hipertensi harus ditangani secara agresif untuk menurunkan resiko atherosclerosis yang parah. ACE inhibitor dan ARBs dapat menurunkan resiko CVD akibat efeknya terhadap tekanan darah. Banyak yang menganjurkan pemakaiannya disertai statin.
o Pasien diabtes juga memiliki peningkatan insiden silent ischemia. Namun, silent ischemia umum terjadi pada pasien dengan PJK (Penyakit Jantung Koroner) dan sepertinya peningkatan insiden disebabkan karena pasien diabetes lebih sering mengidap PJK disbanding kelompok lainnya.
o Disfungsi diastolic sering terjadi pada pasien dengan diabetes dan sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan gejala gagal jantung kongestif dan fraksi ejeksi yang normal..
PENGOBATAN
Target Kadar Glukosa
Tujuan dari pengobatan antidiabetik oral adalah untuk menurunkan kadar glukosa darah hingga mendekati normal (kadar preprandial 90-130 mg/dL dan kadar A1C levels <7%)>
Penanganan DM tipe 2 ditujukan untuk menurunkan resistensi insulin dan meningkatkan fungsi sel beta. Pada kebanyakan pasien disfungsi sel beta semakin memburuk, sehingga membutuhkan pemberian insulin eksogen. Karena pasien dengan DM tipe 2 memiliki baik resistensi insulin dan disfungsi sel beta, maka pengobatan oral untuk meningkatkan senitivitas insulin (misal, metformin atau thiazolidinedione [TZD]) sering diberikan bersamaan dengan intermediate-acting insulin (misal, neutral protamine Hagedorn [NPH]) pada malam hari atau insulin long-acting (eg, glargine [Lantus] insulin atau insulin detemir [Levemir]) diberikan satu kali perhari; glargine dapat diberikan pada pagi atau malam hari, detemir sebaiknya diberikan ada malam hari. Sekretagogue insulin seperti agen sulfonylurea dapat juga diberikan untuk meningkatkan insulin preprandial.
Tujuan dari kombinasi agen oral harian ditambah dengan insulin sekali perhari adalah untuk menurunkan kadar glukosa darah puasa hingga mencapai 100 mg/dL dengan penyesuaian insulin. Apabila target ini dicapai, obat oral dapat efektif dalam menjaga kadar glukosa darah preprandial dan postprandial sepanjang hari. Jika kombinasi regimen agen oral dan insulin gagal menurunkan kadar glukosa sampai angka normal, pola pemberian insulin pasien sebaiknya dirubah menjadi suntikan insulin rapid acting multipel harian sebelum makan. Selama pengobatan DM tipe 2, MNT yang ketat dan olahraga sebaiknya ditekankan karena modifikasi gaya hidup mempunyai efek yang besar terhadap kontrol diabetes yang akan dicapai.
Beberapa pasien sebaiknya tidak menargetkan kadar glukosa darah mendekati normal. Pada lansia, dimana angka harapan hidupnya kurang dari 5 tahun atau pada pasien dengan penyakit terminal (penyakit tahap akhir yang sukar sembuh), kontrol glukosa ketat tidak diperlu dilakukan. Pasien yang diketahui memiliki cerebrovaskuler disease juga membutuhkan target kadar glukosa darah preprandial yang lebih tinggi (misal, 100-160 mg/dL) untuk mencegah hipoglikemia berat. Pasien dengan komplikasi makrovascular dan neuropathic diabetic umumnya tidak terlalu diuntungkan oleh pemeliharaan glukosa darah mendekati kadar normal
Sebagai tambahan, pasien dengan alcoholism atau penyalahgunaan zat lainnya, dan pasien dengan penyakit mental tak terkendali mungkin tidak dapat mengontrol diabetes mereka secara efektif, sehingga menempatkan mereka pada resiko tinggi terjadinya hipoglikemia berat jika kadar glukosa mendekati normal ditargetkan. Pasien dengan tidak sadar akan hipoglikemia (misal, kurangnya tanda adrenergic hipoglikemia) atau dengan episode rekuren hipoglikemia berat (ie, hipoglikemi yang membutuhkan penanganan) sebaiknya juga mempunyai target kadar gula darah yang lebih tinggi paling tidak untuk sementara..
Walaupun dokter UGD jarang memulai terapi baru untuk diabetes, mengetahui obatyang digunakan, efek samping, dan kontraindikasinya sangat berguna
Kategori Obat : Agen Sulfonylurea
Agen ini mengurangi konsentrasi glukosa darah dengan meningkatkan sekresi insulin dari sel beta pancreas. Semua jenis diserap dengan baik; waktu paruh dan durasi bekerjanya beragam. Agen ini diklasifikasikan atas generasi pertama (acetohexamide, chlorpropamide, tolazamide, tolbutamide), generasi kedua (glipizide, glyburide), dan generasi ketiga (glimepiride). Semuanya dapat menyebabkan hipoglikemi. Dosis agen ini pada umumnya 5mg/hari namun pada beberapa keadaan yang cenderung memperlihatkan keadaan hipoglikemia atau adanya penyakit hati atau ginjal maka dosis yang dipakai dimulai dari 2,5mg/hari
Kategori Obat: Meglitinides
Agen ini merupakan sekretagog insulin kerja singkat. Obat ini bekerja pada channel ATP-dependent potassium pada sel beta pancreas, menyebabkan pembukaan channel calcium dan meningkatkan pelepasan insulin. Contoh dari obat ini adalah Repaglinida yang digunakan dengan dosis 0,5-4 mg oral diberikan dalam 2-3X perhari sebelum makan. Kontraindikasi yaitu adanya hipersensitivitas
Kategori Obat: Biguanides
Agen ini meningkatkan sensitivitas insulin dengan menurunkan gluconeogenesis hepatik (efek utama) dan meningkatkan sensitivitas insulin perifer (efek sekunder). Obat ini tidak meningkatkan kadar insulin atau meningkatkan berat badan. Jika digunakan sebagai dosis tunggal tidak mengakibatkan hipoglikemi.
Diabsorbsi dari usus halus (bioavailabilitas 50-60%). Tidak mengikat pada protein plasma, tidak dimetabolisme ; cepat dieksresi oleh ginjal. berakumulasi di usus; dapat menurunkan absorbsi glukosa lokal (efek gastrointestinal).Pada kadar tinggi (mis, pada pasien gagal ginjal), akab berakumulasi pada mitochondria; mencegah oxidative phosphorylation dan menyebabkan asidosis laktat. Efek ini jarang terjadi
Contoh obat ini yaitu Metformin, yang dapat digunakan sebagai monoterapi atau dikombinasikan dengan sulfonylurea, thiazolidindione, atau insulin. Dosis harian yaitu 500 atau 800 mg. Kontraindikasi pada pasien dengan kadar kreatinin serum >1,5mg, disfungsi hepatic, asidosis akut atau kronis
Kategori Obat : Thiazolidinediones
Derivate thiazolidinedione memperbaiki control glikemia dengan meningkatkan sensitivitas insulin. Obat ini merupakan agonis selektif untuk peroxisome proliferator-activated receptor-gamma (PPAR-gamma). Aktivasi dari reseptor PPAR-gamma mengatur transkripsi gen insulin-responsive yang terlibat dalam produksi, transport, dan pemakaian glukosa, sehingga mengurangi konsentrasi glukosa darah dan hyperinsulinemia. Harus dikonsumsi sekitar 12-16 minggu untuk mencapai efek maksimal. Agen ini digunakan sebagai monoterapi atau digunakan beserta obat hipoglikemia oral lainnya.
Contoh obat dari golongan ini yaitu Pioglitazone, digunakan dengan dosis harian 15 atau 30mg PO tiga kali sehari. Perlu diperhatikan jika digunakan bersama insulin karena dapat menyebabkan hipoglikemia. Tidak dianjurkan pada pasien dengan SGOT > 2,5 kali batas normal, DKA, dan gagal jantung kongestif
The US Food and Drug Administration mengeluarkan peringatan pada pasien dan dokter pada tangga 21 May 2007, bahwa rosiglitazone berpotensi menyebabkan peningkatan resiko infark myokard dan kematian akibat penyakit jantung lainnya.
Troglitazone (Rezulin), jenis yang lain dari thiazolidinedione, secara suka rela ditarik dari pasaran oleh perusahaan pembuatnya pada bulan Maret 2000, setelah diketahui bahwa obat ini mempunyai efek hepatotoksik
Kategori Obat: Alpha-glucosidase Inhibitors
Agen ini menginhibisi kerja alpha-glucosidase (pencernaan karbohidrat), menunda dan mengurangi puncak kadar glukosa darah postprandial. Gula yang belum tercerna dibawa ke colon, dimana dikonversi menjadi asam lemak rantai pendek, methane, karbondioxida, dan hidrogen.
Alpha-glucosidase inhibitors (AGIs) tidak meningkatkan kadar insulin atau menginhibisi laktase; Efek utama yaitu menurunkan kadar glukosa darah postprandial (efek untuk kadar puasa kurang). Obat ini tidak menyebabkan peningkatan berat badan dan dapat mengembalikan ovulasi pada orang anovulasi akibat adanya restensi insulin. AGI biasanya tidak digunakan di US, namun lebih sering pada negara lain.
Dengan dosis tunggal, AGIs tidak menyebabkan hipoglikemi. Kurang dari 2% diserap sebagai obat aktif. Dapat digunakan sebagai monotherapy atau bersama sulfonylurea, TZD, metformin, or insulin. Dimakan bersama makanan untuk meminimalisir efek GI
Contoh obat dari golongan ini yaitu Acarbose. Digunakan dengan dosis 25 mg/hari PO 3x/hari. Dosis dapat ditingkatkan sampai 100 mg/hari. Kontraindikasi pada pasien dengan kadar kreatinin >2 mg/dL; peningkatan kadar enzim hati, atau adanya obstruksi saluran cerna.
FOLLOW-UP
Perawatan Pasien Rawat Inap Lebih Lanjut
• Perawatan pasien rawat inap diberikan untuk mengatasi terjadinya komplikasi akut mayor seperti hipoglikemia rekuren berat, infeksi mayor, DKA, atau HHS.
Anjuran Pasien Rawat Jalan
• Walaupun dengan sedikit komplikasi membutuhkan rawat inap. DM tipe 2 biasanya dapat ditangani rawat jalan..
Pencegahan
• Diet yang teratur, menurunkan berat badan, dan olahraga merupakan pencegah DM tipe 2. American Diabetes Association (ADA) mengatakan bahwa metformin dapat membantu mencegah perkembangan dari prediabetes menjadi diabetes.
Komplikasi
• Komplikasi dari diabetes termasuk hipoglikemi dan hyperglycemia, meningkatkan resiko infeksi, komplikasi mikrovaskuler (mis, retinopathy, nephropathy), komplikasi neuropati, dan penyakit makrovaskuler
• Diabetes merupakan penyebab utama terjadinya kebuataan pada umur diatas 20-74 years.
• Diabetes merupakan penyebab utama amputasi tungkai dan Gagal Ginjal Tahap Akhir.
Prognosis
• Pasien diabetes memiliki tantangan seumur hidup untuk mencapai dan menjaga kadar glukosa darah sedekat mungkin ke angka normal. Dengan pengendalian glikemia yang cocok, resiko terjadinya komplikasi mikrovaskuler dan neuropati menurun secara bermakna. Sebagai tambahan, jika hipertensi dan hiperlipidemia ditangani secara agresif, resiko terjadinya komplikasi makrovaskuler juga menurun secara drastis.
• Manfaat ini juga diimbangi dengan resiko hipoglikemi dan biaya jangka pendek untuk menyediakan pengobatan berkualitas baik. Penelitian menunjukkan biaya yang dihemat setelah berkurangnya komplikasi akut diabetes selama 1-3 tahun setelah memulai pencegahan efektif
• Setiap bertemu dengan dokternya, pasien sebaiknya diberitahukan tentang rencana terapi yang cocok dan memotivasi pasien untuk melakukannya secara ketat. Dokter mesti meyakinkan pasien bahwa penatalaksanaan diabetes mellitus mencakup seluruh pemeriksaan lab yang penting, pemeriksaan neurologik dan tungkai, dan rujukan ke spesialis mata atau orthopedis/podiatris.
Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit kronis yang membutuhkan perhatian medis jangka panjang untuk membatasi perkembangan komplikasinya yang merusak dan mengatasi komplikasi tersebut ketika terjadi. DM termasuk penyakit yang mahal, pada tahun 2002 di US, biaya perawatan kesehatan per kapita untuk orang DM mencapai 13.243 US$ sementara tanpa DM hanya 2560US$.
Artikel ini berfokus pada pemeriksaan dini dan penatalaksanaan komplikasi akut dan kronis pada DM di Unit Gawat Darurat (UGD) selain yang secara langsung berhubungan dengan hipoglikemia atau gangguan metabolik berat seperti ketoasidosis diabetikum dan hyperosmolar hyperglycemic state (HHS).
Patofisiologi
Ada 2 tiper mendasar pada DM yaitu tipe 1 dan tipe 2. DM tipe 1 dibahas lebih lanjut pada artikel yang terpisah.
DM Type 2 pernah sering disebut sebagai diabetes onset dewasa. Sekarang, karena meningkatnya insiden obesitas dan ketidakaktifan anak, DM tipe 2 dapat terjadi pada umur yang lebih muda. Walaupun DM tipe 2 sering kali mengenai seseorang diatas umur 40 tahun, bahkan telah didiagnosis pada anak berumur 2 tahun yang memiliki riwayat DM pada keluarga.
DM tipe 2 ditandai oleh adanya resitensi perifer insulin disertai dengan defek sekresi insulin dengan kerusakan yang bervariasi. Untuk menimbulkan DM tipe 2 kedua kerusakan tersebut harus terjadi: semua orang dengan obesitas mempunyai resistensi insulin, namun DM hanya terjadi pada yang tidak mampu meningkatkan produksi insulin oleh sel B. Dalam perkembangan dari toleransi glucosa yang normal menjadi toleransi glucosa abnormal, kadar glucosa postprandial yang pertama meningkat. Pada akhirnya, hiperglikemi puasa (terjadi pada saat tidak ada asupan makanan) terjadi karena inhibisi gluconeogenesis hepatik menurun
Sekitar 90% pasien yang mengidap DM tipe 2 adalah orang dengan obesitas. Karena pasien dengan DM tipe 2 mempertahankan kemampuan untuk mengsekresi insulin endogen, mereka yang mengkonsumsi insulin umumnya tidak terjadi DKA jika penggunaan insulin dihentikan. Sehingga mereka dikatakan membutuhkan insulin namun tidak bergantung lepada insulin. Lebih lanjut lagi, pasien dengan DM tipe 2 sering tidak membutuhkan pengobatan dengan obat antidiabetik oral atau insulin jika berat badan mereka turun atau berhenti makan.
Maturity-onset diabetes of the young (MODY/Diabetes onset remaja) adalah bentuk DM tipe 2 yang mengenai generasi yang lebih muda pada keluarga dengan riwayat DM. Umur yang biasanya terkena itu kurang dari 25 tahun. Ada beberapa tipe MODY. Faktor gen yang bertanggung jawab dapat dideteksi menggunakan pemeriksaan yang ada
Gestational diabetes mellitus (GDM) didefinisikan sebagai derajat apapun intoleransi glukosa dengan onset atau pertama kali diketahui pada masa kehamilan. GDM merupakan komplikasi yang ditemukan pada sekitar 4% dari seluruh kehamilan di US, walaupun jumlahnya bervariasi antara 1-14% tergantung dari populasi yang diteliti.GDM yang tidak ditangani dapat mengarah pada janin makrosomia, hypoglikemia, hypocalcemia, dan hyperbilirubinemia. Sebagai tambahan, ibu dengan GDM memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk persalinan Caesar dan hipertensi kronis. Untuk mendeteksi GDM, pemeriksaan toleransi glukosa 50 g dikerjakan pada umur kehamilan 24-28 minggu. Jika konsentrasi glukosa plasma pasien selama 1 jam lebih besar dari 140 mg/dL, pemeriksaan dilanjutkan dengan toleransi 3 jam glukosa 100 g.
Frekuensi
United States
Pada tahun 2005, seseorang dengan diabetes diperkirakan berjumlah 7% dari populasi US, atau sekitar 20.8 juta orang. Dari 20,8 juta orang ini, 14,6 juta diagnosis diabetes telah ditegakkan dan diabetes belum didiagnosis pada 6,2 juta lainnya. Sekitar 10% mengidap DM tipe 1, dan lainnya mengidap tipe 2. Sebagai tambahan, diperkirakan 54 juta orang terkena keadaan pre-diabetes. Pre-diabetes seperti didefinisikan oleh American Diabetes Association, adalah keadaan dimana kadar glukosa darah lebih dari normal namun tidak cukup tinggi untuk didiagnosis sebagai diabetes
Mortalitas/Morbiditas
Morbiditas dan mortalitas berkaitan dengan diabetes dihubungkan dengan komplikasi jangka pendek dan panjang. Komplikasi termasuk dibawah ini:
• Hipoglikemi and hyperglycemia
• Resiko infeksi meningkat
• Komplikasi microvascular (eg, retinopathy, nephropathy)
• Komplikasi neuropathic
• Komplikasi penyakit macrovascular (eg, coronary artery disease, stroke)
Diabetes adalah penyebab utama terjadinya kebutaan pada orang dewasa umur 20-74 tahun, dan juga merupakan penyebab terbanyak dari amputasi ekstremitas bawah nontraumatik dan penyakit ginjal tahap akhir (ESRD/End Stage Renal Disease)
Jenis Kelamin
Insiden biasanya sama pada perempuan dan laki-laki pada seluruh populasi.
Umur
• DM tipe 2 menjadi lebih sering terjadi karena usia orang lebih panjang dan prevalensi dari DM meningkat seiring peningkatan umur.
• Sekarang juga lebih sering ditemukan pada orang dengan umur muda berkaitan dengan peningkatan prevalensi dari obesitas masa kecil.
• Walaupun DM tipe 2 masih lebih sering terjadi pada dewaas umur 40 keatas, insiden penyakit ini lebih cenderung meningkat lebih cepat pada remaja dan dewasa muda daripada kelompok umur lainnya.
KLINIS
Riwayat
Menentukan secara tepat apakah pasien mengidap tipe 1 atau tipe 2 penting karena pasien tipe 1 sangat bergantung pada penggunaan rutin insulin exogen dan karbohidrat untuk dapat bertahan hidup. Pasien dengan DM tipe 2 dapat tidak membutuhkan penanganan hyperglycemia selama masa puasa atau penurunan intake oral. Pasien dengan Diabetes yang terkontrol dengan diet atau agen antidiabetik jelas merupakan DM tipe 2. Pasien kurus dengan diabetes sejak kecil, yang selalu bergantung pada pembrian insulin, atau dengan riwayat DKA hampir pasti mengidap DM tipe 1.
Membedakan tipe diabetes dapat sulit (1) pasien yang ditangani dengan insulin dan muda namun secara klinis sepertinya mengidap DM tipe 2 dan (2) pasien tua dengan diabetes late onset namun mengkonsumsi insulin dan sepertinya mempunyai karakteristik yang sama dengan DM tipe 1. (Kelompok yang terakhir sekarang dikatakan mempunyai latent autoimmune diabetes of the adult [LADA/ Diabetes Autoimun Laten pada Dewasa]). JIka meragukan, pasien diatasi dengan insulin dan kadar glukosanya diawasi secara ketat. Beberapa remaja atau dewasa muda, kebanyakan dengan ras Hispanik atau African American, yang memperlihatkan gejala klasik DKA, pada akhirnya sering kali ditemukan terkena DM tipe 2.
Banyak pasien dengan DM tipe 2 muncul dengan asimptomatis, dan penyakit mereka tidak didiagnosis selama bertahun-tahun. Penelitian mengatakan bahwa pasien yang baru ditemukan dengan DM tipe 2 telah terkena DM paling tidak selama 4-7 tahun sebelum didiagnosis. Diantara pasien dengan DM tipe 2, 25% mempunyai retinopathy, 9% neuropathy dan 8% nephropathy pada waktu pertama kali didiagnosis
Pre-diabetes sering terjadi sebelum munculnya DM tipe 2. Prediabetes didefinisikan dengan kadar GDP 100-125 mg/dL atau oral glucose tolerance test (OGTT) dengan kadar 140-200 mg/dL. Pasien prediabetes mempunyai peningkatan resiko terkena penyakit makrovaskuler sama halnya dengan resikonya terkena diabetes
Prediabetes dengan sindrom metabolik sering membingungkan (biasa juga disebut dengan sindrom X atau sindrom resistensi insulin). Sindrom metabolik (diperkirakan terjadi akibat resistensi insulin) dapat terjadi pada pasien dengan kadar toleransi glukosa yang normal, prediabetes, atau diabetes. Sindrom metabolik ditandai dengan adanya obesitas sentral kemudia oleh dyslipidemia. Hipertensi merupakan tanda yang umum. Pada akhirnya, secara klinis resistensi insulin yang jelas terjadi. Sayangnya, resistensi insulin tidak diukur secara klinis, kecuali pada penelitian. Peningkatan kadar GDP merupakan indikasi pertama adanya resistensi insulin, namun kadar insulin puasa biasanya sudah lama meningkat sebelum hal ini berlangsung. Pengukuran kadar insulin puasa tidak direkomendasikan untuk diagnosis resistensi insulin. Suatu usaha untuk membuat standardisasi pemeriksaan insulin sedang dikerjakan dan nantinya dapat digunakan untuk menilai kadar insulin puasa untuk dapat mendiagnosis resistensi insulin di masa depan.
Selama anamneses, cari informasi tentang tipe dan durasi terjadinya diabetes pada pasien dan tentang perawatan/pengobatan yang telah diterima pasien untuk penyakitnya
1. Tipe dan estimasi durasi diabetes : Informasi ini membantu untuk menentukan apakah pasien bergantung pada insulin. Diagnosis berdasarkan riwayat penyakit, terapi, dan penilian klinis, seperti telah dijelaskan diatas.
2. erawatan Diabetes: Cari tahu tentang penanganan terkini untuk diabetes pada pasien dan tentang kadar gula darahnya berdasarkan dari pengukuran sendiri atau pengukuran A1C (A1C, merupakan indikator jangka panjang dalam pengendalian glukosa).
Anamnesis riwayat diabetes sebaiknya dapat mengenai pertanyaan dibawah ini:
1. Apakah diabetes pada pasien dikontrol dengan baik (dengan kadar gula darah mendekati normal)? Pasien dengan kadar gula darah yang tidak terkontrol dengan baik sembuh lebih lama dan dengan meingkatnya resiko infeksi dan komplikasi lainnya.
2. Apakah pasien pernah mengalami keadaan reaksi hipoglikemik yang berat? Jika pasien pernah mempunyai episode hipoglikemia berat, maka ia mempunyai resiko untuk kehilangan kesadaran, karenanya kemungkinan ini harus dapat diperoleh
3. Apakah pasien pernah memiliki neuropathy perifer
4. Apakah pasien memiliki luka yang tidak dirasakan pada kaki atau luka yang membutuhkan penanganan?
5. Apakah pasien mengalami diabetic nephropathy sehingga mengubah penggunaan obat-obatan atau material kontras rasiography?
6. Apakah pasien pernah mempunyai penyakit macrovascular, seperti penyakit jantung koroner, yang sebaiknya dipertimbangkan dalam keadaan gawat darurat.
Jika keadaannya terkontrol, maka akan bertambah pertanyaan yang harus dijawab
• Perawatan Diabetes
o Bagaimana diet pada pasien?Apakah dia menggunakan agen antidiabetik oral, insulin, atau keduanya? Jika ya, berapa dosis dan frekuensi dari pengobatan tersebut?
o Apakah pasien memonitor sendiri kadar glukosa darahnya? Jika ya, seberapa sering dan berapa rata-rata nilainya tiap kali diperiksa?
o Kapan kadar A1C pasien diukur? Berapa besar nilainya?
o Apakah pasien dapat menyesuaikan terhadap diet tertentu atau olahraga secara teratur?
• Hyperglycemia: Tanyakan tentang polyuria, polydipsia, nocturia, berat badan menurun, dan kelemahan.
• Hipoglikemi
o Pernahkah pasien mengalami episode hipoglikemi?Apakah episode ini diketahui?Apakah episode ini ringan atau berat?
o Kapan dan seberapa sering episode ini terjadi? Bagaimana cara pasien menanganinya?
o Apakah pasien memiliki kesadaran akan munculnya hipoglikemia (mis, apakah pasien kurang mendapatkan tanda adrenergic hipoglikemia)? Ketidaksadaran akan Hipoglikemi mengindikasikan resiko peningkatan episode dari hipoglikemia.
• Komplikasi microvascular
o Retinopathy: Kapan terakhir kali pemeriksaan mata pada pasien dilakukan? Apakah ada penurunan pada penglihatan?
o Nephropathy: Apakah pasien telah mengetahui dirinya terkena penyakit ginjal atau tidak?Bagaimana hasil dan tanggal pengukuran protein urin dan kadan kreatinin serum terakhir?Jika protein pada urin belum ditelusuri, pernahkah rasio microalbumin-kreatinin dinilai setahun terakhir ini?
• Neuropathy: Apakah pasien mempunyai riwayat dari neuropathy atau gejala neuropati perifer atau neuropati otonom (termasuk impotensi pada pasien laki-laki)?
• Komplikasi macrovascular
o Hipertensi: Apakah pasien memiliki hipertensi ? (didefinisikan dengan TD >130/80 mm Hg)? Apa pengobatan yang diberikan?
o PJK: Apakah pasien memiliki PJK? Adakah riwayat PJK pada keluarga?
o Penyakit vaskuler perifer: Apakah pasien memiliki gejala kram-kram atau riwayat bypass vaskuler
o Penyakit Cerebrovascular: Pernahkah pasien terkena stroke atau transient ischemic attack?
o Hyperlipidemia: Berapaa kadar lipid terakhir dari pasien? Apakah pasien mengkonsumsi obat-obat penurun lemak?
• Kaki diabetic: Apakah pasien memiliki riwayat luka pada kaki atau pernah diamputasi? Apakah ada ulkus pada kaki pada pemeriksaan sekarang?
• Infeksi: Apakah infeksi berulang menjadi suatu masalah?dimana tempat infeksinya?
Pemeriksaan Fisis
Fokus pemeriksaan pada diabetes adalah pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan funduskopi, pemeriksaan vaskuler dan neurologic ringkas, dan penilaian pada ekstremitas bawah. Sistem organ lainnya sebaiknya diperiksa sesuai indikasi pada keadaan klinis tertentu pada pasien.
• Penilaian tanda vital
o Apakah pasien hipertensi atau hipotensi? Tanda vital Orthostatic dapat berguna untuk menilai status volume dan dapat menjelaskan adanya neuropati otonom.
o Jika frekuensi dan pola napas menjelaskan respirasi Kussmaul, DKA harus dipertimbangkan secepatnya dan pemeriksaan penunjang yang tepat harus dilakukan.
• Pemeriksaan funduskopi
o Pemeriksaan funduskopi sebaiknya melihat retina dengan teliti, termasuk papil dan macula.
o Jika perdarahan atau exudat terlihat, pasien sebaiknya dirujuk ke dokter mata secepatnya.Pemeriksa yang bukan ahli mata cenderung menganggap remeh retinopathy yang berat, terutama jika pupil pasien tidak berdilatasi.
• Pemeriksaan tungkai
o Nadi dorsalis pedis dan posterior tibialis sebaiknya diraba dan ada tidaknya perlu diketahui. Ini penting pada pasien yang memiliki infeksi pada kaki karena aliran darah pada tungkai yang jelek dapat memperpanjang penyembuhan dan meningkatkan resiko amputasi.
o Menilai neuropathy sensorik pada tungkai berguna pada pasien dengan ulkus pada kaki karena adanya penurunan sensasi membatasi kemampuan pasien untuk melindungi kaki dan engkel. Ini dapat dinilai dengan pemeriksaan refleks, sensasi posisi dan vibrasi
o Jika neuropathy perifer ditemukan, pasien sebaiknya dibuat menjadi sadar bahwa perawatan kaki (temasuk pemeriksaan kaki harian) sangat penting untuk mencegah perluasan ulkus kaki dan amputasi tungkai bawah.
Penyebab
Faktor resiko utama terjadinya DM tipe 2 adalah sebagi berikut :
• Umur – Umur diatas 45 tahun (walaupun seperti tercatat diatas DM tipe 2 juga meningkat frekuensinya pada seseorang berusia muda)
• Obesitas – Berat badan lebih dari 120% berat badan ideal
• Riwayat DM tipe 2 pada keluarga terdekat (mis, orang tua atau saudara)
• Riwayat adanya glukosa darah terganggu atau glukosa darah puasa terganggu
• Hipertensi (>140/90 mm Hg) atau dislipidemia ( kadar high-density lipoprotein [HDL] <40 style=""> >150 mg/dL)
• Riwayat GDM atau melahirkan bayi dengan berat >4kg
• Polycystic ovarian syndrome (yang menyebabkan resistensi insulin)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
• Tes glukosa strip cocok dilakukan untuk penegakkan diagnosis di UGD pada pasien yang terlihat mengidap DM. Seluruh pemeriksaan laboratorium lainnya disesuaikan dengan keadaan klinis masing-masing pasien.
• Pada pasien dengan gejala diabetes tidak terkendali (misal, polyuria, polydipsia, nocturia, fatigue, berat badan menurun) ditambah dengan kadar GDS >200 mg/dL, diagnosis diabetes dapat ditegakkan.
• Pada pasien asimptomatik dengan kadar GDS >140 mg/dL, pengukuran konsentrasi gula darah puasa (GDP) sebaiknya dilakukan. Tes toleransi glukosa oral tidak lagi direkomendasikan untuk pemeriksaan rutin dalam menegakkan diagnosis diabetes.]
o Kadar GDP >126 mg/dL pada 2 pemeriksaan dalam waktu yang berbeda dapat menegakkan diagnosis
o Kadar GDP 100-125 mg/dL dikatakan sebagai sebagai glukosa darah terganggu.
o Kadar GDP <100>
• Kadar C-peptide puasa >1 ng/dL pada pasien yang telah mengidap diabetes lebih dari 1-2 tahun dapat ditegakkan diagnosis DM tipe 2 (mis, residu fungsi beta-cell ).
• Autoantibodi dapat berguna dalam membedakan antara tipe 1 dan tipe 2.
o Islet-cell autoantibodies (IA2) ditemukan pada anak dengan onset baru DM tipe 1 namun tidak ditemukan pada DM tipe 2. Antibodi ini ditemukan positif sampai sekitar 6 bulan setelah diagnosis.
o Antibodi Anti-GAD65 ditemukan 80% pada pasien dewasa dengan DM tipe 1 onset baru (diketahui sebagai latent autoimmune diabetes of the adult [LADA]). Antibodi ini akan tetap positif seumur hidup..
PENATALAKSANAAN
Departement Gawat Darurat
Perawatan pada UGD pasien dengan DM tipe 2 membutuhkan perhatian pada kontrol glikemik pada pasien dan komplikasi diabetes yang kemungkinan pasien miliki.
• Diabetes onset baru
o Kebanyakan pasien diabetes mengidap DM tipe 2 dan kebanyakan tidak ada gejala pada saat diagnosis. Penatalaksaan dini pada pasien yaitu dengan terapi penyesuaian nutrisi (medical nutrition therapy/MNT) ditambah dengan pemberian metformin. Maka dari itu, jika pasien asimptomatis secara tidak sengaja diketahui mempunyai kadar gula darah meningkat pada diagnosis UGD, dokter pasien dapat melakukan tindak lanjut. Pasien dengan gejala yang ringan dari diabetes yang tidak terkontrol atau tidak terdiagnosis biasanya dapat diterapi rawat jalan.
o Penatalaksanaan yang tepat untuk pasien bergejala jelas dengan DM tipe 2 yang baru ditemukan dan dengan kadar glukosa lebih dari 400 mg/dL masih belum jelas. Jika follow-up teliti dapat dilakukan, dosis maksimum agen sulfonylurea dapat dimulai dan mereka dapat dirawat jalan. Pasien biasanya merasa lebih baik dalam 1-2 hari, dan dalam seminggu, kadar glukosa darah mereka semakin rendah. Dosis sulfonylurea dapat ditappering off dan dilanjutkan dengan MNT dan metformin; pada beberapa orang diabetes dapat dikendalikan dengan diet saja. Pasien yang tidak dapat minum dengan jumlah cairan yang adekuat, atau mereka dengan keadaan medis serius sebelumnya (mis, myocardial infarction [MI], infeksi sistemik), dan mereka dengan follow up yang diragukan, sebaiknya diopname untuk memulai terapi. Jalan lainnya, terapi insulin dapat dimulai dan disesuaikan pada keadaan rawat inap atau rawat jalan.
• Abnormalitas yang diakibatkan hiperglikemia
o Hyperglikemia akut, walaupun tidak berkaitan dengan DKA atau hyperglycemic hyperosmolar nonketotic syndrome (HNKS), tetap berbahaya karena beberapa alas an. Jika kadar gula darah melebihi dari ambang batas ginjal untuk glukosa, diuresis osmotic terjadi dan akan disertai dengan hilangnya glukosa, elektrolit, dan air. Hiperglikemia mengganggu fungsi leukosit melalui berbagai mekanisme. Pasien dengan diabetes mempunyai peningkatan jumlah infeksi pada luka dan hiperglikemia dapat memperlambat penyembuhan luka.
o Pada pasien yang diketahui dengan DM tipe 2 yang tidak terkontrol, tidak ada kadar glukosa darah yang mutlak untuk memulangkan pasien dari rumah sakit atau penghentian insulin di UGD. Jika pasien mempelihatkan gejala yang berat atau jika penyebab hiperglikemia tidak dapat ditangani di UGD, pasien sangat dianjurkan untuk diopname. Secara umum, menurunkan kadar gula darah pasien pada UGD tidak mengatasi penyebab utama dan mempunyai efek jangka pendek saja. Sehingga, perencanaan untuk menurunkan dan mengawasi kadar gula darah pasien dibutuhkan. Cukupnya tindak lanjut pada pasien sangat penting. Apakah pemberian insulin di UGD tidak berkonsekuensi besar dan dapat diputuskan tergantung keadaan klinis masing-masing pasien
• Hiperglikemia pada penyakit lainnya dan pasien bedah
o Hiperglikemia pada penyakit lainnya dan pasien bedah disebabkan oleh peningkatan resistensi insulin. Hiperglikemia dapat terjadi, bahkan pada pasien tanpa DM, karena adanya resistensi insulin yang dipicu stress ditambah dengan pemakaian cairan intravena yang mengandung dextrose. Peningkatan kadar glukagon, catecholamine, cortisol, dan hormon gonad menghambat efek insulin, dan efek alpha-adrenergik akibat meningkatnya kadar catecholamine menghambat sekresi insulin. Akibat kurangnya glukosa pada jaringan, tubuh menyesuaikan diri dengan melakukan peningkatan glukoneogenesis pada hepar sehingga akan memperparah peningkatan glukosa pada vaskuler..
o Banyak bukti yang memperlihatkan keuntungan dari penanganan hiperglikemia pada pasien dengan penyakit berat dengan atau tanpa DM. Pada pasien ICU, sebelum dan sesudah tindakan coronary artery bypass grafting (CABG), dan pada pasien Infark Myocard, morbiditas dan mortalitas kelompok ini menurun setelah pemberian infuse glucose-insulin-potassium infusion (GIK infusion) yang dirancang untuk menjaga kadar glukosa dalam angka normal. Banyak rumah sakit yang telah mengimplementasikan protokol GIK-infusion pada pasien ICU, ICU pasca operasi, dan CCU (Critical Care Unit)
o Regimen penatalaksanaan harus dapat disesuaikan untuk pasien yang tidak membutuhkan perawatan ICU untuk mengkompensasi penurunan intake kalori dan peningkatan stress fisiologik. Kadar glukosa darah antara 100-150 mg/dL sebaiknya dijaga pada pasien bedah/nonbedah yang disertai DM karena alasan berikut ini :
Untuk mencegah abnormaltas elektrolit dan penurunan cairan akibat diuresis osmotik
Untuk mencegah gangguan fungsi leukosit yang terjadi jika kadar glukosa darah meningkat
Untuk mencegah gangguan pada proses penyembuhan luka yang terjadi jika kadar glukosa darah meningkat.
o Penyakit cardiovascular (CVD/Cardiovasculer Diseases) atau disfungis ginjal meningkatkan morbiditas dan mortalitas operasi pada pasien dengan atau tanpa DM, neuropati otonom akibat diabetes meningkatkan resiko instabilitas kardiovaskuler. Dokter UGD yang menerima pasien dengan DM yang membutuhkan operasi sito harus memberitahu secara detail tentang keadaan pasien pada dokter bedah dan dokter anastesi dan melakukan pemeriksaan penunjang lengkap untuk mencegah operasi yang memakan waktu lama.
• Infeksi secara umum
o Infeksi menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi pada pasien diabetes. Infeksi dapat memicu kerusakan metabolisme dan kemudian gangguan metabolisme juga dapat meningkatkan kemungkinan tejadinya infeksi.
o Beberapa infeksi, seperti malignant otitis externa, rhinocerebral mucormycosis, dan emphysematous pyelonephritis terjadi kebanyakan hanay pada pasien dengan diabetes. Infeksi seperti staphylococcal sepsis terjadi lebih sering dan menyebabkan mortalitas yang lebih besar pada pasien DM daripada penyakit lainnya.
o Hiperglikemia dan asidemia menimbulkan gangguan pada immunitas humoral dan fungsi leukosit dan limfosit polimorfonuklear. Namun sebagian kerusakan (tidak keseluruhan) dapat diatasi jika pH dan kadar glukosa darah kembali ke angka normal. Walaupun kadar pasti dimana fungsi lekosit terganggu tidak ditentukan, bukti invitro mengatakan bahwa kadar glukosa diatas 200 mg/dL dapat mengganggu fungsi leukositik
o Pasien yang telah menderita diabetes dalam jangka waktu yang panjang cenderung memiliki komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler akibat buruknya perfusi jaringan dan peningkatan resiko infeksi. Kemampuan kulit sebagai barier infeksi dapat berkurang akibat hilangnya sensasi pada neuropati diabetic yang akan menyebabkan luka yang tidak disadari.
• Infeksi pada telinga, hidung, tenggorokan
o 2 jenis infeksi pada kepala dan leher yang berkaitan dengan meningkatnya mortalitas dan morbiditas adalah malignant otitis externa dan rhinocerebral mucormycosis; Kebanyakan penyakit ini terjadi hanya pada pasien diabetes.
o Pada dasarnya otitis externa malignant atau necrotizing terjadi pada pasien dengan diabetes yang berumur lebih tua dari 35 tahun dan kebanyakan selalu disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa.
Infeksi mula-mula terjadi pada kanalis auditorius external dan menyebar ke jaringan lunak, kartilago, dan tulang sekitar. Khasnya, pasien datang dengan nyeri telinga berat dan otorrhea. Walaupun mereka sering telah mempunyai otitis eksterna sebelumnya, perkembangan menjadi penyakit yang infasif biasanya terjadi dengan cepat.
Pemeriksaan kanalis auditorius biasanya memperlihatkan jaringan granulasi, namun penyebaran infeksi ke pinna, jaringan preauricular, dan mastoid membuat diagnosis menjadi jelas. Keterlibatan nervus kranialis, biasanya nervus facialis, biasa terjadi; dapat terjadi kematian jika infeksi meluas sampai ke menings.
CT scan dapat menilai perluasan dari penyakit ini.
Konsultasi bedah harus dilakukan pada malignant otitis media karena debridement selalu menjadi bagian utama dalam penanganan. Antibiotik antipseudomonal intravena sebaiknya segera dimulai pada pasien dengan otitis yang infasif. Pasien dengan diabetes disertai otitis eksterna berat namun tidak ditemukan tanfa adanya penyakit infasif dapat diatasi dengan ciprofloxacin oral dan tetes telinga, keduanya memerlukan pengawasan yang seksama.
o Mucormycosis pada dasarnya merujuk pada infeksi yang disebabkan oleh beragam jenis jamur. Penyakit invasif terjadi pada pasien dengan diabetes yang tak terkontrol, terutama pada DKA. Organisme berkolonisasi pada hidung dan sinus paranasales, menyebar ke jaringan sekitar dengan cara menginvasi pembuluh darah kemudian akan menyebabkan nekrosis jaringan lunak dan erosi tulang
Pasien biasanya dating dengan nyeri periorbital atau perinasalis, pembengkakan, dan indurasi. Epistaksis dapat terjadi. Keterlibatan orbita, berupa pembengkakan palpebra, adanya proptosis dan diplopia biasanya didapatkan.
Infeksi dapat menyebar hingga kedaerah cranial melalui cribriform plate, dan dapat mengakibatkan abses serebral, cavernous sinus thrombosis, atau thrombosis arteri karotis interna.
Penanganan termasuk engendalikan hiperglikemia dan asidemia, pemberian amphotericin B intravena, dan debridement sesegara mungkin. Sebelum diagnosis ditegakkan, terapi antibiotik antistaphylococcal cocok diberikan
• Infeksi traktus urinarius
o Pasien dengan diabetes mengalami peningkatan resiko cystitis dan lebih penting lagi, infeksi saluran kemih bagian atas yang berat. Infeksi bakteri intrarenal sebaiknya dipertimbangkan dalam differensial diagnosis pada pasien dengan diabetes yang dating dengan nyeri pinggul atau perut.
o Penanganan cystitis pada dasarnya sama saja dengan penanganan cystisis pasien tanpa diabetes, namun jangka waktu terapi yang lebih lama dianjurkan. Seseorang dengan kandung kemih neurogenik akibat diabetic neuropathy tidak dapat mengosongkan kandung kemihnya dengan baik, pasien seperti ini membutuhkan rujukan kepada urolog. Antibiotic sulfonamide dapat menyebabkan hipoglikemia pada pasien yang mengkonsumsi sulfonylurea dengan cara melepaskan sulfonylurea dari titik tangkapnya dan akan meningkatkan efek hipoglikemik dari zat ini.
o Penanganan pyelonephritis pada pasien diabetes tidak berbeda dengan yang lainnya, namun cenderung lebih sering harus diopname. Dikarenakan pertama, pyelonephritis membuat kontrol diabetes menjadi lebih sulit akibat resistensi insulin, kemudian, mual dapat membatasi kemampuan pasien untuk menjaga hidrasi normal. Hiperglikemia, lebih lanjutnya, dapat menurunkan respon imun. Kedua, pasien dengan diabetes lebih sering mendapatkan komplikasi pyelonephritis (misal, abses renal, emphysematous pyelonephritis, renal papillary necrosis, gram-negative sepsis). dibandingkan dengan orang tanpa DM.
o Lebih dari 70% kasus emphysematous pyelonephritis terjadi pada pasien dengan diabetes. Emphysematous pyelonephritis merupakan infeksi renal necrotizing yang jarang terjadi, disebabkan oleh Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, atau organisme lain yang dapat mengfermentasikan glukosa menjadi karbon dioksida. Gejala biasanya mirip dengan pyelonephritis tanpa komplikasi dan diagnosis ditegakkan dengan cara melihat adanya gas di ginjal pada foto polos atau USG. Operasi diindikasikan jika diagnosis telah ditegakkan.
• Infeksi kulit dan jaringan lunak
o Neuropati sensorik , atherosclerotic vascular disease, dan hyperglycemia, semuanya dapat menyebabkan pasien diabetes terkena infeksi kulit dan jaringan lunak. Ini dapat mengenai permukaan kulit dimana saja namun pada umumnya terjadi pada kaki
o Kadar glukosa darah lebih dari 250 mg/dL meningkatkan resiko infeksi jaringan lunak secara bermakna
o Cellulitis; lymphangitis; dan, paling buruknya, staphylococcal sepsis dapat menjadi komplikasi bahkan pada luka sekecil apapun. Luka minor dan selulitis biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau hemolytic streptococci. Penanganan dengan penicillinase-resistant synthetic penicillin atau generasi pertama cephalosporin terbukti efektif untuk penanganan infeksi minor pada pasien rawat jalan, namun meningkatnya prevalensi community-acquired methicillin-resistant Staphylococcus aureus (CA-MRSA) sekarang harus dipertimbangkan jika memilih antibiotik. Pasein dengan diabetes sepertinya tidak memiliki prevalensi CA-MRSA yang lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa diabetes
o Penanganan infeksi minor pada pasien rawat jalan cocok untuk pasien yang memonitor kadar glukosa darahnya dan mempunyai akses untuk follow up ruitn.
• Osteomyelitis
o Penyebaran berkelanjutan dari infeksi polymicrobial dari ulkus kulit ke jaringan tulang sekitar umum terjadi pada pasien diabetes
o Pada suatu penelitian, osteomyelitis ditemukan pada 68% pasien kaki diabetik dan pemeriksaan fisis dan x-ray polos tidak membantu menegakkan diagnosis pada sebagian besar kasus. Disayangkan, modalitas diagnosa ini satu-satunya yang sering tersedia pada UGD, dan diagnosis menjadi hanya dicurigai namun tidak dapat ditegakkan. MRI, jika tersedia pada UGD, mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik dalam mendiagnosis osteomyelitis.
o Jika osteomyelitis terlihat pada x-ray polos atau pemeriksaan fisis (misal, jika luka cukup dalam untuk menjalar ke tendon atau tulang), Pasien sebaiknya diberikan antibiotic intravena. Jika osteomyelitis dicurigai namun infeksi jaringan lunak atau gangguan metabolis tidak mengindikasikan rawat inap, pasien dapat dipulangkan untuk rawat jalan.
• Infeksi lainnya
o Walaupun cholecystitis mungkin sering pada pasien diabetes daripada populasi umum, infeksi fulminan berat, terutama organisme penghasil gas sering ditemukan. Manifestasi klinis dini dari cholecystitis emphysematous biasanya sulit dibedakan dari cholecystitis pada umumnya. Diagnosis ditegakkan dengan menemukan udara pada lumen, dinding atau jaringan sekitar dari kantung empedu. Walaupun pembedahan segera dikerjakan, jumlah mortalitas tetap tinggi.
o Insiden infeksi staphylococcal dan K pneumoniae lebih tinggi pada pasien dengan diabetes dibandingkan tanpa diabetes.
o Diabetes merupakan faktor resiko dari reaktivasi tuberculosis.
o Infeksi cryptococcal dan coccidioidomycoses lebih virulen pada pasien dengan diabetes dibandingkan dengan orang lain
• Komplikasi ophthalmologic
o Diabetes dapat mempengaruhi lensa, vitreous, dan retina menyebabkan gejala penglihatan yang dapat membuat pasien masuk UGD. Penglihatan kabur dapat berkembang cepat karena perubahan bentuk lensa mengikuti perubahan konsentrasi glukosa darah. Efek ini disebabkan oleh aliran air osmotik ke dalam dan keluar dari lensa, biasanya terjadi jika hyperglycemia terjadi, namun dapat juga terlihat jika kadar glukosa menurun secara drastis. Pada kedua kasus, penyembuhan ke tahap ketajaman penglihatan sebelumnya, memerlukan waktu hingga satu bulan, dan beberapa pasien hampir sama sekali tidak mampu membaca tulisan kecil.
o Patients dengan diabetes juga cenderung terkena katarak senilis dibandingkan pasien tanpa diabetes walaupun ini tidak berhubungan dengan derajat pengendalian glukosa.
o Apakah pasien terkena retinopathy diabetic atau tidak bergantung dari durasi diabetes mereka dan dari pengendalian kadar glukosa. Karena diagnosis DM tipe 2 biasanya terlambat, 20% dari pasien ini telah mempunyai derajat retinopathy yang berbeda-beda pada saat diagnosis DM tipe 2. Berikut ini adalah 5 tahap dari perkembangan retinopathy diabetes.
1. Dilatasi vena retina dan pembentukan microaneurisma pada kapiler retina.
2. Peningkatan permeabilitas vaskuler
3. Oklusi vaskuler dan iskemia retina
4. Proliferasi dari pembuluh darah baru pada permukaan retina
5. Perdarahan dan kontraksi dari proliferasi fibrovaskuler pada vitreous
o 2 tahap pertama diketahui sebagai retinopati nonproliferative retinopathy.
Mulanya, venula retina berdilatasi kemudian microaneurisma berkembang (titik merah kecil pada retina yang tidak menyebabkan gangguan penglihatan).
Jika microaneurysms atau kapiler retinal menjadi semakin permeabel, dan eksudat keras muncul, menandakan adanya kebocoran plasma. Ruptur kapiler intraretinal menyebabkan pendarahan. Jika kapiler superficial mengalami ruptur, dapat terlihat perdarahan berbentuk kobaran api ( flame-shaped hemorrhage)
Exudate keras biasanya ditemukan pada sebagian atau seluruh bagian cincin (pola circinasi) dimana biasanya termasuk microaneurisma multipl. Cincin ini biasanya tanda dari area retina edematous.
Pasien dapat tidak menyadari perubahan ketajaman mata kecuali macula centralis terlibat. Edema macular dapat menyebabkan hilangnya penglihatan; maka dari itu, semua pasien yang dicurigai edema macular harus dirujuk ke spesialis penyakit mata untuk pemeriksaan lebih lanjut dan terapi laser. Terapi laser efektif dalam menurunkan edema macular dan mengembalikan ketajaman penglihatan namun kurang efektif untuk mengembalikan penglihatan yang sudah hilang.
o Retinopati diabetes preproliferative dan proliferative merupakan stadium berikutnya dalam perkembangan penyakit ini. Cotton-wool spots dapat terlihat pada retinopathy preproliferative. Dapat terlihat microinfark pada retina disebabkan oleh oklusi kapiler dan terlihat sebagai bercak berwarna abu-abu keputihan dengan batas tidak tegas.
o Retinopathy proliferative ditandai dengan neovaskularisasi atau perkembangan jaringan pembuluh darah baru yang mudah pecah yang dapat terlihat pada saraf optic atau sepanjang jalur pembuluh darah utama. Pembuluh darah mengalami siklus proliferasi dan regresi. Selama proliferasi, adhesi fibrous terjadi pada pembuluh darah dan vitreous. Kontraksi berkesinambungan akibat adesi dapat menyebabkan traksi pada retina dan detachment retina. Kontraksi juga memecahkan pembuluh darah baru, dimana pendarahan memasuki vitreous. Pasien hanya akan menyadari adanya perdarahan kecil yang terlihat sebagai floater (objek kecil transparan yang terlihat bergerak mengikuti pandangan) walaupun perdarahan berat dapat menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan yang berarti.
o Pasien dengan retinopati preproliferative atau proliferative harus segera dilakukan pemeriksaan ophthalmologis karena terapi laser dapat efektif pada keadaan seperti ini, terutama sebelum perdarahan terjadi. Pasien dengan perdarahan retina harus dianjurkan untuk mengurangi aktifitas mereka dan menjaga kepala tetap tegak (walaupun sedang tidur) sehingga darah mengalir ke bagian inferior retina dan meminimalisir kerusakan penglihatan sentral.
o Pasien dengan retinopati diabetic proliferative mempunyai rpeningkatan resiko terjadinya perdarahan retina jika mendapatkan terapi thrombolitik, sehingga, pada keadaan ini merupakan kontraindikasi relatif untuk menggunakan agen thrombolitik
• Nephropathy
o Pasien dengan DM tipe 2 merupakan pasien diabetes terbanyak yang mengidap ESRD (End Stage Renal Disease/Penyakit Ginjal tahap akhir). Semua pasien diabetes harus dicurigai mempunyai potensi untuk gangguan ginjal kecuali jika tidak terbukti. Sehingga, penanganan ekstra dilakukan jika menggunakan agen nephrotoksik pada semua pasien diabetes..
o Pemakaian zat kontras dapat memicu gagal ginjal akut pada pasien yang telah memiliki nephropaty diabetk. Perhatian lebih dilakukan pada pemeriksaan radiologist dengan kontras jika kadar kreatinin pasien diabetes lebih besar dari 2 mg/dL; pemeriksaan ini harus mutlak dihindari jika kadar kreatinin mencapai lebih dari 3mg/dL. Walaupun kebanyakan dapat sembuh dalam 10 hari, beberapa yang lain terkena gagal ginjal irreversible. Pasien diabetes yang harus melakukan pemeriksaan ini sebaiknya minum banyak sebelum, selama, dan setelah pemeriksaan dan setelah pemeriksaan, fungsi ginjal harus diawasi secara hati-hati. Solusi yang lebih baik yaitu dengan menggunakan modalitas alternative yang tidak memerlukan media kontras (misal, sonography, CT noncontras, atau MRI).
o Obat yang berpotensi nephrotoxic sebaiknya dihindari jika memungkinkan. Obat yang dieksresi melalui ginjal atau obat berpotensi nephrotoksik sebaiknya diberikan dalam dosis rendah menyesuaikan dengan kadar kreatinin pasien.
o Karena peningkatan tekanan darah kronis berkontribusi dalam penurunan fungsi ginjal, maka pasien hipertensi yang terkena diabetes harus diberikan penanganan tekanan darah tinggi jangka panjang. Jika terapi antihipertensi dimulai pada UGD, Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor atau angiotensin receptor blocker (ARB) dianjurkan karena agen ini menurunkan proteinuria dan kurang merusak fungsi ginjal selain dari efeknya pada tekanan darah. ACE inhibitor dan ARBs cenderung meningkatkan kadar potassium serum sehingga digunakan dengan perhatian lebih pada pasien dengan insufisiensi renalis atau peningkatan kadar potassium serum.
• Neuropati
o Dari banyak tipe neuropati diabetic perifer dan otonom, polineuropati sensorimotor simetris merupakan yang paling sering (distribusi “glove and stocking”). Selain menyebabkan nyeri pada stadium awal, tipe neuropati ini berakhir dengan hilangnya sensasi perifer. Kombinasi antara penurunan sensasi dan insufisiensi arterial perifer biasanya menyebabkan ulkus di kaki dan akhirnya diamputasi.
o Onset mononeuropati akut pada diabetes termasuk mononeuropati cranial, mononeuropati multiplex, lesi fokal pada plexus brachial atau lumbosacral, dan radiculopati. Pada neuropati cranial, nervus cranial II (oculomotoris) merupakan yang paling sering terkena, diikuti oleh nervus cranial VI (abdusen) dan nervus cranial IV (trochlearis). Pasien biasanya datang dengan diplopia dan nyeri mata.
o Pertimbangan akan penyebab nondiabetes dari nervus cranial palsy penting karena 42% kasus disebabkan oleh penyebab selain diabetes. Sehingga, pemeriksaan juga disertai dengan CT kontras atau non-kontras atau yang lebih baik, MRI. Konsul kepada spesialis saraf direkomendasikan. Mononeuropati nervus kranialis akut biasanya sembuh dalam 2-9 bulan. Trombosis atau iskemia akut pada pembuluh darah yang menyuplai struktur terkait dicurigai merupakan penyebab dari neuropati ini.
o Disfungsi otonom dapat melibatkan bagian manapun dari rantai simpatik atau parasimpatik dan menghasilkan manifestasi yang beragam. Pasien biasanya masuk ke UGD dengan gastroparesis diabetik dan muntah, diare berat, disfungsi saluran kemih, dan retensi urin atau hipotensi orthostatic simpatis.
Penanganan gastroparesis adalah simptomatis dan gejala cenderung hilang timbul. Pasien dengan gastroparesis dapat diatasi dengan metoclopramide atau eritromisin. Sebelum terapi ini dimulai, derajat dehidrasi dan keseimbangan metabolik harus dinilai, dan kemungkinan penyebab muntah lain harus disingkirkan
Mengembalikan fungsi saraf yang rusak yang telah terkena neuropati otonom biasanya sulit dan membuat dokter dan pasien frustasi..
• Penyakit Kaki Diabetik
o Sekitar 50-70% kasus amputasi tungkai nontraumatik terjadi pada pasien diabetes. Daya sensorik kaki yang menurun disertai dengan perfusi darah yang buruk merupakan faktor resiko untuk terjadinya ulkus akibat nekrosis tekanan dan trauma minor yang tidak disadari. Luka ini dapat berkembang menjadi selulitis, osteomyelitis, atau gangrene nonclostridial, dan berakhir pada amputasi.
o Pasien diabetes yang datang dengan luka, ulkus, atau infeksi pada kaki sebaiknya ditangani secara intensif. Sebagai tambahan, penggunaan antibiotik, menghindari trauma berikutnya sangat penting. Ini dapt dicapai dengan immobilisasi dengan boot dan/atau menggunakan kursi roda, atau istirahat penuh. Pasien sebaiknya ditangani oleh podiatric atau orthopaedist yang berpengalaman dalam menangani penyakit kaki diabetic. Jika tulang atau tendon terlihat, osteomyelitis didapatkan, maka rawat inap dibutuhkan untuk antibiotic intravena. Banyak pasien yang memerlukan pemeriksaan vaskuler untuk penanganan lokal ulkus karena prosedur revaskularisasi memerlukan aliran darah yang adekuat untuk penyembuhan luka.
o Karena menyembuhkan ulkus dan infeksi sulit dlakukan, maka pencegahannya sangat penting. Pada suatu klinik, jumlah amputasi dapat dikurangi hingga setengahnya setelah pasien diabetes diminta untuk memperlihatkan kakinya. Dokter UGD dapat melakukan ini dengan secara teliti memperhatikan kaki dari tiap pasien dan dengan mengajari mereka tentang pentingnya perawatan kaki. Pasien dengan neuropati sensorik distal, denyut perifer menurn, onychomycosis sedang-berat, atau kulit pecah pecah sebaiknya dirujuk ke podiatris..
• Penyakit makrovaskuler
o Penyakit ini merupakan penyebab utama kematian pada diabetes, menyebabkan 75% kematian pada kelompok ini namun hanya sekitar 35% kematian pada pasien tanpa diabetes. Diabetes meningkatkan resiko Infark myokard 2 kali pada laki-laki dan 4 kali pada perempuan. Resiko stroke pada pasien diabetes 2 kali lipat lebih besar dibandingkan pasien tanpa diabetes, dan resko terkena penyakit vaskuler perifer yaitu 4 kali lebih besar. Perbedaan yang tidak disadari pada patofisiologi atherosclerosis pada pasien diabetes mengakibatkan perkembangan yang cepat dan keadaan yang lebih malignan. Sehingga, abnormalitas lipid harus ditangani secara agresif untuk menekan resiko dari atherosclerosis. Penelitian mengatakan bahwa terapi statin sebaiknya diberikan pada pasien diabetes tipe 2 untuk menekan kadar lemak, sehingga mengurangi resiko cerebrovaskular disease
o Hipertensi yang juga meningkatkan resiko atherosclerosis juga dua kali lebih banyak pada pasien diabetes disbanding pasien tanpa diabetes. Pada pasien diabetes, hipertensi harus ditangani secara agresif untuk menurunkan resiko atherosclerosis yang parah. ACE inhibitor dan ARBs dapat menurunkan resiko CVD akibat efeknya terhadap tekanan darah. Banyak yang menganjurkan pemakaiannya disertai statin.
o Pasien diabtes juga memiliki peningkatan insiden silent ischemia. Namun, silent ischemia umum terjadi pada pasien dengan PJK (Penyakit Jantung Koroner) dan sepertinya peningkatan insiden disebabkan karena pasien diabetes lebih sering mengidap PJK disbanding kelompok lainnya.
o Disfungsi diastolic sering terjadi pada pasien dengan diabetes dan sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan gejala gagal jantung kongestif dan fraksi ejeksi yang normal..
PENGOBATAN
Target Kadar Glukosa
Tujuan dari pengobatan antidiabetik oral adalah untuk menurunkan kadar glukosa darah hingga mendekati normal (kadar preprandial 90-130 mg/dL dan kadar A1C levels <7%)>
Penanganan DM tipe 2 ditujukan untuk menurunkan resistensi insulin dan meningkatkan fungsi sel beta. Pada kebanyakan pasien disfungsi sel beta semakin memburuk, sehingga membutuhkan pemberian insulin eksogen. Karena pasien dengan DM tipe 2 memiliki baik resistensi insulin dan disfungsi sel beta, maka pengobatan oral untuk meningkatkan senitivitas insulin (misal, metformin atau thiazolidinedione [TZD]) sering diberikan bersamaan dengan intermediate-acting insulin (misal, neutral protamine Hagedorn [NPH]) pada malam hari atau insulin long-acting (eg, glargine [Lantus] insulin atau insulin detemir [Levemir]) diberikan satu kali perhari; glargine dapat diberikan pada pagi atau malam hari, detemir sebaiknya diberikan ada malam hari. Sekretagogue insulin seperti agen sulfonylurea dapat juga diberikan untuk meningkatkan insulin preprandial.
Tujuan dari kombinasi agen oral harian ditambah dengan insulin sekali perhari adalah untuk menurunkan kadar glukosa darah puasa hingga mencapai 100 mg/dL dengan penyesuaian insulin. Apabila target ini dicapai, obat oral dapat efektif dalam menjaga kadar glukosa darah preprandial dan postprandial sepanjang hari. Jika kombinasi regimen agen oral dan insulin gagal menurunkan kadar glukosa sampai angka normal, pola pemberian insulin pasien sebaiknya dirubah menjadi suntikan insulin rapid acting multipel harian sebelum makan. Selama pengobatan DM tipe 2, MNT yang ketat dan olahraga sebaiknya ditekankan karena modifikasi gaya hidup mempunyai efek yang besar terhadap kontrol diabetes yang akan dicapai.
Beberapa pasien sebaiknya tidak menargetkan kadar glukosa darah mendekati normal. Pada lansia, dimana angka harapan hidupnya kurang dari 5 tahun atau pada pasien dengan penyakit terminal (penyakit tahap akhir yang sukar sembuh), kontrol glukosa ketat tidak diperlu dilakukan. Pasien yang diketahui memiliki cerebrovaskuler disease juga membutuhkan target kadar glukosa darah preprandial yang lebih tinggi (misal, 100-160 mg/dL) untuk mencegah hipoglikemia berat. Pasien dengan komplikasi makrovascular dan neuropathic diabetic umumnya tidak terlalu diuntungkan oleh pemeliharaan glukosa darah mendekati kadar normal
Sebagai tambahan, pasien dengan alcoholism atau penyalahgunaan zat lainnya, dan pasien dengan penyakit mental tak terkendali mungkin tidak dapat mengontrol diabetes mereka secara efektif, sehingga menempatkan mereka pada resiko tinggi terjadinya hipoglikemia berat jika kadar glukosa mendekati normal ditargetkan. Pasien dengan tidak sadar akan hipoglikemia (misal, kurangnya tanda adrenergic hipoglikemia) atau dengan episode rekuren hipoglikemia berat (ie, hipoglikemi yang membutuhkan penanganan) sebaiknya juga mempunyai target kadar gula darah yang lebih tinggi paling tidak untuk sementara..
Walaupun dokter UGD jarang memulai terapi baru untuk diabetes, mengetahui obatyang digunakan, efek samping, dan kontraindikasinya sangat berguna
Kategori Obat : Agen Sulfonylurea
Agen ini mengurangi konsentrasi glukosa darah dengan meningkatkan sekresi insulin dari sel beta pancreas. Semua jenis diserap dengan baik; waktu paruh dan durasi bekerjanya beragam. Agen ini diklasifikasikan atas generasi pertama (acetohexamide, chlorpropamide, tolazamide, tolbutamide), generasi kedua (glipizide, glyburide), dan generasi ketiga (glimepiride). Semuanya dapat menyebabkan hipoglikemi. Dosis agen ini pada umumnya 5mg/hari namun pada beberapa keadaan yang cenderung memperlihatkan keadaan hipoglikemia atau adanya penyakit hati atau ginjal maka dosis yang dipakai dimulai dari 2,5mg/hari
Kategori Obat: Meglitinides
Agen ini merupakan sekretagog insulin kerja singkat. Obat ini bekerja pada channel ATP-dependent potassium pada sel beta pancreas, menyebabkan pembukaan channel calcium dan meningkatkan pelepasan insulin. Contoh dari obat ini adalah Repaglinida yang digunakan dengan dosis 0,5-4 mg oral diberikan dalam 2-3X perhari sebelum makan. Kontraindikasi yaitu adanya hipersensitivitas
Kategori Obat: Biguanides
Agen ini meningkatkan sensitivitas insulin dengan menurunkan gluconeogenesis hepatik (efek utama) dan meningkatkan sensitivitas insulin perifer (efek sekunder). Obat ini tidak meningkatkan kadar insulin atau meningkatkan berat badan. Jika digunakan sebagai dosis tunggal tidak mengakibatkan hipoglikemi.
Diabsorbsi dari usus halus (bioavailabilitas 50-60%). Tidak mengikat pada protein plasma, tidak dimetabolisme ; cepat dieksresi oleh ginjal. berakumulasi di usus; dapat menurunkan absorbsi glukosa lokal (efek gastrointestinal).Pada kadar tinggi (mis, pada pasien gagal ginjal), akab berakumulasi pada mitochondria; mencegah oxidative phosphorylation dan menyebabkan asidosis laktat. Efek ini jarang terjadi
Contoh obat ini yaitu Metformin, yang dapat digunakan sebagai monoterapi atau dikombinasikan dengan sulfonylurea, thiazolidindione, atau insulin. Dosis harian yaitu 500 atau 800 mg. Kontraindikasi pada pasien dengan kadar kreatinin serum >1,5mg, disfungsi hepatic, asidosis akut atau kronis
Kategori Obat : Thiazolidinediones
Derivate thiazolidinedione memperbaiki control glikemia dengan meningkatkan sensitivitas insulin. Obat ini merupakan agonis selektif untuk peroxisome proliferator-activated receptor-gamma (PPAR-gamma). Aktivasi dari reseptor PPAR-gamma mengatur transkripsi gen insulin-responsive yang terlibat dalam produksi, transport, dan pemakaian glukosa, sehingga mengurangi konsentrasi glukosa darah dan hyperinsulinemia. Harus dikonsumsi sekitar 12-16 minggu untuk mencapai efek maksimal. Agen ini digunakan sebagai monoterapi atau digunakan beserta obat hipoglikemia oral lainnya.
Contoh obat dari golongan ini yaitu Pioglitazone, digunakan dengan dosis harian 15 atau 30mg PO tiga kali sehari. Perlu diperhatikan jika digunakan bersama insulin karena dapat menyebabkan hipoglikemia. Tidak dianjurkan pada pasien dengan SGOT > 2,5 kali batas normal, DKA, dan gagal jantung kongestif
The US Food and Drug Administration mengeluarkan peringatan pada pasien dan dokter pada tangga 21 May 2007, bahwa rosiglitazone berpotensi menyebabkan peningkatan resiko infark myokard dan kematian akibat penyakit jantung lainnya.
Troglitazone (Rezulin), jenis yang lain dari thiazolidinedione, secara suka rela ditarik dari pasaran oleh perusahaan pembuatnya pada bulan Maret 2000, setelah diketahui bahwa obat ini mempunyai efek hepatotoksik
Kategori Obat: Alpha-glucosidase Inhibitors
Agen ini menginhibisi kerja alpha-glucosidase (pencernaan karbohidrat), menunda dan mengurangi puncak kadar glukosa darah postprandial. Gula yang belum tercerna dibawa ke colon, dimana dikonversi menjadi asam lemak rantai pendek, methane, karbondioxida, dan hidrogen.
Alpha-glucosidase inhibitors (AGIs) tidak meningkatkan kadar insulin atau menginhibisi laktase; Efek utama yaitu menurunkan kadar glukosa darah postprandial (efek untuk kadar puasa kurang). Obat ini tidak menyebabkan peningkatan berat badan dan dapat mengembalikan ovulasi pada orang anovulasi akibat adanya restensi insulin. AGI biasanya tidak digunakan di US, namun lebih sering pada negara lain.
Dengan dosis tunggal, AGIs tidak menyebabkan hipoglikemi. Kurang dari 2% diserap sebagai obat aktif. Dapat digunakan sebagai monotherapy atau bersama sulfonylurea, TZD, metformin, or insulin. Dimakan bersama makanan untuk meminimalisir efek GI
Contoh obat dari golongan ini yaitu Acarbose. Digunakan dengan dosis 25 mg/hari PO 3x/hari. Dosis dapat ditingkatkan sampai 100 mg/hari. Kontraindikasi pada pasien dengan kadar kreatinin >2 mg/dL; peningkatan kadar enzim hati, atau adanya obstruksi saluran cerna.
FOLLOW-UP
Perawatan Pasien Rawat Inap Lebih Lanjut
• Perawatan pasien rawat inap diberikan untuk mengatasi terjadinya komplikasi akut mayor seperti hipoglikemia rekuren berat, infeksi mayor, DKA, atau HHS.
Anjuran Pasien Rawat Jalan
• Walaupun dengan sedikit komplikasi membutuhkan rawat inap. DM tipe 2 biasanya dapat ditangani rawat jalan..
Pencegahan
• Diet yang teratur, menurunkan berat badan, dan olahraga merupakan pencegah DM tipe 2. American Diabetes Association (ADA) mengatakan bahwa metformin dapat membantu mencegah perkembangan dari prediabetes menjadi diabetes.
Komplikasi
• Komplikasi dari diabetes termasuk hipoglikemi dan hyperglycemia, meningkatkan resiko infeksi, komplikasi mikrovaskuler (mis, retinopathy, nephropathy), komplikasi neuropati, dan penyakit makrovaskuler
• Diabetes merupakan penyebab utama terjadinya kebuataan pada umur diatas 20-74 years.
• Diabetes merupakan penyebab utama amputasi tungkai dan Gagal Ginjal Tahap Akhir.
Prognosis
• Pasien diabetes memiliki tantangan seumur hidup untuk mencapai dan menjaga kadar glukosa darah sedekat mungkin ke angka normal. Dengan pengendalian glikemia yang cocok, resiko terjadinya komplikasi mikrovaskuler dan neuropati menurun secara bermakna. Sebagai tambahan, jika hipertensi dan hiperlipidemia ditangani secara agresif, resiko terjadinya komplikasi makrovaskuler juga menurun secara drastis.
• Manfaat ini juga diimbangi dengan resiko hipoglikemi dan biaya jangka pendek untuk menyediakan pengobatan berkualitas baik. Penelitian menunjukkan biaya yang dihemat setelah berkurangnya komplikasi akut diabetes selama 1-3 tahun setelah memulai pencegahan efektif
• Setiap bertemu dengan dokternya, pasien sebaiknya diberitahukan tentang rencana terapi yang cocok dan memotivasi pasien untuk melakukannya secara ketat. Dokter mesti meyakinkan pasien bahwa penatalaksanaan diabetes mellitus mencakup seluruh pemeriksaan lab yang penting, pemeriksaan neurologik dan tungkai, dan rujukan ke spesialis mata atau orthopedis/podiatris.
Langganan:
Postingan (Atom)